"Mama.. aku mau ayam goreng." Gumam gadis itu dengan mata terpejam dan kepala tersandar di atas meja. "Tolong satu lagi ayam cihua hua."
Bartender yang merupakan seorang pria awal tiga puluhan itu mengenyit bingung melihat tangan gadis itu itu terangkat. Tapi kata-katanya lebih membuat dia frustasi. Gadis itu sudah mabuk berat. Tiga botol alcohol sudah ditenggaknya sampai habis seorang diri. Entah sudah berapa banyak kalimat aneh yang di ucapkan, tak ada satupun yang bisa dimengerti.
"Hei, nona. Sebaiknya kamu cepat pulang. Ini sudah malam. Aku khawatir kamu diculik pria hidung belang." Dia menyenggol bahu gadis itu dan menggoyangkannya. Tapi gadis itu malah tertawa dan mengeluh pusing.
"Kenapa aku terbang."
"Hei, nona. Cepatlah bangun. Kamu belum membayar sepeserpun. Keluarkan uangmu dan segera pergi."
Gadis itu tak menggubrisnya. Masih terkekeh-kekeh sendiri.
Akhirnya, pria itu mencari saku dipakaian gadis itu yang memungkin dia bisa menemukan kartu identitas, alamat rumah maupun ponsel.
Ketika gadis itu terbahak karena kegelian, orang disekeliling langsung salah paham karena dikira si bartender sedang melakukan hal mesum.
"Hey, Darel! Kau berani menyentuh pelangganmu saat mabuk." Ujar seorang pria yang sedang minum, tampaknya dia mengenal si bartender ketika senyum mengejek terukir.
Darel buru-buru mengangkat tangan. "Aku tidak melakukan apapun. Aku harus mengusirnya dan mencari sesuatu yang bisa aku gunakan agar dia bisa cepat pergi dari sini."
Dia kembali merogoh tangannya mencari-cari saku yang mungkin tersembunyi.
"Ah geli. Geli." Kikik gadis itu sambil menggeliat.
"Tahan sebentar lagi, nona. Tahan. Aku sudah menemukan ponselmu, ini dia—"
BUGH!
Sebuah tinju melayang ke wajah Darel hingga Darel terpental dan menubruk gelas berjejer di atas meja. Semuanya jatuh ke lantai dan hancur. Darel kaget. Dia berbalik dan hendak membalas dengan marah.
Tapi ketika melihat siapa yang datang dia langsung terdiam, tak berani.
"Apa yang kamu lakukan padanya?" Tanya pria itu tajam.
Darel buru-buru mengangkat tangannya. "Sumpah. Aku hanya mencari ponselnya untuk menghubungi seseorang agar menjemput dia. Nona ini sudah sejak club di buka datang kesini. Dia sudah menghabiskan tiga botol alkohor dan belum membayar." Sahutnya cepat.
Pria itu menatap Darel dan si gadis bergantian. Lalu beralih sepenuhnya pada si gadis yang mulai tepar kembali. Kepala yang bersandar ke meja.
"Apa aku bisa menjamin kamu mengatakan yang sebenarnya?"
Darel menggaruk kepalanya, "Aku serius. Banyak saksinya. Anda bisa bertanya pada penonton sekarang, Tuan Adrian."
Mata Adrian berkilat seolah mengancam lewat tatapan mata. Jika Darel terbukti menyentuh tubuh gadis itu, ia akan langsung menghabisinya.
"Ehm..." Darel menggaruk tengkuknya canggung, suaranya bergetar, "Nona ini sudah minum tiga botol, tapi dia belum membayarnya sepeserpun."
Darel melirik sejenak ke arah meja bar, mencoba mencari keberanian, tapi tatapan tajam Adrian membuatnya mundur selangkah. Dia jelas tidak berani berkata lebih banyak.
Tanpa kata, Adrian mengeluarkan uang dari dompetnya, menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah ke arah Darel.
Darel menerima uang itu dengan ragu. Matanya terbeliak sedikit, itu terlalu banyak, dan jelas lebih dari yang seharusnya dibayar. Tapi melihat ekspresi dingin Adrian yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkompromi, Darel tahu, pria itu tidak akan bisa di ajak bicara tentang kembalian. Meski terkesan agak sombong dan arogan, tapi tidak ada yang bisa di bantah darinya. Dia memang pantas sombong dengan kekayaan yang dia miliki. Jadi, dengan cepat Darel mengucapkan terima kasih beberapa kali, meski dia sebenarnya masih merasa aneh dengan kelebihan uang itu.
