JERITAN MALAM PENGANTIN part 3
Nenek, Kakek juga Paklik Mulyono sudah bersiap-siap akan pergi menghadiri acara khitanan cucu Bude Tiwi di desa sebelah.Mungkin juga mereka akan menginap di sana sampai acara selesai. Bude Tiwi ini masih saudara jauh Kakek, aku dan Intan memilih untuk di rumah saja."Jangan lupa pintu dan jendela dikunci ya!" titah Nenek sambil memakai hijab."Iya, Nek. Kalau bisa jangan menginap ya?!" pinta Intan."Nggak enak kalau nggak nginep, pasti di sana bantu-bantu juga. Kamu disuruh ikut malah nggak mau.""Sempit, Nek, di sana. Mau tidur di kebun? Mending aku di rumah," jawab Intan.Aku hanya menatap Nenek saja yang dari tadi sibuk merapihkan hijabnya. Kadang aku lucu melihat tingkah Nenek, sudah benar-benar aku pakaikan hijab dengan rapih. Tetapi Nenek malah merubahnya lagi."Mel, kamu juga nggak mau ikut?" tanya Kakek."Kalau aku ikut si Intan sendirian dong di rumah,""Ya sudah kalian baik-baik di rumah. Jangan keluyuran malam-malam. Kalau tidak, ajak teman-temanmu ke sini, teman cewek ya. Jangan cowok!" ujar Kakek."Iya, Kek," jawabku bersamaan dengan Intan.Paklik Mulyono ini anak ke dua dari Kakek dan Nenekku. Sedangkan anak pertamanya adalah ayahku dan anak ke tiga ibunya Intan. Istri dan anak Paklik Mulyono sedang pulang kampung ke Bandung.Mereka pergi dengan menyewa mobil milik temannya Paklik Mulyono. Sebelum pergi tiba-tiba Paklik Mulyono mendekatiku."Jangan takut, hadapi dengan kekuatan imanmu pada Allah. Karena manusia ciptaan-Nya yang paling sempurna. Gunakan kelebihanmu dengan melakukan kebaikan," ucap Paklik sambil menepuk pelan pundakku, dan setelah itu mereka segera pergi karena jam sudah menunjukkan pukul 19.45 menit."Inget pesan Kakek ya!" ucap Kakek mewanti-wanti.Aku dan Intan mengangguk tanda mengerti dengan ucapan Kakek.Aku memang terlahir dengan memiliki suatu kelebihan. Kelebihan yang menurutku sangat mengganggu hidupku. Ah, andai saja aku bisa memilih. Aku akan memilih untuk tidak bisa melihat dunia mereka. Ya, dunia lain.Sebenarnya Kakek pun sama sepertiku, dan Paklik Mulyono pun sama. Kami sama-sama bisa melihat dunia lain. Sudah beberapa kali aku mencoba untuk menutup mata batin ini. Tapi, sama sekali tidak bisa ditutup. Aku juga sudah meruqyah diri ke Ustaz dan orang-orang yang pandai agama. Hasilnya nihil. Mereka bilang ada silsilah keluarga dan tidak bisa ditutup. Jadi, mau tidak mau aku harus menerima kelebihan ini. Kelebihan yang sama sekali tidak aku inginkan."Assalamu'alaikum ...." Salam mereka semua berpamitan."W*'alaikumsalam ...," jawabku dan Intan.Setelah mereka semua pergi Intan buru-buru menutup dan mengunci pintu serta jendela."Mel ... mending ajak teman-teman ke sini deh. Daripada kita berduaan doang, kan horor banget. Ajak Ridwan dan Hanif juga, biar mereka tidur di ruang tamu buat jagain kita," ujar Intan menyarankan."Ya udah gue kirim W******p di grup."Aku segera mengirim pesan di grup yang berisikan. Aku, Intan, Hanif, Ridwan, Irma dan juga Kak Sarah.[Assalamu'alaikum, gengs. Kalian bisa ke rumah Nenekku, nggak sekarang. Soalnya mereka semua sedang pergi ke khitanan cucunya Bude-ku. Aku cuma berdua doang sama Intan. Ke sini ya kalian, temenin kami!] Ku klik send. Pesan sudah terkirim.Aku pergi ke dapur untuk memasak mie instan. Perutku lapar karena tadi belum makan. Intan kutinggalkan di ruang tv, mungkin anak itu tertidur sekarang. Intan tidak bisa terkena bantal dan kipas angin, pasti anak itu langsung terbuai dalam mimpi alis pelor, nempel molor.Suara kilatan serta gemericik air hujan yang turun begitu menyeramkan.Glaaaaarrr ....Suara petir menggelegar memekak 'kan telinga. Aku terlonjak kaget, hampir saja mangkuk yang berisi mie instan ini kulempar.Dug!Dug!Dug!Suara pintu diketuk sangat cepat. Ah, bukan diketuk. Lebih tepatnya