Share

2. TAK LAGI SAMA

  1. Hmm, sepertinya mereka sedang tidak baik-baik saja. Meski mencoba ditutupi tapi sorot mata tidak dapat berbohong. Ririn berucap di dalam hatinya.

            Diam-diam tanpa sepengetahuan Atika, Ririn sering memerhatikannya dan juga Sandra akhir-akhir ini. Meski mereka berdua tak ada yang mengakuinya namun dengan melihat keduanya makin jarang berdua saja sudah menceritakan segalanya secara tidak langsung. Meski baru dugaan tapi Riris bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres yang sedang berlangsung.

            Contohnya, ya saat ini. Ririn memerhatikan selama mereka ngobrol, Atika tampak banyak melamun dan terlihat bingung. Terlihat sekali bahasa tubuh Atika yang gelisah ketika ia diberitahu kalau Sandra ada di perpustakaan bersama Jerry. Meski bukan sahabat mereka berdua, namun Ririn memiliki firasat yang cukup tajam tentang hal ini. Pun, setiap hari ia berinteraksi dengan Sandra selama di dalam kelas. Ia sering memergoki teman sebangkunya itu menghela napas panjang atau menarik napas dalam-dalam. Seperti orang yang sedang ingin melepaskan sebuah beban. Tapi sampai sekarang ia belum berani bertanya langsung pada temannya itu. Jadi dia menantikan kesempatan untuk bicara dengan Sandra ataukah Atika. Ternyata kesempatan itu lebih dahulu datang lewat Atika.

            “Kalau ada yang tidak beres dan kamu mengizinkan, aku bisa bicara dengan Sandra. Atau bicara lewat Jerry, sepupunya. Sandra kan dekat sekali dengan sepupunya itu. Aku bukan bermaksud ikut campur, tapi kalau butuh bantuan penengah, mungkin aku bisa melakukannya,” tawar Ririn tanpa banyak basa-basi.

            “Kayaknya aku mau ke kelas dulu, deh. Aku lupa kalau ada yang perlu kuselesaikan. Sebentar lagi istirahat selesai. Terima kasih ya, Rin.” Atika pikir belum saatnya ada orang lain yang bisa ikut campur urusannya dengan Sandra, jadi ia memilih untuk mengabaikan dulu tawaran tersebut.

            Atika buru-buru melesat ke kelasnya sebelum Ririn sempat menjawab ucapannya. Saking tergesa-gesanya, Atika sampai tidak melihat kalau di depannya tengah berjalan dua orang siswi berjilbab. Salah satunya langsung mengaduh pelan ketika ia menubruknya tanpa ampun. Untung teman yang bersamanya bertindak sigap. Dengan cepat langsung mencekal lengan keduanya agak tak terjatuh atau pun kembali bertubrukan.

            “Duh, maaf!” Atika melangkan mundur sambil mengelus-elus jidatnya yang membentur kepala siswi di depannya barusan.

            “Kamu kalau jalan hati-hati, Tik!” tegur siswi yang ditabraknya.

            “Eh, Husna? Ya, ampun. Maaf ya, Ukh?” Atika terkejut sekaligus lega melihat siapa yang ditubruknya barusan.

            “Iya. Untung aja Firda cepet-cepet nahan lenganku. Kalau enggak aku bisa terpelanting jatuh barusan.” Husna mengelus-elus kepalanya yang juga sakit karena terbentur jidat Atika.

            Ririn yang melihat kejadian tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala dan masuk ke kelasnya tanpa berkata-kata lagi. Atika memandangi kedua temannya dari kelas lain itu dengan tatapan menyesal.

            “Maaf. Tadi aku buru-buru.” Atika mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.

            “Iya, enggak apa-apa.” Firda tersenyum.

            “Lagi serius ngobrol tadi, ya?” tanya Husna.

            Dia memang sempat melihat Atika ngobrol serius dengan Ririn barusan. Asalnya ia mau menunggu sampai Atika beres berbicara dengan Ririn. Tapi entah kenapa tiba-tiba Atika malah berbalik secepat kilat dengan setengah berlari. Memangnya ada yang dihindari temannya itu atau apa, sih?

            Atika menggeleng pelan. “Enggak. Bukan apa-apa. Aku cuma ingat kalau ada catatan yang belum beres kusalin dari papan tulis tadi.”

            “Oh ya? Terus kenapa enggak kamu selesaikan?” tanya Firda sambil merapikan jilbabnya yang sedikit melorot.

            “Itu ….” Atika bingung mau menjawab apa.

            “Ah, sudahlah. Enggak penting juga kalee!” Husna mengibaskan telapak tangan kanannya ke depan Firda. “Ntar lupa malah kita tadi ke sini mau apa.”

            “Kami ada info penting buatmu, Tik.” Firda menatap Atika serius. “Aku enggak lupa lah, Aunty.” Beralih sejenak pada Firda.

            Husna tertawa kecil ketika Firda memelototinya sedetik lalu kembali menampilkan senyum manis pada Atika. Atika terkekeh melihat Firda yang tampak sewot. Temannya yang satu itu cocok sekali menjadi pemain teater karena pintar mengubah-ubah mimik dan ekspresi wajahnya dalam waktu singkat. Sedetik jutek, sedetik kemudian senyum. Benar-benar unik! Sedangkan yang satu lagi, Husna, itu sangat perfeksionis dan ingatannya tajam. Lebih serius menanggapi apapun.

