Share

Jodohku Muridku Sendiri
Jodohku Muridku Sendiri
Author: Tania04

Bab 01

Author: Tania04
last update Last Updated: 2025-03-19 21:18:56

Langit sore di Jakarta tampak mendung, seperti menggambarkan suasana hati Devan Mahesa Putra. Ia duduk di atas kap mobil sport milik ayahnya, yang terparkir di halaman rumah mewahnya. Rokok terselip di antara jarinya, sementara pikirannya kosong.

Rumah ini besar, penuh kemewahan, tapi terasa hampa. Sejak kecil, Devan terbiasa hidup sendiri. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, lebih sering berada di luar negeri. Ibunya? Bahkan mungkin lupa bahwa dia punya anak laki-laki.

Tak ada makan malam bersama, tak ada pertanyaan tentang harinya di sekolah, tak ada kepedulian. Yang ada hanya transferan uang, fasilitas mewah, dan aturan tak tertulis: Jangan buat masalah yang bisa merusak nama keluarga.

Ironisnya, justru itu yang paling sering ia lakukan.

Di sekolah, Devan bukan sekadar siswa biasa. Dia pemimpin dalam bayangan, seseorang yang disegani bukan karena prestasi akademik, tapi karena keberaniannya. Tawuran, balapan liar, perkelahian—itu semua sudah seperti rutinitas baginya.

Namun, di balik semua itu, ada kekosongan yang selalu menghantuinya.

Malam itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari temannya, Dio.

"Bro, anak SMA Cakra ngajak ketemuan. Kayaknya bakal ada perang kecil. Lu ikut?"

Devan membaca pesan itu tanpa ekspresi. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia mengetik balasan.

"Gue datang."

Karena dalam hidupnya yang penuh kehampaan, rasa sakit adalah satu-satunya hal yang bisa ia rasakan dengan nyata.

Devan menutup ponselnya, lalu bangkit dari kap mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Langkahnya menggema di lantai marmer yang dingin, melewati ruang tamu luas dengan chandelier mahal yang menggantung di langit-langit. Tidak ada suara. Tidak ada siapa-siapa.

Seperti biasa.

Seorang pelayan yang sudah berumur, Bu Mirna, muncul dari dapur dengan ekspresi cemas. “Tuan muda, mau makan malam sekarang?”

Devan melirik meja makan panjang yang selalu kosong. Ia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena kebiasaan ini sudah terlalu menyedihkan.

“Gak usah, Bu. Saya pergi.”

Bu Mirna terlihat ingin menahannya, tapi sudah tahu tidak ada gunanya. Devan sudah seperti ini bertahun-tahun. Dia bisa pulang jam berapa pun, dalam keadaan bagaimana pun, dan tetap tidak ada yang peduli.

Di garasi, ia mengambil motornya—Ducati hitam yang dibelikan ayahnya. Satu-satunya cara ayahnya menunjukkan ‘perhatian’ hanyalah dengan membelikan barang mahal. Tapi perhatian yang sesungguhnya? Nol besar.

Malam itu, Devan melaju kencang.

Jakarta di malam hari selalu penuh warna. Lampu-lampu jalanan, gedung tinggi yang bercahaya, dan suara klakson yang riuh. Tapi bagi Devan, semua itu hanya latar belakang tanpa makna.

Setengah jam kemudian, ia tiba di sebuah lapangan kosong dekat flyover—tempat pertemuan yang sudah ditentukan. Puluhan anak muda dari dua sekolah berbeda sudah berkumpul, wajah mereka penuh amarah, tangan mereka menggenggam senjata seadanya—tongkat kayu, batu, hingga rantai motor.

Dio, sahabat Devan sejak SMP, mendekat. “Mereka banyak, tapi kita lebih siap.”

Devan hanya mengangguk. Tawuran ini bukan soal menang atau kalah baginya. Ini hanya cara lain untuk membunuh waktu. Untuk merasa hidup, walau sesaat.

Saat bentrokan dimulai, semuanya menjadi kabur—suara teriakan, suara pukulan, dan napasnya yang berat. Tapi dalam keributan itu, Devan merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Sebuah pertanyaan samar di kepalanya.

Apa yang sebenarnya gue cari?

Tapi sebelum ia sempat menemukan jawabannya, sebuah pukulan mendarat di pelipisnya, membuat dunia di sekitarnya berputar.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Devan tidak pulang ke rumah.

Devan tersentak saat merasakan darah hangat mengalir dari pelipisnya. Dunia terasa berputar, tetapi ia tetap berdiri. Lawannya, seorang siswa dari SMA Cakra, melangkah mundur dengan napas tersengal.

“Masih bisa berdiri, hah?” ejeknya.

Devan mengangkat tangan, menyeka darah yang mengalir dari pelipisnya, lalu menatap tajam ke arah pemuda itu. Ia bisa merasakan amarah membara di dadanya, tetapi bukan kepada orang di hadapannya.

Amarah itu lebih dalam. Lebih gelap.

Tanpa pikir panjang, ia maju dan melepaskan pukulan telak ke wajah lawannya, membuatnya jatuh terhuyung. Namun sebelum perkelahian bisa berlanjut, suara sirene meraung dari kejauhan.

“Polisi!” seseorang berteriak.

