Pagi itu, suasana sekolah seperti biasa. Murid-murid datang, guru-guru berdatangan, dan Sherin duduk di ruang guru dengan gelisah. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding. Sudah jam delapan lewat. Bel masuk sudah lama berbunyi, tapi Devan belum juga datang. Biasanya anak itu memang tidak banyak bicara, tapi dia selalu hadir tepat waktu. “Jangan-jangan bolos?” pikir Sherin, mencoba menepis rasa khawatir. Namun, hingga jam pelajaran usai dan murid-murid satu per satu meninggalkan kelas, Devan tak kunjung muncul. Perasaan tak enak mengusik hati Sherin. Ada sesuatu yang salah, ia bisa merasakannya. Begitu jam pulang tiba, ia bergegas keluar dan langsung menghampiri dua siswa yang dikenal dekat dengan Devan—Dio dan Raka. “Dio... Raka… bisa bicara sebentar?” tanya Sherin pelan. Keduanya menoleh. Raka hanya mengangguk, sedangkan Dio terlihat ragu sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Iya, Bu.” Mereka bertiga berdiri di sisi lorong kelas yang mulai sepi. Sherin menatap mereka tajam, tetapi lembut. “Devan kenapa tidak masuk hari ini? Apa dia sakit? Atau ada masalah?” Dio dan Raka saling pandang. Akhirnya Dio angkat bicara. “Bu… kemarin Devan kecelakaan.” Darah Sherin seperti berhenti mengalir sesaat. “A-apaa?” “Kepalanya terbentur cukup parah. Sekarang… dia lagi dirawat di rumah sakit,” ujar Dio, berusaha tenang meskipun suaranya terdengar bergetar. Sherin merasa seluruh tubuhnya membeku. “Rumah sakit mana?” tanyanya cepat. “Rumah Sakit Brawijaya, Bu. UGD semalam langsung masuk, sekarang masih di ruang perawatan,” jawab Raka menambahkan. Tanpa menunggu lebih lama, Sherin mengangguk dan berlari kecil menuju tempat parkir. Ia masuk ke mobilnya dengan napas memburu dan langsung menyalakan mesin. Tak ada waktu untuk berpikir. Tak ada waktu untuk menyusun alasan logis. Yang ia tahu hanya satu hal: Devan terluka, dan ia harus melihatnya. Di tempat lain… Berita kecelakaan Devan akhirnya sampai ke telinga orang tuanya. Iwan Adipradana, pria dingin dan keras kepala itu, baru saja selesai rapat saat seorang sopir rumah memberi kabar tentang anaknya. Wajahnya langsung berubah—tegang, gelisah, tidak percaya. “Rumah sakit mana?” tanyanya singkat dengan suara berat. Sementara itu, Fera, ibu kandung Devan, yang biasanya terlalu sibuk dengan kegiatan sosialnya, terdiam membeku begitu mendengar kabar bahwa putra kandungnya kini koma di rumah sakit. “Devan… kecelakaan?” bisiknya tak percaya, tangan gemetar memegang ponsel. Beberapa menit kemudian, mobil mereka melaju cepat menuju rumah sakit. Sepanjang jalan, suasana dalam mobil mencekam—tidak ada percakapan, hanya suara mesin dan napas berat yang mengisi kabin. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… mereka merasa kehilangan. Suasana di ruang rumah sakit itu sunyi. Hanya suara detak mesin monitor yang mencatat denyut jantung dan suara infus yang menetes perlahan. Sherin duduk di kursi kecil di samping ranjang, menatap wajah Devan yang masih tampak lemah. Kepalanya diperban, pipinya pucat, dan napasnya terdengar berat, tapi stabil. Ia sudah duduk di sana selama hampir satu jam. Menunggu. Menanti keajaiban. Lalu… perlahan, jari tangan Devan bergerak. Sherin segera berdiri, tubuhnya sedikit membungkuk ke arah ranjang. "Devan?" bisiknya pelan. Kelopak mata itu mulai bergetar, lalu perlahan terbuka. Cahaya ruangan terasa menyilaukan baginya, dan seketika ia mengerang pelan, mengangkat tangan untuk memegang kepala. "Agh…" Keningnya berkerut. Ia menatap sekeliling dengan pandangan buram—lantai putih, alat-alat medis, infus di tangan… Dan baru saat itu ia sadar. Kecelakaan. Tubuhnya terasa berat. Napasnya sesak. Tapi bukan itu yang membuatnya terdiam. Air mata tiba-tiba menetes dari sudut matanya. Devan tidak menangis keras. Ia hanya terdiam… membisu… menahan semuanya di dalam dada. Kenapa aku masih hidup? pikirnya. Sherin melihat air mata itu. Hatinya terasa diremas. Ia tahu Devan bukan tipe anak yang mudah menunjukkan emosi. Ia ingin memeluknya, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia menahan diri. Sebagai gantinya, ia duduk pelan dan berkata dengan lembut, "Kamu sadar, Devan? Alhamdulillah..." Devan menoleh pelan ke arah suara itu. Matanya bertemu dengan Sherin. Awalnya kosong. Tapi perlahan, ia mengenali wajah itu. Orang yang pernah ia tolong… tapi entah kenapa sekarang membuatnya tidak merasa sendirian. Namun, ia tetap diam. Sherin menarik napas panjang. “Kamu sempat koma… kamu masuk rumah sakit semalam. Dio dan Raka yang nemuin kamu… mereka panik banget.” Devan masih tidak menjawab. Hanya menatap lurus ke langit-langit. Ia mengusap wajahnya yang masih terasa kaku. Lalu ia berkata pelan, suaranya nyaris tanpa emosi, “Kenapa orang-orang jadi peduli sekarang?” Sherin tertegun. “Aku enggak butuh dikasihani,” lanjut Devan, lirih. “Bukan kasihan, Devan. Aku… aku khawatir.” Devan tersenyum tipis, getir. “Baru sekarang?” Sherin tidak bisa menjawab. Ia tahu maksudnya. Anak ini tumbuh tanpa kasih sayang dari orang tua kandungnya. Yang memberi hangat hanyalah sosok sederhana bernama Bu Mirna, dan kini, satu-satunya yang peduli itu pun telah tiada. Hanya Dio dan Raka yang setia. Lainnya? Datang hanya saat luka sudah terlalu dalam. Sherin akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku… aku keluar dulu sebentar ya,” bisiknya, berusaha menahan air mata. Ia tahu, ada orang lain yang lebih berhak berada di sisi Devan saat ini. Tak lama kemudian, pintu kamar rumah sakit terbuka. Masuklah Iwan Adipradana dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fera, yang wajahnya sudah basah oleh air mata. Begitu melihat tubuh putranya yang terbaring lemah, Fera langsung menjerit pelan dan menutupi mulutnya, seolah tak percaya. “Ya Tuhan… Devan…” Ia mendekat dengan tubuh gemetar, memegang tangan Devan yang dingin. “Maafin Mama… maafin Mama, Nak…” isaknya. “Mama salah… Mama terlalu sibuk… Mama nggak pernah ada buat kamu…” Devan menatap ibunya dengan mata kosong. Tidak ada tangisan. Tidak ada amarah. Hanya… hampa. Semuanya sudah terlalu terlambat. Sementara itu, Iwan berdiri di samping ranjang, menatap anaknya dalam diam. “Gimana keadaannya?” tanyanya, singkat seperti biasa. Devan hanya mengangguk kecil, tanpa kata. Sherin yang masih berdiri di dekat pintu melihat adegan itu. Ia merasa tak seharusnya berada di sana. “Aku pamit dulu, Pak, Bu,” katanya pelan. “Saya akan kembali nanti.” Iwan mengangguk tanpa menoleh. Fera terlalu sibuk memeluk tangan putranya yang diam, berharap bisa memutar waktu dan memperbaiki semua yang telah rusak. Sherin melangkah pergi, tapi hatinya tertinggal di ruangan itu. Pintu ruang rumah sakit kembali terbuka dengan suara pelan. Dio dan Raka masuk membawa kantong plastik berisi makanan dan minuman. Aroma bubur ayam dan kopi sachet menguar samar di udara. “Yooo, bosss…!” seru Raka sambil tersenyum lebar, suaranya langsung mengisi ruangan yang sebelumnya sunyi. Devan hanya menoleh perlahan, menatap dua sahabatnya itu tanpa ekspresi. Tapi Dio tahu—dari