Share

Bab 4. Permohonan Kembali

last update Last Updated: 2025-05-15 06:43:12

Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.

Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.

Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.

Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian terasa sesak. Melainkan fakta bahwa di balik semua sisi keras kepala dan celetukan cerewet Nayla, ada sosok gadis polos yang, sebenarnya begitu mudah jatuh dan terluka.

Ia menahan napas, masih berada di atas tubuh gadis itu, mencoba menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba melandanya. Nayla menggigil pelan di bawahnya. Hidungnya tetap memerah, wajahnya masih menyimpan jejak air mata dan sisa mabuk yang belum sepenuhnya hilang.

“Nayla.” panggilnya pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi gadis itu hanya menggeliat kecil, lalu bergeser miring kekiri seperti mencari posisi nyaman dalam kesadarannya yang setengah menghilang.

Adrian segera bangkit dan membantunya berdiri. Tubuh Nayla limbung, tak sanggup menopang beratnya sendiri. Ia bersandar penuh pada Adrian, mengandalkannya tanpa sadar.

“Aku... aku lapar,” gumam Nayla pelan, nyaris tak terdengar.

Adrian yang mendengar itu, menarik napas dalam-dalam. Ia melihat jam tangannya. Sudah hampir pukul satu dini hari. Adrian meraih tisu dari dashboard mobil dan menyeka wajah Nayla seadanya. Setelah memastikan Nayla cukup stabil untuk bisa berdiri sendiri, ia mengambil sebotol air mineral dari jok belakang dan memberikannya.

“Minum dulu. Setelah itu kita cari makanan,” 

Nayla menerima botol itu dan minum dalam tegukan kecil. Tangannya gemetar, tapi tetap berusaha menyesap airnya perlahan.

“Kamu pikir minum sampai mabuk bisa menyelesaikan masalah?” tanya Adrian akhirnya, sambil menatap gadis itu.

Nayla tidak menjawab. Wajahnya masih merah, sorot matanya buram, mabuknya belum sepenuhnya hilang.

Adrian hanya mendesah pelan. Tanpa berkata-kata lagi, ia membimbing Nayla kembali masuk ke dalam mobil. Kali ini, ia memastikan gadis itu duduk dengan benar dan bersandar nyaman di jok. Tapi begitu tubuhnya menyentuh sandaran, mata Nayla terpejam. Dalam hitungan detik, ia kembali tertidur.

******

Sayup-sayup ia mendengar suara burung berkicau. Kebisingan dari jauh yang samar-samar menandakan manusia mulai kembali sibuk. Artinya matahari telah terbit dan sudah waktunya bagi Nayla untuk bangun. Saat ia memaksakan diri membuka mata karena rasa lapar, kepalanya terasa berat dan pening. Dengan perlahan, Nayla bangkit dari kasurnya dan duduk. Dunia terasa seperti bergoyang.

"Sudah bangun?"

Suara lembut dan tegas itu menyapa indra pendengarannya. Nayla yang hafal dengan pemiliknya langsung memutar kepalanya dan menemukan Vania berdiri di dekat lemari dengan tangan menyilang. Menatap tajam ke arahnya. Tatapan yang mengintimidasi, seolah bersiap melayangkan sepuluh ribu pertanyaan dan ceramah panjang jika Nayla berani menjawabnya.

Nayla reflek menahan nafas memikirkan kemungkinan itu. Ia buru-buru menyingkap selimut, turun dari tempat tidur lalu memakai sandalnya asl-asalan. Meski kepalanya masih agak berat, dia berdiri dan menunduk.

"Apa kamu masih ingat kemana kamu pergi kemarin?" tanya Vania tajam.

Nayla menelan ludah susah payah, jemarinya meremas satu sama lain dengan gelisah. "Ke... Ke klub."

"Apa yang kamu lakukan disana?" 

"Me.. minum Alkohol."

"Berapa banyak."

"Satu."

Vania menyipitkan matanya, "Satu?"

Nayla berpikir sejenak, raut wajahnya tampak ragu saat menjawab. "...cuma satu, Tante." Nada suaranya terdengar tak yakin.

Vania tertawa sumbang, "Tapi kenapa aku ingat Adrian diminta membayar untuk tiga botol?"

