Share

Bab 3

Harun dan Fitriana langsung menyusulku ke dapur begitu mendengar keramaian yang aku buat.

"Ya ampun Mbak Alya cemong, kayak kucing habis masuk ke tungku." Fitriana berbicara sambil terkekeh.

"Masa?" Dek Alya mengusap mukanya dengan tangannya yang kotor, jadilah itu muka makin cemong. Pasti ini yang menyebabkan mukanya menjadi kotor seperti itu.

"Ya Allah 'yang', kenapa mukamu jadi kaya gitu," seru Harun begitu melihat istrinya.

"Sudah Dek, kamu cuci muka sana. Biar Mbak aja yang terusin masak air. Ini udah dari berapa lama?" Tanyaku seraya membuka panci yang ada diatas tungku.

Air di dalamnya masih terlihat belum panas sama sekali, tentu saja. Karena apinya juga terlihat baru menyala.

"Udah dari tadi, Mbak. Tapi apinya gak nyala-nyala jadi airnya juga gak panas-panas," jawab Dek Alya dengan nada bersalah.

"Ada cara lain Mbak biar cepat panas tanpa api," sela Fitriana.

"Apa?"

Aku dan Dek Alya tanya berbarengan.

"Dengerin julidan tetangga," sahut Fitriana disertai tawa berderai.

"Dasar bocah gemblung."

***

Aku duduk bersantai di teras rumah, sendirian menatap jalanan kecil yang berada di depan halaman. Semua orang sedang tidur siang, aku sendiri hendak tidur tapi mata enggan terpejam dan akhirnya memilih duduk di sini. Menikmati angin dan memandang pepohonan.

Karena memikirkan tabung gas kosong dan nasib adik iparku, aku sampai lupa kekecewaan dalam diriku. Dokter tadi mengatakan jika aku tidak hamil, bahkan saat dicek dengan USG kantong kehamilan tidak terlihat. Ya, memang aku belum ditakdirkan untuk memiliki buah hati.

Fitriana dan Harun pun mengira, aku tidak mau diajak kemanapun selepas dari dokter karena aku kecewa dengan hasil pemeriksaan. Setelah dua tahun menikah dan belum memiliki keturunan, merupakan beban berat bagiku. Apalagi kami tinggal di desa, yang segala macam omongan orang mudah sampai ke telinga kita.

Jaman aku kecil dulu, orang akan bergosip sambil mencari kutu. Tapi sekarang hal itu sudah tidak lazim lagi terlihat. Mungkin kutu pun ikut kepanasan mendengar obrolan para pengosip, makanya mereka juga kabur dari atas kepala.

"Nikah dua tahun belum hamil juga. Majer piye May."

Pernyataan yang pernah singgah di telingaku, ucapan itu disertai senyuman dan nada bercanda. Tapi jika boleh jujur, itu candaan yang sangat menyakitkan. Majer, adalah kata mandul yang biasa disematkan pada hewan, bagaimana bisa dijadikan untuk candaan yang tertuju pada manusia.

Bukannya aku tidak ingin dan berusaha. Tapi apapun usaha kita, Allah jualah yang menentukan hasilnya.

Aku menghela nafas panjang, momen lebaran selalu menjadi ajang basa-basi dengan pertanyaan. Kapan nikah, buat yang belum nikah. Kapan punya anak, buat yang sudah menikah dan belum punya anak. Punya anak pun, akan ditanya kapan punya adik.

Sesungguhnya basa-basi itu sangat bagus, terlihat mengakrabkan diri, hanya saja ... Ah, sudahlah, hanya orang yang berada dalam situasi sepertiku yang tahu rasanya menerima pertanyaan maupun perkataan basa-basi seperti itu.

"Cepek Mbak?"

Suara lembut menyapaku, mengembalikan kesadaranku yang sempat melalang buana. Aku tersenyum menatap sang pemilik suara.

"Duduk, dek."

"Bagaimana tadi hasilnya, aku sampai gak tanya gara-gara heboh dengan urusan mukaku sendiri," tanya Dek Alya. Wanita muda itu perlahan duduk, mengambil tempat di sampingku.

"Belum rezeki dek, Mbak gak hamil," sahutku dengan nada sedih.

"Sabar ya, Mbak. Allah lebih tahu kapan kita siap menerima amanah itu," sahutnya bijak.

"He'em."