            Yah, meskipun keduanya sering saling meledek, tetapi sebenarnya mereka sangat akur. Ada hubungan darah yang mempersatukan mereka. Hubungan antara keponakan dan tante. Mereka memiliki umur yang sama, di satu sekolahan yang sama pula. Ikut eskul yang sama. Eh, sama-sama aktif di rohis juga! Mantap!

            Hanya bentuk fisik mereka saja yang berbeda. Husna berperawakan mungil dengan kulit putih terang sementara Firda bertubuh tinggi besar dengan kulit sedikit lebih gelap. Katanya sih Firda lebih mirip ayahnya. Sedangkan yang bersaudara dengan Husna adalah ibu kandungnya.

            “Ada info apa, Ukh?” tanya Atika yang sudah mulai terbiasa memanggil ukhti pada teman wanita sesama anggota rohis.

            “Hari ini sepulang sekolah, kita kumpul di masjid. Ada rapat untuk menyambut peringatan Maulid Nabi dua pekan ke depan. Rencananya keputrian akan dilibatkan sebagai panitia oleh pihak sekolah. Kamu ikut, ya?” pinta Husna.

            “Aku?” Atika menunjuk hidungnya sendiri. “Aku kan bukan pengurus keputrian. Cuma anggota.”

            “Memangnya kamu mau terus jadi anggota? Ketua OSIS sudah mau ganti ya otomatis sebentar lagi pengurus keputrian pun akan ganti.” Firda memiringkan kepalanya menatap Atika.

            Atika tergagap. “Oh. Gitu, ya?”

            Husna mengangguk sambil mengepalkan tangan kanannya di udara. “Yup! Kita akan menjadi generasi penerus selanjutnya! Makanya kita jangan absen sekali pun dari kegiatan keputrian maupun rohis masjid. Semangat!”

            “Kamu harus datang. Inget, ya?” Firda menepuk-nepuk bahu Atika.

            “InsyaAllah.” Atika mengangguk cepat.

            Bersamaan dengan itu, Husna dan Firda kompak terdiam dan terpaku pada satu titik. Mereka seperti melihat seseorang di belakang Atika. Saat Atika refleks menoleh ke belakang, ia melihat Sandra yang menatapnya dengan tatapan permusuhan. Atika membuka mulutnya hendak memanggilnya, namun ia kalah cepat. Sandra lebih dulu membuang muka dan masuk ke dalam kelasnya.

            Atika ingin menyusul masuk ke dalam, namun ia mengurungkan niatnya saat dari arah ruang guru di kejauhan, tampak Bu Ratna, guru pelajaran Matematika sedang berjalan menuju ke kelasnya. Alhasil Atika langsung mendorong Husna dan Firda agar secepatnya angkat kaki dari situ dan kembali ke kelasnya masing-masing.

            “Aku ke kelas dulu, ya? Sampai besok!” ucap Atika buru-buru sambil masuk ke dalam kelasnya.

            Atika tak perlu berkata dua kali karena kedua temannya itu juga melihat hal yang sama dengannya. Tanpa perlu dikomando, keduanya segera membalikkan tubuh mereka dan menuju ke kelasnya masing-masing.

            Hhh, peer bicara dengan Sandra sepertinya akan sedikit tertunda hari ini, gerutu Atika dalam hati sambil duduk di kursinya. Padahal dia ingin sekali segera selesai semuanya. Tapi apa daya, rapat rohis menantinya sepulang sekolah nanti. Tidak tahu sampai jam berapa rapat tersebut akan berlangsung. Biasanya sih rapat-rapat seperti itu membutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 jam.

            Sejak memutuskan untuk berhijrah dengan memakai jilbab di awal tahun kedua di bangku SMA ini, sejak itu pula Atika aktif di keputrian rohis sekolah. Siswi yang berminat pada kegiatan ini mayoritas jilbaber. Yang belum memakai jilbab ada sekitar tiga empat orang. Itu pun mereka dalam rangka memantapkan diri ingin memakai jilbab suatu hari nanti. Persiapan mental, begitu alasannya. Supaya dorongan hati untuk berjilbab makin kuat jika sudah mengetahui ilmunya.

            Ya, bisa saja seperti itu meski sebaiknya ketika paham tentang ayat tentang jilbab sudah sampai pada kita, segeralah berjilbab. Jangan menunda-nundanya lagi. Terutama bagi yang sudah akil balig. Berjilbab itu sudah menjadi kewajiban.

            Setelah berjilbab pun, kita harus terus menanbah ilmu tentang Islam. Jangan pernah merasa sudah cukup dengan hanya berjilbab saja. Berjilbab itu bukan akhir segalanya, kan? Seorang jilbaber butuh untuk menambah ilmu dan wawasannya tentang Islam agar makin memahami ajaran agamanya sendiri. Jadi kalau ada teman atau orang yang bertanya sesuatu tentang Islam, ia bisa menjawabnya. Untuk menjawab pertanyaan tentang jilbab yang syar’i misalnya, seorang jilbaber harus memahami benar-benar ilmunya. Jangan sekadar hanya memakai tanpa mengerti aturan-aturannya alias fikihnya.

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status