Seperti refleks, semua orang berhamburan. Dio menarik lengan Devan dengan kasar. “Ayo, cabut!”

Namun Devan tidak langsung bergerak. Matanya menatap ke arah lampu-lampu mobil polisi yang semakin dekat, lalu ke sekelilingnya—anak-anak sekolah yang berlari menyelamatkan diri, beberapa yang terluka parah, dan yang lainnya ketakutan.

Sama seperti dulu. Sama seperti setiap kali tawuran terjadi.

Ia tahu skenarionya: polisi menangkap beberapa orang, kepala sekolah akan murka, dan nama-nama mereka akan masuk daftar hitam. Tapi tidak ada yang benar-benar berubah. Semua hanya berulang seperti lingkaran tanpa akhir.

“DEVAN!” Dio berteriak lebih keras.

Akhirnya, Devan melangkah mundur, berbalik, lalu berlari bersama Dio. Nafasnya berat, jantungnya berdegup cepat, tetapi bukan karena ketakutan. Ia bahkan tidak peduli jika tertangkap.

Mereka berlari menembus gang-gang sempit hingga akhirnya keluar di sebuah jalan kecil. Dio membungkuk, mencoba mengatur napasnya.

“Gila, hampir aja tadi,” katanya sambil tertawa kecil.

Devan hanya diam, menatap langit malam yang gelap. Jakarta masih ramai, tetapi di dalam dirinya, hanya ada sunyi.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak ingin pulang.

Dini Hari, Sebuah Kafe 24 Jam

Devan duduk di sudut kafe, sebuah jaket hitam menutupi seragamnya yang berantakan. Kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia belum menyentuhnya.

Ia tidak ingin pulang ke rumah besar yang kosong. Tidak ingin menghadapi keheningan yang selalu menyambutnya.

Dio sudah pergi satu jam yang lalu, setelah mengeluh capek dan butuh tidur. Tapi Devan masih di sini, memandangi pantulan dirinya di kaca jendela.

Wajahnya tampan, seperti yang selalu dikatakan orang-orang. Tapi apa gunanya ketampanan jika hidupnya seperti ini?

Saat itu, seorang pelayan datang dan menaruh sebotol air mineral di mejanya. “Mas, ada darah di pelipisnya. Mau saya ambilin tisu?”

Devan menoleh, sedikit terkejut. Pelayan itu bukan siapa-siapa, hanya gadis biasa dengan seragam kafe yang tampak kebesaran. Tapi ada sesuatu dalam suaranya—nada tulus, bukan kepura-puraan.

“Santai aja, ini cuma luka kecil,” jawabnya santai.

Pelayan itu mengangguk, lalu pergi.

Devan menghela napas panjang. Sudah lama sekali sejak ada orang yang benar-benar peduli, walau hanya sekadar menawarkan tisu.

Dan di saat itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih hidup.

Devan masih duduk di sudut kafe, tatapannya kosong. Kopi hitam yang tadi dipesannya kini sudah benar-benar dingin. Dia tidak ingin pulang.

Namun, sesadar apa pun ia menolak kenyataan, rumah itu tetap tempatnya kembali. Meski hampa, meski dingin.

Dengan enggan, ia bangkit, memasukkan beberapa lembar uang ke atas meja, lalu berjalan keluar. Malam sudah semakin larut, udara dingin menusuk kulit. Saat ia meraih motornya yang diparkir di pinggir jalan, ponselnya bergetar.

Nomor tidak dikenal.

Biasanya, Devan tidak peduli dengan panggilan seperti ini, tetapi entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Ia mengangkat telepon itu.

“Halo?”

Tidak ada suara di seberang sana, hanya tarikan napas yang pelan. Devan mengernyit.

“Siapa?” tanyanya lagi, sedikit kesal.

Dan kemudian, suara itu terdengar—lembut, penuh kehati-hatian. Suara seorang perempuan.

“Jangan pulang malam ini.”

Devan membeku. “Apa?”

“Jangan pulang, Devan.”

Klik.

Telepon terputus.

Devan menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Siapa perempuan itu?

Dan yang lebih penting…

Kenapa dia melarangnya pulang?

Sebuah firasat buruk tiba-tiba muncul di benaknya, tetapi ia mengabaikannya. Dengan satu tarikan napas, Devan menghidupkan motornya dan melaju menuju rumah.

Namun, begitu ia tiba di gerbang rumahnya…

Lampu-lampu rumahnya padam.

Suasana terlalu sunyi. Tidak ada suara pelayan, tidak ada Bu Mirna yang biasanya selalu terjaga.

Perasaan aneh mulai menjalar di tubuhnya.

Perlahan, ia membuka pintu rumah dan melangkah masuk. Kegelapan menyambutnya, tetapi ada sesuatu yang lebih mengganggu… bau yang asing.

Bau besi.

Bau yang tajam.

Bau darah.

Dan saat Devan menyalakan lampu ruang tamu, tubuhnya langsung menegang.

Di lantai marmer putih, tergeletak seorang wanita paruh baya.

Bu Mirna.

Tertelungkup dalam genangan darah.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Devan merasakan sesuatu yang selama ini tak pernah ia rasakan.

Takut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 12

    Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 11

    Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 10

    Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 09

    “Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 08

    Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 07

    Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status