Share

7

“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. 

Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. 

Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. 

“Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.

“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. 

Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. 

Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. 

“Wah, nanti mamaku bisa pesen dong, kalo ada tamu lagi,” lanjut Sarah. 

Bagi Sarah, kue dengan rasa yang kemaren dibawakan oleh Aditya, belum pernah ditemukan di manapun. Jadi, akan menjadi cemilan special jika ada tamu datang ke rumahnya, jika menjamu dengan kue itu.

“Mamaku ngga terima pesanan, Sarah,” sahut Aditya. Lagipula, sebenarnya yang punya resep kue itu adalah Intan. Mamanya hanya memasak sesuai instruksi dari adik angkatnya itu.

Sarah mengangguk tanda mengerti. 

Keduanya lalu meninggalkan kantin karena jam makan siang sudah usai. 

“Mas, apakah artinya mamamu sudah bisa menerima aku?” tanya Sarah sesaat sebelum Aditya keluar dari lift. 

Kantor Sarah dan Aditya hanya berbeda lantai, tapi masih dalam satu gedung. 

Aditya mengangguk, lalu melambaikan tangannya. 

Bukan karena menghiyakan pernyataan Sarah yang tentu saja sejatinya jawabnya berlawanan. Hanya, Aditya tak ingin menyinggung perasaan kekasih hatinya itu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. 

Melihat anggukan Aditya, Sarah tersenyum lega. Akhirnya, apa yang dia khawatirkan selama ini tak beralasan. Ternyata keluarga Aditya dapat menerimanya. Terutama mamanya yang kala dia bertemu pertama kali terlihat jutek dan dingin. Jika tidak, tak mungkin mama Aditya repot-repot memberinya bingkisan. Bukan bingkisan yang dibeli. Tapi dibuat dengan tangannya sendiri!

“Ahhhh!” Aditya mendesah. “Kenapa bersamanya hidupku jadi penuh kebohongan. Inikah cinta?” desisnya kembali. 

***

Aditya melangkah gontai ke meja kerjanya. Dilihatnya, Dito, seniornya bermuram durja. Wajahnya terlihat kusut. 

“Kenapa, Mas?” sapa Aditya. 

Dito menatapnya sejenak. Lalu kolega Aditya itu menggeleng. 

“Bos marah?” tanya Aditya lagi. 

Dito masih menggeleng. 

Aditya lalu mencoba mengerti, mungkin hanya masalah pribadi. 

Drtttt

[Aku ada lembur, kamu duluan saja, Mas] Pesan Sarah masuk ke ponsel Aditya. 

Pemuda itu tak berniat membalasnya. Dia sibuk membereskan pekerjaan dan siap-siap hendak pulang. Pasti mamanya senang, sore ini ia bisa pulang tepat waktu. 

Sejak bersama Sarah, Aditya jarang pulang sore. Dia harus mengantar Sarah, bahkan kadang keluar makan atau sekedar jalan-jalan. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Berduaan dengan seorang wanita yang bukan siapa-siapanya. 

“Mas Dito, kamu baik-baik saja?” tanya Adit saat diliriknya pria yang meja kerjanya bersebelahan dengannya, masih menerawang, melamun. 

“Aku temani ngopi, yuk. Barang kali kamu butuh teman ngobrol...” tawar Aditya. 

Setelah sekian lama dia hanya menghabiskan waktu dengan Sarah, ada baiknya juga dia menyisihkan waktu untuk teman kantornya. Barangkali ada banyak hal yang dapat dia ambil perlajaran darinya. 

Dito mengangguk. Pria itu mengambil tas kerjanya. 

Sementara, Aditya baru ingat jika dia tidak membawa kendaraan. Selama ini, motornya dia titipkan di warung kopi dekat rumah Sarah, karena dia mengantar dan menjemput Sarah setiap hari. 

“Cafe depan kantor aja, Mas. Nanti aku yang traktir, ya,” ujar Aditya. 

Dia khawatir seniornya ini menolak jika mengajaknya ke sana, karena café itu lumayan elit untuk ukuran kocek teman kantornya. 

Aditya dan Sarah tak pernah memikirkan harga secangkir kopi di sana karena keduanya masih lajang. Mungkin akan lain cerita jika sudah berkeluarga dan memiliki banyak kebutuhan.

“Kalau Mas Dito mau cerita, aku dengerin. Tapi mungkin aku ngga bisa ngasih solusi. Tapi dengan menjadi pendengar yang baik, barangkali bisa meringankan masalah Mas Dito.” Aditya memulai pembicaraan, karena seniornya ini masih membisu. Sepertinya masalahnya cukup berat. 

“Adikku di kampung menelpon kalau ibuku butuh uang untuk memperbaiki genting-genting ya bocor.” Dito membuka percakapan. Ada beban berat mengungkapkan. Sebagai lelaki, dia jarang berkeluh kesah, kepada siapapun. 

Sementara Aditya berusaha mendengarkan dengan seksama. 

“Istriku ngga kerja, Dit. Semua keuangan rumah tanggaku, dia yang pegang.”

Dito terdiam sejenak, lalu ia menghela napas. “Maaf ya Dit, kamu harus mendengar masalah rumah tangga.”

“Ngga papa, Mas. Aku bisa belajar. Trus masalahnya apa?” tanya Aditya. Pemuda itu masih mendengarkan dengan seksama dan berusaha mencerna. 

“Dulu, sebelum menikah, istriku sudah tahu kalau aku tulang punggung keluarga. Setelah kami menikah, istriku pun tidak melarang kami mengeluarkan uang bulanan untuk biaya sekolah adik-adikku. Tapi kini, setelah adik-adikku selesai, istriku hanya menyanggupi uang bulanan ibuku. Karena kebutuhan kami sendiripun makin lama makin besar.” 

Dito terdiam sejenak. 

Begitu juga Aditya. Ia tak berani berkomentar. Dalam hati hanya membatin, “Penghasilan Dito tidak sedikit. Jauh lebih besar dari penghasilannya, karena Dito karyawan senior. Tetapi, apakah sepelik itu masalahnya.” 

“Istriku berharap adik-adikku pun bisa ikut andil membantu ibuku. Kami sering cek-cok jika urusan yang menyangkut keluargaku.” Dito menghela napasnya kembali. Dia sudah menganggap Aditya sebagai adiknya sendiri. Pemuda yang halus budi bahasanya. Namun demikian, sebenarnya dia tak enak juga jika harus menceritakan peliknya kehidupan berumah tangga. 

“Maaf, ya ,Dit. Kamu jadi mendengar ceritaku,” ulang Dito. 

“Ngga papa, Mas. Aku minta maaf karena aku ngga bisa ngasih saran apa-apa,” sesal Aditya. 

Dia memang belum cukup menjangkau kepelikan masalah yang dihadapi oleh Dito. Namun batinnya meraba. Apakah demikian kehidupan rumah tangga? Akan menemui aral melintang, meski dari luar terlihat sempurna? 

“Ya, begitulah, Dit, liku-liku berkeluarga. Kita harus bisa menerima keluarga kita apa adanya. Apapun mereka, kita harus berlapang dada. Makasih, ya, Dit sudah mendengarkan keluhanku.” 

Dito menyesap kopi nya. Pria itu berulang menghela napasnya untuk menghalau keresahan sekaligus mengeluarkan batu ganjalan di rongga dadanya.

“Mas, kalau perlu, bisa pakai uangku dulu,” tawar Adit. Bukannya masalahnya ada di genteng yang bocor? Toh bulan depan saat gajian, bisa dikembalikan. 

Dito menggeleng. “Masalahnya bukan disitu, Dit. Kalau perkara uangnya, mungkin bisa dicari. Tapi masalahnya, bagaimana istriku bisa memahami posisiku. Tapi, makasih tawarannya.”

“Aku harus pulang, Dit. Nanti istriku menunggu,” lanjut Dito sambil berdiri. 

“Iya, Mas, Duluan saja. Saya masih nunggu seseorang,” sahut Aditya sambil membalas lambaian tangan Dito. 

Aditya terpekur sendiri. Ada sesal tak dapat membantu seniornya. Jangankan memberi saran, bahkan tawarannya meminjamkan uang saja, mungkin terdengar konyol. 

Sesulit itukah hidup setelah menikah? Apakah karena ini juga mamanya begitu mencemaskannya saat dekat dengan Sarah? Mengapa kecemasan ini tidak terjadi saat kakaknya, Danang, dulu dalam memilih pasangan. Kenapa mamanya dulu langsung merasa cocok dengan kakak iparnya? Adakah rahasia dibalik pertentangan mama terhadap pilihannya? 

Aditya menatap keluar café. Mobil tampak lalu lalang. Tapi pikirannya jauh menerawang.

***

Hari masih sore. Matahari yang bersinar nyaris tenggelam ketika Aditya tiba di rumah. Biasanya Aditya tiba ketika matahari sudah ke peraduan. 

“Tumben sudah pulang, Nak?” tanya Mama Aditya tatkala mendengar salam dari putranya. Wanita itu masih sibuk memasak di dapur untuk menyiapkan makan malam. 

Rumah yang sempit, membuat interaksi antar penghuninya sangat mudah. 

“Iya, Ma. Sarah lembur,” sahut Aditya usai mencium punggung tangan mamanya. 

Pemuda itu seketika menyadari ada yang salah pada jawabannya tatkala  melihat perubahan raut muka mamanya. Aditya tahu, wanita yang telah melahirkannya ini tak suka nama Sarah disebut. 

“Oh ya, Ma. Kata Sarah, makanan yang Adit bawa kemaren, enak!” ujar Aditya berusaha mencairkan hati mamanya. Dia tahu, mamanya paling suka dipuji. Siapa tahu dengan menyebutkan Sarah telah memujinya, hati mamanya menjadi luluh. 

“Trus, dia bilang apa lagi?” sahut Bu Handoyo tanpa menoleh. Baginya, pembicaraan tentang Sarah tak pernah menarik. 

“Kata Sarah, kuenya beli di mana?” ujar Aditya polos. 

Pria itu duduk di kursi meja makan. Meski posisinya dekat dengan dapur, tapi sedikit terhalang tembok menyekat. 

