Harun dan Fitriana langsung menyusulku ke dapur begitu mendengar keramaian yang aku buat.
"Ya ampun Mbak Alya cemong, kayak kucing habis masuk ke tungku." Fitriana berbicara sambil terkekeh."Masa?" Dek Alya mengusap mukanya dengan tangannya yang kotor, jadilah itu muka makin cemong. Pasti ini yang menyebabkan mukanya menjadi kotor seperti itu."Ya Allah 'yang', kenapa mukamu jadi kaya gitu," seru Harun begitu melihat istrinya."Sudah Dek, kamu cuci muka sana. Biar Mbak aja yang terusin masak air. Ini udah dari berapa lama?" Tanyaku seraya membuka panci yang ada diatas tungku.Air di dalamnya masih terlihat belum panas sama sekali, tentu saja. Karena apinya juga terlihat baru menyala."Udah dari tadi, Mbak. Tapi apinya gak nyala-nyala jadi airnya juga gak panas-panas," jawab Dek Alya dengan nada bersalah."Ada cara lain Mbak biar cepat panas tanpa api," sela Fitriana."Apa?"Aku dan Dek Alya tanya berbarengan."Dengerin julidan tetangga," sahut Fitriana disertai tawa berderai."Dasar bocah gemblung."***Aku duduk bersantai di teras rumah, sendirian menatap jalanan kecil yang berada di depan halaman. Semua orang sedang tidur siang, aku sendiri hendak tidur tapi mata enggan terpejam dan akhirnya memilih duduk di sini. Menikmati angin dan memandang pepohonan.Karena memikirkan tabung gas kosong dan nasib adik iparku, aku sampai lupa kekecewaan dalam diriku. Dokter tadi mengatakan jika aku tidak hamil, bahkan saat dicek dengan USG kantong kehamilan tidak terlihat. Ya, memang aku belum ditakdirkan untuk memiliki buah hati.Fitriana dan Harun pun mengira, aku tidak mau diajak kemanapun selepas dari dokter karena aku kecewa dengan hasil pemeriksaan. Setelah dua tahun menikah dan belum memiliki keturunan, merupakan beban berat bagiku. Apalagi kami tinggal di desa, yang segala macam omongan orang mudah sampai ke telinga kita.Jaman aku kecil dulu, orang akan bergosip sambil mencari kutu. Tapi sekarang hal itu sudah tidak lazim lagi terlihat. Mungkin kutu pun ikut kepanasan mendengar obrolan para pengosip, makanya mereka juga kabur dari atas kepala."Nikah dua tahun belum hamil juga. Majer piye May."Pernyataan yang pernah singgah di telingaku, ucapan itu disertai senyuman dan nada bercanda. Tapi jika boleh jujur, itu candaan yang sangat menyakitkan. Majer, adalah kata mandul yang biasa disematkan pada hewan, bagaimana bisa dijadikan untuk candaan yang tertuju pada manusia.Bukannya aku tidak ingin dan berusaha. Tapi apapun usaha kita, Allah jualah yang menentukan hasilnya.Aku menghela nafas panjang, momen lebaran selalu menjadi ajang basa-basi dengan pertanyaan. Kapan nikah, buat yang belum nikah. Kapan punya anak, buat yang sudah menikah dan belum punya anak. Punya anak pun, akan ditanya kapan punya adik.Sesungguhnya basa-basi itu sangat bagus, terlihat mengakrabkan diri, hanya saja ... Ah, sudahlah, hanya orang yang berada dalam situasi sepertiku yang tahu rasanya menerima pertanyaan maupun perkataan basa-basi seperti itu."Cepek Mbak?"Suara lembut menyapaku, mengembalikan kesadaranku yang sempat melalang buana. Aku tersenyum menatap sang pemilik suara."Duduk, dek.""Bagaimana tadi hasilnya, aku sampai gak tanya gara-gara heboh dengan urusan mukaku sendiri," tanya Dek Alya. Wanita muda itu perlahan duduk, mengambil tempat di sampingku."Belum rezeki dek, Mbak gak hamil," sahutku dengan nada sedih."Sabar ya, Mbak. Allah lebih tahu kapan kita siap menerima amanah itu," sahutnya bijak."He'em."Keheningan menyelimuti kami, sepertinya kesedihanku membuat keceriaan iparku itu menguap juga."Dek, bagaimana ceritanya kamu beli pentol bakso sampai seratus ribu. Semahal-mahalnya cilok di kota, kan gak mungkin juga kamu beli sampai seratus ribu."Aku memecah keheningan dengan menanyakan hal lucu yang terjadi kemarin sore."Iya sih, Mbak," jawabnya sambil tersenyum."Biasanya aku sekali beli sepuluh ribu, tapi kan aku pikir di rumah banyak orang. Ada