Share

JILBABER JUGA MANUSIA
JILBABER JUGA MANUSIA
Author: Rea MP

1. PUTUS ATAU LANJUT

“Kita memang udah beda banget!”

            “Enggak, kok. Aku masih orang yang sama dengan kamu. Aku enggak akan berubah sekalipun memakai jilbab ini.”

            Atika, seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan baru duduk di kelas dua SMA, menatap wajah Sandra sahabatnya dengan tatapan kesungguhan. Entah apa yang terjadi sebenarnya hingga tiba-tiba saja hari ini sahabatnya itu mendadak mendatanginya dengan mengatakan hal yang membingungkan seperti itu. Ditambah dengan suara tinggi dan emosi yang meluap-luap. Padahal hari masih pagi. Jam belajar pun belum dimulai. Bukan sebuah hal yang asyik untuk memulai hari dengan perdebatan semacam ini.

            “Enggak! Kita memang udah beda sejak kamu memutuskan untuk pakai jilbab itu. Kita beda!” tandas Sandra lagi.

            Anak perempuan berambut sebahu dan berwarna agak pirang itu balas menatap Atika dengan pandangan sengit. Mereka berdua berdiri berhadap-hadapan dalam jarak yang cukup dekat namun aroma ketegangan menguar begitu kental di antara keduanya.

            Kamu memang sudah banyak berubah dan berbeda sejak memutuskan untuk memakai jilbab itu, tapi enggak juga sadar! Batin Sandra dengan bibir bergetar. Semua kajian-kajian yang membuatmu makin sibuk dan menjauh dariku. Sampai-sampai melupakan janji untuk menemaniku ke rumah Tante Risna kemarin sore. Padahal kamu sudah janji!

           Tapi semua ungkapan kekecewaan itu hanya tertahan di tenggorokannya. Atika takkan pernah mengerti apa tujuannya kemarin meminta untuk menemaninya ke rumah Tante Risna karena ia memang belum memberitahukannya. Sandra tanpa perlu bertanya terlebih dahulu sudah bisa mengira-ngira kalau sahabatnya itu pasti takkan setuju. Makanya ia belum memberitahunya. Supaya jadi kejutan dan Atika takkan bisa mengelak.

            Atika mencoba menghela napas dan mengaturnya agar emosinya tidak ikut terpancing. Ia benar-benar tidak tahu kenapa hari ini Sandra terlihat berbeda. Padahal biasanya juga mereka tak pernah ada masalah. Kalau pun ada masalah, biasanya akan diselesaikan dengan baik-baik dan bukan dengan seperti ini. Saling berdebat dan tak ada yang mau mengalah. Tapi hari ini tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba Sandra menggila tanpa alasan yang jelas. Ini pasti ada yang salah!

            “Aku tetap Atika yang dulu, kok. Aku enggak punya alasan untuk berhenti jadi sahabatmu. Kita sahabat selamanya. Itu janji kita, kan?” Atika mencoba meraih kedua tangan Sandra dan menggenggamnya.

            “Enggak! Kamu dan aku udah berbeda jalan. Mulai sekarang kita bukan sahabat lagi! Kita selesai!” Sandra menyentakkan kedua tangan Atika lalu memeragakan gerakan telapak tangan yang seperti menebas leher sebelum membalikkan tubuhnya dan angkat kaki dari hadapan Atika.

            “Sandra? Dengerin aku!” pinta Atika dengan suara serak dan terkejut dengan reaksi Sandra yang kasar seperti itu.

            Namun, panggilan berulang-ulang dari mulut Atika tak mampu mengubah tekad Sandra yang sudah bulat mengakhiri hubungan persahabatannya dengan Atika. Persahabatan mereka sendiri sudah terjalin sejak kelas satu SMA dulu. Artinya kurang lebih setahun lamanya.

