Intan masih sibuk dengan persiapan baksosnya esok hari.
Sejak tidak tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan menyibukkan diri dengan kegiatan kampus.
Sejak dulu, dia sudah aktif di kegiatan kampus, meski tidak seaktif saat ini.
Kalau dulu jam lima sore sudah harus meninggalkan kampus, karena khawatir pulang terlalu malam. Jarak yang tidak dekat dan kadang macet, tentu membuat badannya lelah jika terlalu larut dalam kegiatan kampus.
Namun, sekarang dia bisa sampai malam di kampus, apalagi kosannya hanya belakang kampus.
Packing-packing hampir selesai setelah seharian sibuk menyortir pakaian pantas pakai. Intan kesal dengan perilaku orang-orang yang menyumbang pakaian tidak layak pakai. Kadang-kadang acara baksos seperti ini dijadikan ajang membuang barang. Padahal tidak seharusnya seperti itu.
Seharusnya orang-orang mulai menyadari untuk memberikan pakaian terbaiknya untuk orang yang membutuhkan. Bukan sebaliknya. Jika kita tidak mau memakai, apalagi orang lain. Akhirnya Intan malah mendapat tugas tambahan membuang sampah-sampah baju bekas tak layak pakai dibanding menyalurkannya ke masyarakat miskin. Beruntung, hasil menyortirnya masih tersisa dua karung yang layak pakai.
Drtttt
Suara getaran ponselnya, membuat Intan menghentikan aktivitasnya. Segera dirogoh ponsel dalam saku celana kulotnya.
[Besok Sabtu ke rumah Bude, ya, Nak] Sebuah pesan dari Bu Handoyo masuk ke aplikasi hijaunya.
[Maaf, Bude. Besok, Intan ada acara baksos] Intan pesan itu segera.
[Ahad?] Bu Handoyo masih menawar.
[Insyaalloh, Bude] Janji Intan.
Ia menutup ponselnya dan memasukkan kembali ke saku.
“Aryo, logistiknya masih ada beberapa yang belum dibeli. Bisa antar aku sama Desti belanja dulu, nggak?” tanya Intan pada Aryo, panitia urusan logistik yang masih menemani mengepak barang yang akan dipakai esok hari.
"Bisa!"
Mereka bertiga berangkat ke supermarket yang menyediakan beberapa logistik yang diperlukan. Intan sudah mencatatnya, sehingga tidak memakan waktu lama untuk berbelanja.
Bruggg.
“Eh, Mas, maaf...” Intan segera berdiri setelah limbung gara-gara menabrak seorang pemuda.
Pemuda itu hanya melongo.
Intan segera meninggalkan pemuda itu.
Dia tak sempat bertegur-sapa karena buru-buru.
“Siapa, Mas?” tanya Sarah yang berdiri di sebelah Aditya.
Pria berkaos navy itu masih terpaku sambil menatap gadis yang baru saja menabraknya. Namun, gadis itu sudah menjauh.
“Kamu kenal?” tanya Sarah lagi.
“Oh iya, anaknya teman mamaku,” sahut Aditya pendek.
Entah mengapa, ada sedikit penasaran di hati Aditya. Tak seperti biasanya yang dia sangat cuek pada Intan.
Sarah dan Aditya lalu bergegas menuju tempat parkir karena belanjanya sudah usai. Mereka segera masuk ke mobilnya.
Sebelum mobil dijalankan, terlihat Intan, Desti dan Aryo juga memasuki area parkir yang sama dengan trolly yang penuh dengan barang-barang perlengkapan baksos.
Rupanya mobil mereka terparkir sebelahan dengan mobil Sarah.
“Kenapa, Mas?” tanya Sarah dengan kening berkerut. Pandangannya ikut melihat kemana Aditya menatap.
Aditya intens mengamati tiga mahasiswa yang sibuk memasukkan belanjaan ke mobil.
“Nggak papa. Ayuk!” Aditya lalu mengalihkan pandangannya, begitu menyadari Sarah terlihat penasaran.
“Oh, ya, Mas. Aku nanti nitip ini, ya ke Mama,” ujar Sarah. Dia menunjukkan tas yang ada di bangku penumpang di belakang.
Serta merta Aditya ikut menoleh.
“Apa itu?” tanya Aditya dengan mengerutkan dahi.
“Kue aja sih. Buat mamanya Mas Adit,” sahut Sarah.
Aditya mengangguk.
Dalam hati dia tersenyum senang. Pasti mamanya akan senang mendapatkan bingkisan dari Sarah. Ibu-ibu bukannya biasanya senang mendapat kejutan?