digedor-gedor seperti ingin merampok."Tan, bangun, Tan. Bukain pintu sana, itu ada yang gedor-gedor. Barangkali si Ridwan dan lainnya sudah sampai."Aku menepuk-nepuk pipi Intan agar anak ini terbangun."Apaan sih, Mel? Ganggu orang tidur aja deh!"Intan mengendus-ngendus ke arah mangkukku bagai seekor kucing."Masak mie nggak bilang-bilang! Gue kan juga mau, Mel. Tolong masakin dong buat gue!""Ogah! Masak aja sendiri. Sana, bukain pintu dulu tuh!"Intan segera bangkit dari tidurnya, dan beranjak ke depan untuk membukakan pintu dengan jalan sempoyangan seperti orang mabuk.Dug!Dug!Dug!"Sabar woy, gue lagi jalan. Kaga sabaran banget sih! Nggak ada akhlak kalian!"Intan mengomel tak jelas, mungkin kesal karena waktu tidurnya terganggu.Aku pun segera menyusul Intan ke depan, untuk melihat siapa yang datang.Ceklek ...."Mbak Anggun. Ada apa, Mbak?" tanya Intan sambil mengucek-ngucek matanya.Mbak Anggun diam tak menjawab. Pandangannya kosong, rambut panjangnya tergerai tak beraturan. Sebagian menutupi wajah cantiknya yang memucat.Bau hanyir serta busuk bangkai tercium, membuatku ingin muntah."Hoeeekk!"Mba Anggun memuntahkan darah bercampur belatung yang begitu sangat banyak.Intan membelalakan matanya, ketika melihat Mbak Anggun muntah tepat di hadapannya. Intan langsung mundur dan merangsek ke belakang badanku.Kini aku yang berhadapan dengan Mbak Anggun. Mbak Anggun masih saja memuntahkan darah yang bercampur belatung itu.Perutku mual, benar-benar sangat mual. Aku langsung muntah saat itu juga.Hoooeeekk!Hoeeekkk!"Tooollooongg ...!" Mbak Anggun berbisik sangat lirih di telingaku.Bruuggg!Sesuatu jatuh dari atap rumah Pak Cipto sangat keras benturannya, aku dan Intan sangat terjejut. Dan segera melihat ke arah rumah Pak Cipto.Sesuatu yang jatuh dari atap rumah Pak Cipto berbentuk bulat seperti kelapa. Benda itu menggelinding ke arah kami.Tunggu!Kenapa benda bulat itu mengeluarkan darah dan memiliki telinga?Apakah pandanganku yang salah melihat karena gelap? Atau benda apakah itu sebenarnya?!Mbak Anggun kembali diam mematung. Pandangan matanya pun melihat ke arah rumah Pak Cipto.Dapat aku rasanya kalau tubuh Intan bergetar hebat seperti terkena gempa bumi.Tring ....Tring ....Ponselku berdering di atas meja. Intan segera ngambilnya dan mengangkat panggilan tersebut."Cepetan ke mari! Gue takut!"Setelah berbicara dengan seseorang di sebrang telepon Intan pun mematikannya."Siapa?" tanyaku menatap Intan."Ridwan, udah dekat dia."Tiba-tiba saja sosok Mbak Anggun menghilang dari hadapan kami.Deg!Cepat sekali perginya. Ke mana perginya, bukankah tadi masih berdiri di sampingku?Bising suara motor terdengar mendekat. Mungkin itu Ridwan dan teman-teman lainnya.Pantulan sinar motor menyorot wajahku dan juga Intan. Saat semakin dekat cahaya motor tersebut. Disitulah aku dan Intan mematung, badan kami tak bisa digerakan karena terlalu syok.Air mata membanjiri pipi kami berdua. Benar-benar pemandangan yang sangat menyeramkan. Aku pikir temanku yang datang, tapi ternyata bukan.Sosok badan tanpa kepala mengendarai motor menuju ke arah kami berdiri mematung."Arrghhh!" Intan pingsan karena tidak tahan melihat pemandangan menyeramkan ini.Bisa kau bayangkan bagaimana mengerikannya wujud sosok ini?Mengendarai motor tanpa kepala, serta badan yang berdarah-darah.Bersambung .....JERITAN MALAM PENGANTIN part 4Sementara Intan jatuh pingsan, kini aku yang diam mematung di hadapan sosok tanpa kepala tersebut.Kenapa aku tidak ikut pingsan saja seperti Intan? Kenapa malah diam di tempat seperti ini. Badanku sama sekali tidak bisa digerakan, seolah terhipnotis dengan sosok tanpa kepala.Batinku menjerit, berkata ingin pergi. Tapi tubuhku tetap mematung. Keringat sebesar biji jagung telah membanjiri tubuhku. Gelegar petir serta hujan yang masih turun menambah keseraman ini. Aku di hadapkan dengan wujud yang sangat mengerikan. Sementara itu, tepat di samping sosok wujud tanpa kepala itu, ada sosok lain yang menatapku tajam. Badannya berbulu, besar, serta mempunyai mata merah dan taring yang panjang.Allah ... napasku tercekat, seperti dicekik oleh seseorang.Sebisa mungkin aku terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an di dalam hati, agar tubuhku tidak terkunci seperti ini.Perlahan, wujud tanpa kepala itu berjalan terseok-seok. Aku baru menyadari, bahwa sepertinya ini tubu
