Malam itu, suasana di apartemen Dio terasa lebih hidup dari biasanya. Dio, Raka, dan Devan berkumpul di ruang tamu, masing-masing duduk dengan santai. Dio membuka kaleng soda, sementara Raka bersandar di sofa dengan tangan di belakang kepala.
Dio Nicho Pratama berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Andre Pratama, adalah seorang pengacara terkenal yang sering menangani kasus-kasus besar, sementara ibunya, Mawar lebih memilih untuk berada di balik layar sebagai ibu rumah tangga. Dio tumbuh dalam lingkungan yang penuh kedisiplinan, tetapi ia tidak terlalu mengikuti jejak ayahnya. Meskipun begitu, Dio tetap cerdas dan memiliki pemikiran yang tajam. Dibandingkan dengan Devan dan Raka, Dio yang paling rasional dan sering menjadi penengah ketika ada konflik di antara mereka. Di sisi lain, Raka Adrian Wijaya, anak dari Firman Wijaya, seorang pengusaha sukses yang memiliki perusahaan makanan terbesar di Jakarta. Ibunya, Reni Wijaya, adalah seorang desainer busana terkenal yang koleksinya selalu dipakai oleh artis-artis papan atas. Raka hidup dalam kemewahan sejak kecil, tetapi ia tidak sombong. Ia justru dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dan tidak memilih-milih teman. Sifat jahilnya menjadi ciri khas, tetapi di balik itu, Raka adalah orang yang setia kawan. Mereka bertiga telah bersahabat sejak kecil. Meskipun berasal dari keluarga kaya, hanya Devan yang benar-benar mengalami masalah serius di rumahnya. Dio masih mendapat perhatian dari ibunya, sedangkan Raka memiliki keluarga yang hangat meskipun orang tuanya sibuk. "Bro, lu udah lihat guru baru kita, kan?" Raka memulai pembicaraan, nada suaranya penuh antusias. "Gila sih, gue gak nyangka bakal ada guru secantik itu di sekolah." Dio mengangguk setuju. "Bener juga, sih. Mukanya adem banget. Gak kayak guru-guru lain yang mukanya udah capek duluan ngadepin kita." Mereka berdua tertawa pelan, tapi Devan tetap diam. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap langit malam yang gelap. Pikirannya sama sekali tidak berada di dalam ruangan ini. Dio dan Raka saling berpandangan sebelum akhirnya Raka berdecak kesal. "Eh, Van. Lu dengerin gak sih?" Devan masih diam, matanya menerawang. Pikirannya terus melayang pada satu hal—Bu Mirna. Kematian wanita itu terasa begitu janggal. Tidak ada tanda-tanda sakit parah sebelumnya, tapi tiba-tiba saja ia pergi begitu saja. Rasa kehilangan itu masih menyesakkan dadanya. Dio meletakkan kaleng sodanya dan menatap Devan dengan serius. "Lu kepikiran Bu Mirna lagi, ya?" Devan akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah Dio. Ia menghela napas pelan, lalu mengangguk. "Rasanya masih aneh," gumamnya. "Gue gak bisa percaya kalau dia benar-benar udah gak ada." Raka menepuk pundak Devan dengan ringan. "Bro, gue tahu ini berat buat lu. Bu Mirna itu udah kayak ibu sendiri buat lu, kan?" Devan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Dio tersenyum kecil, mencoba mencerahkan suasana. "Dengar, Van. Gue gak tau apa yang sebenarnya terjadi sama Bu Mirna, tapi satu hal yang pasti—dia pasti mau lihat lu tetap kuat." Raka ikut mengangguk. "Iya, jangan sampai lu tenggelam dalam kesedihan. Masih ada kita di sini." Devan menatap kedua sahabatnya, lalu tersenyum tipis. Ia mungkin tidak pandai mengekspresikan perasaannya, tapi ia bersyukur memiliki teman seperti mereka. Waktu terus berlalu, hingga akhirnya malam semakin larut. Devan melihat jam di pergelangan tangannya. "Gue balik dulu," katanya singkat. "Yaudah, hati-hati di jalan," kata Dio. Raka ikut berdiri. "Gue juga cabut. Lu searah sama gue, kan, Van?" Devan mengangguk, lalu keduanya turun ke parkiran dan menyalakan motor mereka. Di perjalanan pulang, Raka melirik ke arah Devan yang terlihat lebih diam dari biasanya. "Van, lu yakin gak kenapa-kenapa?" tanyanya. Devan hanya tersenyum tipis. "Gue gak kenapa-kenapa, Rak." Tapi Raka tahu, temannya itu hanya berusaha terlihat kuat. Di persimpangan jalan, mereka akhirnya berpisah. Raka melambai singkat sebelum melaju ke arah rumahnya, sementara Devan tetap melaju dengan pikirannya yang masih dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan kematian Bu Mirna… Dan ia akan mencari tahu. Devan membuka pintu apartemennya dengan malas. Ia baru saja tiba setelah nongkrong bersama Dio dan Raka, tetapi pikirannya masih penuh dengan berbagai hal. Begitu masuk, ia langsung melepas jaketnya dan melemparkannya ke sofa sebelum berjalan menuju kamar. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tetapi ia sama sekali tidak mengantuk. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Apartemen ini terasa begitu sepi—tidak ada suara selain dengungan samar dari AC yang menyala. Sunyi. Kosong. Hampa. Setelah beberapa saat terdiam, Devan akhirnya memutuskan untuk tidur. Ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit untuk beberapa saat sebelum akhirnya memejamkan mata. Keesokan paginya Sinar matahari sudah masuk melalui celah jendela, tetapi Devan masih terlelap. Alarm ponselnya berbunyi beberapa kali, tetapi ia tidak menggubrisnya. Baru sekitar pukul 09.00 pagi, ia terbangun dengan mata masih berat. "Shit, kesiangan lagi," gumamnya pelan. Namun, Devan tidak terburu-buru. Ia berjalan santai menuju kamar mandi, membiarkan air dingin membasuh wajahnya yang masih mengantuk. Setelah mandi, ia mengenakan seragam sekolahnya dengan asal. Tidak ada yang peduli bagaimana ia berpakaian, jadi ia juga tidak memusingkan hal itu. Saat berjalan ke dapur, ia hanya menemukan sepotong roti tawar di atas meja. Tanpa ragu, ia langsung melahapnya begitu saja, lalu mengambil jaketnya dan keluar dari apartemen. Motor sport hitamnya menyala dengan suara rendah. Dengan satu tarikan gas, Devan melaju meninggalkan apartemen yang selama ini menjadi saksi bisu dari kehampaan hidupnya. Di sekolah… Sherin berdiri di depan kelasnya, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Sejak pagi, ia menyadari bahwa salah satu muridnya belum hadir—Devan. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Devan memang terkenal sering absen atau datang terlambat, tetapi entah kenapa hari ini perasaannya sedikit berbeda. Akhirnya, Sherin menanyakan Devan kepada teman sebangkunya, Raka. "Raka, kamu tahu kenapa Devan belum masuk?" tanyanya. Raka yang awalnya sedang sibuk memainkan pulpennya langsung menoleh. Begitu melihat wajah Sherin yang cantik, ia sedikit berbunga-bunga. Tidak setiap hari ia bisa berbicara langsung dengan wali kelasnya ini. "Eh, iya, Bu," jawab Raka dengan sedikit cengiran. "Semalam sih Devan nongkrong sama saya sama Dio. Setelah pulang, saya juga gak tahu dia langsung ke apartemen atau enggak." Sherin mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, ia masih merasa khawatir. "Jangan-jangan dia kenapa-napa di jalan?" pikirnya. Tapi ternyata, orang yang dikhawatirkannya sedang asyik makan di kantin. Devan sudah berada di sekolah, tetapi ia masuk melalui tembok belakang seperti biasanya. Ibu-ibu kantin sudah tidak kaget dengan kelakuannya, karena ini bukan pertama kalinya ia melakukan hal tersebut. Sementara itu, di dalam kelas, bel masuk berbunyi. Sherin bersiap untuk mulai mengajar, tetapi tiba-tiba pintu kelas terbuka. Semua mata langsung tertuju ke arah sosok yang baru saja masuk—Devan. Ia berjalan dengan santai menuju bangkunya, seolah tidak peduli dengan tatapan murid-murid lain maupun sorot mata tajam dari Sherin. Sherin merasa campur aduk. Di satu sisi, ia kesal karena Devan datang terlambat. Ia sudah kelas 12, sebentar lagi ujian kelulusan, tetapi masih sering datang seenaknya. Di sisi lain, ia lega karena Devan tidak mengalami kejadian buruk. Dengan nada tegas, Sherin akhirnya menegur, "Devan, kamu tahu jam berapa sekarang?" Devan hanya mengangkat bahu. Ekspresinya datar, seolah tidak peduli dengan teguran tersebut. Sherin menghela napas. Kenapa anak ini selalu terlihat tidak peduli dengan segalanya? Setelah mendengar cerita Via kemarin, ia merasa sedikit bersalah. Mungkin cara menegurnya terlalu kasar. Seharusnya ia berbicara dengan lebih lembut dan hati-hati. Akhirnya, tanpa ingin memperpanjang masalah, Sherin hanya berkata, "Silakan duduk, dan jangan ulangi lagi." Devan tidak menjawab, hanya berjalan ke bangkunya dengan ekspresi datar seperti biasa. Namun, seseorang menangkap gelagat aneh dari Sherin—Raka. Ia melirik ke arah guru barunya itu dengan sedikit curiga. "Kenapa Bu Sherin kayaknya perhatian banget sama Devan?" gumamnya dalam hati. "hmm perlu di curigai nih..." gumamnya lagi.Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik
Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak
Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu
“Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m
Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga
Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen