Share

Bab 07

Author: Tania04
last update Last Updated: 2025-07-02 16:00:37

 

Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.

Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.

Ponselnya berdering.

Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.

“Iya, Ma…”

“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.

Sherin diam.

“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”

Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"

“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”

Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyentuh perasaan Sherin sedikit pun. Hanya urusan bisnis. Reputasi. Penampilan.

Sherin meletakkan ponsel di meja dan menatap ke luar jendela. Langit malam Jakarta terlihat dingin dan jauh.

 

Sherin tahu, Robi bukan lelaki yang bisa ia cintai. Ia terlalu egois, kasar, suka pamer, dan tidak pernah benar-benar mendengar.

Namun bagi Robi, kabar pertunangan yang direncanakan ini adalah kemenangan. Ia bahkan mengirim pesan manis beberapa kali seolah mereka sudah jadian.

Sherin membalas seperlunya. Tapi batinnya menolak mentah-mentah.

Ia mulai berpikir keras.

“Aku harus cari cara keluar dari ini semua.”

Malam itu ia mencoba membuka aplikasi kencan. Berharap bisa bertemu pria baik yang bisa diajak “berpura-pura” sebagai kekasih.

Tapi hasilnya nihil.

Beberapa menolak mentah-mentah. "Kalau cuma buat acting pacar, maaf, saya bukan aktor," kata salah satu.

Ada juga yang tertarik, tapi setelah tahu itu hanya sandiwara, langsung kabur.

Sherin frustrasi. Hampir putus asa.

Sampai akhirnya…

Satu nama muncul di benaknya.

Devan.

Ia langsung menepisnya.

“Gila, Rin! Dia murid kamu! Lebih muda! Orang bakal mikir kamu nggak waras.”

Tapi entah kenapa… nama itu muncul lagi.

Devan...

Anak yang keras kepala. Dinginnya luar biasa. Tapi diam-diam... menyimpan empati dan keberanian yang tidak dimiliki laki-laki manapun yang pernah ia kenal.

“Dia pernah nolong aku… tanpa pamrih.”

Sherin menggigit bibirnya. Pikiran itu terus berputar. Ia tahu risikonya besar.

Tapi satu hal yang lebih menakutkan dari semua itu adalah menikah dengan Robi dan menghabiskan hidup dengan laki-laki yang ia benci.

“Kalau Devan mau bantu… hanya pura-pura… hanya sampai orangtuaku berhenti memaksa…”

Sherin menarik napas panjang. Ia tahu, ini gila. Tapi sekarang, itu satu-satunya harapan.

Satu-satunya langkah yang bisa menyelamatkan hidupnya dari perangkap yang dibuat oleh orangtuanya sendiri.

Malam itu, ia menulis di notes-nya:

Rencana:

Bicara baik-baik ke Devan

Jelaskan masalah tanpa tekanan

Beri pilihan: bantu atau tidak

Jika ia menolak: pikirkan Plan B terakhir

Jika menerima: atur kesepakatan, batasan, waktu

Jangan jatuh hati.

Poin terakhir membuat jantung Sherin berdebar tak karuan.

"Jangan jatuh hati."

Ia tahu... itu yang paling sulit dari semuanya.

 

Tiga hari berlalu sejak kejadian itu.

Devan sudah pulih total dari kecelakaannya. Luka-luka di wajahnya pun nyaris tak terlihat—hanya sedikit bekas goresan di pelipis kiri.

Ia kembali ke sekolah seperti biasa.

Bukan sebagai murid teladan yang dirindukan banyak guru. Tapi sebagai Devan yang sama: anak urakan, penuh misteri, yang berjalan santai dengan tangan di saku dan tatapan kosong ke depan.

Ketika ia masuk gerbang sekolah, beberapa murid menatapnya dengan raut bingung.

“Lah… itu Devan?”

“Serius? Bukannya kemarin katanya koma?”

Devan hanya mendengar sekilas. Tidak peduli. Langkahnya tetap tenang, santai… penuh ketidaktertarikan.

Di kelas, suasana berubah tegang ketika ia masuk.

Via langsung berdiri dari bangkunya dengan wajah bersinar. “Devan…!”

Wajahnya begitu cerah, seperti seseorang yang baru saja menyambut matahari setelah malam panjang.

“Puji Tuhan kamu selamat… aku pikir kamu…” ucap Via terputus karena emosinya.

Devan menoleh sedikit, lalu duduk di bangkunya tanpa banyak bicara. Ia menatap keluar jendela, sebelum akhirnya berkata pelan:

“Mulai sekarang… jaga jarak, Via.”

Via terdiam. Wajahnya seketika berubah. Sorot matanya menurun, dan nada suaranya gemetar, “Maksud kamu?”

“Aku nggak mau ada yang salah paham lagi. Ini demi kamu juga,” ucap Devan, tetap tanpa menatap langsung ke arahnya.

