Share

Bab 05

Author: Tania04
last update Last Updated: 2025-03-19 21:19:24

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dari kelas dengan wajah lega, siap kembali ke rumah atau nongkrong dengan teman-teman mereka.

Di antara mereka, Alea, seorang gadis yang terkenal sok cantik dan haus perhatian, sudah berdiri di dekat gerbang sekolah bersama teman-temannya. Matanya berbinar penuh antusias, menunggu satu sosok tertentu.

Devan.

Sejak lama, Alea selalu caper di depan Devan, berusaha menarik perhatiannya dengan berbagai cara. Sebenarnya, Alea memang cantik—kulit putih, rambut panjang tergerai dengan rapi, dan tubuhnya proporsional. Tapi sifatnya yang bar-bar, terlalu agresif, dan sering mencari perhatian, membuat Devan justru merasa risih setiap kali berhadapan dengannya.

Tak lama kemudian, Devan akhirnya keluar dari kelasnya.

Di belakangnya, Raka menyusul dengan langkah santai, diikuti oleh Dio yang datang tak lama setelahnya. Kini trio itu lengkap—Devan di tengah, Raka dan Dio di sisi kanan dan kirinya, seolah dua bodyguard yang mengawal bos mereka.

Devan sebenarnya merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya terus berjalan menuju gerbang dengan ekspresi datar dan acuh tak acuh.

Namun, tepat ketika mereka hampir mencapai gerbang, sesuatu terjadi.

Seorang gadis tiba-tiba berlari ke arahnya dengan kecepatan penuh.

Tanpa aba-aba, gadis itu langsung memeluknya erat.

"Aku kangen banget sama kamu, Dev!" kata Alea dengan suara manja, wajahnya berbinar senang.

Devan terdiam.

Pandangan matanya datar, menatap Alea yang menempel padanya seperti lintah. Dia sama sekali tidak membalas pelukan itu, hanya berdiri diam tanpa ekspresi.

Dari kejauhan, seseorang menyaksikan kejadian itu dengan hati panas.

Via.

Mata Via membara, tangannya mengepal. Ia ingin sekali menarik Alea dan mencakarnya saat itu juga.

Namun, bukan hanya Via yang merasa terganggu.

Dari ruang guru, Sherin juga melihat kejadian itu.

Hatinya tiba-tiba tidak nyaman, ada rasa kesal yang muncul ketika melihat muridnya, Alea, memeluk Devan seperti itu. Kenapa rasanya ia tidak terima melihat Devan dengan perempuan lain?

Tapi kemudian ia tersadar—kenapa ia harus merasa seperti itu?

"Apa yang aku pikirkan?" gumam Sherin dalam hati, bingung dengan perasaannya sendiri.

Sementara itu, Raka dan Dio yang menyadari ketidaknyamanan Devan langsung bertindak.

"WOI, WOI! LEPASIN!" bentak Dio sambil menarik Alea menjauh dari Devan.

Raka ikut mendorong Alea dengan sedikit kasar. "Alea, sadar diri dikit, deh! Devan tuh gak nyaman!"

Alea mendelik tajam ke arah mereka. "Ih, apaan sih kalian? Gue cuma mau nyapa Devan doang!"

"Cara nyapanya tuh gak harus nempel kayak kutu," sindir Raka.

Dio menambahkan, "Udah jelas Devan males banget sama lo, ngapain masih maksain?"

Sementara Raka dan Dio sibuk beradu mulut dengan Alea, Devan sudah melangkah pergi.

Ia tidak peduli dengan keributan di belakangnya. Baginya, membuang-buang energi untuk orang seperti Alea hanya buang-buang waktu.

Namun, ternyata ada seseorang yang diam-diam mengikuti langkahnya.

Via.

Ia berjalan sedikit gugup, mencoba menyamai langkah Devan.

Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Sherin.

Kini, ia merasa lebih lega setelah melihat Raka dan Dio berhasil menarik Alea dari Devan. Namun, ada perasaan cemas baru yang muncul.

Via kini berjalan di sisi Devan.

Sherin menatap mereka berdua dari jendela ruang guru, matanya sedikit meredup.

"Jangan-jangan Via menyukai Devan?" pikirnya.

Namun, yang membuatnya semakin bingung adalah…

"Kenapa aku tidak bisa menerima itu?"

Devan berjalan santai menuju parkiran, kepalanya tetap tertunduk dengan ekspresi datar dan tidak peduli pada keadaan sekitar.

Namun, ia tidak menyadari bahwa seseorang sedang mengikutinya dari belakang.

Via.

Gadis itu berjalan pelan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Devan. Ia tahu bahwa Devan bukan tipe orang yang suka berbicara banyak, tapi entah mengapa, hari ini ia ingin setidaknya berjalan di sampingnya.

Dari kejauhan, Rio dan teman-temannya melihat pemandangan itu.

Rio—pria yang sudah lama memendam rasa kepada Via—langsung merasakan dadanya panas.

Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat. Selama ini, ia sudah cukup sabar melihat Via tak pernah memberi respons terhadap perasaannya. Tapi melihat gadis yang ia sukai berjalan di belakang pria lain? Itu cukup untuk membakar emosinya.

Di sampingnya, salah satu temannya, Rendi, malah ikut memanas-manasi.