gerakan matanya saja—Devan merasa sedikit lebih hidup. “Kami datang bawa makanan. Tapi sayangnya, pasien kayak elu cuma boleh makan bubur tawar.” Raka menyeringai, mengangkat kantong berisi bubur dan jus. Dio menggeleng sambil menghela napas. “Lu bisa diem dikit gak sih, Rak?” “Justru suara gua bikin suasana gak kayak kuburan. Bener gak, Van?” godanya sambil menepuk bahu Devan pelan. Devan hanya mendesah. Tapi ujung bibirnya menegang sedikit. Sebuah senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Raka duduk di ujung ranjang, mengeluarkan satu per satu makanan dari plastik. Dio ikut duduk, kali ini sedikit lebih dekat ke Devan. “Oh iya, tadi sebelum masuk kami ketemu Bu Sherin di parkiran,” ujar Dio, membuka topik serius. Devan langsung menoleh. Matanya menatap Dio. “Iya, katanya titip salam buat lu. Dia bilang… ‘semoga Devan cepat sembuh dan bisa balik ke sekolah’. Terus… dia juga bilang makasih karena lu pernah nolong dia waktu kejadian di jalan itu,” tambah Dio pelan. Devan tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk kecil. Pandangannya kembali kosong, menatap langit-langit ruangan. Tapi orang lain di ruangan itu, terutama Iwan, menangkap makna tersembunyi di balik berita tadi. Anaknya… menolong orang? Bahkan… gurunya? Iwan yang berdiri di sisi ruangan sempat melirik Fera. Mereka saling pandang, seperti baru menyadari ada sisi lain dari Devan yang selama ini mereka abaikan. Mereka hanya mengenal Devan sebagai anak pembangkang, suka tawuran, dingin, dan sulit diatur. Tapi ternyata… ada sisi kemanusiaan yang tidak pernah mereka lihat. Fera memegang tangan Iwan pelan. “Aku ingin bicara sebentar di luar.” Iwan mengangguk. “Kalian temani dulu Devan, ya,” katanya pada Dio dan Raka sebelum keluar ruangan bersama istrinya. Di luar, suasana lebih sepi. Hanya suara langkah kaki para pengunjung rumah sakit dan bunyi roda ranjang yang sesekali lewat. Iwan bersandar pada dinding koridor, sementara Fera berdiri di depannya, terlihat cemas namun lebih tenang. “Aku gak nyangka,” ucap Fera pelan. “Ternyata Devan… bisa juga peduli sama orang lain.” Iwan menatap lantai. “Aku juga… salah. Selama ini kita terlalu sibuk sama dunia kita sendiri. Kita kira dia anak pembuat onar. Tapi nyatanya…” “Sherin,” potong Fera. Iwan menoleh. “Apa maksudmu?” “Guru wali kelasnya. Yang tadi disebut Dio dan Raka. Dari cara mereka cerita… sepertinya dia perhatian sama Devan. Bahkan… sejak awal masuk sekolah.” Iwan diam sesaat, lalu mengangguk. “Mungkin kita butuh bantuannya.” Fera mengerutkan dahi. “Bantuan?” “Kalau kita gak bisa merangkul Devan sebagai orang tua… mungkin dia butuh figur lain. Seseorang yang bisa bicara dari hati ke hati. Mungkin Sherin bisa jadi jembatan.” Fera terdiam, tapi lalu mengangguk setuju. “Besok… kita temui dia. Kita bicara baik-baik. Kita minta dia bantu bimbing Devan…” “Ya. Bukan cuma secara akademis… tapi juga secara emosional,” tambah Iwan. Tapi mereka tidak tahu… Di tempat lain, Sherin sedang duduk sendirian di dalam mobilnya, memandangi lampu jalan yang redup. Pikirannya tidak tenang. Ia masih merasakan gejolak aneh dalam dirinya. Kenapa ia begitu peduli pada Devan? Ia tahu, hubungan guru dan murid seharusnya memiliki batas, tapi hatinya menolak untuk diam. Apalagi sekarang, orang tua Devan akan datang kepadanya. Memintanya untuk lebih dekat lagi… untuk menjadi pembimbing, mungkin lebih dari sekadar wali kelas. Dan Sherin bertanya-tanya… Mampukah ia melakukannya? Atau justru… ia akan jatuh terlalu dalam?
