Share

Bab 02

Author: Tania04
last update Last Updated: 2025-03-19 21:19:07

Devan masih berdiri di ambang pintu, tubuhnya membeku. Bau darah semakin menusuk hidungnya, seolah memenuhi seluruh ruangan.

Bu Mirna…

Wanita tua itu tergeletak tak bernyawa, tubuhnya berlumuran darah.

Devan ingin berpikir ini semua hanya mimpi buruk, tapi tubuhnya gemetar. Napasnya tersengal, dan sebelum ia sadar, kakinya melangkah mendekat.

“Bu Mirna…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

Tangannya terangkat, hampir menyentuh tubuh wanita itu, tetapi sesuatu di dalam dirinya menghentikannya. Ketakutan.

Bukan ketakutan karena kematian, tapi karena kehilangan seseorang yang selama ini selalu ada untuknya.

Jika boleh memilih, Devan lebih rela kehilangan kedua orang tuanya daripada Bu Mirna.

BRAK!

Pintu depan terbuka dengan kasar. Beberapa pria berseragam hitam masuk, diikuti seorang pria paruh baya dengan setelan mahal dan wajah penuh kemarahan.

Ayahnya.

Iwan Adipradana.

Pria itu melangkah masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya jatuh pada tubuh Bu Mirna yang sudah tak bernyawa. Rahangnya mengeras.

Beberapa langkah di belakangnya, seorang wanita dengan gaun mahal menutup mulutnya dengan tangan. Matanya membelalak ngeri.

Ibunya.

Orang tua yang seharusnya menjadi rumah bagi Devan, tetapi justru terasa seperti orang asing.

Mereka pulang.

Bukan karena ingin bertemu dengan anak mereka.

Tapi karena tragedi ini.

Salah satu pria berseragam—entah polisi atau pengawal keluarga—mendekati ayahnya dan berkata, “Tuan, kami akan segera menyelidiki ini. Ada kemungkinan ini adalah perampokan.”

Iwan mengangguk, lalu menoleh ke arah Devan yang masih berdiri diam. Matanya tajam, penuh evaluasi.

“Devan,” suaranya dingin, seperti biasanya. “Apa yang terjadi?”

Devan menatap ayahnya. Matanya memerah, dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, ingin menjerit, ingin mengatakan ‘Kenapa kalian peduli sekarang?!’

Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah satu kalimat.

“Kalian gak perlu pulang.”

Ibunya terisak. “Nak, ini—”

“GAK PERLU PURA-PURA PEDULI!” suara Devan meledak, menggema di seluruh ruangan.

Semua orang membisu.

Devan menatap kedua orang tuanya dengan mata penuh kebencian. Tangannya mengepal.

“Kalian bahkan gak tahu siapa yang selalu ngurusin gue, siapa yang selalu ada di rumah ini…” suaranya bergetar, menahan amarah dan kesedihan yang meluap. “Kalau boleh milih, gue lebih rela kalian yang mati daripada Bu Mirna!”

Wajah ibunya memucat, sementara ekspresi ayahnya tetap dingin, meski ada kilatan emosi di matanya.

Ruangan itu dipenuhi keheningan.

Lalu, tanpa menunggu jawaban, Devan berbalik dan pergi.

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian.

Devan tidak punya alasan untuk tetap tinggal.

Bu Mirna sudah pergi. Satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, yang selalu memastikan ia makan, yang selalu mengingatkan agar tidak pulang terlalu malam, yang selalu menanyakan apakah ia baik-baik saja.

Dan kini, rumah ini terasa lebih kosong dari sebelumnya.

Tanpa berpikir panjang, Devan meraih jaket kulitnya, mengambil kunci motor yang tergeletak di meja, lalu melangkah keluar.

“Hentikan, Devan.”

Suara dingin ayahnya menghentikan langkahnya di depan pintu.

Devan tidak menoleh. Ia sudah cukup muak melihat wajah lelaki itu.

“Aku tidak akan menghalangi kepergianmu,” suara Iwan tetap tenang, tapi ada sedikit ketegasan. “Tapi kau tidak akan pergi jauh. Aku akan tetap memastikan kau ada di bawah pengawasanku.”

Devan mengejek dalam hati. Di bawah pengawasan? Seumur hidupnya, lelaki itu tidak pernah sekalipun peduli ke mana Devan pergi atau dengan siapa ia bergaul.

Devan hanya tertawa kecil—tanpa emosi. “Sejak kapan lo peduli?” katanya, membuka pintu lebar-lebar.

Ibunya, Lena, masih duduk di sofa, wajahnya basah oleh air mata. Wanita itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara tidak keluar dari bibirnya.

Dan Devan? Dia tidak peduli. Wanita itu sudah terlalu terlambat untuk menyesal.

Tanpa kata-kata perpisahan, ia keluar dari rumah dan menutup pintu dengan keras.

Devan mengendarai motor sport hitamnya dengan kecepatan tinggi. Angin dingin menusuk kulitnya, tetapi itu lebih baik daripada kehangatan rumah yang terasa seperti penjara.

Jalanan kota sudah sepi. Lampu-lampu jalan berkedip samar, menciptakan bayangan panjang di aspal.

Ke mana aku harus pergi?

Devan sendiri tidak tahu. Ia hanya ingin menjauh. Semakin jauh, semakin baik.

Mungkin ke apartemen Dio, salah satu teman dekatnya? Atau tidur di gudang tempat ia biasa nongkrong dengan anak-anak geng motor?

Entahlah. Untuk pertama kalinya, Devan merasa benar-benar tidak punya tempat untuk pulang.

Sementara itu…

Di ruang keluarga yang sunyi, Lena menangis tersedu. Tangannya mencengkeram sofa, tubuhnya bergetar.

“Ini semua salah kita…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku ibunya… tapi anakku sendiri bilang lebih baik aku yang mati…”

Iwan menghela napas panjang. Ia bukan tipe pria yang mudah menunjukkan emosi, tetapi malam ini sedikit berbeda.

“Kita memang bukan orang tua yang baik,” katanya jujur.

Lena menoleh, matanya sembab. “Jadi sekarang kita harus bagaimana? Dia sudah pergi! Kita bahkan tidak tahu dia akan ke mana, Iwan…”

Iwan tidak langsung menjawab. Matanya menatap pintu yang masih sedikit bergetar akibat Devan membantingnya tadi.

Lalu, dengan suara yang berat, ia berkata,

“Dia akan kembali.”

Lena menggeleng. “Bagaimana kalau dia tidak kembali?”

Iwan menatapnya dalam-dalam.

“Percayalah… dia akan kembali.”

Tapi bukan karena rumah ini adalah tempat yang ia rindukan.

Melainkan karena takdir masih punya rencana untuknya.

Jalanan semakin sunyi.

Devan terus memacu motornya, menembus dinginnya malam tanpa arah yang jelas. Lampu jalan menerangi aspal yang kosong, hanya sesekali ada mobil melintas.

Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Gudang tempat gengnya biasa nongkrong mungkin masih buka, tapi apakah ia ingin ke sana?

Pikirannya masih dipenuhi gambaran Bu Mirna yang tergeletak di lantai. Darah. Kesepian. Kosong.

Tapi tiba-tiba…

“Tolong! Tolong aku!”

Devan sedikit mengerem, kepalanya menoleh ke arah suara itu.

Di sebuah gang sempit, seorang perempuan berdiri terpojok. Tubuhnya gemetar, wajahnya penuh ketakutan. Beberapa pria berbadan besar mengelilinginya, menampilkan seringai meremehkan.

Preman.

Salah satu dari mereka—berambut gondrong dengan jaket kulit robek—tertawa. “Percuma teriak-teriak, Nona. Udah malam, gak bakal ada yang nolongin.”

“Lebih baik nurut aja,” sahut yang lain, memainkan pisau lipat di tangannya.

Perempuan itu mundur beberapa langkah sampai punggungnya menabrak dinding. Matanya masih mencari bantuan, dan saat itulah…

Tatapan mereka bertemu.

Devan yang masih duduk di atas motornya.

Perempuan itu langsung berteriak, “Tolong! Tolong aku, kamu yang di sana!”

Devan memalingkan wajahnya.

Bukan urusannya.

Ia sudah cukup dengan masalahnya sendiri.

Namun… perempuan itu terus berteriak, memohon.

Devan menghela napas panjang. Kenapa harus gue?

Dengan malas, ia mematikan mesin motor dan turun. Para preman menoleh ke arahnya, ekspresi mereka berubah dari mengejek menjadi kesal.

“Lu mau sok jagoan?” salah satu dari mereka mendekat, menatap Devan dari atas ke bawah. “Pergi kalau gak mau babak belur.”

Devan menatap mereka dengan tatapan datar. “Gue lagi gak mood.”

“Lantas ngapain ikut campur?”

Devan melangkah maju. “Karena gue butuh pelampiasan.”

Sebelum para preman sempat bereaksi, Devan langsung menghantam wajah pria di depannya dengan tinju keras. Darah langsung keluar dari hidungnya.

Lalu semuanya berubah jadi kekacauan.

Devan melompat ke arah pria kedua, menghindari pukulan, lalu menyikut perutnya. Preman itu terhuyung mundur, kesakitan.

Yang ketiga mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi Devan dengan cepat menangkap lengannya dan memutarnya dengan kasar—membuat pria itu berteriak kesakitan sebelum tersungkur ke tanah.

Hanya butuh beberapa menit sebelum semua preman tergeletak, mengerang kesakitan.

Devan menghela napas dan merenggangkan bahunya. Pelampiasan yang bagus.

Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan berjalan ke motornya.

Tapi sebelum ia bisa naik, tangannya ditahan.

Devan menoleh. Perempuan itu—masih gemetar, wajahnya ketakutan—memegang lengannya dengan erat.

“A-aku…” suaranya bergetar. “Tolong antar aku pulang.”

Devan terdiam. Ia bisa saja menolak dan pergi begitu saja. Tapi genggaman tangan perempuan itu erat, seolah ia benar-benar ketakutan.

Dengan malas, Devan menghela napas. “Alamat?”

Perempuan itu menyebutkan lokasinya, dan tanpa banyak bicara, Devan menyuruhnya naik ke motor.

Perempuan itu ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut.

Sepanjang perjalanan, mereka tidak berbicara satu kata pun.

Dan tanpa mereka sadari, ini adalah awal dari pertemuan yang akan mengubah kehidupan mereka.

Setelah memastikan perempuan itu sampai dengan selamat, Devan kembali mengendarai motornya.

Apartemen Dio bukan pilihan. Devan tidak ingin mengganggu temannya itu di tengah malam.

Akhirnya, ia memutuskan pergi ke tempat yang paling masuk akal baginya.

Gudang kosong di pinggiran kota.

Di sanalah biasanya ia dan teman-temannya dari geng motor berkumpul. Tempat itu bau oli, dindingnya penuh coretan grafiti, dan di sudut, ada sofa tua yang selalu ia gunakan untuk tidur saat tidak ingin pulang ke rumah.

Malam ini, tempat itu sepi.

Devan melempar jaketnya ke lantai dan menjatuhkan diri ke sofa.

Matanya menatap langit-langit gelap. Hidupnya berantakan.

Bu Mirna pergi. Rumah itu tidak lagi terasa seperti rumah. Dan sekarang, ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Tapi yang lebih aneh…

Wajah perempuan tadi terus muncul di pikirannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 12

    Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 11

    Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 10

    Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 09

    “Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 08

    Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 07

    Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status