Share

7

last update Last Updated: 2023-05-30 22:00:04

“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. 

Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. 

Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. 

“Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.

“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. 

Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. 

Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. 

“Wah, nanti mamaku bisa pesen dong, kalo ada tamu lagi,” lanjut Sarah. 

Bagi Sarah, kue dengan rasa yang kemaren dibawakan oleh Aditya, belum pernah ditemukan di manapun. Jadi, akan menjadi cemilan special jika ada tamu datang ke rumahnya, jika menjamu dengan kue itu.

“Mamaku ngga terima pesanan, Sarah,” sahut Aditya. Lagipula, sebenarnya yang punya resep kue itu adalah Intan. Mamanya hanya memasak sesuai instruksi dari adik angkatnya itu.

Sarah mengangguk tanda mengerti. 

Keduanya lalu meninggalkan kantin karena jam makan siang sudah usai. 

“Mas, apakah artinya mamamu sudah bisa menerima aku?” tanya Sarah sesaat sebelum Aditya keluar dari lift. 

Kantor Sarah dan Aditya hanya berbeda lantai, tapi masih dalam satu gedung. 

Aditya mengangguk, lalu melambaikan tangannya. 

Bukan karena menghiyakan pernyataan Sarah yang tentu saja sejatinya jawabnya berlawanan. Hanya, Aditya tak ingin menyinggung perasaan kekasih hatinya itu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. 

Melihat anggukan Aditya, Sarah tersenyum lega. Akhirnya, apa yang dia khawatirkan selama ini tak beralasan. Ternyata keluarga Aditya dapat menerimanya. Terutama mamanya yang kala dia bertemu pertama kali terlihat jutek dan dingin. Jika tidak, tak mungkin mama Aditya repot-repot memberinya bingkisan. Bukan bingkisan yang dibeli. Tapi dibuat dengan tangannya sendiri!

“Ahhhh!” Aditya mendesah. “Kenapa bersamanya hidupku jadi penuh kebohongan. Inikah cinta?” desisnya kembali. 

***

Aditya melangkah gontai ke meja kerjanya. Dilihatnya, Dito, seniornya bermuram durja. Wajahnya terlihat kusut. 

“Kenapa, Mas?” sapa Aditya. 

Dito menatapnya sejenak. Lalu kolega Aditya itu menggeleng. 

“Bos marah?” tanya Aditya lagi. 

Dito masih menggeleng. 

Aditya lalu mencoba mengerti, mungkin hanya masalah pribadi. 

Drtttt

[Aku ada lembur, kamu duluan saja, Mas] Pesan Sarah masuk ke ponsel Aditya. 

Pemuda itu tak berniat membalasnya. Dia sibuk membereskan pekerjaan dan siap-siap hendak pulang. Pasti mamanya senang, sore ini ia bisa pulang tepat waktu. 

Sejak bersama Sarah, Aditya jarang pulang sore. Dia harus mengantar Sarah, bahkan kadang keluar makan atau sekedar jalan-jalan. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Berduaan dengan seorang wanita yang bukan siapa-siapanya. 

“Mas Dito, kamu baik-baik saja?” tanya Adit saat diliriknya pria yang meja kerjanya bersebelahan dengannya, masih menerawang, melamun. 

“Aku temani ngopi, yuk. Barang kali kamu butuh teman ngobrol...” tawar Aditya. 

Setelah sekian lama dia hanya menghabiskan waktu dengan Sarah, ada baiknya juga dia menyisihkan waktu untuk teman kantornya. Barangkali ada banyak hal yang dapat dia ambil perlajaran darinya. 

Dito mengangguk. Pria itu mengambil tas kerjanya. 

Sementara, Aditya baru ingat jika dia tidak membawa kendaraan. Selama ini, motornya dia titipkan di warung kopi dekat rumah Sarah, karena dia mengantar dan menjemput Sarah setiap hari. 

“Cafe depan kantor aja, Mas. Nanti aku yang traktir, ya,” ujar Aditya. 

Dia khawatir seniornya ini menolak jika mengajaknya ke sana, karena café itu lumayan elit untuk ukuran kocek teman kantornya. 

Aditya dan Sarah tak pernah memikirkan harga secangkir kopi di sana karena keduanya masih lajang. Mungkin akan lain cerita jika sudah berkeluarga dan memiliki banyak kebutuhan.

“Kalau Mas Dito mau cerita, aku dengerin. Tapi mungkin aku ngga bisa ngasih solusi. Tapi dengan menjadi pendengar yang baik, barangkali bisa meringankan masalah Mas Dito.” Aditya memulai pembicaraan, karena seniornya ini masih membisu. Sepertinya masalahnya cukup berat. 

