Share

CALON ISTRI

BAB 8

Mendengar Angga membahas hal itu, membuat Arfan sedikit kesal pada sahabatnya itu, ia bahkan kembali mengecek Laptopnya lagi, ia tidak suka jika harus membahas hal yang bisa merubah harinya menjadi buruk.

Begitu juga dengan Angga, ingin sekali ia melempar sahabatnya itu dari atas gedung, bagaimana tidak, ia sudah bicara panjang lebar, tapi dia hanya diam saja. Dasar Arfan menyebalkan!

“Kamu enggak mau tau siapa orangnya yang dipilih, Dea?” Angga menatap Arfan dengan tatapan tajam.

“Untuk apa saya tau? Toh, bukan urusan saya juga 'kan?” ujar Arfan datar.

Angga menatap tidak percaya dengan yang baru saja Arfan katakan, bagaimana bisa dia berkata seperti itu, Dea itu adiknya, harusnya dia ikut perduli, bukan acuh seperti itu.

“Ini semua bakalan jadi urusan kamu, Arfan!” sarkas Angga.

“Kenapa jadi urusan saya? Yang menikah ‘kan adik kamu, bukan saya!” sanggah Arfan.

“Karena yang ada di mimpi Dea itu kamu, Arfan!” papar Angga dengan nada yang tinggi, membuat Arfan terkejut dan langsung beranjak dari duduknya.

~~~

Setelah perdebatan antara Arfan dan Angga di ruangannya tadi, kini di sinilah Arfan berada, ia sedang mengendarai mobil Mercedes Benz E-Class E400 menuju Universcity Cakra International. 

Ucapan Angga selalu terngiang-ngiang ditelinganya, itu yang membuatnya ingin cepat menemui Dea, ia ingin segera meluruskan masalah yang terjadi diantara mereka berdua yang sudah membuatnya menjauhi Dea.

Hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit ia sudah sampai di kampus Dea, ia masih menunggu Dea di dalam mobilnya sambil memperhatikan orang-orang yang keluar masuk kampus.

‘Apa saya masuk ke dalam saja ya, dari pada menunggu di sini,’ gumam Arfan.

Setelah berpikir panjang, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk ke dalam, ia sudah tidak sabar untuk bertemu gadis yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya.

“Harusnya, tadi saya meminta nomor ponsel Dea pada Angga, agar bisa menghubunginya,” decak Arfan, ”kenapa otaknya yang cerdas ini mendadak tidak bisa berpikir apa-apa, sampai hal sepenting ini saja, saya bisa lupa,” racaunya.

Arfan menelusuri koridor kampus untuk mencari keberadaan Dea, tapi ia belum juga bisa menemukannya.

”Permisi!” sapa Arfan ketika ia berpapasan dengan mahasiswa yang name tagnya bernama Andi.

”Iya, Pak! Ada apa, ya?” Andi menoleh pada Arfan.

Arfan sedikit mencelos ketika Andi memanggilnya dengan sebutan bapak, padahal wajahnya masih seperti opa-opa korea berusia dua puluh tahun.

”Kamu kenal Dea tidak, anak fakultas TI (Teknologi Informatika)?” tanya Arfan.

”Dea Ashyfa?” Andi memastikannya, apa orang yang dimaksud adalah teman satu fakultasnya.

“Iya, benar, Dea Ashyfa!” Arfan mengangguk, “kamu, kenal?” tanyanya lagi.

”Kenal, Pak! Dia teman saya, memangnya ada apa Bapak mencarinya?” Andi menatap laki-laki yang ada di depanya.

Sedikit kesal karena laki-laki di depannya ini terlalu banyak tanya, padahal Arfan sedang terburu-buru, ia takut tidak bisa bertemu dengan Dea hari ini, ia tidak mau melakukan kesalahan dan berakhir dengan penyesalan.

”Saya ada urusan dengan dia, kamu tau dia ada di mana?” sarkas Arfan, berharap dia akan segera memberitahu keberadaan Dea.

Andi menatap Arfan dengan tatapan curiga, mungkin dia mengira kalau ia adalah suggar daddy yang sedang mencari mangsa di kampusnya. Tapi, melihat dia yang kesal padanya, membuat ia takut.

”Ta--Tadi saya melihat di--dia ada di kantin, sedang makan siang dengan temannya,” jawab Andi gugup.

”Oke, terima kasih!” ucap Arfan, lalu ia pergi meninggalkan Andi menuju kantin untuk mencari keberadaan Dea.

Suara dentingan sendok dan piring, terdengar di meja tempat Dea dan Tia yang sedang menikmati makan siangnya, keduanya sama-sama memesan semangkuk bakso kesukaan mereka.

“Dea, baksonya dimakan, dong! Jangan hanya dipandangi saja, nanti dia baper ‘kan kasihan,” celetuk Tia, ketika ia melihat sahabatnya hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di depannya.

Mendengar sahabatnya membuat lelucon seperti itu, Dea langsung menoleh dan tersenyum sekilas, hatinya sedikit terhibur dengan apa yang Tia katakan padanya.

Sejak tadi pagi, Dea memang tidak bersemangat untuk pergi ke kampus, bahkan di kelas ia tidak fokus mengikuti pelajaran seperti biasanya berhubung ia ada janji dengan dosen pembimbingnya, ia terpaksa harus datang ke kampusnya.

“Ini aku lagi makan,” ujar Dea, sambil memakan bakso miliknya.

“Kamu ada masalah ya, Dea?” tanya Tia khawatir.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa wajahku terlihat banyak masalah ya?” Dea menatap sahabatnya.

Tia ikut menatap Dea, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya, biasanya dia selalu ceria, tidak seperti hari ini, yang terlihat murung dan tidak banyak bicara.

“Kamu itu enggak berbakat untuk berbohong, Dea! Di dahimu itu tertulis, kalau kamu sedang ada masalah,” Tia menunjuk dahi sahabatnya, “apa ini ada hubungannya dengan tiga pejantan tangguh yang melamarmu itu?” sambung Tia, menatap Dea yang masih terdiam di tempatnya.

Dea memegang dahinya, ia ingin memastikan apa yang dikatakan oleh sahabatnya, tapi Tia malah menertawakannya, membuatnya tersadar kalau ia sedang dikerjai oleh sahabatnya.

“Ish, aku pikir benar ada tulisan di dahiku,” desis Dea, membuat Tia semakin menertawakannya.

“Maaf, maaf! Aku hanya bercanda,” ucap Tia menghentikan tawanya.

Dea kembali menatap makanannya yang ada di meja, ia masih kesal pada sahabatnya. Tapi, tebakan Tia memang benar, ia memang sedang tidak baik-baik saja.

‘Apa aku cerita pada Tia saja ya, siapa tau dia bisa membantuku menyelesaikan masalahnya,’ batin Dea.

“Kenapa diam? Bingung ya mau cerita apa?” tebak Tia.

Dea menggeleng, menatap sahabatnya yang sedang menunggunya mengatakan sesuatu.

“Kalau tentang Naufal, Bayu, dan Bisma, aku sudah menyelesaikan semuanya dan mereka semua menerima keputusanku, walaupun Bisma sempat tidak terima, tapi setelah dijelaskan, akhirnya dia mau mengerti,” jelas Dea.

”Nah! Kalau sudah beres, kenapa kamu masih terlihat gelisah?” tanyq Tia penasaran.

Dea menghela napasnya, meletakan sendok yang ia pegang, lalu ia juga menatap Tia.

“Aku bingung, Tia! Bagaimana caranya memberitahu Bang Arfan tentang mimpi itu, aku takut dia menganggapku hanya menghalu,” papar Dea.

“Kenapa harus bingung sih, Dea! Kamu tinggal bilang aja kalau mau ta’arufan sama dia, gampang ‘kan!” saran Tia, ”jangan berpikir yang aneh-aneh dulu, positif thinking aja dulu,” sambungnya memberi semangat pada Dea.

”Enggak semudah itu, Tia! Kalau Bang Arfannya enggak mau, gimana? ‘Kan aku malu,” Dea menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Mendengar sahabatnya mengatakan itu, membuat Tia merasa kasihan, ternyata problema yang dialami oleh sahabatnya sangat rumit, ia yang tidak mengalaminya saja pusing mendengarnya, apalagi Dea yang menjalaninya, pasti kepala sudah seperti mau pecah.

“SIAPA YANG BILANG SAYA ENGGAK MAU?” terdengar suara seseorang yang sangat familiar tepat di belakang Dea.

Dengan cepat Dea menoleh, melihat siapa sosok yang baru saja mengatakan hal itu padanya. 

'Bang Arfan! Kok bisa ada dia di sini?' batin Dea.

Dea menatap orang yang sedang berjalan menghampirinya, dia adalah sosok laki-laki tampan yang sejak kemarin membuat hatinya gelisah dan risau seperti ini.

 “Sedang apa Abang di sini?” tanya Dea heran, ketika Arfan sudah ada di depannya.

“Saya mau jemput CALON ISTRI!” pungkas Arfan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status