Share

6

Sudah hampir dua jam Aditya mematut diri di depan cermin. Entah apa yang salah. Dia merasa tidak menjadi dirinya. Rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyeruak. Padahal, selama ini dia adalah pribadi yang penuh percaya diri. Selain tampan menawan, pendidikan pun tak bisa diremehkan, demikian pula pekerjaan untuk lelaki seusia dirinya. Namun, rupanya hanya untuk pergi ke rumah Sarah menghadiri acara makan malam saja, semua yang dimilikinya seolah runtuh. 

Malam ini adalah acara makan malam keluarga di rumah orang tua Sarah bertepatan dengan perkenalan keluarga dengan calon suami kakak Sarah. 

Aditya terlanjur sudah menyanggupi untuk hadir di acara keluarga tersebut. Selain itu, rasanya perlu untuk mendekatkan diri ke keluarga Sarah, jika dia memang serius hendak menjalin hubungan dengan putri bungsu keluarga itu. 

Bu Handoyo dan Intan seharian sibuk memasak. Intan sengaja sudah membawa dus kemasan kue dan makanan. Ibu Intan adalah pengusaha catering di kota kelahirannya. Intan sudah terbiasa mengemas makanan untuk bingkisan sehingga terkesan special. 

Hari itu Bu Handoyo sedikit mengalah ke Aditya setelah Intan dan Dimas membujuknya. 

Akhirnya bingkisan yang hendak dibawa untuk keluarga Sarah sudah siap. 

“Hati-hati ya, Nak. Jaga dirimu,” pesan Bu Handoyo pada anak bungsunya seraya mengangsurkan tas berisi bingkisan makanan hasil olahan tangan wanita paruh baya itu. 

Rumah Sarah masih sepi tatkala Aditya tiba. Pria itu sengaja datang setengah jam lebih awal. Dia ingin mempersiapkan mental sebelum acara keluarga itu dimulai. 

“Ada titipan dari Mama,” ujar Aditya sambil mengangsurkan tas berisi kue buatan mamanya pada Sarah. 

“Wah repot-repot, Mas. Makasih, ya,” ucap Sarah. 

Gadis itu lalu meletakkannya di meja dapur sebelum ia kembali sibuk mengecek makanan yang di dapur, di meja makan dan di ruang tamu. 

Setengah jam terasa lambat bagi Aditya. Pria itu lantas memilih ke depan rumah untuk mengajak berbincang dengan Pak Darma, supir keluarga Pak Anwar. Bercakap-cakap dengan Pak Darma memang mampu memecah suasana hati Aditya. Pak Darma banyak bercerita masalah keluarganya di kampung. Tentu saja Aditya pun menanggapinya dengan antusias. 

Tak lama, sebuah mobil memasuki area halaman rumah keluarga Sarah. 

Aditya segera mohon diri ke Pak Darma untuk masuk ke dalam rumah. 

Tampak seorang pemuda dengan penampilan elegan tapi terlihat berkelas. Tak sadar Aditya serta merta menatap dirinya. Tak ada yang beda. batinnya. Tapi kenapa dia kelihatan berkelas? Kedua orang tua pemuda itupun memang terlihat berkelas.

 Aditya menghela napasnya. Tiba-tiba bayangan kedua orangtuanya menghampirinya. Dia membayangkan bagaimana jika keduanya nanti ada di sini untuk melamar Sarah. 

“Kamu melamun, Mas?” Tiba-tiba tepukan Sarah di pundaknya membuyarkan lamunannya. 

“Ayuk makan, tamunya sudah siap di ruang makan,” sambung Sarah. Gadis itu rupanya tidak dapat membaca keresahan yang dirasa oleh Aditya. 

Aditya memang datang ke rumah keluarga itu sebagai teman Sarah. Sayangnya, dia tak dapat bergabung dan masuk dalam obrolan keluarga itu. Hingga akhirnya, Aditya memilih menyingkir ke ruang tengah karena merasa canggung. Keberadaannya seolah tak dikehendaki. 

Aditya hanya mampu bergumam dalam hati, “Siapalah aku ini. Hanya anak seorang karyawan rendah yang bukan siapa-siapa.” 

Tiba-tiba Aditya menyalahkan dirinya sendiri. “Tak ada artinya sekolah tinggi hingga luar negeri. Bahkan di keluarga ini pun, aku sama sekali tak dianggap,” guman Aditya.

Dulu, dia sangat bangga bisa mendapatkan beasiswa sampai luar negeri. Dulu, Aditya berharap dengan sekolah tinggi, dapat mengubah nasibnya dari seorang rakyat jelata, menjadi sedikit berkelas. Dan tak lama setelah berkenalan dengan Sarah, mimpinya seolah menjadi nyata. Namun, setelah ada di dalam rumah ini, tiba-tiba muncul keraguan di benaknya. 

