Share

ALAN MENGGILA

Author: Ummu Amay
last update Last Updated: 2024-01-13 10:41:24

Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya.

Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya.

Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjijikan.

'Tuhan, kenapa harus aku yang mendapatkan karma ini?' gumam Felisha di tengah aksinya yang masih menangis.

'Ini semua karena Kak Dina. Andai ia tidak pergi, lelaki itu tidak akan mungkin melakukan hal ini bukan? Ia adalah laki-laki baik sebelumnya. Tapi, karena ulahnya, lelaki itu menjadi gila dan jahat,' batin Felisha marah.

Gadis itu jelas kecewa ketika pada akhirnya kedua orang tuanya malah menjerumuskan dirinya pada jeratan Alan. Bagaimana bisa orang tua yang seharusnya membela dan melindungi anaknya, malah mendorong dan menyengsarakan.

'Tak tahukah ayah dan ibu jika menantunya itu hanya ingin membalaskan dendam atas kemarahannya pada istrinya. Seharusnya ayah dan ibu mencari solusi lain dan bukan membuatku terjatuh dan terjebak di sini entah sampai kapan.'

Felisha sudah bisa membayangkan akan bagaimana nasibnya di rumah itu. Setelah sebuah awalan yang Alan paksa lakukan kepadanya, ia yakin akan ada aksi yang lebih dari apa yang terjadi tadi. Tak sanggup membayangkan hal yang lebih gila dan sadis yang akan Felisha terima, gadis itu lambat laun menutup kedua matanya, lelah.

Di kamar lain, kamar yang kemarin malam sempat terjadi satu aksi pelecehan yang pemiliknya lakukan. Kini tampak Alan terbaring dengan matanya yang terpejam. Belum tidur, lelaki itu seperti masih terbayang-bayang akan aksi yang terjadi di dalam mobil.

'Gadis itu, bagaimana bisa ia membuatku tegang. Padahal apa yang dilakukannya masih jauh di bawah kakaknya. Ia hanya memasukkan ke dalam mulutnya, tetapi yang aku rasakan jauh lebih nikmat dari apa yang perempuan itu lakukan.'

Saat ini Alan sedang merenungi ketidak mengertian yang ia rasakan sebab pemaksaan yang sudah dilakukan terhadap Felisha. Ia yang memang berencana menyakiti gadis itu sebab ulah kakaknya, nyatanya malah membuat dirinya heran karena mendadak tegang sebab sentuhan yang Felisha lakukan.

Alan masih ingat ketika tanpa sadar mendesah dan melenguh sebab sentuhan bibir Felisha di miliknya. Sungguh, itu lebih dari apa yang pernah ia rasakan ketika bermain dengan istrinya selama ini. Tak bisa ia jabarkan bagaimana rasanya saat miliknya perlahan masuk ke dalam mulut adik iparnya, yang takut dan gugup.

"Ahh, sial! Aku tidak bisa tidur gara-gara perempuan itu." Alan berteriak di dalam kamarnya.

Pelepasan yang belum ia dapatkan, seolah minta ditunaikan. Lelaki itu pun beranjak bangun, kemudian turun dari ranjangnya.

"Mandi? Apakah aku harus mandi sekarang? Jelas tidak!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu melangkah keluar kamar.

Waktu baru menunjuk ke angka tiga pagi. Para asisten rumah belum ada yang bangun. Mereka masih asik dalam mimpi masing-masing ketika Alan berjalan keluar kamar menuju kamar Felisha yang ada di lantai dua. Lagipula, Alan sepertinya tak akan peduli seandainya pun seluruh pekerja bangun saat dirinya mengendap dan masuk ke dalam kamar adik iparnya.

Pintu kamar rupanya Felisha kunci ketika Alan mencoba mendorong pintu bercat coklat muda tersebut. Tak hilang akal, ia kemudian mencoba membuka laci di sebelah kamar Felisha di mana biasanya ada kunci cadangan yang asisten rumah letakkan di sana.

Alan berharap jika Felisha melepas anak kunci dari lubangnya sehingga ia bisa bebas masuk saat kunci cadangan ia gunakan.

Ternyata berhasil. Felisha ceroboh ketika berpikir bahwa kunci ia lepas demi keamanan dirinya. Kini lelaki itu berhasil masuk setelah membuka pintu kamar, yang kemudian kembali ia tutup dan kunci.

Tampak kamar gelap tanpa ada penerangan sama sekali. Gadis itu rupanya tidak menyalakan lampu satu pun saat masuk ke kamarnya setelah perjalanan pulang dari kediaman orang tuanya. Alhasil, Alan harus ekstra membuka mata dan fokus melihat dan merasakan sekitar.

Hanya bermodalkan pantulan dari sinar bulan yang mengintip melalui celah jendela, Alan bisa melihat sosok Felisha yang terbaring di atas ranjangnya. Gadis itu tanpa selimut, tidur dengan posisi miring.

