Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya.
Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka.Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bicara."Kalian sudah tahu apa yang terjadi bukan?" tanya Alan membuka suara.Herman Sumitra, ayah Felisha terlihat menengok ke arah istrinya. Dengan perasaan takut, ia sendiri ragu untuk menjawab."Aku bertanya pada kalian, bukan pada angin malam yang hanya menyuarakan hening!""Ka-kami tahu, Na-Nak Alan."Entah apakah Herman masih pantas memanggil menantunya dengan panggilan demikian setelah apa yang putri sulungnya lakukan. Ia hanya spontan dan kaget karena bentakan yang selama ini tak pernah sekali pun Alan lakukan terhadap mereka.Lirikan mata pengusaha itu seolah menjawab kekhawatiran yang Herman rasakan.'Ia sudah tidak menganggap kami mertuanya lagi,' batin Herman gugup."Tapi, sungguh! Kami tidak tahu menahu akan hal itu. Dina tidak pernah mengatakan apapun selama ini. Kami juga tidak tahu kalau ia masih berhubungan dengan kekasihnya. Andai kami tahu, tentu kami akan marah dan memintanya memutuskan hubungan dengan lelaki itu," ucap Herman cepat.Bahkan, lelaki itu sampai menggelosor ke lantai seperti ingin meminta ampunan atas pembelaan yang ia lontarkan.Ini bukan salahnya atau salah sang istri. Dina benar-benar rapat menyimpan semuanya selama tiga tahun. Ketika ia sampai memiliki anak dari pernikahannya dengan Alan, siapa yang akan menyangka bahwa ia bermain api di belakang. Termasuk mereka.Namun, sepertinya penjelasan yang Herman sampaikan juga aksinya yang sedikit berlebihan, sama sekali tidak membuat Alan percaya atau tersentuh. Bagi lelaki itu, semua yang terjadi saat ini ada peran dari kedua orang tuanya yang tak becus mendidik sang putri."Tak perlu banyak bicara. Kedatanganku ke sini karena ada hal yang harus aku sampaikan. Ada kompensasi yang harus kalian berikan sebab ulah putri sulung kalian."Herman mengangkat wajahnya sedikit. Lalu, diliriknya sang istri yang melihat ke arahnya dengan ekspresi panik. Juga Felisha, yang sejak awal kedatangannya lebih banyak diam dan menunduk."Layani aku!" ucap Alan membuat ketiga orang di depannya mendongak, menatap kaget.Namun, kebingungan mereka akhirnya terjawab ketika mendapati tatapan Alan yang lurus melihat ke arah Felisha."Ap-apa maksud, Kak Alan?" Terbata Felisha menjawab. Ia tahu jika dirinya yang lelaki itu maksud.Semua terlihat diam. Hening menjadi latar mereka di ruang tamu keluarga Sumitra. Dua orang anak buah Alan yang berdiri di belakang tuannya, juga diam menyaksikan semua adegan di depan mereka."Seperti apa yang aku katakan padamu tadi, kamu harus jadi pengganti kakakmu di atas ranjang yang sudah ia tinggalkan."Kalimat vulgar dan sensitif yang seharusnya menjadi ranah privasi, tapi justru Alan ucapkan lantang tanpa sungkan atau malu."Pengganti apa, Kak?" Felisha menatap ngeri. Terbayang di otaknya, pelayanan apa yang harus ia berikan kepada Alan, yang notabene adalah kakak iparnya sendiri.Meski tak dipungkiri jika Alan adalah seorang laki-laki yang sangat tampan dan kaya raya, tetapi di mata Felisha lelaki itu adalah kakak iparnya. Tetap seseorang yang harus ia hormati sebagai laki-laki yang masih sah menjadi suami dari kakaknya."Pengganti wanita jalang itu ketika aku membutuhkan kehangatan di atas tempat tidur, apalagi menurutmu?"Dua orang tua yang sudah duduk lesehan tampak kaget ketika panggilan sayang untuk Dina dari Alan dahulu, berubah menjadi sebutan yang begitu hina dan menjijikan. Sebegitu cepat lelaki itu mengubah panggilan kepada istrinya karena ulah perempuan itu sendiri yang juga sudah membuat kedua orang tuanya marah dan malu.Felisha terlihat menggeleng. Ia jelas tak mau menjadi pengganti yang Alan maksud.Tak terbayangkan bagaimana ia harus menemani dan melayani Alan di atas ranjang dan berhubungan intim dengan lelaki yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan melakukan hal tersebut. Tidak seperti teman-temannya yang langsung tertarik pada Alan sejak pertama bertemu. Bahkan berani membayangkan lelaki itu menjadi obyek