emak, bapak, Fitriana, Mbak, dan juga Mas Harun, satu orang sepuluh ribu maka enam orang jadi enam puluh kan. Lalu ditambah sama pakde dan anak-anaknya yang tinggal di samping rumah ini ada empat orang jadi pas seratus ribu," papar Dek Alya menjelaskan kronologi kenapa dia sampai membeli bakso segitu banyak."Kenapa semua orang dibeliin?""Soalnya, Kak Harun begitu jika ke rumah Abah. Kak Harun selalu membelikan orang rumah apapun yang dia beli. Saat kubilang lebih baik tanya dulu sama Abah dan Umi, mau atau enggak, Kak Harun mengatakan, beli saja dulu. Urusan mau atau enggak belakangan. Jangan sampai kita makan apa-apa sendirian, gitu katanya."Aku menganggukkan kepala. Di rumah ini, kebiasaan berbagi memang sudah mendarah daging. Jika hanya mampu membeli sedikit ya sedikit itu dibagi serumah. Bukan dimakan diam-diam di dalam kamar."Lagian beli lima ribu juga udah dapat sekarung, Dek.""Masa? Lebih banyak dari seratus ribu dong.""Yaa ampun, kamu polos banget sih Dek. Itu hanya hiperbola. Istilah lebay untuk banyak banget versiku." Aku terkekeh."Mbak Alya, ayo bikin konten lagi yuk," celetuk Fitriana.Gadis lincah itu, tau-tau sudah berada di belakang kami. Kepribadian Fitriana dan Dek Alya nampaknya sama, sama-sama ceria."Kontan konten, kontan konten. Ngaji sana!" Sungutku."Apa sih Mbak Mayang ini. Ya ngaji, ya ngonten, biar seimbang Mbak hidupnya," sahutnya. Senyumnya mengembang, menampakkan barisan giginya."Kontan kemarin itu rame banget yang komentar, Mbak. Banyak yang menceritakan kejadian serupa saat mereka pulang kampung. Membeli sesuatu dengan jumlah yang banyak karena gak tahu di kampung harganya lebih murah." Fitriana bercerita dengan antusias.Dek Alya hanya tersenyum menanggapi keseruan cerita dari adik iparnya."Terus ada yang komentar, kakak iparnya gemesin, spill wajahnya dong. Gitu mbak! Kita bisa bikin konten lanjutan dengan membalas komentar itu," tutur Fitriana dengan wajah berbinar."Spall spill, spall spill, jangan sembarang kamu, Ana!" Seruku tidak suka."Nggak apa-apa, Mbak," sela Dek Alya.Mendengar pembelaan dari kakak iparnya, Fitriana langsung menjulurkan lidahnya mengejekku. Haduh, anak ini. Sudah remaja masih saja seperti anak-anak. Ini efek jadi anak bungsu yang dimanja."Terus mau bikin konten yang bagaimana?" Tanya Dek Alya."Bikin yang modal day life gitu, Mbak. Kayak orang-orang, pasti seru. Besok pagi-pagi kita ke pasar yuk, Mbak Alya yang belanja aku yang take video. Oke?" Fitriana mengacungkan jempol pada kakak iparnya."Jangan aneh-aneh, kamu Ana."Entah apa yang direncanakan adikku itu dengan mengajak kakak iparnya berbelanja ke pasar."Orang cuma belanja doang, apa yang aneh si Mbak. Biasanya juga sering belanja ke pasar, aku," sahut Fitriana membela diri."Nggak apa-apa, Mbak," ucap Dek Alya.Dari tadi kamu bilangnya gak apa-apa terus sih Dek. Nggak apa-apa juga jika kamu menolak keinginan Fitriana. Ucapan yang hanya ada di pikiranku. 🍁 🍁 🍁"Hai guys, nih aku spill yaa wajah Kakak Iparku yang dari kota kemarin. Hari ini, kami mau berbelanja buat buka puasa, ikuti keseruan kami yuk!"Terdengar suara Fitriana membuka acara live di media sosialnya. Di video itu, hanya ada suara Fitriana tanpa ada wajahnya, yang terlihat malah Dek Alya. Wanita muda itu berjalan diantara pedagang sayuran. Dengan memakai gamis berwarna merah marun dan kerudung senada, serta masker menutupi sebagian wajahnya. Saat ini, aku sedang duduk sambil melihat aktifitas yang mereka lakukan tadi saat di pasar. Pulang dari pasar, bukannya heboh dengan belanjaannya, Fitriana malah heboh dengan hasil live nya. Katanya banyak yang nonton, banyak yang komentar dan bahkan ada yang kasih gift. Haduh ... Bocah. "Aku mau upload juga ah di media sosialku yang lain, kali aja ada yang kasih star," celetuk Fitriana. "Ana, kalau begini namanya kamu eksploitasi kakakmu," seruku mengingatkan. "Enggak kok, Mbak. Hanya seru-seruan saja, aku tidak merasa di eksplorasi.
