Devan memutuskan. Ia harus pergi dari rumah itu.
Ia tidak punya alasan untuk tetap tinggal. Bu Mirna telah pergi, dan orang tuanya… mereka hanyalah dua orang asing yang sesekali membantunya bertahan hidup. Ia menggunakan uangnya sendiri—hasil dari balap liar dan pekerjaan lain yang tidak ingin ia ceritakan kepada siapa pun—untuk membeli apartemen kecil di pusat kota. Bukan mewah, bukan besar, tapi cukup untuk hidup sendiri. Dio, satu-satunya orang yang benar-benar mengerti dirinya, hanya bisa menghela napas. “Lu yakin mau pisah dari mereka?” Devan hanya menyalakan rokok dan menatap keluar jendela apartemennya. “Gue gak punya siapa-siapa lagi.” Dio tahu, tak ada gunanya membujuk Devan untuk berubah pikiran. Ia bisa merasakan betapa dalam luka yang dirasakan sahabatnya. Dan hari-hari berlalu… Di sekolah, nama Devan sudah seperti legenda. Tampan, kejam, dingin. Tak ada yang berani macam-macam dengannya. Para siswa memilih menghindari masalah dengannya, sementara siswi-siswi hanya bisa memandang dari jauh—terpesona oleh ketampanannya, tetapi takut dengan auranya yang dingin dan tak tersentuh. Namun, meskipun terkenal, Devan tidak pernah peduli. Baginya, sekolah hanyalah tempat persinggahan yang membosankan. Senin pagi, pengumuman penting dibuat di lapangan upacara: “Hari ini kita akan kedatangan guru baru yang juga akan menjadi wali kelas 12-3.” Itu kelas Devan. Namun, Devan tidak tertarik. Saat yang lain masih berdiri di lapangan, ia malah memilih menyelinap ke kantin. Bersama Raka—teman sekelasnya yang selalu mengikutinya ke mana pun—ia duduk di pojokan, menyalakan rokok secara diam-diam. “Gue dengar guru baru itu masih muda, bro,” kata Raka, menyeringai. “Katanya juga cantik banget.” Devan hanya mendengus. “Terus?” “Lu gak penasaran?” “Gak.” Baginya, tidak ada satu pun hal menarik di hidup ini. Setelah upacara selesai, Devan dan Raka kembali ke kelas. Seperti biasa, para guru sudah lelah menegur Devan. Tak ada yang berani menantangnya untuk mengikuti aturan. Saat mereka masuk, kelas masih sedikit ramai. Tetapi begitu Devan melangkah masuk, suasana mendadak hening. Mereka semua tahu siapa yang baru datang. Devan tidak peduli. Ia duduk di bangku paling pojok, menatap keluar jendela, sementara Raka duduk di sebelahnya, seperti biasa. Lalu pintu kelas terbuka. Seseorang masuk. Seorang wanita muda, cantik, dengan aura anggun namun tetap tegas. Para siswa laki-laki mulai berbisik-bisik, terkagum-kagum dengan kehadiran bidadari di depan mereka. “Selamat pagi, semuanya. Nama saya Sherin Aula Atmaja. Saya akan menjadi guru baru sekaligus wali kelas kalian.” Suaranya terdengar lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Para siswa laki-laki semakin ribut. Bisik-bisik kekaguman memenuhi ruangan. Devan masih tidak peduli. Baginya, semua guru sama saja. Namun, ketika Sherin mulai mengabsen satu per satu, semuanya berubah. “Devan…” Tangannya yang memegang kertas absen tiba-tiba berhenti. Matanya menatap ke arah nama itu. Lalu, ia mengangkat wajahnya. Dan saat itulah, matanya bertemu dengan mata Devan. Dunia terasa berhenti sejenak. Sherin terkejut. Orang yang menolongnya malam itu… adalah muridnya sendiri?! Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak menyangka pemuda dingin yang duduk di bangku paling pojok itu adalah orang yang telah menyelamatkannya dari para preman. Namun, sebelum ia bisa mengendalikan ekspresinya, Devan sudah lebih dulu mengalihkan pandangan. Ia hanya menatap keluar jendela, seolah tak terjadi apa-apa. Tidak ada yang menarik di hidup ini. Sherin menelan ludah, mencoba menetralkan perasaannya. Bagaimana bisa ini terjadi? Dan tanpa mereka sadari… takdir mulai memainkan perannya. Setelah bel terakhir berbunyi, para siswa mulai meninggalkan kelas satu per satu. Suasana sekolah perlahan sepi, menyisakan beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Sherin tetap duduk di kursi guru, pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Devan Mahesa Putra. Ia tidak mengerti kenapa sosok itu begitu menarik perhatiannya. Mungkin karena