“Adikku di kampung menelpon kalau ibuku butuh uang untuk memperbaiki genting-genting ya bocor.” Dito membuka percakapan. Ada beban berat mengungkapkan. Sebagai lelaki, dia jarang berkeluh kesah, kepada siapapun. 

Sementara Aditya berusaha mendengarkan dengan seksama. 

“Istriku ngga kerja, Dit. Semua keuangan rumah tanggaku, dia yang pegang.”

Dito terdiam sejenak, lalu ia menghela napas. “Maaf ya Dit, kamu harus mendengar masalah rumah tangga.”

“Ngga papa, Mas. Aku bisa belajar. Trus masalahnya apa?” tanya Aditya. Pemuda itu masih mendengarkan dengan seksama dan berusaha mencerna. 

“Dulu, sebelum menikah, istriku sudah tahu kalau aku tulang punggung keluarga. Setelah kami menikah, istriku pun tidak melarang kami mengeluarkan uang bulanan untuk biaya sekolah adik-adikku. Tapi kini, setelah adik-adikku selesai, istriku hanya menyanggupi uang bulanan ibuku. Karena kebutuhan kami sendiripun makin lama makin besar.” 

Dito terdiam sejenak. 

Begitu juga Aditya. Ia tak berani berkomentar. Dalam hati hanya membatin, “Penghasilan Dito tidak sedikit. Jauh lebih besar dari penghasilannya, karena Dito karyawan senior. Tetapi, apakah sepelik itu masalahnya.” 

“Istriku berharap adik-adikku pun bisa ikut andil membantu ibuku. Kami sering cek-cok jika urusan yang menyangkut keluargaku.” Dito menghela napasnya kembali. Dia sudah menganggap Aditya sebagai adiknya sendiri. Pemuda yang halus budi bahasanya. Namun demikian, sebenarnya dia tak enak juga jika harus menceritakan peliknya kehidupan berumah tangga. 

“Maaf, ya ,Dit. Kamu jadi mendengar ceritaku,” ulang Dito. 

“Ngga papa, Mas. Aku minta maaf karena aku ngga bisa ngasih saran apa-apa,” sesal Aditya. 

Dia memang belum cukup menjangkau kepelikan masalah yang dihadapi oleh Dito. Namun batinnya meraba. Apakah demikian kehidupan rumah tangga? Akan menemui aral melintang, meski dari luar terlihat sempurna? 

“Ya, begitulah, Dit, liku-liku berkeluarga. Kita harus bisa menerima keluarga kita apa adanya. Apapun mereka, kita harus berlapang dada. Makasih, ya, Dit sudah mendengarkan keluhanku.” 

Dito menyesap kopi nya. Pria itu berulang menghela napasnya untuk menghalau keresahan sekaligus mengeluarkan batu ganjalan di rongga dadanya.

“Mas, kalau perlu, bisa pakai uangku dulu,” tawar Adit. Bukannya masalahnya ada di genteng yang bocor? Toh bulan depan saat gajian, bisa dikembalikan. 

Dito menggeleng. “Masalahnya bukan disitu, Dit. Kalau perkara uangnya, mungkin bisa dicari. Tapi masalahnya, bagaimana istriku bisa memahami posisiku. Tapi, makasih tawarannya.”

“Aku harus pulang, Dit. Nanti istriku menunggu,” lanjut Dito sambil berdiri. 

“Iya, Mas, Duluan saja. Saya masih nunggu seseorang,” sahut Aditya sambil membalas lambaian tangan Dito. 

Aditya terpekur sendiri. Ada sesal tak dapat membantu seniornya. Jangankan memberi saran, bahkan tawarannya meminjamkan uang saja, mungkin terdengar konyol. 

Sesulit itukah hidup setelah menikah? Apakah karena ini juga mamanya begitu mencemaskannya saat dekat dengan Sarah? Mengapa kecemasan ini tidak terjadi saat kakaknya, Danang, dulu dalam memilih pasangan. Kenapa mamanya dulu langsung merasa cocok dengan kakak iparnya? Adakah rahasia dibalik pertentangan mama terhadap pilihannya? 

Aditya menatap keluar café. Mobil tampak lalu lalang. Tapi pikirannya jauh menerawang.

***

Hari masih sore. Matahari yang bersinar nyaris tenggelam ketika Aditya tiba di rumah. Biasanya Aditya tiba ketika matahari sudah ke peraduan. 

“Tumben sudah pulang, Nak?” tanya Mama Aditya tatkala mendengar salam dari putranya. Wanita itu masih sibuk memasak di dapur untuk menyiapkan makan malam. 