Keheningan menyelimuti kami, sepertinya kesedihanku membuat keceriaan iparku itu menguap juga.

"Dek, bagaimana ceritanya kamu beli pentol bakso sampai seratus ribu. Semahal-mahalnya cilok di kota, kan gak mungkin juga kamu beli sampai seratus ribu."

Aku memecah keheningan dengan menanyakan hal lucu yang terjadi kemarin sore.

"Iya sih, Mbak," jawabnya sambil tersenyum.

"Biasanya aku sekali beli sepuluh ribu, tapi kan aku pikir di rumah banyak orang. Ada emak, bapak, Fitriana, Mbak, dan juga Mas Harun, satu orang sepuluh ribu maka enam orang jadi enam puluh kan. Lalu ditambah sama pakde dan anak-anaknya yang tinggal di samping rumah ini ada empat orang jadi pas seratus ribu," papar Dek Alya menjelaskan kronologi kenapa dia sampai membeli bakso segitu banyak.

"Kenapa semua orang dibeliin?"

"Soalnya, Kak Harun begitu jika ke rumah Abah. Kak Harun selalu membelikan orang rumah apapun yang dia beli. Saat kubilang lebih baik tanya dulu sama Abah dan Umi, mau atau enggak, Kak Harun mengatakan, beli saja dulu. Urusan mau atau enggak belakangan. Jangan sampai kita makan apa-apa sendirian, gitu katanya."

Aku menganggukkan kepala. Di rumah ini, kebiasaan berbagi memang sudah mendarah daging. Jika hanya mampu membeli sedikit ya sedikit itu dibagi serumah. Bukan dimakan diam-diam di dalam kamar.

"Lagian beli lima ribu juga udah dapat sekarung, Dek."

"Masa? Lebih banyak dari seratus ribu dong."

"Yaa ampun, kamu polos banget sih Dek. Itu hanya hiperbola. Istilah lebay untuk banyak banget versiku." Aku terkekeh.

"Mbak Alya, ayo bikin konten lagi yuk," celetuk Fitriana.

Gadis lincah itu, tau-tau sudah berada di belakang kami. Kepribadian Fitriana dan Dek Alya nampaknya sama, sama-sama ceria.

"Kontan konten, kontan konten. Ngaji sana!" Sungutku.

"Apa sih Mbak Mayang ini. Ya ngaji, ya ngonten, biar seimbang Mbak hidupnya," sahutnya. Senyumnya mengembang, menampakkan barisan giginya.

"Kontan kemarin itu rame banget yang komentar, Mbak. Banyak yang menceritakan kejadian serupa saat mereka pulang kampung. Membeli sesuatu dengan jumlah yang banyak karena gak tahu di kampung harganya lebih murah." Fitriana bercerita dengan antusias.

Dek Alya hanya tersenyum menanggapi keseruan cerita dari adik iparnya.

"Terus ada yang komentar, kakak iparnya gemesin, spill wajahnya dong. Gitu mbak! Kita bisa bikin konten lanjutan dengan membalas komentar itu," tutur Fitriana dengan wajah berbinar.

"Spall spill, spall spill, jangan sembarang kamu, Ana!" Seruku tidak suka.

"Nggak apa-apa, Mbak," sela Dek Alya.

Mendengar pembelaan dari kakak iparnya, Fitriana langsung menjulurkan lidahnya mengejekku. Haduh, anak ini. Sudah remaja masih saja seperti anak-anak. Ini efek jadi anak bungsu yang dimanja.

"Terus mau bikin konten yang bagaimana?" Tanya Dek Alya.

"Bikin yang modal day life gitu, Mbak. Kayak orang-orang, pasti seru. Besok pagi-pagi kita ke pasar yuk, Mbak Alya yang belanja aku yang take video. Oke?" Fitriana mengacungkan jempol pada kakak iparnya.

"Jangan aneh-aneh, kamu Ana."

Entah apa yang direncanakan adikku itu dengan mengajak kakak iparnya berbelanja ke pasar.

"Orang cuma belanja doang, apa yang aneh si Mbak. Biasanya juga sering belanja ke pasar, aku," sahut Fitriana membela diri.

"Nggak apa-apa, Mbak," ucap Dek Alya.

Dari tadi kamu bilangnya gak apa-apa terus sih Dek. Nggak apa-apa juga jika kamu menolak keinginan Fitriana. Ucapan yang hanya ada di pikiranku.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status