Devan mulai mengecek benda pipihnya, notifikasi menunjukan 5 panggilan telefon tidak terjawab di sertai pesan dari beberapa kontak "Devan apa kamu tidak masuk sekolah hari ini atau bolos lagi?" kira-kira begitulah pesan dari ayahnya lalu ia membaca pesan lagi "Ayah tau kamu tidak masuk sekolah karena pihak sekolah melaporkannnya padaku, Devan, seriuslah kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus jangan seperti anak kecil membuat ulah terus ayah sudah lelah" itulah pasan dari ayahnya "Hehh...sekolah-sekolah terus apa sekolah yang penting atau aku yang penting" ucapnya dalam hati ia kesal dengan orang tuanya yang tidak pernah memikirkannya mereka hanya menanyakan akibatnya tanpa menanyakan penyebab dan alasan ia melakukan itu dan membuatnya seperti tidak di anggap, lalu ia menggulir layar hpnya lalu ada pesan dari gurunya siapa lagi kalau bukan Sherin "Kenapa kamu tidak masuk sekolah hari ini Devan? apa kamu membolos sekolah? atau kamu sedang ada masalah? kamu bisa cerita dengan saya jik
Ke esokan paginya tepat pukul 05:00 alarm dari jam mini yang terletak di antara buku-buku tebal berbunyi, seseorang di balik selimut yang sedang menikmati mimpinya akhirnya terpaksa harus menghentikan mimpi indahnya itu tangannya dengan otomatis mematikan alarm itu ia terbangun dan ternyata itu seorang wanita dan yah itu adalah Sherin matanya masih terlihat sembab rambut sedikit acak-acakan ia terbangun dan melangkah namun ia terhenti di pantulan cermin memandang dirinya "Mungkin aku sedikit gila...hmm...mungkin" lalu ia mengambil handuk namun ia terhenti lagi melihat hp nya menyala bukan karena notifikasi baterai 100% namun juga ada notifikasi panggilan, ia memeriksa hp-nya "Ternyata dia juga memanggilku tadi malam....aku sudah tidur mungkin" ia melempar benda pipih itu ke atas kasurnya lalu pergi untuk mandi di dalam kamar mandi ia bersenandung entah apa yang membuatnya seperti itu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin ia merasa semua beban hilang namun realitanya tidak
Malam telah larut. Lampu-lampu kota perlahan mulai meredup, menyisakan cahaya-cahaya oranye yang menyelimuti bangunan tinggi dan jalan-jalan lengang. Di dalam apartemennya, Sherin duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah ponsel yang baru saja ia letakkan dengan gemetar.Suaranya masih bergetar. Air mata membasahi pipi.Tadi, ibunya menelepon.“Beberapa bulan lagi, kamu akan menikah dengan Robi,” kata ibunya tegas.“Bu… berapa kali Sherin harus bilang? Sherin gak suka Robi,” jawab Sherin dengan suara menahan tangis. “Apa Ibu lebih memilih harta ketimbang kebahagiaan anak sendiri?”Ada jeda. Hening.Di seberang sana, terdengar helaan napas. Ibunya tidak langsung menjawab. Tapi lalu suara itu kembali terdengar, lebih pelan namun tetap dingin.“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Sherin. Tapi kamu juga harus tahu umur kamu tidak muda lagi. Ibu ingin menimang cucu, seperti teman-teman Ibu. Hidup ini tidak bisa hanya soal cinta, kadang kita harus kompromi dengan kenyataan.”“Ibu
