LOGIN"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku."
"Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan."Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya.Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya.Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara."Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" ucapnya pelan. Tapi, siapa pun tahu jika itu bukan hanya sebuah gertakan semata.**Felisha tak percaya dengan ucapan sang ayah. Ia sama sekali tidak menduga jika dirinya akan dikorbankan demi harga diri dan martabat keluarga."Kamu tahu, dulu Dina membantu kita melunasi semua hutang keluarga dengan menerima pinangan keluarga Tanujaya. Sekarang tugasmu lah untuk membantu kami supaya kita tidak terjatuh dengan menjadi pengganti kakakmu, Feli!""Ayah! Kenapa Ayah tega mengatakan hal itu? Ini kesalahan Kak Dina, Yah. Kenapa harus Feli yang menanggung akibatnya.""Tak ada yang salah atau benar di sini. Cuma ada bakti dan kasih sayang anak terhadap orang tuanya di kondisi saat ini." Herman berkata kejam. Ia seperti seorang rentenir yang menagih hutang kepada seseorang yang sudah meminjam uang kepadanya.Lelaki tua itu mengibaratkan bahwa uang yang selama ini ia keluarkan demi menghidupi kedua anaknya dari bayi sampai dewasa, adalah hutang yang harus dibayarkan. Sekarang, waktunya bagi kedua putrinya untuk melunasi.Dulu Dina sudah membantu mereka. Saat hutang menggunung dan tak mampu mereka bayar, kini tugas anak kedua mereka lah berjuang ketika uang yang selama ini mereka dapatkan secara percuma dari menantu mereka, Alan, tiba-tiba akan dihentikan bahkan diambil kembali."Kamu dengar sendiri, kalau kamu menolak maka keluarga kita akan hancur," ucap Herman seolah tak lagi peduli akan nasib putrinya. Baginya, harga diri dan martabat keluarga Sumitra di mata masyarakat sebagai orang kaya baru harus tetap terjaga.Sepertinya tak ada pilihan bagi Felisha berharap pada sang ayah. Ia kini beralih dan mencoba merayu ibunya untuk menolong."Bu, sebagai seorang ibu seharusnya Ibu tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh ayah bukan?"Mata bening dengan genangan air mata seharusnya membuat wanita lima puluh tahun itu iba dan terenyuh. Tapi yang terjadi, ia malah memalingkan wajah dan menatap suaminya."Apa yang ayahmu katakan benar, Feli. Saat ini waktunya kamu berbakti untuk kami, orang tua yang sudah membesarkan kamu selama dua puluh satu tahun."'Ya Tuhan!' batin Felisha sedih.Lemas sudah jiwa dan raganya. Dua orang yang paling ia sayangi di dunia ini, ternyata tidak bisa menjadi pelindungnya dari kekejaman seorang Alan yang sudah terlihat memiliki rencana balas dendam kepadanya."Meski kalian tahu jika permintaan lelaki itu hanya ingin melampiaskan balas dendamnya kepadaku, kalian tetap meminta aku untuk setuju?" Felisha bertanya lirih.Namun, kedua orang tuanya tetap bersikukuh diam dan berharap supaya putri bungsu mereka mengiyakan apa yang menantu mereka katakan.Air mata sudah tak terbendung lagi. Tak mampu Felisha tahan sebab rasa tega yang kedua orang tuanya lakukan terhadapnya."Baiklah. Jika itu memang yang kalian harapkan, aku akan menuruti apa yang lelaki itu minta." Pada akhirnya Felisha menyetujui. Kompensasi yang Alan katakan kepada kedua mertuanya, justru harus gadis itu yang memberinya.Alan masih menunggu Felisha di dalam mobil. Ketika waktu lima menit yang diberikan sudah habis, Luna -anak buah Alan, diminta untuk segera menyambangi rumah itu lagi. Namun, belum sempat berjalan, sosok Felisha muncul bersama dua orang tua di belakangnya."Masuk!" perintah Alan tanpa perlu mendengar kalimat apa yang akan kedua mertuanya katakan.Pengusaha itu seolah yakin jika tak ada yang akan berani menolak permintaannya, termasuk tiga orang yang saat ini terus menunduk di depannya.Perlahan Felisha masuk ke dalam mobil yang sudah Luna buka pintunya. Dengan perasaan penuh ketakutan ia pun akhirnya duduk di bangku mobil mewah milik Alan. Meski empuk sofanya, tetapi gadis itu serasa duduk