"Kalau begitu, Mas bisa mulai bekerja besok."Hakam begitu percaya diri ketika melakukan interview dengan pemilik restoran seafood ini. Teman Linggar yang akan menjadi atasannya, ternyata adalah seorang perempuan. Dan tentu saja, dengan memainkan sedikit pesonanya, ia dengan mudah diterima."Baik, Mbak," jawabnya ramah."Jangan panggil Mbak. Panggil saja Devina." Pipi Devina bersemu merah merona. Salah tingkah sendiri saat berhadapan dengan pria seperti Hakam.'Manis sih. Tapi masih lebih menarik Faryn,' batinnya dengan bibir tersenyum saat mengiyakan perkataan Devina.Saat akan kembali ke rumah Faryn, Hakam baru ingat. Lokasi restoran seafood ini ternyata berada tepat di depan kantor Bahari Jatayu, ayah Linggar."Lokasinya strategis sih memang. Mana belum ada saingannya lagi," gumam Hakam pada dirinya sendiri."Linggar yang menyarankan untuk membuka restoran seafood di sini. Karena ternyata belum ada di kompleks perkantoran," sahut Devina.Hakam mengangguk. "Dulu bangunan ini bekas k
Seminggu berlalu sejak terakhir mereka bertengkar. Dan terakhir kali pula saling berbicara. Hakam tidak merasa nyaman tinggal bersama seseorang yang mengacuhkannya kehadirannya. Tidak terbiasa. Meski ia sudah melakukan banyak cara agar Faryn mau kembali berbicara dan memaafkannya, termasuk membuat rumah berantakan, wanita itu tetap mengabaikannya.Bukan hanya itu, Faryn juga selalu pulang terlambat. Kesempatannya untuk kembali seperti sebumnya semakin sedikit. Di samping itu, Hakam swndiri juga mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. Terkadang ada beberapa pekerjaan yang ia bawa ke rumah sambil menunggu si empunya pulang.Untuk masalah makan, ia tidak perlu khawatir. Hakam selalu makan di restoran tempatnya bekerja. Hanya saja, saat hari libur seperti sekarang, ia tidak tahu harus melakukan apa. Faryn sudah pergi sejak sejam yang lalu. Entah ke mana karena saat ia bertanya, wanita itu enggan menjawab.Ketika tengah duduk bersantai sambil memakan sisa pisang goreng yang dibuat Faryn tadi
Faryn tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Sejak kejadian siang tadi di dalam kamar hotel, setelah Linggar melepaskan bibirnya, otaknya tidak berhenti memutar kembali semuanya. Degup jantungnya juga tidak berdetak normal seperti biasanya."Sial," gumam Faryn pelan.Wajah tertelungkup di atas meja belajar di kamarnya dengan bertumpu pada sebelah tangan. Bahkan saking terlalu fokus pada apa yang terjadi antara dirinya dan Linggar, ia mengabaikan panggilan Hakam."Kembalilah berdetak seperti biasanya, Bodoh," katanya kesal. Tangan lainnya memegang dada kiri. Ia tidak berpikir hal seperti ini akan ia alami. Dan, sialnya, yang dikatakan Linggar benar adanya.Ciuman itu membuat Faryn selalu mengingat pria itu.Suara ketukan di balik pintu menghentikan makiannya pada diri sendiri. Ditambah lagi dengan panggilan namanya dari suara yqng sudah sangat ia hapal betul."Faryn. Kamu ada waktu? Aku perlu bicara," panggil Hakam dengan lembut.Faryn diam, tidak memberikan jawaban apapun pada pangg
Hakam tersenyum mencemooh sekaligus miris mengingat diskusi mereka yang berakhir buruk. Tidak ada hasil yang memuaskan dari perbincangannya dengan Faryn malam itu. Yang ada hanya rasa kesal, marah, dan ... perasaan lain yang sulit dijelaskan."Masnya mau foto latar belakang apa?"Pertanyaan dari fotografer di tempat percetakan kilat ith mengalih pikiran Hakam. Kepalanya mendongak, lalu menjawab dengan tenang, "Biru, Mas."Fotografer itu segera menyiapkan kain latar berwarna biru. "Nggak sama calonnya, Mas, biar sekalian?" tanya lagi sambil mengatur cahaya lampu sorot supaya gambar yang dihasilkan memuaskan.Hakam menggeleng walaupun orang itu tidak melihatnya,"Nggak, Mas. Calon saya sudah foto lebih dulu di tempat lain."Lebih dulu dari mananya? Yang ada malah Faryn sama sekali tidak peduli dengan pernikahan mereka. Hanya Hakam sendirilah yang kelimpungan mengurus segalanya dari awal.Jika perempuan itu sengaja melakukannya agar Hakam menyerah, maka ia harus menelan pil pahit. Hakam t
Manik Mama Adelina melebar. Mulutnya terkatup rapat dan deru napasnya mulai cepat. Hakam dengan sugap mengangkat tangan Mama yang sedang memegangi gelas yang tadi diberikan oleh Hakam."Minun dulu, Ma," ujarnya. Sebelah tangannya mengelus punggung ibunya.Mama menurut. Beliau minum dengan cepat hingga isinya langsung habis tak bersisa."Kok ... kenapa menndadak begini?" tanya Mama cepat dengan nada panik begitu tetes terakhir dalam mulutnya sudah tertelan.Hakam menggaruk pipinya salah tingkah. Ia ragu untuk menjelaskan semuanya. Maka, ia ambil jalan tengah untuk memberitahukan ibu kandungnya."Ya, karena kan kami sudah tinggal bersama, Ma. Sementara di lingkungan rumah Faryn, memiliki peraturan di mana yang bisa tinggal bersama hanya yang sudah memiliki ikatan suami istri atau sanak keluarga. Dan Hakam nggak punya keduanya. Jadi," belum sempat Hakam menyelesaikan ucapannya, Mama mendahuluinya."Jadi, maksud kamu kalau ingin tinggal di sana, kamu harus membentuk ikatan suami istri den
"Pulang duluan, ya. Bye.""Mampir gym yok. Udah lama nggak ke sana.""Good night, Everybody!"Seruan itu menjadi kalimat terakhir yang Faryn dengar hari ini. Para staff karyawan HR sudah berkemas dan bergegas pulang ke rumah atau mampir ke tempat lain bersama teman-temannya.Faryn menunggu sampai karyawan terakhir di ruangan itu, selain dirinya, pergi. Setelah memastikan hanya tinggal dirinya seorang, ia membalas pesan dari Bahari yang masuk beberapa saat lalu.Sedikit terkejut saat mendapati Bahari mengetahui nomer pribadinya. Yah, namanya juga atasan. Dia bisa saja mendapatkan informasi apapun tentang karyawannya dengan mudah.Jemari Faryn sedikit bergetar saat mengetik setiap kata. Dirinya masih belum siap sepenuhnya bahwa sebentar lagi, tubuhnya akan dijamah oleh tangan kotor orang yang dibencinya.Namun, semua sudah terjadi. Keputusan sudah bulat. Tidak ada lagi jalan untuk mundur.Faryn menarik napas dalam dan mengembuskannya melalui mulut. Langkah kakinya membawanya pergi ke ka
Hakam mondar-mandir di ruang tengah. Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam. Faryn masih belum juga pulang.. Sekali lagi, ia coba menghubungi pasangannya. Tetap tidak diangkat.Biasanya memang wabita itu pulang terlambat, tapi kali ini sudah sangat terlambat. Meski ia masih merasa kesal pada Faryn, tetap saja ada rasa khawatir padanya. Ia tidak bisa mengabaikannya.Saat suara sepatu berpadu dengan ubin di luar rumah, Hakam langsung bergerak cepat menuju pintu. Ia buak pintu rumah bahkan sebeljm Faryn memegang kenopnya."Kamu dari mana saja?" tanyanya cepat. Tatapan matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran.Faryn hanya menjawab pelan dengan nada lesu, "Lembur."Seelah itu, ia berlalu masuk melewati Hakam yang masih berdiri di ambang pintu. Pria itu mengekor dari belakang. Masih dengan banyak pertanyaan yang bersarang di benaknya.Melihat Faryn yang sudah bersiap masuk ke kamarnya, ia menahan tangan wanita itu. Lalu Hakam pun akhirnya kembali bertanya. "Nggak mungkin lem
Meski kejadian itu sudah berlangsung dua hari yang lalu, Faryn masih sedikit mengalami ketakutan saat harus kembali bekerja. Entah bisa dikatakan keberuntungan atau tidak, Bahari pergi keluar negeri selama dua minggu untuk urusan bisnis. Jadi, Faryn bisa menenangkan diri sebelum kembali mengulangi kejadian sebelumnya.Hakam sendiri juga sudah kembali tidur di sofa seperti biasanya. Hanya untuk satu malam itu saja mereka berbaring di ranjang yang sama. Dan tentu saja, hanya tidur biasa layaknya orang-orang pada umumnya."Faryn," panggil Hakam.Faryn menoleh. Lalu mengedikan dagu yang mengisyaratkan pertanyaan 'apa?' secara tak langsung."Hari ini ... kamu nggak perlu bekerja," ujarnya.Faryn mengerutkan dahinya dalam. "Kenapa?""Aku sudah meminta ijin sama Papa Bahari supaya mengijinkan kamu untuk satu hari ini."Merasa belum mendapatkan jawaban yang ia mau, Faryn memberikan atensi penuh pada pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Kamu nggak menjawab pertanyaan aku." Kedua tangan