Rumah yang sempit, membuat interaksi antar penghuninya sangat mudah. 

“Iya, Ma. Sarah lembur,” sahut Aditya usai mencium punggung tangan mamanya. 

Pemuda itu seketika menyadari ada yang salah pada jawabannya tatkala  melihat perubahan raut muka mamanya. Aditya tahu, wanita yang telah melahirkannya ini tak suka nama Sarah disebut. 

“Oh ya, Ma. Kata Sarah, makanan yang Adit bawa kemaren, enak!” ujar Aditya berusaha mencairkan hati mamanya. Dia tahu, mamanya paling suka dipuji. Siapa tahu dengan menyebutkan Sarah telah memujinya, hati mamanya menjadi luluh. 

“Trus, dia bilang apa lagi?” sahut Bu Handoyo tanpa menoleh. Baginya, pembicaraan tentang Sarah tak pernah menarik. 

“Kata Sarah, kuenya beli di mana?” ujar Aditya polos. 

Pria itu duduk di kursi meja makan. Meski posisinya dekat dengan dapur, tapi sedikit terhalang tembok menyekat. 

“Dasar orang kaya sombong. Mereka pikir segalanya harus dibeli dengan uang!” tukas Bu Handoyo dengan ketus. 

Wanita itu berdiri di depan Aditya sambil meletakkan lauk pauk dan sayur yang sudah matang di meja makan. 

Aditya terperangah mendengar respon mamanya. Dia pikir, mamanya akan Bahagia mendengar pujian dari Sarah. Namun, mengapa malah semakin emosi?

“Bukan begitu, Ma,” ujar Aditya berusaha menjelaskan. “Katanya, Sarah mau pesen klo nanti ada tamu dirumahnya,” sambungnya. 

Bu Handoyo menghentikan pergerakannya menata meja makan. Mata Bu Handoyo membulat. Menatap tajam ke putra bungsunya. 

“Dia pikir kita pengusaha catering?” Suara Bu Handoyo meninggi.

Aditya menghela nafas. Kepalanya tertunduk lesu. 

Apapun tentang Sarah, selalu salah di mata mamanya. 

Dalam hati Aditya berjanji, akan berusaha membuka mata hati mamanya. Bahwa Sarah gadis yang baik. Sarah adalah orang yang tepat untuk jadi pendamping hidupnya. 

“Hai, Dit. Tumben dah pulang?” Dimas menepuk pundak Adiknya usai mengucap salam. 

Pria itu segera mencium punggung tangan mamanya yang masih berdiri di samping meja makan. 

Dia tahu, adik dan mamanya pasti sedang melakukan pembicaraan serius. Buktinya, roman muka keduanya tampak tak baik-baik saja. 

“Iya, Mas. Pengen makan malam di rumah, bareng Mama,” jawab Aditya pada kakaknya, sambil melirik ke mamanya. 

“Kamu udah ngga dijatah sama mama,” ledek Dimas. Pria itu lalu menarik kursi di sebelah adiknya dan duduk di sana. 

Sebenarnya, melihat pemandangan dua anak lelakinya di rumah saat hendak makan malam seperti ini, hati Bu Handoyo Bahagia. Sudah lama, mereka tak menikmati makan malam bersama. Tepatnya, setelah Aditya dekat dengan Sarah. 

“Assalamualaikum!” sapa Intan seraya masuk rumah. 

Semua mata menoleh ke arahnya. Gadis itu dengan senyum renyahnya berjalan mendekat, layaknya masuk ke rumahnya sendiri. Rumah yang sudah dua tahun dia tinggali, sebelum Aditya kembali ke rumah ini.

Pekan ini adalah minggu tenang, karena pekan depan akan ujian. Semua tugas-tugas individu dan kelompok sudah tadi dikumpulkan. Intan memutuskan untuk menginap di rumah keluarga Handoyo. Ratu rumah itu sering mengirimkan pesan padanya, kapan akan ke rumah. Baginya, rumah sepi tanpa kehadiran Intan. 

“Bude, aku mau perbaikan gizi minggu ini. Biar ujian tenang,” seloroh Intan seraya menatap dua kakak lelakinya yang duduk di kursi meja makan bergantian. Sementara tangannya bergerak cepat turut membantu membereskan meja makan. 

“Halah kamu pake gaya kos segala. Mendingan di sini, biar mama ngga cepet tua,” timpal Dimas. Pemuda ini memang lebih cair dengan Intan dibanding adiknya. Dimas lebih pandai bergaul dan tidak kaku. 