Setelah itu, Adrian menghampiri gadis yang kini diketahui bernama Nayla. Gadis itu masih dalam kondisi mabuk berat, kepalanya bersandar lemas di atas meja kayu yang dingin, napasnya tak teratur, dan wajahnya tampak pucat. Rambutnya yang terurai sedikit menutupi wajahnya, tapi Adrian tak mungkin salah mengenali gadis itu.
Setelah memastikan itu benar dirinya, Adrian membungkuk perlahan. Tanpa ragu, ia menyelipkan satu lengannya di bawah lutut Nayla, dan satu lagi menopang punggungnya. Dengan mudah ia mengangkat tubuh gadis itu, menggendongnya dengan gendongan putri.
Saat itulah, kelopak mata Nayla perlahan terbuka. Tatapannya kosong, tapi bibirnya justru melengkung membentuk senyum yang begitu hangat. Matanya yang masih sayu memandang wajah Adrian tanpa benar-benar sadar siapa yang ada di hadapannya. Dalam kebingungan dan kesadarannya yang setengah melayang, ia tiba-tiba tertawa kecil, seolah senang bertemu dengan orang yang paling dirindukan.
"Ayah... Ayah... kamu sudah pulang. Aku rindu, Ayah..." gumamnya pelan dengan suara serak, nyaris tak terdengar. Tangannya terangkat perlahan, melingkar erat di leher Adrian. Lalu ia menyandarkan kepala di dada pria itu, mencari kehangatan yang ia rasa familiar.
Adrian melangkah perlahan. Dia menatap Nayla dalam diam, tapi tidak mengatakan apapun. Juga tidak menyingkirkan tangan yang melingkari lehernya untuk pertama kali. Selama lima tahun Nayla tinggal di rumahnya, mereka hampir tidak pernah bersentuhan fisik, apa lagi menggendongnya seperti ini. Dengan sangat intim.
Sebelumnya Vania memintanya mencari Nayla. Sebelum kesini, Adrian sudah keliling kota mencari-carinya. Bahkan teman-teman Nayla sudah dia datangi satu persatu tapi tidak ada satupun yang tahu. Untungnya pelayan di rumah masih mengingat pakaian yang dikenakan Nayla terakhir kali. Dengan demikian, Adrian dapat dengan cepat menemukannya. Penampilan Nayla memang agak mencolok malam itu, mengenakan baju terang seperti itu di antara wanita wanita yang memakai pakaian seksi. Sangat mudah untuk mengenalinya.
Dan yang lebih tidak Adrian duga adalah, ia menemukannya Nayla di tempat seperti ini
"Sejak kapan kamu mulai minum alkohol?"
Nayla tak menjawab. Matanya terpejam, mulutnya hanya menggumamkan kata-kata tak jelas. Adrian mendesah pelan, ia membawa Nayla keluar dari klub itu dan memasukkannya ke dalam mobil.
Malam semakin larut, jalanan mulai sepi. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobil yang melaju tenang di bawah langit yang mulai menghitam pekat. Adrian fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah Nayla yang duduk dengan kepala bersandar di jendela.
Baru beberapa menit mobil berjalan, Nayla tiba-tiba bergerak gelisah. Saat terbangun, tangannya menutup mulut, raut wajahnya tampak panik.
Adrian merasakan firasat buruk. Dia segera menepikan mobilnya dengan melayangkan tatapan waspada sekaligus panik. "Tahan! Tahan!"
Tapi terlambat...
"Hoek.. Hoek.." Nayla membungkuk, memuntahkan isi perutnya yang ternyata belum terisi apapun sejak kemarin malam. Hanya roti sobek yang dia beli saat perjalanan menuju klub.
Adrian mengernyitkan dahi dan buru-buru membuka pintu mobil, melangkah keluar sambil mengerutkan kening. Dia mengurut pelipisnya menyaksikan Nayla masih membungkuk di dalam.
Ia memutar tubuh, membuka pintu sisi penumpang dan membantu Nayla keluar agar tak mengotori mobil lebih banyak.
“Berdiri sebentar. Awas kepalamu.”
Nayla berjalan dengan langkah limbung, mungkin karena masih setengah sadar. Dia hampir saja terjatuh, untung saja Adrian cepat menangkapnya. Tapi entah bagaimana, ketika Adrian hendak mengambil air minum, kakinya tak sengaja tersandung. Alhasil, mereka berdua ambruk.
Dan Nayla jatuh tepat di atas jok, tertindih olehnya.
"Sial!"
