Share

Bab 4

"Hai guys, nih aku spill yaa wajah Kakak Iparku yang dari kota kemarin. Hari ini, kami mau berbelanja buat buka puasa, ikuti keseruan kami yuk!"

Terdengar suara Fitriana membuka acara live di media sosialnya. Di video itu, hanya ada suara Fitriana tanpa ada wajahnya, yang terlihat malah Dek Alya. Wanita muda itu berjalan diantara pedagang sayuran. Dengan memakai gamis berwarna merah marun dan kerudung senada, serta masker menutupi sebagian wajahnya.

Saat ini, aku sedang duduk sambil melihat aktifitas yang mereka lakukan tadi saat di pasar. Pulang dari pasar, bukannya heboh dengan belanjaannya, Fitriana malah heboh dengan hasil live nya. Katanya banyak yang nonton, banyak yang komentar dan bahkan ada yang kasih gift. Haduh ... Bocah.

"Aku mau upload juga ah di media sosialku yang lain, kali aja ada yang kasih star," celetuk Fitriana.

"Ana, kalau begini namanya kamu eksploitasi kakakmu," seruku mengingatkan.

"Enggak kok, Mbak. Hanya seru-seruan saja, aku tidak merasa di eksplorasi. Lagian bikin videonya juga bukan yang macam-macam, hanya tentang keseharian dan tadi tentang belanja." Adik iparku itu lagi-lagi membela Fitriana.

"Iya Mbak, nggak apa-apa. Cuma bikin video gitu doang," timpal Fitriana.

"Masalahnya kamu bisa bikin bangkrut Mbak Alya, kalau terus begini, Ana," sungutku.

Pasalnya di video tersebut, Dek Alya berbelanja tanpa menawar lagi. Di tempat kami, beberapa pedagang sengaja menaikkan harga jualannya, karena kebanyakan yang berbelanja senang menawar. Jadi jika belanja maka akan jadi tawar menawar antara pedagang dan pembeli, lalu jika sepakat dengan harganya barulah terjadi jual beli.

Namun selama berbelanja tadi, adik iparku hanya bertanya harga dan membayarnya begitu saja tanpa menawar lagi. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat cara belanjanya.

"Biasa belanja di supermarket nih, kakak ipar Sultanah," sebuah komentar tak sengaja terbaca olehku saat aku menonton videonya.

Kelihatan memang seru sih, semua berkomentar positif dan lucu. Senang dengan keakrabannya mereka, dimana banyak cerita ketidakcocokan antara para ipar bertebaran dimana-mana. Banyak komentar yang mengatakan ingin punya adik Ipar seperti Fitriana maupun kakak ipar seperti Dek Alya.

Tapi aku takut nanti akan ada juga komentar buruk dari nitizen. Di manapun, akan selalu ada yang namanya orang suka dan tidak suka.

***

Aku menatap nanar ke arah belanjaan yang tadi dibeli oleh kedua adikku itu, jumlahnya memang tidak terlalu banyak tapi harganya yang bikin geleng kepala.

"Itu rezeki mereka, Mbak," jawab Dek Alya saat aku mengatakan jika harga yang dia bayar lebih mahal dari yang seharusnya.

Baik banget sih kamu Dek, beruntung udah dikarungin sama adikku. Eh, diikat dalam ikatan suci maksudnya.

"Harusnya tadi kamu bilangin ke Mbak Alya, Ana. Gimana kebiasaan belanja di sini." Aku masih tidak rela dengan apa yang terjadi.

Keduanya memang berbelanja cukup banyak jenis barang, termasuk belanja jajanan untuk dijadikan suguhan saat lebaran. Emak tadi sekalian yang memintanya. Awalnya emak mau ikutan, tapi dicegah oleh Fitriana dengan alasan takut emak capek, mana lagi puasa. Pada akhirnya emak tidak jadi ikut, hanya Harun, Fitriana dan Dek Alya yang berangkat naik mobil.

"Lagian Harun kenapa gak ikutan turun ke pasar sih?" Tanyaku.

"Mas Harun nungguin di parkiran."

"Ya kenapaaa?" cecarku.

"Ya Ndak tahu, kok tanya saya," sahut Fitriana dengan nada dibuat-buat.

Hiii bikin emosi saja nih anak.

"Jangan bilang emak, ya Mbak tentang hal ini," pinta Fitriana.

Matanya menatapku sambil dikedipkan berulang-ulang, memohon agar aku tidak mengatakan apa yang terjadi pada wanita yang sudah melahirkan kami.

"Ya enggak lah! Bisa jantungan emak!" seruku.