JERITAN MALAM PENGANTIN part 5"Janc*k!" teriak Hanif berlari sambil memegangi handuk yang melingkari pinggangnya."Kalian pada kenapa sih? Kenapa pada lari-larian gitu?" tanya Kak Sarah panik."Demit sial. Tuh, ada di dapur.""Panik sih panik, itu celana dipakai dulu sana," ujar Irma melihat Hanif dengan pandangan aneh."Gue lupa. Ya udah gue pakai di pojokan aja, jangan pada ngintip lu semua!""Rugi gue liatin lu pakai celana, menodai mata gue aja!" ketus Irma sambil menutup wajahnya dengan tangan.Cetlek!Tiba-tiba lampu padam. Di dalam rumah tampak gelap gulita. Ka Sarah langsung mengintip ke jendela, ternyata bukan hanya rumah Nenek yang lampunya mati. Tapi semuanya padam.Teror, lampu mati. Lengkap sudah kini penderitaan kami.Dug ....Dug ....Dug ...."Siapa yang malam-malam dan mati lampu gini main bola sih? Kurang kerjaan banget, udah gitu hujan deras lagi. Gila apa ya, tuh, orang!" maki Hanif."Entah, coba lu tengok, Nif!" ucapku sambil menyinari ruang dengan lampu ponselku
Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan menuju rumah Kak Sarah. Akhirnya kami sampai juga, kami disambut oleh keluarga Kak Sarah. Keluarga Kak Sarah nampak sangat panik. Terutama ayahnya Kak Sarah."Ayo kalian masuk. Langsung mandi dan ganti baju, setelah selesai mandi kumpul di ruang tamu!" tegas ayahnya Kak Sarah.Kami semua masuk ke dalam rumah Kak Sarah dan bergantian untuk mandi.Kepalaku terasa nyeri akibat benturan tadi, sedangkan Intan terlihat masih syok atas kejadian yang menimpa kita semua.Benar-benar malam yang sangat menyeramkan. Ketika kita panik, otak tak mampu berpikir dengan jernih. Segala sesuatu pasti dilakukan terburu-buru dan gegabah."Gue, mau pulang aja ke Jakarta," ucap Intan tiba-tiba dengan terisak."Sabar, Tan. Kalau kita pulang, terus siapa yang bakal mengungkap misteri ini? Bukankah sebelumnya kita juga pernah seperti ini?" jawabku sambil memegangi kepala yang masih nyeri."Dulu kita pulang ke Jakarta. Terus apa? Arwah itu meneror kita juga kan sa
Setelah kejadian semalam. Akhirnya kami semua memutuskan untuk menginap di kediaman Kak Sarah. Ridwan dan Hanif tidur di ruang tamu, dan kami para wanita tidur di kamar Kak Sarah. Kamar Kak Sarah lumayan besar, sehingga bisa menampung kami semua. Untungnya Kak Sarah tidak menggunakan ranjang pada kasurnya. Kasur springbed ia letakan di lantai atau lesehan. Kak Sarah bilang, ia takut jika menggunakan ranjang kasur. Takut di bawahnya ada penampakan. Dan subuh ini kami para wanita salat jama'ah di rumah. Sedangkan para lelaki berjama'ah di musala desa."Mel ... ambil wudhunya barengan, gue takut!""Ya Allah, Tan. Udah subuh kali, setan juga kaga ada subuh-subuh mah," ucapku kesal pada Intan."Bodo amat! Pokoknya bareng. Kalau nggak bareng gue nggak jadi salat!" cetusnya."Hilih, semprul! Mau jadi titisan setan lu nggak salat? Ya udah ayo bareng."Kemudian aku dan Intan berbarengan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Salat pun dipimpin oleh ibunya Kak Sarah."Assalamu'alaikum Warahmatul
