POV Alya. Pagi itu, seorang teman memberiku nomor telepon baru. Nomor telepon seorang lelaki yang diharapkan untuk berkenalan denganku. Di tempat kerjaku, bukan hal yang aneh jika kadang-kadang seseorang merekomendasikan lelaki untuk dikenal lebih dekat. Ditambah lagi usiaku yang sudah dua puluh lima tahun, usia yang dirasa matang untuk seorang wanita berumah tangga. Teman-temanku pun sudah banyak yang menikah dan memiliki bayi. "Simpan saja nomornya, nanti dia yang akan menghubungi kamu terlebih dahulu," ujar Ulfa saat mengirimkan nomor kontak lelaki itu lewat aplikasi pengiriman pesan. "Namanya Harun, usia tiga puluh tahun, sudah bekerja. Kerjanya di daerah Jakarta Barat, dekatlah dari sini. Sudah memilki rumah dan siap menikah," tutur Ulfa panjang lebar. Mataku menatap tak percaya kearahnya, dia tahu banyak hal tentang pria itu ternyata. "Temanmu?" Tanyaku. "Bukan, adik ipar dari temanku." "Kamu memang Jomblang Ter the best!" Kuacungkan dua jempol padanya. Aku mengatakan i
POV Alya Aku menarik baju gamis yang dikenakannya Ulfa. Binggung sendiri, pengen bicara dulu dengan-nya. "Oh iya Ustadz, ini yang mau dilamar." Ulfa memperkenalkan diriku, begitu merasa aku menarik-narik bajunya. "Allahu Akbar, Ulfa! Bukan itu maksudnya!" Pekikku dalam hati. Tak urung, aku menagkupkan kedua tanganku di dalam dada dan berusaha tersenyum padanya. "Kak Harun, kenapa gak bilang-bilang jika mau ajak Kakak Iparnya," ujarku dalam hati. Dahlan, tidak ada waktu lagi. Akhirnya kubiarkan saja, bagaimana nanti. Lagipula aku tidak tahu reaksi Abah atas lelaki bernama Harun ini. Kami memilih langsung pergi ke rumahku. Kak Harun dan kakak iparnya duduk di bangku depan, sedangkan aku dan Ulfa duduk di bangku belakang. Sepanjang perjalanan yang aku dengar hanyalah keseruan Ulfa dan Ustadz Hamid berbagi cerita. Kak Harun fokus mengemudi dan aku fokus mendengar keduanya bercerita. Ternyata, Ustadz Hamid ini dulunya satu angkatan dengan suami Ulfa. Dari situlah Ulfa dan Ustadz Ha
"Mantannya banyak?" gumamku pelan, hampir tak terdengar karena bicara untuk diriku sendiri. Ada rasa cemburu di dalam sini, dalam hatiku. Aku pikir, aku adalah cinta pertama dan satu-satunya bagi suamiku itu. Ternyata dia pernah pacaran dan jatuh cinta juga. Harapanmu terlalu tinggi Alya."Tenang Mbak itu kan masa lalu, lagian gak banyak kok. Aku becanda," tutur Fitriana seakan mengetahui isi hatiku. "Lagian Mas Harun kalau pacaran tuh langsung serius ingin nikah, bukan buat main-main. Tapi seringnya Mas Harun yang ditinggal sama pacarnya, ngenes ya," papar Fitriana sambil tertawa. Anak ini, bilang ngenes tapi malah tertawa diujung ceritanya. Jadi Kak Harun selalu mengajak serius wanita yang diajaknya berkenalan. Artinya tidak neko-neko juga, buktinya pas kenalan sama aku lelaki itu sangat menjaga dirinya. Bahkan kami tidak pernah bersentuhan sama sekali saat bertemu. Saat berbalas pesan pun, lelaki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu hanya berbagi hal yang sewajarnya. Bertany
"Makan yang banyak, gak usah sedih. Nanti kita ke mall yang di kota," ujar Kak Harun saat kami berbuka puasa. Setelah tempat pertama yang kami datangi tutup, kami segera pergi mencari tempat lain untuk sekedar membatalkan puasa. Adik iparku itu menginginkan makan mie ayam, dan akhirnya Mas Harun mengalah dan menuruti keinginan adiknya yang ngambek gara-gara mall yang dia maksudkan tutup. "Bener ya, Mas!" rengek Fitriana. "Iya bener. Ke emoll yang sesungguhnya," sahut Kak Harun sambil tertawa. Sepertinya apa yang dipikirkan oleh suamiku itu sama dengan yang aku pikirkan. Pasalnya bangunan yang dimaksud Fitriana mall hanyalah sebuah bangunan yang tak lebih seperti ruko saja. Bangunannya memang cukup besar, tapi belum masuk kategori mall menurut pandanganku. Tapi entah, tidak tahu juga. Siapa tahu kan dari luar kecil, pas masuk kedalam jadi besar dan luas, semacam kamuflase aja gitu bentuk bangunan luarnya. Mendengar kakaknya bersedia untuk membawanya ke mall yang di kota, gadis c