“Aku setuju… kalau kamu benar-benar serius dan bukan cuma main-main,” ucap Devan pelan, matanya menatap lurus ke arah Sherin yang masih menahan napas sejak tadi.Sherin tak membalas dengan kata, hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru masuk ke kamar. Suasana berubah sunyi, suara langkah cepat Sherin di lantai kayu apartemen menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas bermaterai di tangan.“Ini… surat perjanjiannya,” kata Sherin lirih, menyerahkan kertas itu dengan kedua tangan.Devan menerimanya tanpa ekspresi. Tangannya menerima kertas itu, namun matanya tetap menelusuri setiap kata, setiap kalimat, seolah tak ingin melewatkan satu pun titik dari dokumen itu. Di bagian atas tertulis: Perjanjian Nikah Kontrak – 1 Tahun.Beberapa poin utama langsung menyentak matanya:Hubungan berlangsung selama satu tahun.Tidak ada hubungan suami istri sebagaimana pernikahan normal.Tidak boleh menumbuhkan perasaan.Hanya berpura-pura sebagai pasangan untuk m
Devan masih berdiri di koridor sekolah ketika suara langkah kaki terdengar cepat mendekat.“Devan!” panggil Bu Sherin sambil berlari kecil menghampirinya.Devan menatap heran, belum sempat berkata, Sherin langsung berkata, “Aku… butuh bantuanmu. Tapi tidak bisa dibicarakan di sekolah.”Alis Devan mengernyit. “Bantuan apa, Bu?”“Nanti kujelaskan di apartemenku. Kumohon… ikut aku sekarang.”Devan nyaris menolak secara refleks, tapi sorot mata Sherin terlalu serius untuk diabaikan. Ada sesuatu yang mendesak.“…Baiklah,” jawab Devan akhirnya, meski hatinya tetap ragu.Mereka berjalan ke parkiran bersama. Di sana, Dio dan Raka sudah menunggu.Saat melihat Devan muncul bersama Sherin, Raka langsung nyeletuk, “Buset, Van. Cepet juga lo cari pacar baru, guru pula!”Dio mendesah, memukul pelan lengan Raka. “Udah, itu Bu Sherin.”Sherin menahan senyum canggung. “Maaf, saya perlu bicara dengan Devan soal sesuatu yang penting. Kami harus pergi sebentar.”Devan menambahkan, “Gue balik malem. Janga
Sherin duduk di tepi tempat tidurnya, lampu kamar redup menyala, memantulkan bayangan samar di dinding apartemen kecil yang ia tinggali sendiri.Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan. Tapi hangatnya tak cukup untuk menenangkan pikirannya.Ponselnya berdering.Nama "Mama" tertera di layar. Sherin menghela napas panjang sebelum menjawabnya.“Iya, Ma…”“Sherin, Mama dan Papa serius. Umur kamu udah 25. Kamu harus mulai pikirkan masa depan, bukan cuma kerja terus!” suara Ibu terdengar jelas dan penuh tekanan seperti biasa.Sherin diam.“Kebetulan Papa kamu udah bahas ini sama Pak Toni. Kamu juga kenal kan anaknya, Robi? Dia bilang dari dulu memang udah suka sama kamu.”Sherin memejamkan mata. "Ma, aku udah pernah bilang. Robi itu bukan tipe yang baik. Dia main cewek, minum, pesta tiap minggu—"“Udah, udah! Jangan suuzon sama calon suami sendiri! Orang juga bisa berubah, kan? Ini demi masa depan kamu, juga perusahaan keluarga.”Dan seperti biasa, percakapan diakhiri tanpa menyen