Seringai tiba-tiba hadir di bibir Alan saat melihat sesuatu yang menyenangkan hadir di matanya. Tubuh Felisha yang sempat ia lihat polos meski hanya sebentar, kembali menari-nari di benaknya.

'Indah dan aku mau lihat lagi.'

Demi membayangkan apa yang akan ia lihat, sesuatu mulai memaksa di bawah sana dan membuat Alan sesak.

'Tak bisakah kamu sabar?' batin Alan kesal sebab miliknya yang seolah tahu ada lawan yang bisa diadu.

Perlahan Alan mendekati ranjang. Lalu, masih berdiri di sisi tubuh Felisha yang tidur menghadap ke arahnya, Alan kembali tersenyum.

Tak ada kata yang terucap, lelaki itu kemudian turun dan jongkok di depan Felisha yang tampak di wajahnya sembab sebab tangisan yang lelaki itu yakin baru berhenti saat tertidur. Masih belum iba, Alan mengangkat tangan lalu mengusap pipi Felisha lembut.

'Kamu memang harus membayar ulah kakakmu. Jadi, jangan menangis sebab tangisanmu tak akan berharga di mataku,' gumam Alan sinis.

Setelahnya Alan memindahkan tangan ke arah kaki Felisha. Perlahan naik, melewati celana panjang yang masih gadis itu kenakan, lalu mencoba menyingkap kemeja yang masih utuh berkancing.

Begitu halus tangan Alan saat menyentuh perut rata adik iparnya itu. Hampir menggapai sesuatu yang lembut dan kenyal, tentunya masih terbungkus kain pelindung, tiba-tiba saja Felisha bangun.

Gadis itu terbelalak kaget saat mendapati sang kakak ipar sudah jongkok di depannya. Ia pun langsung beringsut mundur meski sebelumnya ada tangan Alan di atas tubuhnya.

"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sutri Ana
ceritanya bagus n seruuu .........
goodnovel comment avatar
Muhris Muhris
mantap banget
goodnovel comment avatar
Muhris Muhris
ceritanya bagus banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jadi Budak Kakak Ipar   MENCARI YANG TERTINGGAL

    Atmadi Wijaya mengangkat pandangannya dari koran pagi, menatap Erik dengan sorot mata yang tenang namun tajam. “Kampus?” ulangnya pelan, bukan curiga, lebih pada memastikan.“Iya,” jawab Erik mantap. “Tidak lama.”Atmadi mengangguk singkat. “Kerjakan yang perlu kamu selesaikan. Tapi setelah itu, langsung ke kantor. Ada rapat internal jam sebelas.”“Iya, Yah.” Erik menarik kursi, duduk sebentar untuk menghormati kebiasaan sarapan bersama, meski hanya menyesap kopi. Ibunya menunjukkan senyum puas—bagi perempuan itu, melihat putranya mulai menata hidup adalah kebahagiaan kecil yang tak perlu dirayakan berlebihan.Tak lama kemudian, Erik pamit.Di luar, pagi terasa lebih hidup. Erik menyetir dengan pikiran yang terasa lega dan optimis —tidak melayang pada kemungkinan yang belum tentu, tidak pula memikirkan hal negatif yang tidak seharusnya ia pikirkan. Ia memilih fokus pada apa yang ada di depannya.Sementara itu, Felisha tiba di kampus dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasan

  • Jadi Budak Kakak Ipar   DIMULAI DARI KAMPUS

    Pagi datang dengan langkah pelan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar kos, jatuh tepat di wajah Felisha. Ia terbangun dengan napas yang lebih teratur dari hari-hari sebelumnya, seolah malam tadi benar-benar memberinya ruang untuk bernapas.Untuk beberapa detik, ia hanya berbaring, mendengarkan suara kehidupan di luar —derap langkah penghuni kos lain, termasuk klakson samar dari jalan besar. Dunia tetap berjalan, dan untuk pertama kalinya, Felisha tidak merasa tertinggal di belakangnya.Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang. Tangannya refleks menyentuh perutnya.“Pagi,” gumamnya lembut, nyaris seperti kebiasaan baru yang belum sepenuhnya ia sadari.Di meja kecil, ponselnya menyala. Tidak ada pesan baru dari Alan. Tidak juga dari Erik. Dan anehnya, keheningan itu tidak menyesakkan. Justru terasa seperti ruang kosong yang bisa ia isi dengan pilihannya sendiri.Felisha mengambil map berisi dokumen-dokumen penting—KTP, kartu mahasiswa, hasil pemeriksaan dokter. Ia men