peristiwa malam itu. Mungkin juga karena tatapan kosongnya di kelas. Atau mungkin… karena ada sesuatu dalam dirinya yang ingin memahami pemuda itu lebih jauh. Sherin mengalihkan pandangannya ke sudut kelas, ke bangku di mana Devan biasanya duduk. Pojok belakang, dekat jendela. Ia menghela napas sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada seseorang yang mungkin tahu lebih banyak tentang muridnya itu. “Via, bisa bicara sebentar?” Sherin menghampiri seorang gadis berambut panjang yang sedang merapikan bukunya. Via, ketua kelas yang cantik dan berwibawa, menatapnya dengan sedikit terkejut. “Tentu, Bu. Ada apa?” Sherin tersenyum kecil. “Aku hanya ingin tahu tentang salah satu murid di kelas ini.” Via mengangguk dengan penasaran. “Siapa, Bu?” Sherin melirik ke arah bangku belakang. “Devan Mahesa Putra.” Sekilas, Via tampak ragu sebelum akhirnya duduk kembali. Ada sedikit kebingungan di wajahnya, seolah ia bertanya-tanya kenapa wali kelasnya tertarik dengan pemuda itu. “Kenapa Ibu ingin tahu tentang Devan?” Sherin tidak bisa menjelaskan alasan sebenarnya, jadi ia memilih menjawab dengan sederhana. “Sebagai wali kelas, aku ingin mengenal murid-muridku lebih baik. Dan sepertinya, Devan adalah siswa yang cukup… unik.” Via mengangguk paham sebelum mulai bercerita. “Devan terkenal di sekolah ini. Bukan hanya karena wajahnya yang tampan, tapi juga karena sikapnya yang dingin dan… bisa dibilang, sedikit berbahaya.” Sherin mengernyitkan dahi. “Berbahaya?” Via menghela napas. “Dia sering terlibat masalah. Tawuran, balap liar, perkelahian… banyak guru sudah menyerah menghadapi sikapnya. Kepala sekolah bahkan sempat ingin mengeluarkannya, tapi…” Via menggantungkan kalimatnya sejenak. “Tapi apa?” Sherin mendesak. “Tapi orang tua Devan adalah donatur di sekolah ini,” jawab Via pelan. “Jadi, meskipun ia berbuat masalah, pihak sekolah tidak bisa sembarangan mengambil keputusan.” Sherin terdiam. Via melanjutkan, “Sebenarnya, banyak yang takut pada Devan, tapi aku sendiri merasa… dia hanya memakai topeng.” Sherin menatap Via penuh rasa ingin tahu. “Topeng?” Via mengangguk. “Aku mungkin tidak terlalu dekat dengannya, tapi dari apa yang kulihat, Devan adalah seseorang yang menyimpan banyak luka. Ibunya sibuk dengan dunia sosialnya, sementara ayahnya lebih banyak bekerja di luar negeri. Aku tidak pernah melihat Devan benar-benar dekat dengan siapa pun. Bahkan, kalau dipikir-pikir, mungkin satu-satunya orang yang benar-benar ia pedulikan adalah Bu Mirna…” Sherin mengernyit. “Bu Mirna?” “Pengasuhnya. Orang yang membesarkannya sejak kecil,” kata Via lirih. “Tapi… Bu Mirna sudah meninggal beberapa hari lalu.” Sekujur tubuh Sherin mendadak membeku. Jadi itu sebabnya… Tanpa sadar, ia mengepalkan tangannya di bawah meja. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar peduli padamu. Sekarang, ia bisa sedikit memahami kenapa Devan menjadi seperti ini. Ia bukan sekadar pemuda nakal yang suka membuat masalah. Ia hanyalah seseorang yang tersesat, yang kehilangan pegangan dalam hidupnya. Sherin menggigit bibirnya. Dalam hati, ia berjanji—entah bagaimana, ia ingin memastikan Devan tidak semakin terjatuh dalam kegelapan. Namun, ia juga sadar… Perasaan ini muncul begitu saja, tanpa bisa ia cegah. Dan itu sedikit membuatnya takut. Setelah berbicara cukup lama, Via akhirnya berpamitan pulang. Sherin pun membereskan barang-barangnya dan meninggalkan sekolah. Namun, saat malam tiba dan ia berada di apartemennya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu nama. Devan Mahesa Putra. Entah kenapa, ia tidak bisa berhenti memikirkan pemuda itu. Dan ia tidak tahu apakah itu adalah sesuatu yang baik… atau justru awal dari sebuah masalah yang lebih besar.Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik
Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak
Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu
“Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m
Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga
Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen