Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."
Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"
“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”
Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.
Vania kembali meraih jemari Nayla, meremasnya pelan. Sorot matanya penuh harap. "Jika kamu memang anak yang baik dan tahu balas budi, bantu Tante. Tolong, terimalah pernikahan kontrak ini, Nay."
Nayla terpaku. Dadanya sesak. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri, tapi Vania tak memberi jeda.
"Tante tahu permintaan ini berat. Tapi kamu juga tahu, Nay, sejak kamu tinggal di rumah ini, siapa yang selalu ada buat kamu?"
Suara Vania mulai gemetar.
"Kamu pikir siapa yang biayai semua kebutuhanmu? Uang kuliah, uang makan, baju, bahkan skincare kamu? Adrian yang tanggung semua itu. Dia yang kerja siang malam, Nay, biar kamu bisa hidup tenang. Bahkan waktu kamu ulang tahun tahun lalu dan bilang kamu pengin laptop baru, kamu pikir siapa yang beliin diam-diam? Itu Adrian."
Nayla mengerjap. Ingatannya melayang ke kotak kado besar di atas tempat tidurnya tahun lalu. Ia pikir itu dari Vania.
"Bahkan waktu kamu bilang kamu mau keluar dari kampus karena stres, Tante yang nyariin dosen yang cocok buat jadi pembimbingmu. Dia yang bantu carikan tempat magang."
Air mata mulai menetes di pipi Vania, tapi ia tetap melanjutkan.
"Tante tidak pernah menghitung semua bantuan yang Tante kasih. Tapi sekarang Tante minta sekali saja. Tolong bantu Tante dan Adrian. Ini bukan cuma soal menolong Tante, tapi juga balas budi kamu pada kami, yang tidak pernah meminta apa-apa dari kamu."
"Tante cuma minta kamu melahrikan anaknya. Bantu Tante jaga rumah tangga ini, bantu selamatkan masa depan pernikahan ini dari ancaman Nenek Saras. Setelah itu, kamu bebas."
Vania menarik tangan Nayla lebih dekat, menatapnya dengan mata memohon.
"Jadi, tolong, Nay."
Nayla menarik napas dalam-dalam. Tapi rasanya sesak, seolah paru-parunya menolak bekerja sama dengan pikirannya yang kalut. Ia tahu, semuanya yang dikatakan Vania benar. Terlalu benar hingga rasanya menusuk harga dirinya sendiri.
Kepalanya tertunduk. Air mata menggenang di pelupuk, tapi Nayla menahannya sekuat tenaga. Ia tidak mau terlihat lemah. Tapi tubuhnya gemetar.
"Tante tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku tahu aku numpang hidup di sini," ujarnya lirih dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Tapi, apa harus sampai sejauh ini? Menikah dengan om Adrian?"
Vania tidak menjawab. Hanya menggenggam tangan Nayla makin erat.
"Aku takut," bisik Nayla akhirnya. "Aku takut dia benci aku. Aku takut aku malah jadi beban. Aku nggak mau dia merasa makin tertekan karena harus berpura-pura menikah sama aku."
Vania menahan napas, lalu mengangguk perlahan. "Tante tahu. Tapi justru karena Adrian orang yang keras, dia butuh seseorang seperti kamu. Seseorang yang bisa melembutkannya. Kamu pikir dia mau capek-capek cari kamu kemarin malam kalau dia nggak peduli?"
Nayla terdiam. Sekilas, hatinya bergetar mendengar itu.
Sunyi mengendap di antara mereka. Sampai akhirnya, Nayla membuka suaranya.
"Kalau aku terima, ini cuma sementara, kan? Setelah semuanya selesai, aku boleh pergi, kan?" Suaranya penuh keraguan.
Vania langsung mengangguk cepat. "Iya, tentu. Setelah semuanya beres, kamu bebas, Nay. Tante janji."
Nayla memejamkan mata sesaat. Menarik napas panjang.
"Baiklah. Aku akan menikah dengan om Adrian." ucapnya akhirnya.
Suara itu sangat pelan, tapi cukup untuk membuat Vania menahan isak. Ia langsung memeluk Nayla erat.
"Terima kasih, Nay, terima kasih," bisiknya pelan.
Nayla tahu, keputusannya itu merubah segalanya. Hari-harinya tidak akan pernah sama lagi.
Setelah ia akhirnya menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak bersama calon suaminya, Adrian Mahendra, pamannya sendiri.
Dan saat Nayla mengenakan kebaya putih dan selendang tipis yang menjuntai dari bahu. Segalanya terasa seperti mimpi yang terlalu nyata.
Disana, di depannya, Adrian yang mengenakan kemeja putih dan jas hitam, berdiri menatapnya, dengan pandangan dingin dan sorot mata asing.
Mereka baru saja selesai melangsungkan ijab kabul. Sebuah pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh Vania, dua orang saksi, penghulu, dan wali hakim yang ditunjuk untuk menjadi wali nikah Nayla. Tak ada keluarga. Tak ada ucapan selamat. Pernikahan ini digelar diam-diam, tertutup dari dunia luar. Hanya mereka yang tahu.
Dan kini, mereka berada di dalam kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Vania. Kelopak mawar merah berserakan di lantai, menjalar hingga ke atas ranjang, sengaja ditaburkan seolah ingin menghadirkan nuansa romantis. Namun bagi Nayla, ruangan itu lebih layak untuk pasangan yang menikah karena cinta, bukan perjanjian yang dilakukan dengan keterpaksaan. Hanya kebekuan dan kekakuan yang membingkai suasana pada malam itu.
Asing dan dingin.
Suara langkah kaki terdengar, menggema pelan di antara keheningan yang menyesakkan. Nayla yang sejak tadi menunduk, akhirnya mengangkat wajahnya dengan ragu. Pandangannya bertemu dengan mata Adrian, namun tidak ada kehangatan di sana.
Adrian mendekat perlahan, tapi tidak ada cinta di matanya.
Nayla masih berdiri di tempat. Tubuhnya menegang, matanya tak berkedip. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat pria itu kini hanya berjarak satu jengkal darinya. Napasnya tak teratur, dadanya naik turun dengan gugup. Aroma parfum maskulin Adrian menyapa indra penciumannya, aroma yang seharusnya menghangatkan, namun justru terasa menekan dan menyiksa.
Udara terasa berat. Waktu berjalan lambat.
Adrian terus mendekat. Ia menundukkan kepalanya sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Nayla. Nayla mengepalkan tangannya, merasa belum siap. Napas hangat Adrian terasa menyentuh kulit wajahnya.
Inikah saatnya?
Pertanyaan itu melintas begitu saja, menyelinap di antara kepalanya yang riuh oleh pikiran-pikiran tak tentu arah.
Apakah ini malam ketika ia menyerahkan segalanya? Tubuhnya. Harga dirinya. Rasa yang belum pernah ia kenal, bahkan untuk pria yang kini berdiri begitu dekat. Pria yang bukan kekasih, pria yang merupakan suami dari Tante angkatnya, tapi telah sah menyandang status suaminya di hadapan agama.
Hatinya menolak. Tapi tubuhnya gemetar, tak tahu harus melawan atau pasrah.
Ia ingin berteriak. Tapi untuk apa? Mereka sudah menikah, bukan? Meski hanya perjanjian. Meski tanpa cinta.
Nayla menelan ludah. Tenggorokannya kering. Ia bisa merasakan panas napas Adrian di kulit pipinya, jaraknya terlalu dekat. Terlalu pribadi. Terlalu mengancam.
Semakin dekat... bibir mereka nyaris bersentuhan. Nayla gemetar, reflek memejamkan matanya cepat.
Tapi...
Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.Vania kembali meraih jem
Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian tera
"Mama.. aku mau ayam goreng." Gumam gadis itu dengan mata terpejam dan kepala tersandar di atas meja. "Tolong satu lagi ayam cihua hua."Bartender yang merupakan seorang pria awal tiga puluhan itu mengenyit bingung melihat tangan gadis itu itu terangkat. Tapi kata-katanya lebih membuat dia frustasi. Gadis itu sudah mabuk berat. Tiga botol alcohol sudah ditenggaknya sampai habis seorang diri. Entah sudah berapa banyak kalimat aneh yang di ucapkan, tak ada satupun yang bisa dimengerti."Hei, nona. Sebaiknya kamu cepat pulang. Ini sudah malam. Aku khawatir kamu diculik pria hidung belang." Dia menyenggol bahu gadis itu dan menggoyangkannya. Tapi gadis itu malah tertawa dan mengeluh pusing."Kenapa aku terbang.""Hei, nona. Cepatlah bangun. Kamu belum membayar sepeserpun. Keluarkan uangmu dan segera pergi."Gadis itu tak menggubrisnya. Masih terkekeh-kekeh sendiri.Akhirnya, pria itu mencari saku dipakaian gadis itu yang memungkin dia bisa menemukan kartu identitas, alamat rumah maupun po
"Apa?" Adrian menatap Vania tak percaya.Kini keduanya sudah berada di kamar mereka, di lantai bawah. Vania baru saja mengatakan semuanya, termasuk permintaan Vania pada Nayla sebelum gadis itu kabur.Rahang Adrian mengeras. Tangannya mengepal erat, tapi ia masih berusaha menahan diri. Andai yang berdiri di depannya bukan istrinya sendiri, mungkin tembok di sampingnya sudah menjadi pelampiasan kemarahan.Selama ini, Adrian selalu sabar. Ia jarang atau bahkan hampir tidak pernah menunjukkan amarahnya di depan Vania. Tapi kali ini, batas kesabarannya seolah runtuh. Vania telah melangkah terlalu jauh. Baginya, Vania sudah kehilangan akal."Tidak heran Nayla pergi. Kamu salah Vania. Dia saja paham bahwa permintaan kamu tidak masuk akal. Dia keponakan kamu, bisa-bisanya kamu merencanakan hal ini," ujar Adrian dingin."Nayla bukan keponakanku. Kami tidak sedarah—""Aku tahu." sela Adrian cepat. "Dia cuma anak dari saudara angkatmu. Iya, aku tahu. Aku tahu Vania. Tapi kamu tidak lupa, kan, b
“Menikahlah dengan suamiku.”Hening. Waktu seolah berhenti."Tunggu sebentar," Nayla tiba-tiba berdiri, "Sepertinya nyawaku masih belum terkumpul sehingga aku menjadi salah dengar. Aku masih belum bisa mendengar dengan jelas suara Tante. Izinkan aku ke kamar mandi sebentar." Pamit Nayla buru-buru, berniat beranjak dari sana.Tapi baru selangkah, Vania segera menghentikannya. "Nayla. Apa yang kamu dengar sudah benar. Duduklah. Aku belum menyelesaikan ucapanku."Nayla berhenti, ia akhirnya kembali duduk meski meragu. Jemarinya meremas satu sama lain, bergerak gelisah di pangkuannya. pikirannya kalut.Vania menatap Nayla lamat-lamat. “Kamu tahu kan, Tante tidak bisa punya anak? Tante mandul, Nay. Tidak bisa memberikan Adrian keturunan. Satu-satunya cara Adrian bisa punya penerus adalah menikah dengan perempuan yang subur. Mertuaku menolak anak asuh atau adopsi. Mereka hanya menginginkan darah daging Adrian sendiri. Tapi Tante, Tante tidak sanggup melihat Adrian bersama perempuan lain. K