“Emang kenapa Bude cepet tua? Bude kan masih rajin perawatan di salon. Ya kan, Bude?” sahut Intan teringat kebiasaan wanita di sebelahnya ini. 

Sejak anak-anaknya sudah bekerja, keuangan keluarga mulai membaik. Sehingga Bu Handoyo bisa menyisihkan sebagian uang belanja untuk merawat diri yang sudah lama dilupakannya. Dulu, Intan sering menggantarkan. Minimal, dapat bonus facial dan creambath. 

“Berantem terus sama Adit,” tukas Dimas sambil melirik ke adiknya. 

Aditya balik meliriknya sambil mendengus. 

“Mungkin Mas Adit ngga punya lawan berantem. Biasanya kan aku lawannya. Jadi sekarang pindah ke Bude,” ujar Intan sambil menahan tawa. 

Aditya sontak melebarkan matanya. “Kurang ajar nih bocah!” gerutunya dalam hati.

Memang benar. Aditya memang tak suka dengan Intan. Rasanya canggung jika ada Intan di rumahnya. Apalagi, rumah itu terlalu sempit jika ada orang asing turut tinggal di rumahnya. Sehingga, apapun yang dilakukan Intan, akan terlihat salah olehnya. 

Mungkin, ini juga yang dirasakan mamanya pada Sarah. Jika sudah ada rasa tak nyaman. Maka, apapun akan terlihat tak benar. 

“Nah, makanya kamu balik aja kesini. Biar dia ada lawan yang sepadan. Kalau nglawan mama terus kan bisa kualat. Ya, kan, Dim?” sahut Bu Handoyo, merasa ada yang berpihak padanya.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aniek Oktari Keman
makin penasaran sama ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • JODOH PILIHAN MAMA   56c

    EPILOGSarah sudah menyiapkan sarapan untuk Dimas, Papa dan Mamanya, dibantu oleh ART. Kondisi kesehartan Pak Anwar sudah stabil. Begitu juga Bu Anwar. Mereka bahagia karena Sarah dan Dimas kembali tinggal bersama mereka. “Mama sudah kangen ingin menimang cucu,” ujar Bu Anwar, wanita yang biasanya pendiam itu, di sela-sela sarapannya. Mendengar pertanyaan mamanya tentang keturunan, membuat hati Sarah terasa tersayat oleh kesalahannya sendiri. Dia yang salah, yang membuat bayi dalam kandungannya menjadi tiada. Dan kini, seperti mendapat teguran, karena belum kembali mendapatkan apa yang tiap wanita bersuami inginkan. Sarah dan Dimas saling berpandangan. Sarah terdiam sambil menelan ludah. Sementara Dimas tersenyum, sebagaimana kebiasaannya setiap hendak meanggapi pertanyaan dari siapa saja. “Sabar, Ma. Insyaalloh kalau sudah waktunya, nanti juga dipercaya sama Alloh,” jawab Dimas. “Kalian jangan menunda. Jangan seperti kakakmu yang mementingkan pekerjaaan. Pekerjaan itu taka da ha

  • JODOH PILIHAN MAMA   56b

    Sampai di Jakarta, Dimas dan Sarah langsung bertolak ke kantor. Ada meeting dengan klien yang sudah diagendakan.“Kamu ikut saja, biar kamu tahu perkembangannya,” ujar Dimas pada Sarah. Wanita itu ikut masuk ke ruangan Dimas. Dia sendiri mendapatkan tempat duduk bersama staf lainnya di salah satu kubikel. Meskipun Sarah istrinya, tapi Dimas tak memperlakukan istimewa. Apalagi, memang Sarah yang meminta ditempatkan di bagian keuangan. “Nanti kalau perusahaan sudah selesai dengan problem yang melilit sejak ditinggal papa kamu, kita bisa perluasan lagi kantor. Kamu bisa mendapatkan ruangan sendiri. Dan posisimu juga bisa di naikkan,” ujar Dimas kala dia tak dapat memberikan posisi yang diharapkan Sarah. Lagi pula, dia tak pernah memaksa Sarah untuk bekerja di kantor yang semula memang hanya merekrut para fresh graduate, malah lulusan D3 dan SMK. Yang penting mau bekerja keras, meski Dimas harus berlelah-lelah mengajari dari nol. Dimas segera menyalakan komputernya. Mencetak bahan rapa