***
“Ma, ada titipan dari Sarah,” ujar Aditya sambal meletakkan tas berisi kue titipan dari Sarah di meja makan.
Dimas, sang kakak yang duduk di kursi makan, serta merta menggeser tas itu mendekat, lalu mengintip isinya.
“Wah, hantaran dari calon mantu nih, Ma!” celetuk Dimas.
Bukannya menyambut dengan senyum bahagia, Bu Handoyo semakin menampakkan rasa tidak sukanya.
“Di mana-mana yang memberi hantaran itu laki-laki, bukan perempuan. Mana harga dirinya?” kata Bu Handoyo ketus penuh emosi.
Wanita paruh baya itu terus saja menampakkan raut muka yang tidak senangnya. Bahkan, ia tidak tertarik sedikitpun dengan apa yang dibawa putra bungsunya.
Aditya hanya tertunduk lesu. Kegembiraannya serta merta pupus. Ada segumpal rasa kecewa memenuhi rongga sanubarinya. Lagi-lagi apa yang dilakukan Sarah salah. Salah di mata mamanya.
“Sabar, Dit!” Papa Aditya menepuk pundaknya, memberikan semangat pada putranya.
Aditya menoleh ke Pak Handoyo sembari tersenyum getir.
Lelaki paruh baya itu seolah dapat merasakan apa yang dirasakan anak bungsunya. Memang tak mudah menaklukkan hati istrinya yang keras.
***
Hari Ahad pagi, seluruh penghuni rumah, berkumpul.
“Assalamualaikum, Bude,” sapa Intan sambil memasuki ruang tamu.
Melihat gadis yang sudah dia anggap seperti anak gadisnya sendiri itu, raut muka Bu Handoyo seketika berseri-seri.
“Nah, ini yang ditunggu-tunggu sudah datang,” celetuk Pak Handoyo. Ia melirik ke istrinya saat Intan menyalaminya.
Seluruh penghuni rumah tahu, sejak Intan memutuskan keluar dari rumah itu, satu-satunya ratu rumah tangga itu cenderung mudah marah.
Biasanya, Bu Handoyo memiliki teman berbagi, sekedar mengusir jenuh. Cerita mengenai apa saja, dari menu masakan, model pakaian, hingga sesuatu yang sedang tren dibicarakan kaum hawa.
“Emang kenapa ditunggu-tunggu, Pakde?” tanya Intan polos.
Intan menatap Bu Handoyo dan Pak Handoyo yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Lalu tatapannya beralih pada Dimas yang sudah dianggap seperti kakaknya. Ketiganya tengah duduk santai di ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga itu.
“Iya lah, nggak ada temen nggosip! Selama kamu nggak ada, mama marah-marah mulu!” celetuk Dimas.
“Maaf nih, baru kesini. Sibuk banget acara kampus,” tukas Intan dengan rasa bersalah.
Gadis itu kemudian pamit ke kamarnya yang terletak di ujung belakang dekat dapur.
Sebuah kamar yang sempit. Dulunya kamar pembantu saat putra-putra Pak Handoyo masih balita.
Meski hanya kamar yang tak terlalu luas, Intan merasa nyaman di situ, karena di atas adalah kamar ketiga putera Pak Handoyo. Tak nyaman jika harus di kamar atas.
Usai meletakkan tasnya, Intan bergegas bergabung dengan penghuni rumah lainnya.
“Eh, Dik, nih ada kue,” kata Dimas seraya menyodorkan kotak kue.
Kotak yang dari semalam tak ada yang berani menyentuhnya.
“Wahh ini kan kue mahal! Kok masih banyak? Pada nggak suka, ya?” tanya Intan sambil membuka kotak kue itu.
Selama ini, dia hanya mendengar merek-merek kue mahal yang sering diceritakan teman-temannya, ataupun terlihat diiklan. Membelinya saja tak pernah berani setelah mengetahui harganya yang fantastis.
“Sttt! Makan aja dulu, nanya belakangan....” Dimas berbisik memberi kode dengan sebelah mata berkedip, sementara manik matanya melirik ke mamanya yang tiba-tiba berubah cemberut dikarenakan pembahasan kue.
“Ada apa, Mas? Wah kayaknya banyak yang berubah nih selama aku ngga di sini?” tanya Intan menyelidik.
Matanya kembali melirik ke semua penghuni rumah. Masing-masing orang menampilkan raut muka yang tak biasa.