POV MayangSuara takbir bergema dari seluruh penjuru. Baik dari masjid kampung kami maupun dari kampung sebelah, semuanya saling sahut menyahut. Suasana begitu syahdu dan menentramkan hati, selalu seperti ini saat lebaran. Para laki-laki di rumah ini semua sedang berada di masjid untuk takbir bersama. Fitriana dan emak juga ada di masjid untuk melakukan hal yang sama. Emak ikut karena cucunya, anak Mas Bayu dan Mbak Zainab mengajaknya pergi ke masjid juga. Sebagai embah yang sayang cucunya, tentu saja emak tidak menolak. Farhan, anak dari Mas Bayu adalah cucu pertama Emak. Tentu saja semua kasih sayang dari keluarga ini tercurah pada bocah berusia lima tahun itu. Di rumah hanya ada aku, Dek Alya dan Mbak Zainab. Kami sedang sibuk di dapur. Aku dan Dek Alya berada di dekat kompor gas sedang membuat bakso. Kompor sengaja kami turunkan agar kami tidak capek berdiri. Sedangkan Mbak Zainab seperti biasanya jika di sini, berada di depan tungku. Tempat itu seperti menjadi tempat favoritny
Suara takbir masih bergema setelah Salat Subuh, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Antrian di kamar mandi mengular sejak sebelum subuh, kamar mandi hanya ada satu yang di dalam rumah. Satu lagi berada di luar rumah. Udara dingin memaksa semua orang untuk mandi dengan air hangat sebelum salat Idul Fitri. Yang sudah mandi dan salat subuh duluan sibuk di dapur membuat air minum hangat, ada teh manis dan juga kopi tergantung keinginan masing-masing. Disini ada 3 keluarga sedang berkumpul dengan jumlah sepuluh orang, suasana sudah ramai di pagi hari. Mbak Zainab dan aku sudah ada di dapur sejak sebelum subuh untuk memasak nasi dan menghangatkan sayuran. Hari ini sudah tidak puasa lagi, semua orang akan sarapan di pagi hari. Pukul setengah enam, semua makanan sudah siap di meja makan. Ada opor ayam, sambel kentang, telur balodo dan kerupuk udang. Sebenarnya aku akan berniat membuat ketupat sayur seperti yang ditanyakan oleh Dek Alya. Wanita muda itu bilang kalau di rumahnya,
POV ALYAKeseruan terjadi di pagi hari saat kami hendak pergi ke Masjid, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Rumah mertuaku sangat ramai dengan keluarga besar, jauh berbeda dengan rumah Abah jika lebaran. Paling hanya ada aku, Abah dan Umi, ditambah kak Ayana sudah menikah, kakakku itu akan datang ke rumah di siang hari saat urusannya dengan keluarga suaminya selesai. Saling lempar candaan sepertinya lumrah di rumah ini, keceriaan Fitriana itu sepertinya warisan dari Bapak mertua. Lalu kelembutan Kak Harun dan Mbak Mayang warisan dari Emak. Kalau Mas Bayu, sepertinya suka bercanda juga seperti Bapak. Saat aku makan sepiring berdua dengan Kak Harun, Bapak dengan santai menggoda Emak di hadapan kami tanpa canggung. Ah, kenapa harus canggung, mereka halal melakukan apa saja, lagipula itu bisa menjadi contoh untuk kami anak-anak dan menantunya.Rumah yang selalu sepi akan seperti kuburan, rumah yang selalu ramai dengan pertengkaran seperti pasar, maka jadikanlah rumah tempat
Aku terkapar tak berdaya di dalam kamar. Meskipun rumah ini sederhana, tapi berisi banyak kamar. Sepertinya Bapak paham dengan anjuran untuk memisahkan anak-anaknya setelah beranjak dewasa. Semua anaknya memiliki kamar masing-masing. Perutku sakit selain karena banyak makan tape ternyata aku juga datang bulan, jadilah dobel sakitnya. Tadi aku sampai harus dipapah oleh Kak Harun saat pulang ke rumah. Jika tidak kasian karena melewati jalan yang naik turun sudah pasti aku minta gendong saja. Emak sampai ikutan panik melihatku pulang berdua dengan Kak Harun terlebih dahulu dalam keadaan tidak sehat. Wanita itu dengan telaten langsung membaluri perutku dengan minyak kayu putih dan mengusapnya pelan-pelan. "Udah tahu gak bisa makan tape masih aja makan tiap di rumah orang disodori makanan itu," omel Kak Harun lagi. Sejak tadi lelakiku itu terus saja mengomeli diriku sambil menemani dan mengusap perutku. "Mantanmu itu yang salah," gerutku pelan.Bukan tanpa sebab aku menyalakan wanita