Share

SEPASANG MATA

BAB 2

Dingin hembusan angin malam menerpa wajah Dea, membuatnya sedikit menggigil dan akhirnya ia memutuskan untuk masuk kembali ke kamarnya.

Sampai di kamar, Dea membaringkan tubuhnya, mencari posisi nyaman, agar ia bisa tidur dengan nyenyak. Tiba-tiba ia teringat mimpinya kembali, apalagi ucapan Angga yang mengatakan kalau Arfan adalah jodohnya masih terngiang-ngiang di telinganya.

“Ini semua gara-gara abang yang memberi saran itu padaku!” decak Dea.

Flashback ….

“Abang, bantuin Dea mikir dong! Dea bingung, nih!” keluh Dea pada Anggara, ia menarik-narik tangan kakaknya yang baru saja keluar kamar, hampir saja Angga terjatuh karena ulahnya itu.

“Abang harus bantu apa, Dek?” Angga menghentikan langkahnya, ”lagian Abang ‘kan enggak kenal sama laki-laki yang katanya melamar kamu itu, lebih baik kamu pikir-pikir dulu aja deh, jangan asal pilih laki-laki yang tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya.” Angga berjalan menuju sofa yang ada di ruang keluarga.

Mendengarkan ocehan adiknya itu, membuat kepalanya jadi pening. Apalagi Ini sudah kesekian kalinya Dea menanyakan hal yang sama padanya.

Dea mengikuti langkah Angga yang berjalan dengan sangat cepat di depannya, niatnya meminta solusi pada Angga ternyata sia-sia, abangnya bahkan tidak menghiraukannya sama sekali.

“Tapi Bang, Dea takut salah pilih, makanya Abang bantuin Dea ya, please …!” Dea ikut duduk di samping Anggara dengan wajah memohon.

Angga menjentikkan jarinya lalu menatap Dea dangan senyum lebarnya, tiba-tiba saja terlintas satu ide yang muncul di kepalanya.

“Nah, dari pada kamu bingung, lebih baik kamu coba shalat istiharah aja, Dek! Minta sama Allah, supaya kamu diberikan petunjuk sama Allah,” saran Angga.

Dea terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja Angga katakan padanya. Sebenarnya, Dea sedikit tau perihal shalat istikharah untuk meminta jodoh terbaik. Tapi, ia belum pernah mencobanya, karena baru sekarang ia mengalami hal semacam ini.

“Kenapa baru kepikiran sekarang sih, Bang? Kalau aja dari kemarin-kemarin Abang ngasih sarannya, pasti masalahku sudah selesai!” dengus Dea kesal.

“Abang ‘kan baru dapat wangsitnya sekarang, Dek! Baru dapat idenya sekarang,” kilah Angga menampilkan senyum lebarnya.

“Apa sih, Bang! Enggak usah ngadi-ngadi deh, enggak lucu tau! Lagian, wangsit dari mana, coba? Dasar Abang aneh!” pekik Dea mencibir.

Angga mengatupkan bibirnya, sedikit kesal dengan apa yang adiknya itu katakan, sudah diberi saran, malah mencibir abangnya, beruntung dia adik kesayangan, jadi ia tidak terlalu mempermasalahkannya.

“Dek, sekarang kamu coba aja dulu saran dari Abang,” usul Angga, ”semoga kamu mendapatkan jawaban yang terbaik ya, Dek!” sambung Angga.

“Siap, Bang! Makasih ya sarannya. Abang memang The Best, deh!” puji Dea tersenyum manis, ia juga menampilkan kedua jempol tanganya.

————

Malam ini, Dea menjalankan saran dari Angga dengan penuh harapan dan keyakinan, ia juga sudah mempersiapkan dirinya, siapapun kelak yang menjadi suaminya, ia akan menerima dengan ikhlas dan akan mencintainya dengan sepenuh hati.

(Ya Allah … Hamba mohon, tolong berikan petunjuk-Mu! Siapa yang harus aku pilih untuk menjadi jodohku. Apakah Naufal, Bayu, atau Bisma yang pantas menjadi suamiku? Tolong yakinkan hati ini kepada pilihan-Mu, Ya Allah!) Begitulah kira-kira doa yang dipanjatkan oleh Dea di Istikharahnya malam ini.

Setelah selesai, Dea melipat mukenanya dan meletakan kembali di nakas yang ada di kamarnya, lalu ia beranjak menuju kasur king size bermotif bunga lily berwarna biru muda untuk menyelami mimpi indahnya.

Flashback off ….

Mimpi semalam benar-benar mengganggu pikiran Dea, ia sampai tidak bisa tidur lagi karena wajah Arfan selalu muncul setiap ia memejamkan mata.

Usai melaksanakan shalat subuh, Dea memutuskan keluar dari kamarnya dan menuju dapur, lebih baik ia membantu bundanya membuat sarapan dari pada selalu teringat dengan mimpinya semalam.