pasangan di pikiran kotor mereka."Aku tidak mau!" Felisha berteriak kencang.Air mata tiba-tiba mengalir di pipinya yang kemerahan. Sungguh jika bunuh diri dibolehkan oleh Tuhan, ia memilih menenggelamkan dirinya saja ke dasar laut yang dalam.Namun, Felisha tidak berani melakukan hal yang dilarang oleh Tuhan. Bunuh diri bukan solusi. Ia jelas berharap ada solusi lain sehingga dirinya bisa terbebas dari jerat permintaan Alan yang tidak masuk akal."Ayah, Ibu! Bicaralah! Bela dan bantu aku, Yah, Bu!" Pada akhirnya Felisha bersimpuh di depan kaki ayah dan ibunya. Menatap dua orang yang sangat ia sayangi, yang selama ini selalu mendukung semua hal yang ia sukai.Felisha sampai banjir air mata, berharap kedua orang tuanya membela dan menyuarakan penolakan atas kompensasi yang Alan minta. Semua yang ia lakukan juga diawasi oleh kedua mata Alan dari posisinya. Ada senyum sinis yang tampak di wajahnya saat melihat itu semua."Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Semua aset kalian akan aku ambil jika kalian menolak apa yang aku minta. Juga semua uang yang sudah aku berikan selama tiga tahun ini, aku akan minta kembali sebab aku anggap hutang.""Tidak bisa begitu, Nak Alan." Kali ini ibu mertuanya yang bicara. Mereka jelas membayangkan bagaimana kehidupan mereka nanti jika Alan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya."Nak Alan sudah memberikannya sebagai hadiah. Mana ada hadiah yang diambil lagi.""Lalu, apa menurut kalian ulah yang putri kalian sudah lakukan terhadapku tidak merugikanku? Semua hutang kalian sudah aku lunasi. Bahkan, aku sampai ragu apakah Rafael adalah anakku atau bukan.""Jangan berkata seperti itu. Kami yakin Rafael adalah anak kamu dan Dina.""Setelah tiga tahun perempuan itu masih berhubungan dengan kekasihnya, apa kalian yakin cuma benihku saja yang masuk ke dalam rahimnya?" Alan menyahut dan menatap kedua mertuanya tajam.Alhasil, mereka pun diam menunduk. Perkataan Alan benar. Siapa yang tahu anak siapa yang Dina lahirkan? Apakah benar anak Alan atau anak selingkuhannya itu?Felisha kesal melihat sikap kedua orang tuanya yang langsung diam ketika mendapat sangkalan dari mulut Alan."Aku yakin Rafael adalah anak Kak Alan dan Kak Dina. Muka Rafael sangat mirip dengan Kakak. Matanya dan bibirnya persis dengan punya Kakak." Felisha berusaha sekali supaya Alan tidak menolak kehadiran Rafael. Bocah dua tahun yang selama ini ia sayangi, jangan sampai dibuang sebab emosi atas kepergian ibunya."Sok tahu sekali kamu! Tak ada yang tahu, benar atau tidak anak itu adalah anakku setelah apa yang ia lakukan terhadap pernikahan kami." Alan menatap Felisha geram."Tapi ....""Sudah cukup!" Alan memotong ucapan Felisha cepat."Bukan itu topik yang sedang kita bicarakan. Urusan anak itu sudah aku putuskan. Ia akan tinggal di sini sampai aku mengetahui kebenaran statusnya.""Apa? Kak Alan jangan lakukan itu, kasihan Rafael," pinta Felisha penuh harap.Namun, Alan seolah tuli dan tak peduli."Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan TIDAK!"***Felisha tampak salah tingkah ketika Gina dan Erik menatapnya serius. Kedua temannya itu terlihat sekali penasaran dengan kondisi kandungannya saat ini."Apakah boleh kalau hal itu tidak aku jawab sekarang?" Felisha balik bertanya.Gina menarik napas panjang, "Baiklah. Aku tidak akan memaksamu bercerita. Tapi, aku dan Erik tak akan membiarkanmu sendiri setelah apa yang terjadi. Terlebih lagi kamu sudah meminta bantuan kami berdua." Gina memastikan bahwa pertanyaan itu akan kembali ia ajukan suatu hari nanti.Felisha terlihat sekali lega. Bersyukur ia ucapkan karena baik Gina atau Erik tidak memaksa dirinya menjawab tentang siapa ayah dari anak yang ada di dalam rahimnya sekarang."Aku akan ceritakan padamu setelah aku siap. Tapi, untuk saat ini aku benar-benar belum bisa bercerita banyak. Ini semua karena keadaan yang serba tiba-tiba.""Tidak apa-apa, Feli." Giliran Erik yang menyahut. Lelaki itu terlihat berusaha memaklumi kondisi perempuan di depannya itu. "Seperti kata dokter, saat