di atas bangku berduri yang sangat tajam. Sampai-sampai membuatnya merapatkan tubuh hingga ke pintu mobil."Jalan!" perintah Alan pada Alvaro, yang bertugas membawa mobil.Meninggalkan keluarga Sumitra yang tetap menunduk sebab enggan menatap putri bungsunya yang menatap mereka dengan tatapan sedih, mobil melaju membelah kegelapan malam yang kini perlahan menuju subuh.Baru sekian puluh meter mobil bergerak, tiba-tiba Alan menarik tangan Felisha mendekat padanya.Gadis itu dengan tubuh gemetar ketakutan, mendongak dan menatap Alan dengan bibir yang juga bergetar."Lakukan hal itu sekarang!"Menarik tangan Felisha ke arah celananya, Alan membuat gadis itu kaget saat dipaksa menyentuh sesuatu yang ada di atas pangkal pahanya."Lakukan a-apa, Kak?"Tak banyak bicara, Alan lalu memberi kode pada salah satu anak buahnya untuk melakukan sesuatu.Seolah mengerti maksud sang tuan, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak dari arah bawah. Felisha yang tidak mengerti apa yang terjadi, hanya menengok dengan tatapan bodoh.Tak berapa lama, Felisha tak bisa lagi melihat jalanan di depannya sebab sudah ada sekat yang menutupi tempat duduk depan dan bagain penumpang."Aku yakin kamu bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti apapun. Jadi, lakukan itu sekarang dengan mulutmu!"Felisha terhenyak kaget. Kedua matanya membola sebab akhirnya paham maksud akan perintah Alan sebelumnya."Ti-tidak, Kak," ucap Felisha terbata. Kengerian begitu tampak di wajahnya. Namun, Alan tidak melihat itu sebagai sesuatu yang patut dikasihani. Ia justru mulai menurunkan resleting celananya dan menyuruh Felisha dengan gerakan kepala untuk segera memulai.Gadis itu jelas menggeleng. Bahkan, air mata yang belum surut, kini kembali mengalir membasahi kedua pipinya.Tak jua melakukan apa yang Alan perintahkan, lelaki itu kemudian menarik kepala Felisha dan membenamkan ke tempat di mana tangan Felisha sudah berada di atasnya."Tidak, K-kak,"***Atmadi Wijaya mengangkat pandangannya dari koran pagi, menatap Erik dengan sorot mata yang tenang namun tajam. “Kampus?” ulangnya pelan, bukan curiga, lebih pada memastikan.“Iya,” jawab Erik mantap. “Tidak lama.”Atmadi mengangguk singkat. “Kerjakan yang perlu kamu selesaikan. Tapi setelah itu, langsung ke kantor. Ada rapat internal jam sebelas.”“Iya, Yah.” Erik menarik kursi, duduk sebentar untuk menghormati kebiasaan sarapan bersama, meski hanya menyesap kopi. Ibunya menunjukkan senyum puas—bagi perempuan itu, melihat putranya mulai menata hidup adalah kebahagiaan kecil yang tak perlu dirayakan berlebihan.Tak lama kemudian, Erik pamit.Di luar, pagi terasa lebih hidup. Erik menyetir dengan pikiran yang terasa lega dan optimis —tidak melayang pada kemungkinan yang belum tentu, tidak pula memikirkan hal negatif yang tidak seharusnya ia pikirkan. Ia memilih fokus pada apa yang ada di depannya.Sementara itu, Felisha tiba di kampus dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasan
Pagi datang dengan langkah pelan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar kos, jatuh tepat di wajah Felisha. Ia terbangun dengan napas yang lebih teratur dari hari-hari sebelumnya, seolah malam tadi benar-benar memberinya ruang untuk bernapas.Untuk beberapa detik, ia hanya berbaring, mendengarkan suara kehidupan di luar —derap langkah penghuni kos lain, termasuk klakson samar dari jalan besar. Dunia tetap berjalan, dan untuk pertama kalinya, Felisha tidak merasa tertinggal di belakangnya.Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang. Tangannya refleks menyentuh perutnya.“Pagi,” gumamnya lembut, nyaris seperti kebiasaan baru yang belum sepenuhnya ia sadari.Di meja kecil, ponselnya menyala. Tidak ada pesan baru dari Alan. Tidak juga dari Erik. Dan anehnya, keheningan itu tidak menyesakkan. Justru terasa seperti ruang kosong yang bisa ia isi dengan pilihannya sendiri.Felisha mengambil map berisi dokumen-dokumen penting—KTP, kartu mahasiswa, hasil pemeriksaan dokter. Ia men