Pak Handoyo terkesan netral, sementara Dimas justru terkesan menggoda mamanya.
“Kamu nginep ‘kan?” Tiba-tiba Bu Handoyo mengalihkan pembicaraan.
“Iya, Bude. Tapi, besok pagi langsung ke kampus,” jawab Intan.
Raut muka Intan masih dipenuhi rasa penasaran. Apalagi, Dimas malah senyum-senyum tak jelas kala Intan meliriknya.
“Wah, sibuk bener kamu sekarang,” tukas Bu Handoyo lagi.
Wanita paruh baya itu beranjak menuju dapur karena sebentar lagi jam makan siang.
“Sedikit, Bude. Biar tidak banyak melamun. Di kosan Intan, semua sibuk soalnya. Kalau kita ngga ikut sibuk, bakal bengong saja di kamar. Ohya, mau masak apa hari ini, Bude?” tanya Sekar sambil mengikuti Bu Handoyo ke dapur.
“Bude kangen ada yang bantu gini, Nduk. Kamu ngga ada, Bude ngga semangat masak,” tukas Bu Handoyo melankolis.
Wanita itu lalu mengeluarkan isi kulkas yang akan segera dieksekusi.
“Tuh, Mas Dimas, dengerin. Cepetan cariin Bude mantu! Biar Bude ada yang bantu masak di dapur!” ujar Intan meledek kakak tengahnya dari arah dapur.
Rumah yang berukuran mungil, membuat suara dari dapur dapat terdengar hingga ruang depan.
Dimas hanya mencebik.
“Eh, Dik, kamu ‘kan ngga tau? Bentar lagi juga bakal ada mantu. Tuh, yang kirim kue premium!” sahut Dimas sambil melirik kotak kue yang masih teronggok di meja ruang tamu.
“Iya kah? Mas Dimas? Atau Mas Adit? Atau dua-dua nya bareng?” tanya Intan antusias.
Dia baru dengar gossip ini karena memang sudah tak serumah lagi sejak Aditya tinggal di rumah itu. Kalau pun main ke sana, hanya akhir pekan, itu pun tak tentu. Tergantung ada agenda lain atau tidak.
“Assalamualaikum…” suara bariton seorang pemuda terdengar dari arah teras.
Aditya masuk sambil membawa sesuatu.
“Ada bingkisan lagi dari calon mantu?” ledek Dimas.
Intan yang tadi antusias, langsung terdiam setelah melirik ke Bu Handoyo.
Wajahnya Bu Handoyo berubah menjadi kecut saat melihat kotak bingkisan yang baru saja diletakkan oleh Aditya di atas meja makan. Entah apa isinya.
“Besok lagi, tak perlu repot-repot bawa ginian!” ujar Bu Handoyo ketus. Matanya melirik ke kotak itu dengan tatapan tak suka.
Aditya menunduk lesu seraya menghela napas.
“Dengar kamu, Adit?” tanya Bu Handoyo dengan nada tinggi. Dia seolah meminta perhatian anak bungsunya itu.
“Iya, Ma,” sahut Aditya seraya menghembuskan napasnya.
Pria itu lalu berjalan dengan lesu menuju ke kamarnya.
Intan dan Dimas saling berpandangan.
***
“Padahal Ma, ngga apa-apa lagi dikasih kue-kue premium seperti ini. Kita ‘kan ngga bakal beli kue kayak gini,” ujar Dimas seraya melirik bungkus kue yang ada di meja. Tidak berani dia menyentuhnya. Apalagi mamanya terlihat tak suka.
Anak kedua Bu Handoyo ini cenderung rumahan. Dia memilih tinggal di rumah meski jarak kantor dan rumahnya cukup jauh. Saat di rumah seperti ini, dia luangkan waktu untuk bercengkerama dengan mamanya yang tampak mulai kesepian setelah anak-anaknya memiliki kesibukannya masing-masing.
“Kita ngga beli, bukan berarti ngga mampu.” Ketus Bu Handoyo menyahut.
“Dan mama ngga suka kita dibeginikan. Ini namanya menginjak harga diri kita,” lanjut Bu Handoyo.
Wanita paruh baya itu sedikit kesal dan merasa dianggap tidak mampu membeli kue yang lezat. Padahal bukan tak mampu, tapi memang tak mau. Apalagi, kalau sekedar kue bisa membuatnya sendiri. Jauh lebih enak dan sesuai selera.
“Bukan begitu, Ma. Sarah kan sedang berusaha mengambil hati mama. Kita terima saja.” Pak Handoyo menimpali.
Lelaki itu ikutan mendekat dan duduk di sebelah putra keduanya.
Sementara, Bu Handoyo hanya melirik sekilas sambil melanjutkan memasaknya.
“Iya, Ma. Lagian ‘kan kita juga sering berbagi ke tetangga. Jadi, ya anggap aja ini yang ngasih tetangga,” timpal Dimas lagi, ingin meyakinkan mamanya.
Sayangnya, wanita paruh baya itu tetap pada pendiriannya.
“Kalau kalian mau makan, silahkan! Mama tidak!” ujar Bu Handoyo. Sorot matanya tajam menatap Dimas dan suaminya secara bergantian.
Pak Handoyo hanya menggeleng-geleng kepala, lalu menghela nafas. Ia mencoba memahami atau justru tak paham sama sekali jalan pikiran istrinya. Hanya perkara makanan saja, terjadi perang dingin dalam rumah.
“Padahal dulu, saat Mbak Indah masih pacaran sama Mas Danang, Mama ngga gini-gini amat sih,” kata Dimas seraya menyebut nama kakak sulungnya.
Dimas lalu membuka kotak kue di meja makan yang sedari tadi menjadi topik pembahasan utama. Meskipun mamanya belum berlapang dada, tapi rasanya mubadzir jika kue enak dianggurin.
“Indah beda. Indah itu anaknya sopan. Ke sini dikenalin baik-baik sama Danang. Bukan slonong sendirian pas ngga ada Adit,” timpal Bu Handoyo lagi.
Intan yang juga di dapur hanya setia jadi pendengar. Tiba-tiba dia teringat kejadian dua hari lalu.
“Oh jangan-jangan mbak-mbak yang bareng Mas Aditya itu yang sedang dibicarakan,” batin Intan. ‘Ngga ada yang salah, sih. Tapi, kenapa bude jadi senewen seperti ini?’
Sudah hampir dua jam Aditya mematut diri di depan cermin. Entah apa yang salah. Dia merasa tidak menjadi dirinya. Rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyeruak. Padahal, selama ini dia adalah pribadi yang penuh percaya diri. Selain tampan menawan, pendidikan pun tak bisa diremehkan, demikian pula pekerjaan untuk lelaki seusia dirinya. Namun, rupanya hanya untuk pergi ke rumah Sarah menghadiri acara makan malam saja, semua yang dimilikinya seolah runtuh. Malam ini adalah acara makan malam keluarga di rumah orang tua Sarah bertepatan dengan perkenalan keluarga dengan calon suami kakak Sarah. Aditya terlanjur sudah menyanggupi untuk hadir di acara keluarga tersebut. Selain itu, rasanya perlu untuk mendekatkan diri ke keluarga Sarah, jika dia memang serius hendak menjalin hubungan dengan putri bungsu keluarga itu. Bu Handoyo dan Intan seharian sibuk memasak. Intan sengaja sudah membawa dus kemasan kue dan makanan. Ibu Intan adalah pengusaha catering di kota kelahirannya. Intan sudah ter
“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. “Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. “Wah, nanti mamaku bisa pesen
“Adit, Mama minta sama kamu. Jangan memberi harapan palsu ke orang lain. Jika kamu tidak yakin, tinggalkan. Jangan dilanjutkan,” nasehat Bu Handoyo usai makan malam. Sebagai seorang ibu, dia dapat meraba keraguan putranya. Ketika seorang sudah yakin dengan pilihannya, tentu akan diperjuangkan. “Adit yakin, Ma. Hanya, Adit perlu waktu,” sahut pemuda itu. Wajah Aditya masih tertunduk. Dia tahu, mamanya pasti menatap tajam padanya, seperti sebelum-sebelumnya jika membahas mengenai Sarah. Pemuda itu tetap tak paham, mengapa mamanya demikian tak menyukainya. Hanya karena status sosial. Bahkan, Sarah pun pasti tak menginginkan diterima sebagai dirinya, apa adanya. “Mama hanya belum kenal Sarah saja. Adit yakin, jika Mama sudah mengenalnya, pasti dapat menerimanya,” sambung Aditya. Bu Handoyo bergeming. Dalam hati, wanita paruh baya ini mencoba memahami kata-kata putranya. Benar dia belum mengenal Sarah. Tapi, sebagai wanita yang punya banyak pengalaman hidup dan telah berinterak