Suasana rumah sakit tampak sedikit lengang. Hanya beberapa keluarga yang menunggu sanak saudaranya yang tengah dalam penanganan medis di ruang UGD. Termasuk Gina, gadis yang tak lain adalah teman Felisha, berdiri cemas bersama Erik, lelaki yang merupakan teman kampus Felisha. Sudah setengah jam berlalu sejak Felisha masuk ke ruangan di mana Gina atau Erik tidak diizinkan masuk. Keduanya masih belum bisa tenang setelah kejadian beberapa waktu lalu mengenai kondisi Felisha. Saat Erik masih sibuk dengan ponselnya, lain dengan Gina yang memilih mengabaikan notifikasi pesan yang mungkin dari teman atau kekasihnya, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan. "Pasien sudah siuman. Kalian bisa menengoknya setelah perawat selesai." Wanita dengen snelli yang menutup tubuhnya yang sudah terlihat tua itu berkata pada dua orang di depannya. "Bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Gina dengan suara penuh khawatir. "Dia baik. Sepertinya tadi terjadi sesuatu yang membuat kandungannya bereak
Alan sampai di sebuah rumah sakit bersama Alvaro dan Luna. Ia berlari menuju area UGD untuk mencari keberadaan Felisha. "Siapa namanya, Pak?" tanya seorang perawat penjaga ketika Alan bertanya begitu heboh. "Felisha Putri.""Sebentar saya lihat dulu." Perawat lelaki itu kemudian mengecek nama Felisha di komputer. Beberapa saat kemudian ia kembali melihat Alan. "Maaf, Pak. Tidak ada nama pasien bernama Ibu Felisha di sini.""Jangan bohong, Mas. Dengan jelas teman saya melihat kalau istri majikan saya ke rumah sakit ini." Alvaro mencoba menjelaskan. "Saya tidak tahu itu. Kalau melihat data yang saya lihat, nama Felisha Putri memang tidak ada di sini."Alan menatap Alvaro kesal. "Kamu tahu kabar itu dari siapa?""Dari Fery, Tuan. Dia tadi mau pulang dan tidak sengaja melihat Nona Felisha dibawa kesini.""Dia melihat di sini atau di mana? Coba kamu hubungi dia lagi sekarang!""Baik, Tuan. Sebentar saya hubungi Fery."Di saat Alvaro mencoba menghubungi salah seorang temannya, Alan meng
Semua orang menatap tak percaya. Bu Rumi yang tadi tengah membantu Felisha di kamar, terperangah demi mendengar kalimat Alan barusan. "Apakah Kaka pikir keluargaku hanya mereka saja?" Felisha terlihat tertawa. Alan menatap tajam dengan mulut membisu. "Jadi, terakhir aku tanya, Kaka mau apa? Mau menghukum aku seperti dulu? Atau mau aku pergi dari sini?""Kau tak akan berani." Alan berkata dingin. Lagi-lagi Felisha tertawa mengejek. "Apakah Kaka sedang menantang aku?"Alan diam tidak menjawab, membuat Felisha kemudian masuk ke kamar untuk mengambil satu-satunya barang miliknya, yaitu tas ransel berukuran kecil yang hanya berisi beberapa benda penting, yang ia miliki sebelum dinikahi Alan. Alan masih diam ketika perempuan itu berdiri di depannya. "Entah apa yang sebenarnya terjadi, satu yang pasti aku tak akan pernah terima dengan tuduhan Kaka kepadaku. Termasuk tindakan Kaka yang memaksaku tadi."Setelah berkata demikian Felisha pergi meninggalkan Alan dan orang-orang yang hanya bi
Keesokan paginya Alan sudah bersama Alvaro di sebuah tempat di mana tampak sesosok perempuan yang duduk dalam keadaan terikat di atas sebuah kursi kayu yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Perempuan itu tertawa menatap Alan yang melihatnya marah. "Kenapa, Alan? Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanpa ada rasa takut sedikit pun, perempuan itu kembali tertawa. "Apakah kamu tidak menyesal sama sekali, Dina?" Pertanyaan yang Alan lontarkan disambut tawa riang yang menggema di seluruh sudut ruangan. "Menyesal katamu? Menyesal untuk apa?""Kau sudah tertangkap, Dina. Semua bukti tentang rencana penculikan yang kau lakukan bersama kekasihmu itu sudah aku pegang. Aku hanya tinggal membawamu ke kantor polisi dan membiarkanmu membusuk di dalam penjara.""Hahaha. Kamu pikir aku takut, Alan?"Tidak menatap wajah pengusaha itu, Dina justru menatap lampu serta langit-langit ruangan yang tinggi. Entah di mana ia berada sekarang, hanya kegelapan yang tampak di matanya. "Kau benar-benar sudah ti
"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,