  • Jadi Budak Kakak Ipar   KEPUTUSAN ALAN

    Felisha berhenti mengunyah. Sendoknya tertahan di udara sesaat sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke piring.Nama itu —Erik, membuat ruang di dadanya terasa menyempit, bukan karena perasaan yang menggebu, melainkan karena kesadaran bahwa ada seseorang yang berdiri terlalu dekat dengan luka yang belum sembuh.“Aku tidak ingin menjadikannya pelarian,” ucap Felisha pelan. “Dia tidak pantas menerima sisa-sisa dari hidup yang belum selesai,” lanjutnya sembari melanjutkan makannya. Gina menatapnya lama, lalu duduk di hadapannya. “Tapi kamu sadar, kan? Diam pun bisa memberi harapan.”Felisha mengangguk. “Itu yang membuatku takut.” Ia mengusap perutnya pelan, refleks yang kini muncul setiap kali ia gelisah. “Aku tidak ingin ada siapa pun yang terluka karena kebingunganku.”Gina menghela napas. “Berarti kamu harus jujur. Pada Erik, juga pada dirimu sendiri.”Felisha tersenyum tipis. “Kejujuran kadang lebih menakutkan daripada kepergian, bukan?”“Tapi lebih adil,” balas Gina lembut.Hening m

  • Jadi Budak Kakak Ipar   TEKAD DAN SEMANGAT

    Gina menuntun Felisha keluar dari ruang periksa setelah semuanya selesai. Langkah Felisha terasa ringan sekaligus berat —ringan karena kabar baik itu nyata, berat karena tanggung jawab yang kini tak lagi bisa ia abaikan atau tunda.Mereka duduk sebentar di bangku tunggu klinik. Felisha mengusap pipinya yang masih basah, lalu menghela napas panjang.“Sehat,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia sehat.”Gina tersenyum hangat. “Kamu hebat, Feli. Kamu datang ke sini tanpa siapa pun yang selama ini selalu mengambil alih keputusanmu.”Felisha terdiam. Kata-kata itu menancap tepat di dadanya.“Aku takut, Gin,” akunya jujur. “Tapi anehnya, kali ini takutnya berbeda. Bukan takut sendirian. Lebih ke takut salah langkah.”“Itu wajar,” jawab Gina lembut. “Karena sekarang setiap langkahmu bukan cuma untuk kamu.”Felisha mengangguk. Ia menatap keluar jendela klinik, melihat lalu lalang kendaraan, orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah hidup mereka. Ia tahu, ia belum sampai d

  • Jadi Budak Kakak Ipar   PERTEMUAN PERDANA

    Langit pagi mulai cerah ketika Felisha dan Gina bersiap keluar kamar kos. Udara masih menyisakan dingin semalam, bercampur bau tanah basah yang naik dari halaman sempit di depan bangunan. Felisha mengenakan jaket tipis, menutupi tubuhnya dengan gerakan refleks—bukan karena dingin, melainkan karena kebiasaan menjaga diri yang kini semakin kuat.“Kita mulai dari daerah belakang kampus dulu,” ujar Gina sambil mengunci pintu. “Biasanya banyak kos kecil yang murah dan tenang.”Felisha mengangguk. “Aku cuma butuh tempat yang… tidak terlalu ramai.”Dan tidak terlalu dekat dengan kenangan, lanjutnya dalam hati.Mereka berjalan pelan menyusuri gang. Beberapa ibu menyapa ramah, penjual sarapan memanggil pembeli dengan suara serak. Dunia tetap berjalan normal, seolah tidak ada hati yang sedang bertaruh di antara pilihan-pilihan sulit.Felisha berhenti sejenak ketika ponselnya kembali bergetar.Refleks, ia melihat layar.Bukan Alan dan juga bukan Erik.Sebuah pesan dari nomor klinik kandungan yan

  • Jadi Budak Kakak Ipar   DI TENGAH KEGALAUAN

    Felisha terdiam cukup lama setelah kalimat terakhir itu melintas di kepalanya.Ia memandangi langit-langit kamar kos yang mulai menguning dimakan usia. Ada retakan kecil di sudut plafon, seperti garis halus yang mengingatkannya pada hidupnya sendiri—tidak runtuh, tapi juga tidak lagi utuh.“Aku belum tahu, Gin,” ucapnya akhirnya, pelan. “Aku belum berani memikirkan sejauh itu.”Gina tidak langsung menjawab. Ia merapikan kantong belanja terakhir, lalu duduk di sisi ranjang, menatap Felisha dengan mata yang tidak menghakimi. “Kamu tidak harus punya semua jawabannya sekarang.”Felisha tersenyum tipis. “Masalahnya, semua orang seolah menunggu aku segera tahu.”Alan. Erik. Bahkan dirinya sendiri.Ia menarik selimut lebih tinggi, meski udara malam sebenarnya tidak dingin. Ada rasa kosong yang menggerogoti pelan —bukan karena sendirian, tapi karena terlalu banyak pilihan yang masing-masing menuntut keberanian.Ponselnya bergetar pelan di atas meja kecil. Bukan pesan, tapi panggilan. Dan nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status