Home / Romansa / Jadi Budak Kakak Ipar / BIARKAN IA MENYESAL

Share

BIARKAN IA MENYESAL

Author: Ummu Amay
last update Last Updated: 2025-12-10 13:57:14

Hujan turun tipis-tipis menjelang sore, membasahi kaca jendela kantor Tanujaya Grup. Biasanya, suara gemericiknya memberikan ketenangan bagi siapa pun yang mendengarnya. Tapi bagi Alan, hari itu hujan hanya menambah rasa berat yang sejak pagi menekan dadanya, hingga membuatnya sesak.

Ia berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota dari lantai paling tinggi gedung itu. Pikirannya terbang entah ke mana. Sibuk memutar ulang kejadian dua hari lalu —wajah Felisha yang pucat ketakutan.

Wajah cantik itu menghantuinya.

Menjauh dari jendela, Alan duduk pelan di kursi kerjanya. Kedua tangannya terlipat, mengusap wajahnya dengan gerakan yang lambat dan begitu letih.

Untuk pertama kalinya, meja kerjanya terasa terlalu besar. Ruangan itu terlalu sepi. Dan kursi yang ia duduki, yang biasanya menjadi singgasananya sebagai pemimpin perusahaan, kini terasa seperti ruang pengakuan dosa. Dan doa.

Alvaro mengetuk pintu dengan hati-hati. “Tuan … mengganggu sebentar?”

“Masuk.”

Alvaro melangk
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Jadi Budak Kakak Ipar   CEMBURU

    Siang menjelang dengan panas yang menyengat, membuat suasana kos semakin terasa pengap. Felisha duduk di meja kecil sambil menuliskan beberapa daftar kebutuhan—mencari kos lain, konsultasi kandungan, dan rencana mencari pekerjaan kecil untuk sementara.Ia baru menaruh pulpen ketika ponselnya bergetar.Satu buah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Feli, kamu sudah makan siang?”Felisha menelan ludah. Ia tahu siapa itu. Nada kekhawatirannya terlalu khas.Felisha tidak membalas. Atau belum.Gina masuk sambil membawa dua gelas es teh. “Kamu kelihatan kayak baru lihat hantu,” candanya.Felisha tersenyum tipis. “Bukan hantu … cuma seseorang yang akhirnya sadar kalau aku tidak ada.”Gina duduk di tempat tidur. “Pak Alan?”Felisha tidak menjawab, tapi diamnya cukup sebagai jawaban.Gina meminum es tehnya. “Dia nanya kamu makan? Sweet sih, tapi telat.”Felisha menggigit bibir. “Aku nggak tahu harus jawab apa.”“Jawab aja ‘udah’. Simple.”Felisha menggeleng. “Setiap aku mau ngetik, jari aku be

  • Jadi Budak Kakak Ipar   KUNJUNGAN ERIK

    Malam merayap perlahan, menyisakan udara lembap sisa hujan. Di kamar kos sederhana itu, Felisha masih terjaga. Matanya menatap ponsel yang tergeletak di samping bantal, layar yang kadang menyala oleh notifikasi kecil, tapi tidak pernah memunculkan nama yang diam-diam ia tunggu.Ia membelai perutnya yang masih datar.“Maafin Mama, ya… Mama masih bingung,” bisiknya.Kamar itu tenang. Terlalu tenang. Namun untuk pertama kalinya, keheningan itu tidak membuatnya merasa sendirian —hanya terasa kosong.Felisha menarik selimut pelan. Besok ia harus kuat. Besok ia harus mencari tempat tinggal yang lebih permanen sebelum memutuskan langkah selanjutnya.Sementara itu, di ruang kerja Alan, lampu belum dimatikan. Malam hampir jam sebelas ketika Alvaro kembali masuk dengan ragu.“Tuan … Anda belum mau pulang?”Alan masih menatap cincin pernikahan itu, seolah benda itu memiliki jawaban. “Aku tidak bisa pulang.”Alvaro menahan napas. “Anda bisa pulang untuk istirahat. Tidak ada rapat lagi malam ini—”