Mataku masih menatap ke arah belakang rumah Pak Cipto. Siapakah wanita berbaju merah itu? Jalannya tertatih-tatih, seperti merasakan sakit yang luar biasa. Bukan, bukan Mbak Anggun. Aku tau bagaimana postur tubuh Mbak Anggun.Mbak Anggun tinggi semampai, dan yang aku lihat ini berperawakan kecil mungil. Mungkin tingginya hanya 155 centimeter saja.Teman-temanku yang lainnya pun ikut menengok ke belakang rumah Pak Cipto."Mm--Mba Wuri," ucap Hanif terbata.Hah, Mba Wuri? Bukankah katanya Mbak Wuri sudah meninggal. Aku memang jarang sekali melihat Mba Wuri jika liburan ke desa ini, satu atau dua kali aku pernah bertemu dengan Mba Wuri. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih."Nggak usah bercanda deh. Lu bilang Mbak Wuri udah meninggal kan? Bagaimana bisa orang itu adalah Mbak Wuri," ucap Intan panik."Tapi itu beneran Mbak Wuri, gue hafal banget sama postur tubuhnya." Hanif tetap pada pendiriannya kalau itu Mbak Wuri."Udah pada nggak usah ngaco! Nggak usah dilihatin. Pura-pura ngga
Setelah Nenek masuk ke dalam kamar. Kini di ruang tamu hanya ada aku, Intan dan teman-temanku saja."Masih mau diterusin, Mel?" tanya Intan."Masih, emang lu mau desa ini di teror terus tiap hari. Entar lama-lama nama desa ini bukannya desa Indah Permai lagi. Tapi desa sarang hantu," sahutku."Hiihhh ... serem amat itu omongan." Intan bergidik ngeri."Ya udah, lebih baik kita coba omongin lagi sama Kakek baik-baik. Semoga Kakek izinin, atau kalau nggak kita selidiki bareng-bareng sama Kakek dan Paklik Mulyono," ucap Ridwan memberi ide."Nah, ide yang bagus tuh, Mel," ujar Hanif menimpali dan disetujui oleh teman-teman lainnya.Aku masih diam tak merespon, tapi ide yang dibilang Ridwan boleh juga sih. Kenapa tidak kami selidiki saja bersama Kakek dan Paklik. Setelah nanti ketahuan siapa yang bersekutu dengan iblis, barulah kami akan panggil Ustaz Fiqih."Ya udah nanti gue pikirin dulu ide dari lu, Wan," ujarnya."Nah, gitu dong. Ya udah kita balik dulu ya, lu coba ngomongnya baik-baik
"Ora usah ngeganggu, wong mati iku ngegone wis udu neng dunyo maneh.Opo kowe mati digawe tumbal?" tanya Kakek.(Nggak usah mengganggu, orang mati tempatnya bukan di bumi lagi. Apa kamu mati karna dijadikan tumbal?)Aku, Intan, Irma saling merangkul karena ketakutan. Kakek, Paklik, menjagaku dari depan sedangkan Hanif dan Ridwan menjaga di belakang. "Kowe podo weruh sirahku ora, hah?" Lagi suara lirih dari sosok tanpa wujud itu menanyakan di mana kepalanya.Grookk ....Bug!Seperti suara orang yang digorok lehernya sampai kepalanya putus. Allah ... kenapa banyak sekali gangguannya ketika kami ingin tahu siapa orang yang ke sungai itu.Kami semua langsung berdoa membaca ayat kursi dan surah-surah lainnya. Intan membaca ayat kursi dengan suara yang bergetar dan menahan tangis.Arrggghh ....Teriak-teriakan itu menggema di kebun tebu ini, teriakan kesakitan serta rintihan yang menyayat hati."Sepertinya kita tidak bisa meneruskan untuk memata-matai sekarang. Apalagi turun hujan rintik-
Setelah Ustaz mengusapkan air ke wajahku, aku jadi sedikit lebih tenang. Nenek langsung mendekapku dan mengusap rambut hitamku yang dikuncir kuda.Hoeeekk ....Hoeeekk ....Tuti kembali memuntahkan darah segarnya, kali ini ia muntah lebih banyak. Matanya kini sendu setengah terpejam.Grookkk!Grookkk!Tuti menggelepar seperti ikan yang kehabisan air, serta menyuarkan seperti lehernya tengah di gorok seseorang."Aarrrghh ... sakit, Bu," teriak Tuti. Matanya masih mendelik ke atas, napasnya mulai sesak. Tuti menghembuskan napas terakhirnya dengan mulut menganga, serta mata yang melotot menatap ke atas langi-langit rumah."Innalillahi wainnalilahirojiun ...," lirih suara Pak Ustaz sambil mengusap mata Tuti yang mendelik ke atas."Maksud Pak Ustaz apa ngomong kaya gitu?" ucap Pak Guntur dengan suara bergetar."Tuti sudah pergi, Pak Guntur. Mohon untuk di ikhlaskan kepergiannya." Pak Ustaz berkata sambil mengusap bahu Pak Guntur."Nggak mungkin anakku mati." Pak Guntur langsung mendekap tu