“Pagi, Bunda!” Dea menghampiri bundanya yang ada di dapur.

“Pagi juga, sayang!” sahut Bunda Ana.

“Masak apa, Bunda?” tanya Dea, ketika melihat bundanya yang sedang mengaduk-aduk makanan yang ada di wajan.

Bunda melirik Dea sekilas, lalu kembali fokus pada masakannya, menambahkan sedikit penyedap rasa dan bumbu lain agar masakannya semakin menggugah selera.

“Bunda lagi masak nasi goreng, Nak!” jawab Bunda, “tumben kamu, pagi-pagi sudah di dapur, biasanya keluar kamar kalau sudah Bunda panggil,” celetuk Bunda.

Dea mengatupkan bibirnya, ia juga melipat tangan di dada, merasa kesal karena bundanya itu malah mencibirnya, padahal ia sedang dalam mode galau.

“Ish, Bunda! Kok gitu sih ngomongnya,” protes Dea.

Bunda melirik Dea, ia tau putrinya itu sedang merajuk karena ucapannya barusan. Sebenarnya, ia hanya ingin menggoda Dea saja, tapi sepertinya putrinya itu sedang sensitif dan mudah tersinggung.

“Maafin Bunda deh! Bunda enggak bermaksud untuk men--” ucapan Bunda terpotong oleh Angga yang datang dari arah ruang tamu.

“Wahh … Baunya harum sekali, Bunda! Angga jadi laper, nih!” potong Angga menghampiri Bunda dan Dea yang berada di dapur.

Bunda dan Dea melirik Angga dengan tatapan jengah, Angga memang selalu seperti itu, datang tiba-tiba dan lupa mengucapkan salam. Padahal, Bunda selalu mengingatkannya agar selalu mengucapkan salam jika ia memasuki rumah.

“Sudah pulang, Angga? Kok enggak bareng sama ayah?” Bunda menoleh Angga yang berdiri di pintu dapur.

“Enggak, Bun! Ayah mau jenguk Pak Mulyadi dulu sama bapak-bapak pengurus mesjid! Sudah tiga hari beliau tidak datang ke mesjid, katanya sedang sakit, Bun!” jelas Angga, kemudian ia duduk di kursi meja makan.

Bunda lanjut menyajikan nasi goreng yang sudah matang ke dalam piring yang sudah disediakan. Tidak lupa, ia juga menambahkan telur ceplok dan acar timun di piring Angga sesuai dengan pesanan yang selalu Angga pinta.

“Ya sudah, lebih baik sekarang kalian sarapan dulu. Nih, nasi gorengnya sudah siap!” Bunda meletakan makanannya di atas meja, “katanya, Abang sudah lapar!” sambung Bunda.

“Iya, Bunda! Terima kasih ya, Bun!” ujar Angga.

“Sama-sama, Sayang …!” sahut Bunda tersenyum manis.

————

Sekitar pukul 07.35, Angga sudah rapih dengan baju kerjanya dan sudah siap berangkat ke kantor. Berbeda dengan adiknya, ia masih berbaring santai di sofa ruang keluarga sembari membaca novel yang baru di beli dan belum sempat ia baca.

Beberapa minggu ini, Dea memang sedang disibukkan dengan tugas-tugas kuliahnya, hampir setiap hari Dea selalu berangkat pagi dan pulang sore, karena ia harus mencari bahan-bahan materi untuk pembahasan dengan dosen pembimbingnya di kampus.

“Dea! Kamu enggak ke kampus?” tanya Angga ketika melihat Dea sedang berbaring santai di sofa.

“Nanti siang, Abang!” jawab Dea santai dan masih fokus membaca novelnya.

Angga mengembuskan napas berat, melihat Dea yang masih saja santai sambil membaca novel, membuat ia ingin marah pada adiknya itu.

“Meskipun kamu kuliah siang, jangan berleha-leha gitu dong, Dek! Lebih baik kamu mengerjakan hal-hal yang bermanfaat. Bantu bunda beres-beres rumah atau apa gitu, Dek!” protes Angga kesal.

“Iya, nanti Dea beresin rumah! Kalau sudah selesai bacanya,” sahut Dea, tanpa menoleh pada Angga.

Sejak tadi ada sepasang mata yang sedang memperhatikan Dea, tapi ia tidak menyadarinya. Padahal, dia selalu tersenyum ketika melihat tingkah lucu Dea yang kadang menyebalkan dan menggemaskan itu.

“Kuliah siang ya, Dea?” tanya seseorang yang suaranya sangat Dea kenal dan pastinya itu bukan suara Angga, sontak Dea langsung menoleh dan memastikan orang yang ada di belakangnya.

Degg …!

Dea benar-benar terkejut ketika tau siapa orang yang baru saja bertanya padanya, rasanya ia ingin menghilang saja agar tidak bertemu dengan laki-laki yang sejak semalam mengganggu pikirannya dan membuatnya begadang karena tidak bisa tidur.

“Abang Arfan!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status