“Dasar orang kaya sombong. Mereka pikir segalanya harus dibeli dengan uang!” tukas Bu Handoyo dengan ketus. 

Wanita itu berdiri di depan Aditya sambil meletakkan lauk pauk dan sayur yang sudah matang di meja makan. 

Aditya terperangah mendengar respon mamanya. Dia pikir, mamanya akan Bahagia mendengar pujian dari Sarah. Namun, mengapa malah semakin emosi?

“Bukan begitu, Ma,” ujar Aditya berusaha menjelaskan. “Katanya, Sarah mau pesen klo nanti ada tamu dirumahnya,” sambungnya. 

Bu Handoyo menghentikan pergerakannya menata meja makan. Mata Bu Handoyo membulat. Menatap tajam ke putra bungsunya. 

“Dia pikir kita pengusaha catering?” Suara Bu Handoyo meninggi.

Aditya menghela nafas. Kepalanya tertunduk lesu. 

Apapun tentang Sarah, selalu salah di mata mamanya. 

Dalam hati Aditya berjanji, akan berusaha membuka mata hati mamanya. Bahwa Sarah gadis yang baik. Sarah adalah orang yang tepat untuk jadi pendamping hidupnya. 

“Hai, Dit. Tumben dah pulang?” Dimas menepuk pundak Adiknya usai mengucap salam. 

Pria itu segera mencium punggung tangan mamanya yang masih berdiri di samping meja makan. 

Dia tahu, adik dan mamanya pasti sedang melakukan pembicaraan serius. Buktinya, roman muka keduanya tampak tak baik-baik saja. 

“Iya, Mas. Pengen makan malam di rumah, bareng Mama,” jawab Aditya pada kakaknya, sambil melirik ke mamanya. 

“Kamu udah ngga dijatah sama mama,” ledek Dimas. Pria itu lalu menarik kursi di sebelah adiknya dan duduk di sana. 

Sebenarnya, melihat pemandangan dua anak lelakinya di rumah saat hendak makan malam seperti ini, hati Bu Handoyo Bahagia. Sudah lama, mereka tak menikmati makan malam bersama. Tepatnya, setelah Aditya dekat dengan Sarah. 

“Assalamualaikum!” sapa Intan seraya masuk rumah. 

Semua mata menoleh ke arahnya. Gadis itu dengan senyum renyahnya berjalan mendekat, layaknya masuk ke rumahnya sendiri. Rumah yang sudah dua tahun dia tinggali, sebelum Aditya kembali ke rumah ini.

Pekan ini adalah minggu tenang, karena pekan depan akan ujian. Semua tugas-tugas individu dan kelompok sudah tadi dikumpulkan. Intan memutuskan untuk menginap di rumah keluarga Handoyo. Ratu rumah itu sering mengirimkan pesan padanya, kapan akan ke rumah. Baginya, rumah sepi tanpa kehadiran Intan. 

“Bude, aku mau perbaikan gizi minggu ini. Biar ujian tenang,” seloroh Intan seraya menatap dua kakak lelakinya yang duduk di kursi meja makan bergantian. Sementara tangannya bergerak cepat turut membantu membereskan meja makan. 

“Halah kamu pake gaya kos segala. Mendingan di sini, biar mama ngga cepet tua,” timpal Dimas. Pemuda ini memang lebih cair dengan Intan dibanding adiknya. Dimas lebih pandai bergaul dan tidak kaku. 

“Emang kenapa Bude cepet tua? Bude kan masih rajin perawatan di salon. Ya kan, Bude?” sahut Intan teringat kebiasaan wanita di sebelahnya ini. 

Sejak anak-anaknya sudah bekerja, keuangan keluarga mulai membaik. Sehingga Bu Handoyo bisa menyisihkan sebagian uang belanja untuk merawat diri yang sudah lama dilupakannya. Dulu, Intan sering menggantarkan. Minimal, dapat bonus facial dan creambath. 

“Berantem terus sama Adit,” tukas Dimas sambil melirik ke adiknya. 

Aditya balik meliriknya sambil mendengus. 

“Mungkin Mas Adit ngga punya lawan berantem. Biasanya kan aku lawannya. Jadi sekarang pindah ke Bude,” ujar Intan sambil menahan tawa. 

Aditya sontak melebarkan matanya. “Kurang ajar nih bocah!” gerutunya dalam hati.

Memang benar. Aditya memang tak suka dengan Intan. Rasanya canggung jika ada Intan di rumahnya. Apalagi, rumah itu terlalu sempit jika ada orang asing turut tinggal di rumahnya. Sehingga, apapun yang dilakukan Intan, akan terlihat salah olehnya. 

Mungkin, ini juga yang dirasakan mamanya pada Sarah. Jika sudah ada rasa tak nyaman. Maka, apapun akan terlihat tak benar. 

“Nah, makanya kamu balik aja kesini. Biar dia ada lawan yang sepadan. Kalau nglawan mama terus kan bisa kualat. Ya, kan, Dim?” sahut Bu Handoyo, merasa ada yang berpihak padanya.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status