  • Jadi Budak Kakak Ipar   BIARKAN IA MENYESAL

    Hujan turun tipis-tipis menjelang sore, membasahi kaca jendela kantor Tanujaya Grup. Biasanya, suara gemericiknya memberikan ketenangan bagi siapa pun yang mendengarnya. Tapi bagi Alan, hari itu hujan hanya menambah rasa berat yang sejak pagi menekan dadanya, hingga membuatnya sesak.Ia berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota dari lantai paling tinggi gedung itu. Pikirannya terbang entah ke mana. Sibuk memutar ulang kejadian dua hari lalu —wajah Felisha yang pucat ketakutan.Wajah cantik itu menghantuinya.Menjauh dari jendela, Alan duduk pelan di kursi kerjanya. Kedua tangannya terlipat, mengusap wajahnya dengan gerakan yang lambat dan begitu letih.Untuk pertama kalinya, meja kerjanya terasa terlalu besar. Ruangan itu terlalu sepi. Dan kursi yang ia duduki, yang biasanya menjadi singgasananya sebagai pemimpin perusahaan, kini terasa seperti ruang pengakuan dosa. Dan doa.Alvaro mengetuk pintu dengan hati-hati. “Tuan … mengganggu sebentar?”“Masuk.”Alvaro melangk

  • Jadi Budak Kakak Ipar   MENCOBA MENATA HATI

    Alan keluar dari ruang meeting dengan langkah yang tidak setegas biasanya. Bukan langkah seorang CEO yang baru saja membahas kerja sama besar, melainkan langkah seorang pria yang baru saja disadarkan bahwa ia bisa kehilangan dua hal dalam hidupnya:Felisha dan masa depan perusahaan yang ia bangun sejak lama.Alvaro mengikuti di belakang, diam, tidak berani menyela.Di lorong mewah itu, Alan berhenti tepat di depan dinding kaca besar. Napasnya memburu, bukan karena marah —tapi karena takut. Takut benar-benar kehilangan perempuan yang selama ini ia anggap tidak ada, tapi nyatanya telah mengacak-acak ketentraman hatinya —tanpa disadari. Ia benar-benar menyesal karena selama ini tidak tahu cara menjaganya dengan benar.“Tuan…” Alvaro akhirnya bicara, hati-hati. “Anda ingin langsung menuju rumah sakit?”Alan memejamkan mata. “Bukankah kau sudah bilang kalau ia sudah pulang.”“Lalu … kita ke rumah?” kata Alvaro lagi, merasa salah bertanya. “Tidak,” Alan menjawab cepat.Karena ‘pulang ke ru

  • Jadi Budak Kakak Ipar   TERTUNDA

    Ruangan meeting itu sunyi, hanya terdengar denting kecil jam mahal di dinding. Meja oval berlapis kaca memantulkan cahaya lampu yang hangat, meski tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara dua pria yang duduk berhadapan.Atmadi Wijaya tersenyum tipis sambil menyilangkan tangan di dada. “Tuan Alan Tanujaya,” sapanya pelan, suaranya berat namun terkontrol. “Akhirnya kita bertemu.”Alan membalas sopan, meskipun rahangnya menegang. “Terima kasih sudah menerima undangan proyek kerja sama ini.”“Kita lihat saja nanti proyek apa yang sebenarnya Anda tawarkan,” jawab Atmadi, masih dengan senyum samar yang sulit dibaca. “Tapi, sebelum mulai … saya ingin membicarakan sesuatu terlebih dahulu.”Alan sudah menduga arah pembicaraan itu, tetapi ia tetap mempertahankan nada datar. “Tentang apa, Pak Atmadi?”Tatapan Atmadi perlahan mengeras.“Dua hari lalu, anak saya menemukan seorang perempuan hamil … ketakutan, hampir pingsan, dan berusaha melarikan diri dari seseorang.” Ia berhenti sejenak,

  • Jadi Budak Kakak Ipar   PULANG?

    Dua hari setelah kejadian di UGD, keadaan rumah sakit jauh lebih tenang. Tidak ada lagi suara monitor yang memekik, tidak ada lagi perawat yang berlarian panik. Hanya ada cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela ruang rawat, menerpa wajah Felisha yang tampak jauh lebih tenang.Wanita itu membuka mata perlahan.Di samping tempat tidurnya, Gina duduk sambil membaca sesuatu di ponselnya. Ketika merasakan gerakan kecil, ia menoleh cepat.“Feli kamu sudah bangun? Gimana rasanya?”Felisha menarik napas pelan. “Sedikit pusing, tapi jauh lebih baik.”Gina tersenyum lega, lalu menepuk tangan Felisha pelan. “Syukurlah. Dokter bilang kamu boleh pulang hari ini.”Felisha menegakkan tubuhnya perlahan. Ada sedikit nyeri, tapi tidak seburuk dua hari yang lalu. Yang menyakitkan justru bayangan saat ia ketakutan melihat Alan.Bayangan itu masih menghantuinya.“Jadi, kemana kamu akan pulang?” tanya Gina ragu.“Ke kos temanmu, aku sudah bilang bukan?” jawab Felisha mantap. “Kemarin kamu sudah iya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status