"Eh, lo liat tuh, Rio! Si Via jalan di belakang Devan. Lo yakin dia gak ada rasa sama dia?"

Ucapan itu semakin membuat Rio tak bisa menahan emosinya.

Tanpa berpikir panjang, ia melangkah cepat menuju Devan.

Devan yang masih berjalan tiba-tiba dihampiri sekelompok orang.

Ia mengangkat kepalanya dan melihat Rio di depannya, wajahnya merah padam.

Namun, sebelum Devan bisa mengatakan apa pun…

BUGG!!

Tinju Rio mendarat keras di wajah Devan!

Devan yang tidak siap menerima serangan itu terhuyung ke belakang. Ia segera mengangkat kepalanya, menatap Rio dengan tatapan tajam.

"Apaan ini?" tanya Devan dengan nada datar, meskipun ada darah mulai mengalir dari pelipisnya.

Rio masih berdiri dengan napas memburu, matanya penuh kemarahan.

"Kita udah punya perjanjian, Devan!" bentaknya. "Kita gak saling ganggu! Tapi gue liat lo jalan sama Via tadi. Lo pikir gue bisa diem aja?"

Devan mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke belakang.

Via berdiri di sana, menunduk dengan ketakutan.

Devan akhirnya mengerti situasinya.

Ia menghela napas, lalu menatap Rio dengan ekspresi tenang.

"Gue gak ada hubungan apa-apa sama Via," katanya santai.

Rio terdiam sejenak. Ia tahu Devan bukan tipe orang yang suka berbohong atau berbasa-basi. Dan memang, selama ini Devan selalu terlihat anti perempuan.

Akhirnya, Rio mulai percaya.

Namun, rasa bersalah mulai menghantuinya karena telah menyerang Devan tanpa alasan jelas.

Devan, yang masih berdarah di pelipisnya, hanya diam lalu berjalan pergi.

Sementara itu, Rio mendekati Via.

Ia menatap gadis itu dengan serius. "Lo… suka sama dia?" tanyanya.

Via terkejut.

Jantungnya berdebar kencang.

Ia ingin mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia sangat mencintai Devan.

Namun, jika ia jujur, Rio pasti akan semakin marah dan itu hanya akan memperburuk keadaan.

Jadi, dengan terpaksa, ia berbohong.

"Nggak," jawabnya pelan.

Rio memperhatikan wajahnya sejenak, mencoba menilai apakah Via berbohong atau tidak. Namun akhirnya, ia menghela napas dan berkata, "Maaf, gue salah paham."

Setelah itu, ia pun pergi bersama teman-temannya.

Sementara itu, Devan menaiki motornya dengan kecepatan tinggi.

Dadanya terasa kosong.

Hidupnya sudah tidak berarti lagi, pikirnya.

Braaakk!!

Tiba-tiba, di persimpangan jalan, sebuah truk yang melambat tidak sengaja tertabrak oleh motor Devan.

Tubuh Devan terpental jauh, berguling di aspal.

Kepalanya menghantam keras, darah mengalir deras dari pelipis dan dahinya.

Orang-orang berhamburan, berusaha mendekati tubuhnya yang terkapar di jalan.

"Anak ini masih hidup gak?!" teriak seseorang.

Beberapa orang mencoba memeriksa denyut nadinya. Meski lemah, Devan masih bernafas.

"Ada yang panggil ambulans!"

Tidak lama kemudian, suara sirene ambulans terdengar mendekat.

Devan yang tak sadarkan diri segera diangkat ke dalam ambulans dan dilarikan ke rumah sakit.

Di tempat lain, Dio dan Raka yang baru keluar dari sekolah bingung karena tidak menemukan Devan di parkiran.

"Eh, Dev kemana?" tanya Dio.

"Entahlah," jawab Raka, mengangkat bahu. "Biasanya dia gak pergi tanpa bilang."

Merasa ada yang aneh, mereka berdua segera menyalakan motor dan pergi menuju gudang tempat biasa mereka nongkrong.

Namun, di tengah jalan…

Mereka melihat kerumunan orang di persimpangan jalan.

"Eh, kayaknya baru aja ada kecelakaan," gumam Raka.

Tapi begitu mereka melihat motor yang tergeletak di jalan…

Jantung mereka langsung berdetak kencang.

"Itu… bukan motor Devan?" ucap Dio dengan suara gemetar.

Tanpa pikir panjang, Dio segera menghampiri salah satu orang di sana dan bertanya, "Korban kecelakaannya ke mana?"

"Barusan dibawa ke rumah sakit!" jawab orang itu.

Dio dan Raka langsung panik.

Tanpa pikir panjang, mereka segera mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.

Begitu sampai, mereka berlari masuk ke dalam dan mencari kamar tempat Devan dirawat.

Ketika akhirnya mereka menemukan kamar itu…

Dada mereka terasa sesak melihat sahabat mereka sendiri terbaring koma.

Darah masih mengering di kepalanya, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar lemah.

Dio mengepalkan tangan. "Gue gak habis pikir… cobaan Devan berat banget."

Raka menggigit bibir, berusaha menahan emosinya.

Tak ada yang tahu kapan Devan akan sadar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 12

    Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 11

    Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 10

    Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 09

    “Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 08

    Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga

  • Jodohku Muridku Sendiri   Bab 07

    Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status