Aditya mengunyah makanan dalam mulutnya tanpa semangat. Makanan ini aromanya lezat, tapi tidak mampu mengunggah seleranya.

Mendadak Aditya jadi teringat suasana rumahnya. Makan malam dengan keluarganya. Masakan ibunya. Dan tiba-tiba bayangan gadis belia yang sering membuat ibunya bahagia begitu saja hadir di benaknya. 

“Mas..kamu kok makannya ga semangat? Ga enak ya?” lagi-lagi terguran Sarah membuyarkan lamunannya.

Beruntung Aditya hanya mengambil porsi sedikit, sehingga dengan cepat dihabiskannya makanan di piringnya saat tamu Sarah sudah bangkit dari meja makan. 

***

Aditya segera membantu Pak Darma membereskan ruangan saat tamu-tamu sudah pulang. Pamuda itu tak sadar melirik ke tas bingkisan yang diberikan oleh mamanya, masih teronggok di meja dapur. Kenapa masih ada disana? Kenapa Sarah tidak mengeluarkan isinya dan menyuguhkan ke tamu? Padahal mamanya sudah membuat masakan spesial. 

Ah, lagi-lagi pikiran Aditya terbang kemana-mana. 

Aditya segera mengambil kain pel dan turut mengepel lantai ruang tamu. 

“Jangan Mas Adit, biar saya saja!” 

Buru-buru Pak Darma meraih pel dari tangan Aditya, hingga membuat pemuda itu tergagap dari lamunannya. 

Di rumah Sarah, Aditya jadi merasa bukan dirinya. Dia terpaksa menyibukkan diri agar jarum jam berjalan lebih cepat dari harapannya. 

“Om, Tante, saya mohon diri,...” pamit Aditya saat rumah sudah kembali rapi. 

Pak Anwar dan Bu Anwar mengangguk. 

“Makasih, ya, Nak Adit atas bantuannya…” kata Pak Anwar sambil menepuk pundak Aditya. 

Aditya memacu kendaraannya keluar kompleks perumahan di mana Sarah tinggal. Lega rasanya semua sudah terlewati. Paling tidak, dia sudah menunaikan janjinya pada Sarah, meski banyak hal yang tidak sesuai harapan di sana. 

Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Rumah keluarga Handoyo sudah sepi. 

“Gimana acaranya?” 

Jantung Aditya hampir copot karena kaget. 

Rupanya mamanya belum tidur. Wanita itu duduk menyendiri di ruang tamu, menanti kedatangan anak bungsunya.

“Kamu kebanyakan melamun, Dit!” kata bu Handoyo sembari mengangsurkan segelas air putih ke putra kesayangannya. 

“Kue dari mama gimana?” tanya Bu Handoyo menyelidik. 

Aditya sudah menebak, pasti mamanya akan menanyakan hal itu. Mama termasuk orang yang sangat ekspresif jika menerima pemberian dari orang lain. Tapi, entah mengapa mendapatkan pemberian dari Sarah dia tak mau. Dan sekarang, gantian, pemberiannya pun tak begitu dianggap oleh Sarah. 

“Mereka tidak membukanya kan?” tebak Bu Handoyo. 

Aditya menghela napas. Bukankah itu juga sama. Saat Sarah memberi hadiah, mama juga tidak membuka. Lantas salahnya di mana kalau Sarah juga tidak segera membuka bingkisannya? Guman Aditya.

“Orang kaya yang sombong,” gerutu Bu Handoyo

“Ma, mereka sibuk. Kan sedang ada tamu.” Aditya berusaha menjelaskan, agar tak terjadi kesalahpahaman. 

Baginya, jika dia serius dengan Sarah, maka dia harus dapat mengambil hati mamanya agar wanita di hadapannya yang begitu dicintainya ini dapat menerima pilihan hatinya. 

“Mama harap kamu mau menjauhi Sarah, Dit, sebelum terlalu jauh,” imbuh Bu Handoyo. 

Serta merta mata Aditya melebar. 

Meski sudah kesekian kalinya ibundanya tak menyetujui hubungannya dengan Sarah, bukankah tadi siang seperti sudah berusaha menerima. Bahkan, membuatkan bingkisan makanan untuknya. Kenapa malah sekarang diminta menjauhi?

“Dit, kamu tahu, berkeluarga itu yang penting keluarga kita dan keluarganya menerima kita dan calon istri kita. Tidak mudah hidup tanpa dukungan keluarga. Kamu pikirkan baik-baik.” 

Bu Handoyo bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Aditya yang masih termangu. 

Mamanya memang terlalu subyektif. Namun, bagaimanapun juga Aditya mencintai keduanya. Mama dan Sarah. Cinta? Benarkah Cinta?

Tiba-tiba Aditya meragukan perasaannya sendiri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status