          Sandra terus berjalan, berlalu menjauhi Atika dengan langkah tergesa. Atika tahu kalau sahabatnya itu takkan mau didekati jika bertingkah seperti itu. Maka dia hanya bisa pasrah menatap dari kejauhan. Berharap ada keajaiban atau mukjizat yang membuat Sandra kembali menghampirinya dan meralat omongannya barusan.

            Kenapa harus sampai mengorbankan persahabatan segala, sih? Sefatal itukah kesalahannya pada Sandra? Apakah jika ia melakukan kesalahan sedikit saja malah hubungan persahabatan yang harus dipertaruhkan? Sebesar apa sih kesalahannya sebetulnya? Ia tak habis pikir.

          Yang dirasanya hanyalah membatalkan janji kemarin untuk menemani Sandra ke rumah tantenya. Itu karena roknya mendadak terkena noda. Enggak mungkin kan ia bepergian kesana kemari dengan kondisi rok kotor? Pasti akan sangat memalukan. Biasanya dia selalu persiapan membawa perlengkapan kewanitaan untuk mengantisipasi tamu bulanan yang kadang-kadang datang tanpa permisi. Entah kenapa kemarin itu dia melupakannya.

            Atika merenung sendiri di koridor depan kelasnya saat istirahat pertama. Ia berkali-kali mencuri-curi ke arah pintu kelas Sandra yang berada di sebelah kelasnya. Biasanya sahabatnya itu akan segera keluar dan menghampirinya. Lalu mereka berdua akan pergi ke kantin sekolah atau hanya sekadar duduk-duduk di bawah pohon rindang yang ada di depan ruang laboratorium bahasa. Tak dipedulikanya siswa-siswi yang hilir mudik di koridor antar kelas. Beberapa di antaranya ada yang menyapanya karena dulu pernah sekelas saat kelas satu. Atika hanya membalas seperlunya saja karena ia hanya menantikan Sandra saja.

            Mereka bertemu dan dipersatukan dalam hubungan persahabatan ketika duduk di kelas satu SMA tahun lalu. Sebelumnya mereka berasal dari SMP yang berbeda. Rasa nyaman dan kesukaan yang sama yang merekatkan keduanya hingga sepakat mengikrarkan diri sebagai sepasang sahabat. Mereka sama-sama suka membaca komik Jepang genre romance seperti "Your Name"-nya Makoto Shinkai. Suka mendengarkan musik klasiknya Bach atau Mozart. Sebuah hobi yang sedikit kurang lazim untuk remaja zaman now. Sama-sama suka minuman bobba dengan gula aren daripada Thai tea dan masih banyak lagi.

            Sekalipun saat ini mereka berpisah kelas saat di tahun kedua ini, namun letaknya yang masih bersebelahan tidak menjadi sebuah masalah besar. Mereka tetap menjalankan kebiasaan lama seperti saat di kelas satu dahulu. Tiada hari tanpa menghabiskan waktu istirahat berdua. Begitu pula saat pulang sekolah. Mereka itu sudah seperti bunga dan daun. Saling menempel pada tangkai yang sama. Tak terpisahkan. Seisi sekolah sudah terbiasa melihat keakraban keduanya. Di mana ada Atika, pasti ada Sandra.

            “Nungguin Sandra, Tik?” sapa Ririn, teman sebangku Sandra di tahun kedua di SMA ini.

            Atika tersenyum dan mengarahkan pandangannya ke belakang punggung Ririn. Tubuh gadis itu tinggi besar. Termasuk ukuran raksasa untuk gadis seusianya. Jadi bisa menyembunyikan seseorang di balik punggung lebarnya. Atika berkhayal kalau Sandra saat ini sedang bersembunyi di situ. Bersiap-siap muncul untuk memberinya kejutan.