POV Alya. Pagi itu, seorang teman memberiku nomor telepon baru. Nomor telepon seorang lelaki yang diharapkan untuk berkenalan denganku. Di tempat kerjaku, bukan hal yang aneh jika kadang-kadang seseorang merekomendasikan lelaki untuk dikenal lebih dekat. Ditambah lagi usiaku yang sudah dua puluh lima tahun, usia yang dirasa matang untuk seorang wanita berumah tangga. Teman-temanku pun sudah banyak yang menikah dan memiliki bayi. "Simpan saja nomornya, nanti dia yang akan menghubungi kamu terlebih dahulu," ujar Ulfa saat mengirimkan nomor kontak lelaki itu lewat aplikasi pengiriman pesan. "Namanya Harun, usia tiga puluh tahun, sudah bekerja. Kerjanya di daerah Jakarta Barat, dekatlah dari sini. Sudah memilki rumah dan siap menikah," tutur Ulfa panjang lebar. Mataku menatap tak percaya kearahnya, dia tahu banyak hal tentang pria itu ternyata. "Temanmu?" Tanyaku. "Bukan, adik ipar dari temanku." "Kamu memang Jomblang Ter the best!" Kuacungkan dua jempol padanya. Aku mengatakan i
POV Alya Aku menarik baju gamis yang dikenakannya Ulfa. Binggung sendiri, pengen bicara dulu dengan-nya. "Oh iya Ustadz, ini yang mau dilamar." Ulfa memperkenalkan diriku, begitu merasa aku menarik-narik bajunya. "Allahu Akbar, Ulfa! Bukan itu maksudnya!" Pekikku dalam hati. Tak urung, aku menagkupkan kedua tanganku di dalam dada dan berusaha tersenyum padanya. "Kak Harun, kenapa gak bilang-bilang jika mau ajak Kakak Iparnya," ujarku dalam hati. Dahlan, tidak ada waktu lagi. Akhirnya kubiarkan saja, bagaimana nanti. Lagipula aku tidak tahu reaksi Abah atas lelaki bernama Harun ini. Kami memilih langsung pergi ke rumahku. Kak Harun dan kakak iparnya duduk di bangku depan, sedangkan aku dan Ulfa duduk di bangku belakang. Sepanjang perjalanan yang aku dengar hanyalah keseruan Ulfa dan Ustadz Hamid berbagi cerita. Kak Harun fokus mengemudi dan aku fokus mendengar keduanya bercerita. Ternyata, Ustadz Hamid ini dulunya satu angkatan dengan suami Ulfa. Dari situlah Ulfa dan Ustadz Ha
"Mantannya banyak?" gumamku pelan, hampir tak terdengar karena bicara untuk diriku sendiri. Ada rasa cemburu di dalam sini, dalam hatiku. Aku pikir, aku adalah cinta pertama dan satu-satunya bagi suamiku itu. Ternyata dia pernah pacaran dan jatuh cinta juga. Harapanmu terlalu tinggi Alya."Tenang Mbak itu kan masa lalu, lagian gak banyak kok. Aku becanda," tutur Fitriana seakan mengetahui isi hatiku. "Lagian Mas Harun kalau pacaran tuh langsung serius ingin nikah, bukan buat main-main. Tapi seringnya Mas Harun yang ditinggal sama pacarnya, ngenes ya," papar Fitriana sambil tertawa. Anak ini, bilang ngenes tapi malah tertawa diujung ceritanya. Jadi Kak Harun selalu mengajak serius wanita yang diajaknya berkenalan. Artinya tidak neko-neko juga, buktinya pas kenalan sama aku lelaki itu sangat menjaga dirinya. Bahkan kami tidak pernah bersentuhan sama sekali saat bertemu. Saat berbalas pesan pun, lelaki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu hanya berbagi hal yang sewajarnya. Bertany
"Makan yang banyak, gak usah sedih. Nanti kita ke mall yang di kota," ujar Kak Harun saat kami berbuka puasa. Setelah tempat pertama yang kami datangi tutup, kami segera pergi mencari tempat lain untuk sekedar membatalkan puasa. Adik iparku itu menginginkan makan mie ayam, dan akhirnya Mas Harun mengalah dan menuruti keinginan adiknya yang ngambek gara-gara mall yang dia maksudkan tutup. "Bener ya, Mas!" rengek Fitriana. "Iya bener. Ke emoll yang sesungguhnya," sahut Kak Harun sambil tertawa. Sepertinya apa yang dipikirkan oleh suamiku itu sama dengan yang aku pikirkan. Pasalnya bangunan yang dimaksud Fitriana mall hanyalah sebuah bangunan yang tak lebih seperti ruko saja. Bangunannya memang cukup besar, tapi belum masuk kategori mall menurut pandanganku. Tapi entah, tidak tahu juga. Siapa tahu kan dari luar kecil, pas masuk kedalam jadi besar dan luas, semacam kamuflase aja gitu bentuk bangunan luarnya. Mendengar kakaknya bersedia untuk membawanya ke mall yang di kota, gadis c
