Sudah hampir dua jam Aditya mematut diri di depan cermin. Entah apa yang salah. Dia merasa tidak menjadi dirinya. Rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyeruak. Padahal, selama ini dia adalah pribadi yang penuh percaya diri. Selain tampan menawan, pendidikan pun tak bisa diremehkan, demikian pula pekerjaan untuk lelaki seusia dirinya. Namun, rupanya hanya untuk pergi ke rumah Sarah menghadiri acara makan malam saja, semua yang dimilikinya seolah runtuh.
Malam ini adalah acara makan malam keluarga di rumah orang tua Sarah bertepatan dengan perkenalan keluarga dengan calon suami kakak Sarah.
Aditya terlanjur sudah menyanggupi untuk hadir di acara keluarga tersebut. Selain itu, rasanya perlu untuk mendekatkan diri ke keluarga Sarah, jika dia memang serius hendak menjalin hubungan dengan putri bungsu keluarga itu.
Bu Handoyo dan Intan seharian sibuk memasak. Intan sengaja sudah membawa dus kemasan kue dan makanan. Ibu Intan adalah pengusaha catering di kota kelahirannya. Intan sudah terbiasa mengemas makanan untuk bingkisan sehingga terkesan special.
Hari itu Bu Handoyo sedikit mengalah ke Aditya setelah Intan dan Dimas membujuknya.
Akhirnya bingkisan yang hendak dibawa untuk keluarga Sarah sudah siap.
“Hati-hati ya, Nak. Jaga dirimu,” pesan Bu Handoyo pada anak bungsunya seraya mengangsurkan tas berisi bingkisan makanan hasil olahan tangan wanita paruh baya itu.
Rumah Sarah masih sepi tatkala Aditya tiba. Pria itu sengaja datang setengah jam lebih awal. Dia ingin mempersiapkan mental sebelum acara keluarga itu dimulai.
“Ada titipan dari Mama,” ujar Aditya sambil mengangsurkan tas berisi kue buatan mamanya pada Sarah.
“Wah repot-repot, Mas. Makasih, ya,” ucap Sarah.
Gadis itu lalu meletakkannya di meja dapur sebelum ia kembali sibuk mengecek makanan yang di dapur, di meja makan dan di ruang tamu.
Setengah jam terasa lambat bagi Aditya. Pria itu lantas memilih ke depan rumah untuk mengajak berbincang dengan Pak Darma, supir keluarga Pak Anwar. Bercakap-cakap dengan Pak Darma memang mampu memecah suasana hati Aditya. Pak Darma banyak bercerita masalah keluarganya di kampung. Tentu saja Aditya pun menanggapinya dengan antusias.
Tak lama, sebuah mobil memasuki area halaman rumah keluarga Sarah.
Aditya segera mohon diri ke Pak Darma untuk masuk ke dalam rumah.
Tampak seorang pemuda dengan penampilan elegan tapi terlihat berkelas. Tak sadar Aditya serta merta menatap dirinya. Tak ada yang beda. batinnya. Tapi kenapa dia kelihatan berkelas? Kedua orang tua pemuda itupun memang terlihat berkelas.
Aditya menghela napasnya. Tiba-tiba bayangan kedua orangtuanya menghampirinya. Dia membayangkan bagaimana jika keduanya nanti ada di sini untuk melamar Sarah.
“Kamu melamun, Mas?” Tiba-tiba tepukan Sarah di pundaknya membuyarkan lamunannya.
“Ayuk makan, tamunya sudah siap di ruang makan,” sambung Sarah. Gadis itu rupanya tidak dapat membaca keresahan yang dirasa oleh Aditya.
Aditya memang datang ke rumah keluarga itu sebagai teman Sarah. Sayangnya, dia tak dapat bergabung dan masuk dalam obrolan keluarga itu. Hingga akhirnya, Aditya memilih menyingkir ke ruang tengah karena merasa canggung. Keberadaannya seolah tak dikehendaki.
Aditya hanya mampu bergumam dalam hati, “Siapalah aku ini. Hanya anak seorang karyawan rendah yang bukan siapa-siapa.”
Tiba-tiba Aditya menyalahkan dirinya sendiri. “Tak ada artinya sekolah tinggi hingga luar negeri. Bahkan di keluarga ini pun, aku sama sekali tak dianggap,” guman Aditya.
Dulu, dia sangat bangga bisa mendapatkan beasiswa sampai luar negeri. Dulu, Aditya berharap dengan sekolah tinggi, dapat mengubah nasibnya dari seorang rakyat jelata, menjadi sedikit berkelas. Dan tak lama setelah berkenalan dengan Sarah, mimpinya seolah menjadi nyata. Namun, setelah ada di dalam rumah ini, tiba-tiba muncul keraguan di benaknya.
Aditya mengunyah makanan dalam mulutnya tanpa semangat. Makanan ini aromanya lezat, tapi tidak mampu mengunggah seleranya.
Mendadak Aditya jadi teringat suasana rumahnya. Makan malam dengan keluarganya. Masakan ibunya. Dan tiba-tiba bayangan gadis belia yang sering membuat ibunya bahagia begitu saja hadir di benaknya.
“Mas..kamu kok makannya ga semangat? Ga enak ya?” lagi-lagi terguran Sarah membuyarkan lamunannya.
Beruntung Aditya hanya mengambil porsi sedikit, sehingga dengan cepat dihabiskannya makanan di piringnya saat tamu Sarah sudah bangkit dari meja makan.
***
Aditya segera membantu Pak Darma membereskan ruangan saat tamu-tamu sudah pulang. Pamuda itu tak sadar melirik ke tas bingkisan yang diberikan oleh mamanya, masih teronggok di meja dapur. Kenapa masih ada disana? Kenapa Sarah tidak mengeluarkan isinya dan menyuguhkan ke tamu? Padahal mamanya sudah membuat masakan spesial.
Ah, lagi-lagi pikiran Aditya terbang kemana-mana.
Aditya segera mengambil kain pel dan turut mengepel lantai ruang tamu.
“Jangan Mas Adit, biar saya saja!”
Buru-buru Pak Darma meraih pel dari tangan Aditya, hingga membuat pemuda itu tergagap dari lamunannya.
Di rumah Sarah, Aditya jadi merasa bukan dirinya. Dia terpaksa menyibukkan diri agar jarum jam berjalan lebih cepat dari harapannya.
“Om, Tante, saya mohon diri,...” pamit Aditya saat rumah sudah kembali rapi.
Pak Anwar dan Bu Anwar mengangguk.
“Makasih, ya, Nak Adit atas bantuannya…” kata Pak Anwar sambil menepuk pundak Aditya.
Aditya memacu kendaraannya keluar kompleks perumahan di mana Sarah tinggal. Lega rasanya semua sudah terlewati. Paling tidak, dia sudah menunaikan janjinya pada Sarah, meski banyak hal yang tidak sesuai harapan di sana.
Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Rumah keluarga Handoyo sudah sepi.
“Gimana acaranya?”
Jantung Aditya hampir copot karena kaget.
Rupanya mamanya belum tidur. Wanita itu duduk menyendiri di ruang tamu, menanti kedatangan anak bungsunya.
“Kamu kebanyakan melamun, Dit!” kata bu Handoyo sembari mengangsurkan segelas air putih ke putra kesayangannya.
“Kue dari mama gimana?” tanya Bu Handoyo menyelidik.
Aditya sudah menebak, pasti mamanya akan menanyakan hal itu. Mama termasuk orang yang sangat ekspresif jika menerima pemberian dari orang lain. Tapi, entah mengapa mendapatkan pemberian dari Sarah dia tak mau. Dan sekarang, gantian, pemberiannya pun tak begitu dianggap oleh Sarah.
“Mereka tidak membukanya kan?” tebak Bu Handoyo.
Aditya menghela napas. Bukankah itu juga sama. Saat Sarah memberi hadiah, mama juga tidak membuka. Lantas salahnya di mana kalau Sarah juga tidak segera membuka bingkisannya? Guman Aditya.
“Orang kaya yang sombong,” gerutu Bu Handoyo
“Ma, mereka sibuk. Kan sedang ada tamu.” Aditya berusaha menjelaskan, agar tak terjadi kesalahpahaman.
Baginya, jika dia serius dengan Sarah, maka dia harus dapat mengambil hati mamanya agar wanita di hadapannya yang begitu dicintainya ini dapat menerima pilihan hatinya.
“Mama harap kamu mau menjauhi Sarah, Dit, sebelum terlalu jauh,” imbuh Bu Handoyo.
Serta merta mata Aditya melebar.
Meski sudah kesekian kalinya ibundanya tak menyetujui hubungannya dengan Sarah, bukankah tadi siang seperti sudah berusaha menerima. Bahkan, membuatkan bingkisan makanan untuknya. Kenapa malah sekarang diminta menjauhi?
“Dit, kamu tahu, berkeluarga itu yang penting keluarga kita dan keluarganya menerima kita dan calon istri kita. Tidak mudah hidup tanpa dukungan keluarga. Kamu pikirkan baik-baik.”
Bu Handoyo bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Aditya yang masih termangu.
Mamanya memang terlalu subyektif. Namun, bagaimanapun juga Aditya mencintai keduanya. Mama dan Sarah. Cinta? Benarkah Cinta?
Tiba-tiba Aditya meragukan perasaannya sendiri.
“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. “Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. “Wah, nanti mamaku bisa pesen
“Adit, Mama minta sama kamu. Jangan memberi harapan palsu ke orang lain. Jika kamu tidak yakin, tinggalkan. Jangan dilanjutkan,” nasehat Bu Handoyo usai makan malam. Sebagai seorang ibu, dia dapat meraba keraguan putranya. Ketika seorang sudah yakin dengan pilihannya, tentu akan diperjuangkan. “Adit yakin, Ma. Hanya, Adit perlu waktu,” sahut pemuda itu. Wajah Aditya masih tertunduk. Dia tahu, mamanya pasti menatap tajam padanya, seperti sebelum-sebelumnya jika membahas mengenai Sarah. Pemuda itu tetap tak paham, mengapa mamanya demikian tak menyukainya. Hanya karena status sosial. Bahkan, Sarah pun pasti tak menginginkan diterima sebagai dirinya, apa adanya. “Mama hanya belum kenal Sarah saja. Adit yakin, jika Mama sudah mengenalnya, pasti dapat menerimanya,” sambung Aditya. Bu Handoyo bergeming. Dalam hati, wanita paruh baya ini mencoba memahami kata-kata putranya. Benar dia belum mengenal Sarah. Tapi, sebagai wanita yang punya banyak pengalaman hidup dan telah berinterak
Tapi, Intan hanya bisa menaikkan kedua pundaknya. Takut tidak sopan, karena ada pakde dan budenya, yang harusnya memimpin pembicaraan. Baik Pak Handoyo dan Bu Handoyo tidak ada bahan untuk ditanyakan. Mereka memang tidak mau menyelidik siapa Sarah. Kalau bu Handoyo mungkin memang tidak mau tahu. Sedangkan Aditya merasa mati kutu. Sesekali diliriknya sang mama yang mengamati Sarah dengan lekat seperti hendak menguliti. “Supnya enak, Tante …” Akhirnya Sarah membuka suara. Dia ingin memuji untuk mencairkan suasana yang beku dan kaku. “Intan yang masak…” jawab Bu Handoyo dingin. Wanita itu tak hendak memperpanjang pembicaraan. Sarah menatap ke Intan. Gadis yang ditatapnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara dalam benak Sarah masih bertanya-tanya. Siapa gadis ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia duduk satu meja dengannya? Apa posisinya di rumah ini? Saudara? Atau asisten rumah tangga? Sarah mulai frustasi dengan kondisi makan siang yang garing. Isi piringnya
Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba
“Kenapa kamu menemui adikku?” tanya Aditya pada Sarah saat jam makan siang. Tak seperti biasanya, pagi tadi, Aditya sengaja tidak menjemputnya. Sejak Sarah menuduh Intan sebagai pembantunya, Aditya sudah enggan menjadi supir pribadinya lagi. Kadang Aditya merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa mau-maunya dirinya berbulan-bulan antar jemput ke area yang berlawanan dengan arah kantornya. Inikah cinta? Benarkah cinta buta? "Adikmu?" Kening Sarah berkerut. Dia berfikir sejenak sembari mengingat sesuatu.Ada banyak kebingungan dalam benaknya. Kenapa Aditya menyebutnya adik? Bukannya tempo hari adik temannya? Tempo hari lagi jadi anak sahabat mamanya. Kini jadi adiknya. Besok apa lagi?“Oh, dia cerita ke kamu, Mas?” Sarah balik bertanya."Bukannya dia itu pembantumu?” Sarah bertanya retoris. Matanya tajam menatap Aditya menanti jawaban. Serta merta, suara kepalan tinju Aditya memukul meja terdengar membahana.Sarah terlonjak kaget. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya tatkal
“Adit! Intan?” Sontak keduanya menoleh ke sumber suara. Mata keduanya melebar saat menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat. “Mas Danang?” guman Aditya. “Wah, wah! Nggak nyangka juga ketemu kalian di sini. Temannya mempelai, atau ... ?” Danang, kakak sulung Aditya, memberondong pertanyaan, sekaligus meledek adiknya. Menyadari ada Indah, istri Danang dan anak bayinya, Intan buru-buru menghampiri Indah. Intan sengaja membiarkan Aditya menjawab pertanyaan kakaknya. Tak mau ikut campur. “Sini, gendong sama Tante,” ucap Intan sambil meletakkan dua tangannya di pangkal ketiak Caca, bayi perempuan berusia sembilan bulan yang tengah digendongan Indah.Spontan bayi itu pun merentangkan kedua tangannya. Dia sudah terbiasa bermain dengan Intan saat diajak ke rumah Bu Handoyo, neneknya. “Eh, ternyata, kalian serasi banget, lho,” bisik Indah tepat di telinga Intan. Sontak Intan langsung mendelik. “Hah, serasi apaan? Kayak majikan dan pembantu!” kelakar Intan sambil mengayun-ayunkan Ca
“Intan!”Terdengar suara memanggil, membuat Intan yang sedang memesan minum di kantin menoleh.Kening Intan seketika mengerut. Sosok yang memanggilnya tentu bukan sosok sembarangan. Bagaimana bisa Aditya nyasar ke kampus Intan?“Hei, Mas Adit! Kok bisa nyampe sini? Mau dipesenin minum juga? Jus jeruk?” tawar Intan.Tak heran jika dulu Aditya sering meledek Intan punya mental pembantu. Apa aja ditawarkan.Namun, gadis itu tak dapat menutupi keheranannya. Dia tak percaya. Ini suatu kebetulan apa kesengajaan, bisa bertemu Adit di kantin?Kemarin Sarah, hari ini Adit. Lalu besok?Aditya mengangguk, lalu ia beranjak mencari tempat duduk.“Kok bisa nyampe sini, Mas? Meeting sama Mbak Sarah?” tanya Intan sambil menarik kursi di depan Aditya.Gadis itu bertanya tanpa ada beban. Meski sering dicuekin dan dijutekin oleh Aditya, dia tak pernah berkecil hati. Baginya, manus
Dimas mengikuti Aditya yang baru masuk rumah. Dimas yang sedari tadi sudah sampai di rumah, menanti adiknya itu. Dia tak sabar ingin berkomentar dengan apa yang ditemuinya tadi.Jika sebelumnya kakak sulung yang menjadi saksi mata Adit jalan sama Intan, kini, dia pun sudah membuktikan.“Jangan-jangan, benar mereka ada apa-apa.” Dimas tersenyum sambil membayangkan apa yang tengah dipikirkan.“Kenapa, Mas?” Aditya yang mau menutup pintu, karena mau ganti baju, urung karena melihat kakaknya mengikutinya hingga depan kamar sembari cengar-cengir.“Pokoknya Dik, kalau kamu sama Intan, Aku dukung 1000 persen. Yakin deh! Mama, Papa, Om Arman, Tante Mirna, Mas Danang, dan Indra, pasti semua ngedukung kamu. Beda sama orang kaya yang sombong kemarin.”Dimas tak peduli adiknya yang kegerahan mau ganti baju. Dia malah langsung duduk di kursi belajar Aditya.“Jangan bilang orang kaya