Nayla mengerjapkan matanya dengan kaget. Jelas saja dia sendiri tak menyangka akan meminum sebanyak itu, karena memang dia tidak ingat sama sekali saat meminta nambah.

Dan apa tadi katanya?

Adrian? Om Adrian... yang membayar?

Itu berarti....

"Kamu tidak ingat Adrian mencarimu keliling kota lalu menemukanmu di klub dalam keadaan teler?" tanya Vania lagi, seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Nayla saat ini.

Nayla terdiam. Ia memutar pikirannya, bingung. Tidak menyangka pamannya akan dengan mudah menemukannya. Yang lebih tidak ia duga adalah pamannya mau mencarinya. Untuk apa? Apa pamannya tahu alasan dia kabur? Atau Tante Vania belum mengatakan apapun pada om Adrian?

"Nay." Kali ini dengan suara yang melembut. Vania berjalan mendekat, meraih tangan Nayla dan menggenggamnya. 

Nayla mengangkat wajahnya, menatap mata Vania yang memohon padanya seolah dirinyalah satu-satunya harapan yang ada di dunia ini.

"Tante minta maaf untuk kemarin. Tante salah karena mengatakannya dengan tiba-tiba, tidak memberimu waktu untuk berpikir. Tante tidak bermaksud menyakiti kamu apa lagi mengusirmu. Tante tidak akan memarahi kamu hanya karena kamu kabur dan minum Alkohol. Tante sadar, Tante yang salah. Tante minta maaf, ya?" 

Nayla mengedipkan matanya, sedikit kaget. Dia kira Vania akan kembali mengajukan permintaan yang kemarin lagi dan memaksanya. Tapi ternyata di luar dugaan.

Untuk itu, Nayla segera balas menggenggam tangan hangat itu.

"Aku sudah memaafkan Tante. Aku tahu Tante masih kesal pada Nenek Saras saat itu dan aku memang cukup sedih saat Tante bilang akan mengusirku. Tapi aku sudah tidak mengingatnya." Ucap Nayla tersenyum.

Tapi kening Vania berkerut. Bukan itu yang ingin ia dengar. Bukan sekadar maaf. Tangannya menggenggam jemari Nayla lebih erat, seolah takut harapan satu-satunya itu lepas begitu saja.

"Nayla. Tante memang salah. Tapi, Tante tidak akan menarik permohonan Tante."

Nayla menatap Vania dengan waspada, jantungnya berdetak tak karuan. "Ma.. makksud Tante?" 

Vania menatap Nayla lekat-lekat."Nay. Kemarin kan Tante sudah bilang, Tante butuh bantuan kamu. Nenek Saras menginginkan cucu tapi Tante tidak bisa memberikannya. Tante tidak mau dipaksa berpisah dari Adrian." Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan dengan lirih, "Tolong Tante, Nay. Menikahlah dengan Adrian."

Nayla menatapnya dengan getir, "Tante.."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jadi Istri Kontrak Paman Angkat   Bab 9. Obat perangsang

    Nayla berdiri tegak di dapur, menggenggam cangkir kopi itu erat-erat. Saat Adrian muncul di ambang pintu, tubuh Nayla langsung menegang.Pria itu tampak seperti biasa, dengan setelan kerja yang belum sempat ia lepas sempurna. Jasnya masih menempel di tubuh, dasi sedikit longgar. Tatapannya langsung tertuju pada Nayla, datar dan dingin."Kamu di sini?" gumam Adrian, seolah tak percaya. Lalu ia menoleh sebentar ke sekeliling, mencermati rumah itu.Nayla mengangguk gugup, lalu mengulurkan cangkir itu dengan kedua tangan. "Aku… buatkan kopi untuk Om."Adrian mengangkat satu alis. Pandangannya sempat singgah di wajah Nayla, menelusuri gerak-gerik kecil yang tak bisa disembunyikan perempuan itu. "Kamu tidak perlu repot," ucapnya, tapi tetap mengambil cangkir itu dari tangan Nayla.“Aku tidak repot,” jawab Nayla cepat.Adrian tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke ruang tengah dan menjatuhkan dirinya ke sofa. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara napas Nayla dan detak jantungnya yang m