"Masa Mbak?" Tanya Dek Alya panik.

"Enggak Dek, hanya becanda. Hanya saja namanya orang tua, orang dulu hidupnya serba susah jadi apa-apa dihargai, dihemat-hemat," tuturku menjelaskan.

Dek Alya manggut-manggut seakan mengerti arah pembicaraanku. Kami bertiga kembali sibuk membereskan semua belanjaan yang dibeli oleh Fitriana dan Alya.

***

Aku bersantai sambil membaca-baca komentar di video yang beda di akun media sosial milik Fitriana. Gara-gara anak itu, beberapa hari ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan telepon pintar.

"Setan ne dikurung ganti setan gepeng yang beraksi," sindir Mas Hamid kala melihatku asyik dengan benda berbentuk pipih itu.

Mas Hamid sudah kembali ke rumah ini lagi, kami akan melewati idul Fitri bersama orang tuaku. Lelakiku itu, menyebut smartphone sebagai setan gepeng, setan sebenarnya membuat manusia lalai dan benda dengan teknologi canggih inipun bisa membuat manusia lalai. Bahkan seharian menatapnya pun tidak akan jenuh, apakah benda ini lebih berbahaya dari setan? Ah, tergantung yang menggunakan.

"Aku ngawasi bocah-bocah ini loh, Mas. Bagaimana interaksinya di media sosial. Pemantauan perlu juga kan," sahutku beralasan.

"Bener ngawasi, apa wes ketagihan," ujarnya sembari menarik hidungku yang tidak mancung.

"Bener!"

"Ya udah, yang penting tahu waktu. Aku mau nggarap kerjaan dulu." Mas Hamid beliau masuk ke dalam rumah lagi begitu menyelesaikan ucapannya.

Aku mencebikkan bibir. "Dasar dosen sok sibuk, mau lebaran masih nugas aja," gumamku pelan.

"Aku dengar, Dek!" Teriaknya dari dalam rumah.

Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.

Sepeninggalnya Mas Hamid aku kembali sibuk dengan layar ponsel, menscroll dan membaca komentar di video berbagi pentol bakso sama anak-anak kemarin malam. Nitizen rata-rata berbagi pengalaman yang sama, mereka menceritakan dirinya sendiri ataupun pasangannya saat pulang kampung. Aku senyum-senyum sendiri membaca semuanya. Semua terlihat lucu, meskipun kadang seperti tidak mungkin. Tapi ya, setiap daerah memiliki pasaran maupun kebiasaan masing-masing.

Aku berpindah membaca komentar di video yang kemarin di ambil saat Fitriana dan Dek Alya berbelanja. Sedang asyik membaca, mataku terfokus pada sebuah komentar yang semuanya ditulis dengan huruf kapital. Satu komentar itu, dibalas dengan puluhan komentar yang lain.

"HALAH SOK SULTAN, DI JAKARTA JUGA ORANG BIASA BELI DENGAN MENAWAR GAK ASAL BAYAR. MALAHAN ADA YANG NAWARNYA SADIS. POLOS DAN GO BLOCK ITU BEDA TIPIS. DASAR PANSOS."

Aku kehabisan kata-kata membaca komentar itu, sangat pedas dan tidak manusiawi. Gak perlu juga mengatakan orang lain g*blok. Apa ini yang dimaksud dengan nitizen julid.

Di kolom komentar itu banyak balasan yang isinya tidak mendukung sama sekali tulisan nitizen julid tersebut. Malahan akun itu yang kena bully balik.

"Kayaknya ini modelan orang yang nawar sadis makanya dia ngomong kek gitu" akun dengan nama mentari senja membalas komentar tersebut.

"Adik sendiri orang yang gak pernah menawar jika membeli sesuatu pada pedagang kecil. Mungkin Mbak Alya adalah orang sepertiku" ketik akun bernama Diandra mendukung Dek Alya.

Aku terus membaca komentar balasan yang isinya tak kalah sadis membalas komentar julid tersebut. Aku sampai pusing membacanya. Komentarnya lebih parah dari panasnya komentar tetangga. Mungkin kalau tiap hari ketemu masih pakai rem kali yaa mulutnya. Tapi kalau gak kenal malah los doll tanpa rem tuh jari mengetik.

Aku menghela nafas, bagaimana jika Dek Alya membaca komentar julid begini. Apa dia akan sedih dan sakit hati, secara dia wanita yang lembut gitu. Aku saja sakit hati dan geram membacanya. Ah, ini gara-gara si Fitriana. Dibawa ngonten kemana lagi tuh Kakak Iparnya.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status