            Ia berharap sahabatnya itu mengajaknya berbaikan. Ia ingin Sandra mau melupakan perdebatan mereka tadi pagi dan kembali menjalin persahabatan dengannya. Atau setidaknya membicarakan  baik-baik apa duduk persoalannya. Siapa tahu bisa didiskusikan baik-baik dan dicarikan solusinya, sebab Atika bukan seorang peramal yang dengan mudah membaca isi hati serta pikiran orang lain. Ia lebih suka membicarakannya daripada menebak-nebak. Kalau benar ya bagus, tapi kalau salah? Bisa jadi fitnah atau bahkan masalah yang semula kecil bisa berkembang menjadi besar. Malah tambah repot, kan?

            “Sandra tadi pergi ke perpustakaan dengan Jerry. Sampai sekarang mereka kayaknya masih di sana, deh.” Ririn menunjuk ke sebuah bangunan di sebelah selatan komplek kampus yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri saat ini.

            Mata Atika mengikuti arah yang ditunjukkan oleh ujung telunjuk Ririn. Saat pandangan matanya tertumbuk pada sebuah bangunan yang cukup megah berlantai dua dan bercat putih, ia hanya mengangguk-angguk. Mendadak hatinya bimbang antara ingin menyusul ke sana dan khawatir kalau-kalau malah Sandra takkan menyukai kehadirannya. Lagipula sahabatnya itu sedang bersama Jerry. Pasti rasanya canggung kalau tiba-tiba dia nimbrung di tengah-tengah keduanya.

            “Kalau kamu mau nyusul, nyusul aja. Memangnya tadi Sandra enggak memberitahumu, ya?” Ririn terlihat agak heran namun seperti memahami kebimbangan Atika.

            “Iya. Ngg … mungkin dia lupa.” Atika meringis dan tertawa kecil, berusaha menutupi rasa gelisahnya.

            “Tapi kalian baik-baik aja, kan? Enggak lagi berantem?” tanya Ririn tepat pada sasaran.

            Atika gelagapan. Kedua mata Ririn tertuju tepat ke kedua matanya. Tatapan itu seolah mencurigai dan menghakiminya. Cepat-cepat dia menggeleng kuat-kuat. Ia tak mau ada orang lain yang mencium ketidak beresan hubungannya dengan Sandra saat ini. Jadi sebisa mungkin dia harus bersikap normal dan wajar.

            “Eng-enggak. InsyaAllah enggak ada masalah. Kami baik-baik aja.” Atika berbohong untuk menutupi kondisi yang sebenarnya.

            “Ya, syukurlah kalau kalian baik-baik aja. Soalnya ….”

            “Soalnya kenapa?” kejar Atika cepat ketika Ririn menggantung ucapannya.

            “Hmm. Ini baru dugaanku aja, ya? Tapi akhir-akhir ini keliatannya Sandra lebih pendiam dan murung. Padahal biasanya dia ceria.” Ririn terlihat mengerutkan keningnya seperti sedang memikirkn sesuatu.

            “Ah, benarkah?” Atika sedikit merasa tidak enak saat mendengarnya.     

            "Iya. Aku amati udah ada mungkin sekitar dua pekanan. Apa dia sedang ada masalah? Dengan keluarganya atau denganmu?”

            Atika terdiam. Jujur saja akhir-akhir ini dia malah kurang memerhatikan Sandra. Sepertinya juga sahabatnya itu terlihat baik-baik saja. Tidak pernah menceritakan hal-hal yang menggambarkan kalau sedang susah. Setiap bertemu, Sandra tetap terlihat ceria dan berceloteh tentang apa saja.

            Atau jangan-jangan Sandra menyembunyikannya? Soalnya akhir-akhir ini memang mereka lebih banyak membahas seputar pelajaran atau guru-guru di kelas yang kebetulan berbeda. Ya, sekalipun kelas mereka bersebelahan tetapi untuk guru bidang studinya banyak yang berbeda. Atau kalau tidak, sahabatnya itu banyak menceritakan tentang gebetannya. Si wakil ketua OSIS. Mahendra dari kelasnya. Sudah lebih dari tiga bulan Sandra naksir cowok itu.