  • JODOH PILIHAN MAMA   56a

    Hari ini hari terakhir Intan dan teman-temannya magang di kantor Aditya. Sementara sesuai rencana, Aditya sudah memesan makanan untuk tasyakuran mengumumkan status barunya. Setelah merenungkan kata-kata Intan, benar juga. Semestinya dia harus mengabarkan status itu. Selain menghindarkan fitnah, juga menghindarkan dari kejaran pengagum gelap masing-masing. Aditya sudah meminta ijin menggunakan ruang meeting besar untuk acara tasyakuran yang akan diselenggarakan saat jam istirahat. Hanya staf di divisinya dan di divisi Intan yang diundang. “Baik, bapak dan ibu sekalian. Kami bedua sengaja mengundang bapak dan ibu di sini, karena ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan,” ucap Aditya. Lelaki itu berdiri di depan, sementara pada staf di dua divisi itu duduk melingkar di kursi yang mengelilingi meja itu. ruangan meeting besar itu berkapasitas sekitar tiga puluh orang. Selain staf, pada office boy dan cleaning service pun juga di undang. Intan berdiri di sebelah Aditya. Sementara tem

  • JODOH PILIHAN MAMA   55b

    Pagi-pagi Sarah dan Dimas sudah tiba di bandara. Seperti dugaan Sarah, Hana sudah menjemput di hotel dan mengantarkan mereka berdua ke bandara. Dugaan kuat Sarah, gadis itu memang agak mencurigakan. Namun, Sarah tak menangkap sesuatu yang mencurigakan dari Dimas. Apakah lelaki selalu seperti itu? dapat menyimpan rasa yang dipendamnya? Sarah mengamati setiap gerak gerik Dimas. Begitu tiba di bandara, Dimas turun begitu saja. Tak ada lambaian tangan atau bahkan menunggu mobil yang ditumpangi Rustam dan Hana hilang di tikungan. Tidak ada drama. Atau semua ini karena ada dirinya? Batin Sarah. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor bandara, dan langsung menuju ruang tunggu bandara. “Kamu mau mampir minum kopi dulu?” tawar Dimas kala melewati kedai kopi di dalam. “Masih lama?” tanya Sarah. Dimas segera mengecek jam di pergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Cukuplah,” sahut Dimas. Keduanya lalu memilih duduk di sofa pojok, karena café itu lumayan sepi. “Katakan padaku, kenapa k

  • JODOH PILIHAN MAMA   55a

    Aditya melangkah cepat ke ruangan Intan. Dia tak boleh terlambat. Karena pasti gadis itu akan keluar duluan dari ruangannya tepat saat jam makan siang. Aditya menatap jam di pergelangan tangannya sejenak. Masih kurang satu menit. Lalu dia kembali memasuki ruangan di lantai 6 itu. Baru beberapa langkah, Amir yang kebetulan menoleh ke pintu keluar menatapnya sembari mengulaskan senyum di bibir. Pemuda itu lalu bangkit dari duduknya. “Wah, lagi akur, Bro?” seloroh Amir sembari mendekat ke Aditya.Aditya yang pandangannya sedari tadi fokus ke meja kerja Intan terpaksa menoleh, lalu memberikan sapaan. Meskipun hatinya kesal, namun, bukan tabiat Aditya bermuka masam pada orang lain. Dia hanya bermuka masam pada orang yang hatinya sudah dekat. Mama, Papa dan dua kakak lelakinya. Tapi, pada Intan? Sejak gadis itu masih remaja, Aditya selalu bermuka kecut padanya. Apakah ini tanda-tanda kalau hatinya sudah tertambat sejak remaja? Lelaki itu lalu berhenti di depan meja Intan. Sementara Amir

  • JODOH PILIHAN MAMA   54b

    “Jadi mereka sudah tahu kalau Mas Adit sudah menikah?” tanya Intan lagi. Aditya berdiri karena sudah selesai mengenakan sepatunya. “Ayo berangkat keburu panas!” ujarnya tanpa memberikan jawaban. Keduanya melangkah keluar dari rumahnya. “Beneran aku boleh bareng?” tanya Intan meyakinkan. Jangan sampai dia sudah kena PHP, tahunya tetep jalan kaki. Lumayan juga karena sudah lumayan siang. Panas!Aditya tak menjawab. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan hingga langkahnya terhenti di depan lift. Saat lift terhenti di lantai 5, Aditya segera menggeser tubuhnya ke dekat Intan tatkala melihat Amir dan Irfan masuk. “Tumben berangkat bareng,” kata Irfan sambil menatap Aditya dan Intan bergantian. Aditya hanya menjawab dengan mencebikkan mulutnya. Sementara Intan hanya mengangguk seraya tersenyum.“Mesti deket-deket nih sama calon kakak ipar,” sahut Amir seraya menggeser tubuhnya, sontak membuat Aditya menoleh ke arah Intan seraya melebarkan matanya. Intan melirik Aditya sekilas, lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status