POV MayangSuara takbir bergema dari seluruh penjuru. Baik dari masjid kampung kami maupun dari kampung sebelah, semuanya saling sahut menyahut. Suasana begitu syahdu dan menentramkan hati, selalu seperti ini saat lebaran. Para laki-laki di rumah ini semua sedang berada di masjid untuk takbir bersama. Fitriana dan emak juga ada di masjid untuk melakukan hal yang sama. Emak ikut karena cucunya, anak Mas Bayu dan Mbak Zainab mengajaknya pergi ke masjid juga. Sebagai embah yang sayang cucunya, tentu saja emak tidak menolak. Farhan, anak dari Mas Bayu adalah cucu pertama Emak. Tentu saja semua kasih sayang dari keluarga ini tercurah pada bocah berusia lima tahun itu. Di rumah hanya ada aku, Dek Alya dan Mbak Zainab. Kami sedang sibuk di dapur. Aku dan Dek Alya berada di dekat kompor gas sedang membuat bakso. Kompor sengaja kami turunkan agar kami tidak capek berdiri. Sedangkan Mbak Zainab seperti biasanya jika di sini, berada di depan tungku. Tempat itu seperti menjadi tempat favoritny
Suara takbir masih bergema setelah Salat Subuh, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Antrian di kamar mandi mengular sejak sebelum subuh, kamar mandi hanya ada satu yang di dalam rumah. Satu lagi berada di luar rumah. Udara dingin memaksa semua orang untuk mandi dengan air hangat sebelum salat Idul Fitri. Yang sudah mandi dan salat subuh duluan sibuk di dapur membuat air minum hangat, ada teh manis dan juga kopi tergantung keinginan masing-masing. Disini ada 3 keluarga sedang berkumpul dengan jumlah sepuluh orang, suasana sudah ramai di pagi hari. Mbak Zainab dan aku sudah ada di dapur sejak sebelum subuh untuk memasak nasi dan menghangatkan sayuran. Hari ini sudah tidak puasa lagi, semua orang akan sarapan di pagi hari. Pukul setengah enam, semua makanan sudah siap di meja makan. Ada opor ayam, sambel kentang, telur balodo dan kerupuk udang. Sebenarnya aku akan berniat membuat ketupat sayur seperti yang ditanyakan oleh Dek Alya. Wanita muda itu bilang kalau di rumahnya,
POV ALYAKeseruan terjadi di pagi hari saat kami hendak pergi ke Masjid, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Rumah mertuaku sangat ramai dengan keluarga besar, jauh berbeda dengan rumah Abah jika lebaran. Paling hanya ada aku, Abah dan Umi, ditambah kak Ayana sudah menikah, kakakku itu akan datang ke rumah di siang hari saat urusannya dengan keluarga suaminya selesai. Saling lempar candaan sepertinya lumrah di rumah ini, keceriaan Fitriana itu sepertinya warisan dari Bapak mertua. Lalu kelembutan Kak Harun dan Mbak Mayang warisan dari Emak. Kalau Mas Bayu, sepertinya suka bercanda juga seperti Bapak. Saat aku makan sepiring berdua dengan Kak Harun, Bapak dengan santai menggoda Emak di hadapan kami tanpa canggung. Ah, kenapa harus canggung, mereka halal melakukan apa saja, lagipula itu bisa menjadi contoh untuk kami anak-anak dan menantunya.Rumah yang selalu sepi akan seperti kuburan, rumah yang selalu ramai dengan pertengkaran seperti pasar, maka jadikanlah rumah tempat