            Apa ada kaitannya dengan Mahendra? Atika mengerutkan keningnya. Tapi dia tidak terlalu mengenal cowok itu sekalipun mereka sekelas. Lagipula, kan Mahendra bukan siapa-siapanya Sandra. Apakah nanti tidak jadi aneh ketika ia mencoba menanyakan keadaan sahabatnya itu ke Mahendra? Jadi yang terbaik ya bertanya langsung pada Sandra.

            Tapi … enggak mungkin juga dengan keadaan Sandra yang sedang memusuhinya seperti tadi pagi. Yang ada hubungan mereka bisa makin runyam dan bukannya membaik. Jadi harus bagaimana sekarang sebaiknya? Atika mendadak pusing.

            “Kamu enggak jadi nyamperin Sandra, Tik?” tanya Ririn.

            “Mungkin nanti, deh.” Atika tersenyum tipis untuk menjaga sikap agar tetap terlihat baik-baik saja dengan Sandra.

            “Mungkin sebaiknya kamu bicara dengannya, deh. Kamu sahabatnya. Pasti lebih tahu banyak. Aku terus terang sungkan karena baru sebentar mengenal Sandra. Meski kami sebangku tapi teman ngumpul kami di kelas berbeda.”

            Atika menatap Ririn dengan pandangan heran. Kenapa gadis ini terlihat seperti yang tahu banyak sekalipun ia sudah berusaha menutupi kenyataan yang ada. Apakah Sandra sudah cerita? Tapi rasanya agak mustahil karena Atika tahu pasti kalau Sandra bukan tipikal sahabat yang bermulut “bocor”. Itulah alasannya ia nyaman bersahabat dengan Sandra. Ia sendiri juga tidak pernah membicarakan hal ini pada siapa pun. Persoalannya dengan Sandra biarlah jadi urusan dalam negeri mereka berdua. 

           Duh, kalau Ririn saja bisa tahu, jangan-jangan orang-orang juga sudah banyak yang tahu. Ya namanya juga biasa melihat mereka berdua lalu tiba-tiba saja akhir-akhir ini berubah. Memang sejak Atika memutuskan hijrah dan membatasi aktivitasnya, sejak itu pula dia mulai jarang menghabiskan waktu dengan sahabatnya itu. Maksudnya membatasi aktivitasnya  itu  artinya Atika sekarang lebih memilih mengisi waktunya dengan menambah ilmu agama. Di antaranya bergabung dengan rohis kampus, rutin mengikuti acara kajian di keputrian, dan sebagainya. Hal-hal yang tak pernah dilakukannya bersama Sandra.

           Tapi Sandra juga tahu kok alasannya dan sepertinya tidak terlihat keberatan. Atika pernah berusaha mengajak sahabatnya itu supaya ikut bergabung di acara keislaman yang diikutinya. Hanya saja Sandra masih sering menolak dengan alasan minder, belum berjilbab, dan lain-lain. Padahal cukup banyak siswi yang rajin mengikuti acara kajian di keputrian tetapi belum berjilbab. Bukan masalah sebenarnya. Yang penting punya kemauan untuk ikut saja sudah bagus.

            “Perbaiki sebelum terlambat.” Ririn mengatakannya sambil kedua matanya melirik ke arah perpustakaan.

            Atika makin tidak nyaman dengan kondisi ini. Ririn sepertinya memang sudah cukup tahu banyak sekalipun dia mengaku tidak pernah bertanya pada Sandra secara langsung. Ia harus segera membereskan masalah ini supaya tidak semakin berlarut-larut.

            "Sayang kalau persahabatan kalian tidak berumur panjang. Nyari sahabat yang 'klik' dengan kita itu susah, lho. Jangan disia-siakan." Ririn tersenyum penuh arti.

            Atika jadi semakin penasaran. Sebenarnya ada apa sih dengan Sandra?

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status