Felisha berhenti mengunyah. Sendoknya tertahan di udara sesaat sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke piring.Nama itu —Erik, membuat ruang di dadanya terasa menyempit, bukan karena perasaan yang menggebu, melainkan karena kesadaran bahwa ada seseorang yang berdiri terlalu dekat dengan luka yang belum sembuh.“Aku tidak ingin menjadikannya pelarian,” ucap Felisha pelan. “Dia tidak pantas menerima sisa-sisa dari hidup yang belum selesai,” lanjutnya sembari melanjutkan makannya. Gina menatapnya lama, lalu duduk di hadapannya. “Tapi kamu sadar, kan? Diam pun bisa memberi harapan.”Felisha mengangguk. “Itu yang membuatku takut.” Ia mengusap perutnya pelan, refleks yang kini muncul setiap kali ia gelisah. “Aku tidak ingin ada siapa pun yang terluka karena kebingunganku.”Gina menghela napas. “Berarti kamu harus jujur. Pada Erik, juga pada dirimu sendiri.”Felisha tersenyum tipis. “Kejujuran kadang lebih menakutkan daripada kepergian, bukan?”“Tapi lebih adil,” balas Gina lembut.Hening m
Gina menuntun Felisha keluar dari ruang periksa setelah semuanya selesai. Langkah Felisha terasa ringan sekaligus berat —ringan karena kabar baik itu nyata, berat karena tanggung jawab yang kini tak lagi bisa ia abaikan atau tunda.Mereka duduk sebentar di bangku tunggu klinik. Felisha mengusap pipinya yang masih basah, lalu menghela napas panjang.“Sehat,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia sehat.”Gina tersenyum hangat. “Kamu hebat, Feli. Kamu datang ke sini tanpa siapa pun yang selama ini selalu mengambil alih keputusanmu.”Felisha terdiam. Kata-kata itu menancap tepat di dadanya.“Aku takut, Gin,” akunya jujur. “Tapi anehnya, kali ini takutnya berbeda. Bukan takut sendirian. Lebih ke takut salah langkah.”“Itu wajar,” jawab Gina lembut. “Karena sekarang setiap langkahmu bukan cuma untuk kamu.”Felisha mengangguk. Ia menatap keluar jendela klinik, melihat lalu lalang kendaraan, orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah hidup mereka. Ia tahu, ia belum sampai d
Langit pagi mulai cerah ketika Felisha dan Gina bersiap keluar kamar kos. Udara masih menyisakan dingin semalam, bercampur bau tanah basah yang naik dari halaman sempit di depan bangunan. Felisha mengenakan jaket tipis, menutupi tubuhnya dengan gerakan refleks—bukan karena dingin, melainkan karena kebiasaan menjaga diri yang kini semakin kuat.“Kita mulai dari daerah belakang kampus dulu,” ujar Gina sambil mengunci pintu. “Biasanya banyak kos kecil yang murah dan tenang.”Felisha mengangguk. “Aku cuma butuh tempat yang… tidak terlalu ramai.”Dan tidak terlalu dekat dengan kenangan, lanjutnya dalam hati.Mereka berjalan pelan menyusuri gang. Beberapa ibu menyapa ramah, penjual sarapan memanggil pembeli dengan suara serak. Dunia tetap berjalan normal, seolah tidak ada hati yang sedang bertaruh di antara pilihan-pilihan sulit.Felisha berhenti sejenak ketika ponselnya kembali bergetar.Refleks, ia melihat layar.Bukan Alan dan juga bukan Erik.Sebuah pesan dari nomor klinik kandungan yan
Felisha terdiam cukup lama setelah kalimat terakhir itu melintas di kepalanya.Ia memandangi langit-langit kamar kos yang mulai menguning dimakan usia. Ada retakan kecil di sudut plafon, seperti garis halus yang mengingatkannya pada hidupnya sendiri—tidak runtuh, tapi juga tidak lagi utuh.“Aku belum tahu, Gin,” ucapnya akhirnya, pelan. “Aku belum berani memikirkan sejauh itu.”Gina tidak langsung menjawab. Ia merapikan kantong belanja terakhir, lalu duduk di sisi ranjang, menatap Felisha dengan mata yang tidak menghakimi. “Kamu tidak harus punya semua jawabannya sekarang.”Felisha tersenyum tipis. “Masalahnya, semua orang seolah menunggu aku segera tahu.”Alan. Erik. Bahkan dirinya sendiri.Ia menarik selimut lebih tinggi, meski udara malam sebenarnya tidak dingin. Ada rasa kosong yang menggerogoti pelan —bukan karena sendirian, tapi karena terlalu banyak pilihan yang masing-masing menuntut keberanian.Ponselnya bergetar pelan di atas meja kecil. Bukan pesan, tapi panggilan. Dan nama







