Share

TEROR LAGI

JERITAN MALAM PENGANTIN part 4

Sementara Intan jatuh pingsan, kini aku yang diam mematung di hadapan sosok tanpa kepala tersebut.

Kenapa aku tidak ikut pingsan saja seperti Intan? Kenapa malah diam di tempat seperti ini. Badanku sama sekali tidak bisa digerakan, seolah terhipnotis dengan sosok tanpa kepala.

Batinku menjerit, berkata ingin pergi. Tapi tubuhku tetap mematung. Keringat sebesar biji jagung telah membanjiri tubuhku. Gelegar petir serta hujan yang masih turun menambah keseraman ini.

Aku di hadapkan dengan wujud yang sangat mengerikan. Sementara itu, tepat di samping sosok wujud tanpa kepala itu, ada sosok lain yang menatapku tajam. Badannya berbulu, besar, serta mempunyai mata merah dan taring yang panjang.

Allah ... napasku tercekat, seperti dicekik oleh seseorang.

Sebisa mungkin aku terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an di dalam hati, agar tubuhku tidak terkunci seperti ini.

Perlahan, wujud tanpa kepala itu berjalan terseok-seok. Aku baru menyadari, bahwa sepertinya ini tubuh laki-laki. Kakinya terluka, ada bekas sayatan di sana. Sayatan yang lumayan besar, sehingga membuat luka itu menganga memperlihatkan daging merahnya.

Setelah membacat ayat-ayat suci Allah, tubuhku bisa digerakan. Aku langsung menepuk-nepuk pipi Intan yang sedang pingsan.

"Tan, bangun, Tan!"

"Bangun, Tan, ada sosok mengerikan. Lu mau bangun apa gue tinggal sendirian di luar?"

Intan langsung terbangun setelah aku ucapkan kata-kata tersebut di telinganya.

"Huuaaaa ... setan sialan, demit asu." Intan berlari dan masuk ke dalam, lalu pintu ia kunci.

"Wooiii ... kamprett, gue masih di luar. Kenapa ditinggalin sih, tadi aja kaga gue bangunin lu. Ck, sial."

"Intan, buka pintunya!"

Ceklekk ....

Intan buru-buru membuka pintu dan menarik tanganku untuk masuk ke dalam.

"Gue panik, Mel, gue kira lu ikut lari juga. Eh, ternyata masih di luar. Maaf ya?"

"Saudara nggak ada akhlak. Hampir aja gue ngompol di luar," ketusku kesal.

Intan terkikik geli karena melihat wajah panikku.

"Ketawa lagi, kaya nggak ada salah," omelku lagi.

Dug!

Dug!

Dug!

"Bukaaa, woiii ... ini gue Ridwan dan teman-teman."

Suaranya memang seperti Ridwan, tapi aku dan Intan tak langsung membukanya. Trauma, takut sosok mengerikan lagi yang mengetuk.

Ku intip lewat jendala. Syukurlah, ternyata memang Ridwan dan teman-teman lainnya.

Aku segera membukakan pintu untuk mereka.

"Anjiirr serem banget, kita dihadang sama kepala buntung." Hanif buru-buru masuk saat aku membukakan pintu.

"Kalian liat setan juga? Kami juga barusan diteror setan," sahut Intan sambil menyelimuti badannya dengan sarung Kakek.

"Lah, iya, janncuuuk ... motorku sampai kecebur di selokan," maki Hanif dengan kesal.

Aku yang menyadari tubuh Hanif basah kuyup seperti tikus got pun, langsung mengambil handuk dan mengambil baju ganti untuknya.

"Nih, baju Mas gue. Pakai aja, daripada pakai baju basah begitu. Sana mandi dulu, badan lu bau tai," ucapku jujur.

"Waaasuu ... punya teman malah pada seneng lihat gue sengsara."

Kami terkekeh mendengar Hanif yang terus saja mengomel. Seperti aki-aki kurang tembakau.

"Dek, kangen ...." Kak Sarah langsung memelukku.

"Aku juga kangen, Kak. Aku lupa ngabarin kalau sudah beberapa hari sampai sini hehe,"

"Hilihh ... kebiasaan, masih muda sudah pikun," sungutnya.

"Ya maaf,"

"Iya-iya dimaafin."

Praaanggg ....

"Innalillahi ...," ucap kami bersamaan karena kaget dengan sesuatu yang jatuh dari arah dapur.

"Siapa?" tanya Hanif padaku.

"Nggak tau. Tikus mungkin, ya udah sana mandi. Cepetan! Bau tau."

"Baweel!"

Hanif pun beranjak ke kamar mandi. Antara kamar mandi dan dapur Nenek itu samping-sampingan. Kecuali dapur tungku yang sering Nenek gunakan, itu berada di belakang dekat sumur.

Yuni, Irma, Ridwan dan juga Kak Sarah duduk di bangku kayu.

Aku dan Intan segera membuatkan minuman hangat serta membawa cemilan di toples.

"Nih, pada minum dulu," tawarku sambil meletakan minuman dan cemilan di meja.

Mereka langsung meminum teh manis hangat yang aku buat.

"Kampung kita jadi horor ya sekarang. Banyak demitnya, kamu tau nggak, Mel? Si Dewi meninggal karena kecelakaan minggu kemarin?" tanya Irma dengan wajah serius.

"Innalillahi ... aku nggak tau, Ir, kecelakaan tunggal atau gimana?" jawabku kaget mendengar berita Dewi meninggal.

"Kelindas truk, badannya awur-awuran. Hihh, seram...."

Astaghfirullah ... kasihan sekali Dewi meninggal dengan kondisi seperti itu. Kami memang lumayan cukup akrab dengan Dewi. Dewi gadis cantik dengan kulit hitam manis serta berlesung pipi. Dia gadis yang ceria. Pantas saja dia tidak ikut main ke sini.

"Gue laper, Tan, ada indomie nggak?" ucap Yuni sambil memegang perutnya.

"Ada, ayok masak. Gue juga laper, si Melly masak diem-diem bae," ujar Intan menoyor kepalaku.

"Jangan noyor-noyor. Ini kepala di fitrahin ya!"

Aku paling kesal kalau ada yang kurang ajar menoyor kepala. Walaupun maksudnya bercanda.

"Maaf, elaah ... sensi banget Ibu Negara."

Tanpa merasa bersalah Intan cekikikan bagai kunti dan berlalu ke dapur bersama Yuni.

"Kita akan jadi detektif lagi, memecahkan misteri ini. Kalian setuju nggak?" ucap Ridwan.

"Sebenarnya banyak kejadian mengerikan di kampung ini, Mel, yang nggak lu ketahui. Banyak warga yang tiba-tiba meninggal nggak wajar," sambung Ridwan lagi.

Aku mendengarkannya dengan seksama tanpa berpaling dari wajahnya.

Ahh, memang saat aku tiba di sini. Aku merasakan hawa yang aneh. Suasana kampung yang tak lagi indah seperti dulu. Di sini memang sepi, tapi sekarang tambah sepi lagi.

Biasanya akan ada kumpulan anak-anak muda lelaki yang bermain gitar di pos ronda. Tapi sekarang mereka tidak pernah terlihat lagi.

Seperti desa tak berpenghuni saja kampung Nenek dan Kakek ini.

Sebenarnya ada masalah apa yang terjadi di kampung ini.

Selama memasuki kelas 3 aku memang disibukkan dengan tugas-tugas yang menumpuk. Dan baru sekarang lagi aku berkunjung ke kampung Nenek. Ternyata banyak kejadian yang aku lewatkan begitu saja. Tapi, kenapa Nenek, Kakek serta Paklik Mulyono tidak bicara apa-apa padaku. Semuanya seperti di rahasiakan begitu saja.

"Lu tau, Mel? Anaknya Pak Cipto yang cewek juga meninggal karena kecelakaan. Mbak Wuri ditabrak mobil sampai kepalanya buntung," ujar Ridwan bercerita sambil menatap langit-langit rumah.

"Innalillahi, kok meninggalnya pada seram banget sih. Nenek sama Kakek kenapa nggak cerita sih ke gue?!"

"Mungkin mereka takut kamu parno kali, Dek, dan takut kamu nggak mau main lagi ke sini," sahut Kak Sarah.

"Ya, nggak segitunya juga kali, Kak," jawabku sambil menyandarkan kepala di bangku.

Tek ....

Tek ....

Tek ....

Krieett!

Krieert!

Suara kaca jendela diketuk-ketuk, kemudian suara tembok seperti dicakar saling bergantian terdengar.

Kami langsung terdiam. Saling menatap satu sama lain. Seperti berbicara lewat isarat.

Mungkin mereka bertanya lewat pandangan mata "Ada apa?!"

Lagi-lagi bau hanyir darah serta bangkai menguar di udara.

Intan, Yuni dan Hanif lari saling mendahui jalan. Wajah mereka semua pucat serta badan bergetar hebat.

Ada apa lagi ini?

Bersambung ....

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Marlina Sophie Paris
makin seru, makin tegang bacanya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Jgn2 pelakunya keluarga si cipto itu mereka yg udah meninggal mungkin ulah keluarga cipto dan mereka meminta keadilan
goodnovel comment avatar
RedQueen the Hunter
baca cerita kaya nonton Susana.......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status