  • Jadi Istri Kontrak Paman Angkat   Bab 8. Pindah Rumah

    "Kamu harus bersiap sekarang. Tante akan mengantarkanmu ke rumah itu. Adrian akan menyusul setelah pulang dari kantor," ucap Vania tegas.Setelah sarapan, Vania membantu mempersiapkan segalanya, termasuk membereskan barang-barang yang sekiranya dibutuhkan Nayla selama bulan madu di rumah itu.Nayla hanya diam di ujung kamar, menyaksikan semuanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa, lalu memilih membiarkan Vania melakukan sesuka hatinya. Nayla tahu, jika dia berinisiatif membantu, itu hanya akan berujung pada penolakan. Vania lebih suka Nayla melakukan apa yang sudah ditentukan daripada ikut campur dan merusak semuanya."Adrian suka gaun merah dan dalaman berenda. Tante sudah menyiapkannya untukmu di koper abu-abu. Ingat, Nayla, kamu harus buat Adrian terangsang dan menyentuhmu malam nanti. Jangan banyak menunda sebelum orang tua Adrian datang dan mencium pernikahan kontrak ini."Mendengar kata-kata Vania, dada Nayla terasa sesak. Campuran antara takut, malu, dan kebingungan memenuhi pik

  • Jadi Istri Kontrak Paman Angkat   Bab 7. Kejadian tak terduga

    Nayla tersentak. Seketika ia menjauh, refleks menyilangkan tangan ke dada yang nyaris terbuka, lalu cepat-cepat menarik selimut menutupi tubuhnya.“Maaf.” bisiknya gugup, nyaris tak terdengar.Adrian terduduk, lalu menggerakkan lengannya yang kaku. Wajahnya datar, tapi jelas terlihat ia menahan pegal di tangannya.Nayla membeku, panik.Jangan bilang… ia tidur di atas lengannya semalaman? Selama itu?Adrian masih menatapnya, dingin seperti biasa. “Kau tidur terlalu pulas.”Nayla membeku. Darahnya seolah berhenti mengalir. Wajahnya memanas, tubuhnya makin tenggelam ke dalam selimut.“Aku– aku tidak sengaja. Aku tidak sadar,” ucapnya terbata, masih memeluk selimut erat-erat.Adrian hanya mengangkat alisnya sedikit, lalu berdiri dari ranjang tanpa berkata apa-apa lagi. Sosoknya menjauh, tapi suara dinginnya masih menggantung di udara, menampar pelan rasa malu yang meletup dari dada Nayla.Nayla memberanikan diri duduk, selimut masih membungkus tubuhnya. Ia menatap punggung Adrian yang he

  • Jadi Istri Kontrak Paman Angkat   Bab 6. Kebaya yang menyesakkan

    Tapi...Adrian membelokkan bibirnya ke telinga Nayla dan berbisik pelan, “Ingat, ini cuma kontrak.”Mata Nayla terbuka seketika. Tatapan mereka bertemu. Adrian segera menjauhkan wajahnya. Mata pria itu dingin. Terlalu nyata bahwa Adrian menerima pernikahan ini bukan karena cinta. Tapi karena terpaksa.Dada Nayla terasa sesak. Serba salah.Dia juga tidak ingin semua ini terjadi. Tapi entah mengapa, kenapa rasanya seperti dia yang bersalah di sini? Padahal... ini bukan keinginannya.Keinginan?Faktanya, pernah terbesit dalam pikirannya. Ia penasaran, seperti apa rasanya menjadi istri Adrian. Ta–tapi itu hanya sekilas. Nayla tak benar-benar menginginkannya. Lagi pula saat itu... hanya karena ia merasa butuh sosok yang nyaman. Seperti Adrian. Pria matang dengan pemikiran dewasa, yang selalu memberi perhatian lebih. Sosok yang entah kenapa, mengingatkannya pada mendiang Ayah.Tapi sekarang? Setelah pernikahan ini? Semuanya berubah. Yang tersisa hanya rasa canggung... dan kaku.“Istirahatla

  • Jadi Istri Kontrak Paman Angkat   Bab 5. Atas dasar balas budi

    Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.Vania kembali meraih jem

  • Jadi Istri Kontrak Paman Angkat   Bab 4. Permohonan Kembali

    Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian tera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status