Tapi, Intan hanya bisa menaikkan kedua pundaknya. Takut tidak sopan, karena ada pakde dan budenya, yang harusnya memimpin pembicaraan. Baik Pak Handoyo dan Bu Handoyo tidak ada bahan untuk ditanyakan. Mereka memang tidak mau menyelidik siapa Sarah. Kalau bu Handoyo mungkin memang tidak mau tahu. Sedangkan Aditya merasa mati kutu. Sesekali diliriknya sang mama yang mengamati Sarah dengan lekat seperti hendak menguliti. “Supnya enak, Tante …” Akhirnya Sarah membuka suara. Dia ingin memuji untuk mencairkan suasana yang beku dan kaku. “Intan yang masak…” jawab Bu Handoyo dingin. Wanita itu tak hendak memperpanjang pembicaraan. Sarah menatap ke Intan. Gadis yang ditatapnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara dalam benak Sarah masih bertanya-tanya. Siapa gadis ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia duduk satu meja dengannya? Apa posisinya di rumah ini? Saudara? Atau asisten rumah tangga? Sarah mulai frustasi dengan kondisi makan siang yang garing. Isi piringnya
Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba
“Kenapa kamu menemui adikku?” tanya Aditya pada Sarah saat jam makan siang. Tak seperti biasanya, pagi tadi, Aditya sengaja tidak menjemputnya. Sejak Sarah menuduh Intan sebagai pembantunya, Aditya sudah enggan menjadi supir pribadinya lagi. Kadang Aditya merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa mau-maunya dirinya berbulan-bulan antar jemput ke area yang berlawanan dengan arah kantornya. Inikah cinta? Benarkah cinta buta? "Adikmu?" Kening Sarah berkerut. Dia berfikir sejenak sembari mengingat sesuatu.Ada banyak kebingungan dalam benaknya. Kenapa Aditya menyebutnya adik? Bukannya tempo hari adik temannya? Tempo hari lagi jadi anak sahabat mamanya. Kini jadi adiknya. Besok apa lagi?“Oh, dia cerita ke kamu, Mas?” Sarah balik bertanya."Bukannya dia itu pembantumu?” Sarah bertanya retoris. Matanya tajam menatap Aditya menanti jawaban. Serta merta, suara kepalan tinju Aditya memukul meja terdengar membahana.Sarah terlonjak kaget. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya tatkal
“Adit! Intan?” Sontak keduanya menoleh ke sumber suara. Mata keduanya melebar saat menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat. “Mas Danang?” guman Aditya. “Wah, wah! Nggak nyangka juga ketemu kalian di sini. Temannya mempelai, atau ... ?” Danang, kakak sulung Aditya, memberondong pertanyaan, sekaligus meledek adiknya. Menyadari ada Indah, istri Danang dan anak bayinya, Intan buru-buru menghampiri Indah. Intan sengaja membiarkan Aditya menjawab pertanyaan kakaknya. Tak mau ikut campur. “Sini, gendong sama Tante,” ucap Intan sambil meletakkan dua tangannya di pangkal ketiak Caca, bayi perempuan berusia sembilan bulan yang tengah digendongan Indah.Spontan bayi itu pun merentangkan kedua tangannya. Dia sudah terbiasa bermain dengan Intan saat diajak ke rumah Bu Handoyo, neneknya. “Eh, ternyata, kalian serasi banget, lho,” bisik Indah tepat di telinga Intan. Sontak Intan langsung mendelik. “Hah, serasi apaan? Kayak majikan dan pembantu!” kelakar Intan sambil mengayun-ayunkan Ca
“Intan!”Terdengar suara memanggil, membuat Intan yang sedang memesan minum di kantin menoleh.Kening Intan seketika mengerut. Sosok yang memanggilnya tentu bukan sosok sembarangan. Bagaimana bisa Aditya nyasar ke kampus Intan?“Hei, Mas Adit! Kok bisa nyampe sini? Mau dipesenin minum juga? Jus jeruk?” tawar Intan.Tak heran jika dulu Aditya sering meledek Intan punya mental pembantu. Apa aja ditawarkan.Namun, gadis itu tak dapat menutupi keheranannya. Dia tak percaya. Ini suatu kebetulan apa kesengajaan, bisa bertemu Adit di kantin?Kemarin Sarah, hari ini Adit. Lalu besok?Aditya mengangguk, lalu ia beranjak mencari tempat duduk.“Kok bisa nyampe sini, Mas? Meeting sama Mbak Sarah?” tanya Intan sambil menarik kursi di depan Aditya.Gadis itu bertanya tanpa ada beban. Meski sering dicuekin dan dijutekin oleh Aditya, dia tak pernah berkecil hati. Baginya, manus