Via hanya mampu mengangguk pelan. Luka di matanya jelas terlihat, tapi ia mencoba tegar. “Oke… kalau itu mau kamu.”

Ia melangkah pergi perlahan, meninggalkan kelas.

Raka yang duduk di sebelah Devan menepuk bahunya dengan santai. “Keputusan yang bagus, bro… walau agak dingin sih caranya.”

Devan hanya menoleh sebentar, malas menanggapi.

“Biar nggak ada drama-drama murahan di masa depan, ya kan?” tambah Raka dengan tawa kecil.

Devan menghela napas panjang. Matanya terlihat lelah.

Namun kalimat Raka selanjutnya… membuatnya langsung berhenti bergerak.

“Oh iya, si Bu Sherin sempet nyariin kamu waktu kamu nggak masuk. Tiga hari dia nanyain terus ke gue sama Dio. Dia kira kamu makin parah.”

Devan perlahan menoleh ke arah Raka.

“Aku bilang sih kamu baik-baik aja. Udah agak mendingan. Tapi… ya… ternyata udah ada yang perhatian juga, Van…” ucap Raka sambil menyeringai, lalu mendorong bahu Devan pelan.

Devan tidak membalas. Ia hanya diam. Tapi sorot matanya… berubah.

Ada sesuatu yang mengganggunya.

Bukan marah. Bukan geli. Tapi seperti bingung.

Dan seperti… bertanya-tanya.

“Kenapa dia peduli?” pikirnya.

Sherin… guru muda yang selama ini tegas tapi selalu adil. Seseorang yang terlihat kuat, tapi ada sorot kesepian yang samar di balik matanya.

Devan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Untuk pertama kalinya… pikirannya tidak fokus.

Malam harinya, ia kembali ke apartemen Dio, tempat di mana ia tinggal sementara. Orang tuanya tidak tahu ia kembali ke dunia balap liar. Mereka pikir ia sedang “memulihkan diri.”

Padahal kenyataannya, asap, mesin motor, dan teriakan jalanan malam sudah menjadi candu dalam hidup Devan.

Dan walau ibunya, Fera, sempat memohon dengan air mata agar Devan pulang ke rumah, Devan hanya menjawab:

“Ma, jangan maksa. Rumah itu… bukan rumah buat aku.”

Fera hanya terdiam sambil menangis.

 

Kembali ke kelas, hari itu masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya dalam sekian lama…

Devan mulai memikirkan seseorang…

Bukan Via. Bukan ibunya.

Tapi Bu Sherin.

Seseorang yang mungkin menyimpan lebih banyak luka daripada dirinya sendiri.

Dan entah mengapa, pikiran itu tidak bisa ia buang begitu saja.

Jam pelajaran pun dimulai tanpa terasa.

Bel istirahat berbunyi.

Satu per satu siswa keluar dari kelas dengan semangat. Kantin adalah tempat pelarian dari kebosanan pelajaran.

“Van, ke kantin yuk?” ajak Raka sambil mengayun tas selempangnya ke bahu.

Devan yang sedang duduk santai di bangkunya hanya melirik sebentar.

“Lagi nggak mood,” jawabnya singkat.

“Yah… dasar manusia misterius,” cibir Raka pelan, lalu terkekeh sendiri. “Gue cari Dio deh, biar ada temen makan.”

Devan mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa lagi.

Kelas pun makin sepi.

Via sempat melirik ke arah Devan, hendak menyapa… tapi hanya bisa tersenyum kecil, senyum yang terlihat dipaksakan.

Devan tidak menanggapi. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun.

Pikirannya sedang sibuk sendiri.

Bukan soal pelajaran. Bukan soal teman.

Tapi soal masa depan.

Sesuatu yang ia rasa semakin hari… semakin gelap.

Meski ia sudah mulai menjalankan bisnis kecilnya—sebuah usaha online yang hanya diketahui oleh Raka dan Dio—tetap saja… bayangan luka lama dan tekanan hidup membuat dadanya sesak.

"Hidup begini terus… sampe kapan?"

Waktu terus berjalan hingga bel terakhir berbunyi. Jam pulang sekolah tiba.

Devan melangkah santai di koridor, memasukkan satu tangan ke saku celana. Rambutnya sedikit acak, tatapannya kosong, seperti biasa.

Tapi tiba-tiba…

“Devan.”

Suara itu terdengar lembut, namun cukup jelas untuk menghentikan langkahnya.

Devan menoleh.

Di ujung lorong, berdiri Bu Sherin.

Dengan wajah serius namun ada kelembutan di matanya, ia menatap langsung ke arah Devan.

Dan untuk pertama kalinya hari itu…

Langkah Devan terhenti.

 

Apa yang akan Sherin katakan ke pada Devan ?

baca di bab selanjutnya ya..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 12

    Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 11

    Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 10

    Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 09

    “Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 08

    Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 07

    Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status