Nayla berdiri tegak di dapur, menggenggam cangkir kopi itu erat-erat. Saat Adrian muncul di ambang pintu, tubuh Nayla langsung menegang.Pria itu tampak seperti biasa, dengan setelan kerja yang belum sempat ia lepas sempurna. Jasnya masih menempel di tubuh, dasi sedikit longgar. Tatapannya langsung tertuju pada Nayla, datar dan dingin."Kamu di sini?" gumam Adrian, seolah tak percaya. Lalu ia menoleh sebentar ke sekeliling, mencermati rumah itu.Nayla mengangguk gugup, lalu mengulurkan cangkir itu dengan kedua tangan. "Aku… buatkan kopi untuk Om."Adrian mengangkat satu alis. Pandangannya sempat singgah di wajah Nayla, menelusuri gerak-gerik kecil yang tak bisa disembunyikan perempuan itu. "Kamu tidak perlu repot," ucapnya, tapi tetap mengambil cangkir itu dari tangan Nayla.“Aku tidak repot,” jawab Nayla cepat.Adrian tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke ruang tengah dan menjatuhkan dirinya ke sofa. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara napas Nayla dan detak jantungnya yang m
"Kamu harus bersiap sekarang. Tante akan mengantarkanmu ke rumah itu. Adrian akan menyusul setelah pulang dari kantor," ucap Vania tegas.Setelah sarapan, Vania membantu mempersiapkan segalanya, termasuk membereskan barang-barang yang sekiranya dibutuhkan Nayla selama bulan madu di rumah itu.Nayla hanya diam di ujung kamar, menyaksikan semuanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa, lalu memilih membiarkan Vania melakukan sesuka hatinya. Nayla tahu, jika dia berinisiatif membantu, itu hanya akan berujung pada penolakan. Vania lebih suka Nayla melakukan apa yang sudah ditentukan daripada ikut campur dan merusak semuanya."Adrian suka gaun merah dan dalaman berenda. Tante sudah menyiapkannya untukmu di koper abu-abu. Ingat, Nayla, kamu harus buat Adrian terangsang dan menyentuhmu malam nanti. Jangan banyak menunda sebelum orang tua Adrian datang dan mencium pernikahan kontrak ini."Mendengar kata-kata Vania, dada Nayla terasa sesak. Campuran antara takut, malu, dan kebingungan memenuhi pik
Nayla tersentak. Seketika ia menjauh, refleks menyilangkan tangan ke dada yang nyaris terbuka, lalu cepat-cepat menarik selimut menutupi tubuhnya.“Maaf.” bisiknya gugup, nyaris tak terdengar.Adrian terduduk, lalu menggerakkan lengannya yang kaku. Wajahnya datar, tapi jelas terlihat ia menahan pegal di tangannya.Nayla membeku, panik.Jangan bilang… ia tidur di atas lengannya semalaman? Selama itu?Adrian masih menatapnya, dingin seperti biasa. “Kau tidur terlalu pulas.”Nayla membeku. Darahnya seolah berhenti mengalir. Wajahnya memanas, tubuhnya makin tenggelam ke dalam selimut.“Aku– aku tidak sengaja. Aku tidak sadar,” ucapnya terbata, masih memeluk selimut erat-erat.Adrian hanya mengangkat alisnya sedikit, lalu berdiri dari ranjang tanpa berkata apa-apa lagi. Sosoknya menjauh, tapi suara dinginnya masih menggantung di udara, menampar pelan rasa malu yang meletup dari dada Nayla.Nayla memberanikan diri duduk, selimut masih membungkus tubuhnya. Ia menatap punggung Adrian yang he
Tapi...Adrian membelokkan bibirnya ke telinga Nayla dan berbisik pelan, “Ingat, ini cuma kontrak.”Mata Nayla terbuka seketika. Tatapan mereka bertemu. Adrian segera menjauhkan wajahnya. Mata pria itu dingin. Terlalu nyata bahwa Adrian menerima pernikahan ini bukan karena cinta. Tapi karena terpaksa.Dada Nayla terasa sesak. Serba salah.Dia juga tidak ingin semua ini terjadi. Tapi entah mengapa, kenapa rasanya seperti dia yang bersalah di sini? Padahal... ini bukan keinginannya.Keinginan?Faktanya, pernah terbesit dalam pikirannya. Ia penasaran, seperti apa rasanya menjadi istri Adrian. Ta–tapi itu hanya sekilas. Nayla tak benar-benar menginginkannya. Lagi pula saat itu... hanya karena ia merasa butuh sosok yang nyaman. Seperti Adrian. Pria matang dengan pemikiran dewasa, yang selalu memberi perhatian lebih. Sosok yang entah kenapa, mengingatkannya pada mendiang Ayah.Tapi sekarang? Setelah pernikahan ini? Semuanya berubah. Yang tersisa hanya rasa canggung... dan kaku.“Istirahatla
Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.Vania kembali meraih jem
Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian tera