Tapi...
Adrian membelokkan bibirnya ke telinga Nayla dan berbisik pelan, “Ingat, ini cuma kontrak.”
Mata Nayla terbuka seketika. Tatapan mereka bertemu. Adrian segera menjauhkan wajahnya. Mata pria itu dingin. Terlalu nyata bahwa Adrian menerima pernikahan ini bukan karena cinta. Tapi karena terpaksa.
Dada Nayla terasa sesak. Serba salah.
Dia juga tidak ingin semua ini terjadi. Tapi entah mengapa, kenapa rasanya seperti dia yang bersalah di sini? Padahal... ini bukan keinginannya.
Keinginan?
Faktanya, pernah terbesit dalam pikirannya. Ia penasaran, seperti apa rasanya menjadi istri Adrian. Ta–tapi itu hanya sekilas. Nayla tak benar-benar menginginkannya. Lagi pula saat itu... hanya karena ia merasa butuh sosok yang nyaman. Seperti Adrian. Pria matang dengan pemikiran dewasa, yang selalu memberi perhatian lebih. Sosok yang entah kenapa, mengingatkannya pada mendiang Ayah.
Tapi sekarang? Setelah pernikahan ini? Semuanya berubah. Yang tersisa hanya rasa canggung... dan kaku.
“Istirahatlah. Kau pasti juga lelah,” ujar Adrian datar.
Pria itu melepas jas hitamnya, menggantungkannya rapi di gantungan baju. Lalu ia melepas sepatu dan kaus kaki. Setelah beberapa saat, Adrian menoleh lagi ke arah Nayla.
Mata Nayla berkedip. Ia buru-buru menunduk.
“Tidurlah. Aku tidak akan memaksamu melakukannya sekarang. Aku tahu kamu belum siap,” ucap Adrian pelan, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Posisinya miring. Membelakangi Nayla. Seolah enggan mengakui keberadaan orang lain di sisi tempat tidurnya.
Nayla hanya bisa menggigit bibirnya. Dengan gerakan kaku, ia mulai melepas selendang tipis dari kepalanya. Tapi... kebaya yang ia kenakan terasa semakin menyesakkan.
Haruskah ia melepasnya sekalian? Tapi tidak ada pakaian ganti di kamar ini. Kamar tamu, bukan kamarnya sendiri.
Kalau ia keluar untuk mengambil baju, akankah Vania mengizinkannya?
Tidak mungkin ia tidur dengan kebaya seperti ini. Rasanya... benar-benar menyiksa.
Nayla berdiri kaku di sudut kamar. Jemarinya meremas ujung selendang yang baru saja ia lepas, dadanya terasa berat, sesak, seakan ada ribuan beban yang menggantung di sana. Kebaya yang ia kenakan makin terasa menjerat, melekat erat di tubuhnya seperti sangkar. Sulit bernapas. Sulit berpikir jernih.
Tatapannya menoleh ke ranjang. Adrian sudah memejamkan mata, membelakangi dirinya. Sosok pria itu begitu tenang, seolah kehadiran Nayla di sisi tempat tidur itu bukan sesuatu yang penting. Seolah dirinya hanya bayangan.
Jantung Nayla berdetak tak karuan. Ia melirik pintu kamar. Pintu yang seharusnya tertutup rapat, kini terasa seperti jalan keluar dari siksaan batin yang menggantung di udara. Tapi... bisakah ia keluar? Bagaimana kalau Vania melihatnya? Atau orang rumah?
Tapi... bagaimana mungkin ia tidur dalam kebaya ini? Bagaimana mungkin ia bisa menarik napas tenang di ruangan yang terasa seperti penjara sunyi?
Pelan-pelan, Nayla melangkah. Kakinya nyaris tak bersuara menapak lantai dingin. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu, merasakannya berputar dengan pelan, sangat pelan. Ia menoleh ke arah ranjang. Adrian tak bergerak. Masih diam, membatu dalam posisi yang sama.
“Maaf...” bisiknya, nyaris tanpa suara.
Klik.
Pintu terbuka perlahan. Angin malam menyambutnya dari celah kecil yang terbuka. Nayla menahan napas, lalu melangkah keluar, seakan sedang mencuri kebebasan untuk sesaat. Ia hanya ingin mengambil pakaian. Hanya itu.
Tapi jauh dilubuk hatinya, ia tahu lebih dari itu.
Baru selangkah keluar, Nayla tersentak.
Vania sudah berdiri di ambang pintu, seolah menunggu. Di tangannya tergantung selembar gaun tidur satin berwarna krem lembut.
“Aku pikir kamu butuh ini,” ucapnya sambil menyodorkan gaun itu.
Nayla meraihnya dengan ragu. Tapi tangan Vania belum sepenuhnya melepas.
Tatapan mereka bertemu.
“Kamu istri sahnya sekarang, Nay. Lakukan tugasmu dengan baik.” Suaranya lembut, tapi tajam. “Buat dia nyaman. Dan... jangan terlalu lama, ya. Kita semua berharap ada kabar baik dalam waktu dekat.”
Mata Nayla membelalak samar, tapi ia tak menjawab. Nafasnya tercekat.
Vania tersenyum kecil, melepas gaun itu dari tangannya. “Kau gadis cerdas, aku yakin kau paham maksudku.”
Tanpa menunggu respons, Vania berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya anggun berwibawa.
Nayla mematung. Gaun satin itu kini tergenggam di dadanya. Lembut di kulit, tapi terasa seperti jerat halus. Dalam diam, ia masuk kembali ke kamar. Ruangan terasa lebih sempit. Lebih menekan.
Dan kali ini tak ada jalan keluar.
Nayla masuk ke kamar mandi dengan langkah berat. Gaun satin itu tergenggam erat di tangannya. Helaan napasnya pendek-pendek, cermin di hadapannya memantulkan bayangan seorang gadis yang kebingungan, antara istri, keponakan, dan perempuan yang diam-diam menyimpan perasaan pada pria yang seharusnya terlarang.
Ia menatap gaun itu. Tipis. Lembut. Nyaris transparan di bawah cahaya terang. Potongannya sederhana, tapi begitu menggoda. Tali tipis di bahu, belahan samping yang panjang, dan dada yang terbuka lebih dari yang pernah Nayla kenakan seumur hidupnya.
Perutnya terasa mual oleh rasa gugup. Pipinya panas.
Ia menanggalkan kebaya pelan-pelan, gerakannya kikuk. Selendangnya terjatuh ke lantai keramik. Jemarinya sempat bergetar saat menyentuh tali gaun satin. Ia ragu memasukkannya ke tubuh. Tapi akhirnya, perlahan, Nayla mengenakannya. Gaun yang terasa asing dalam kulitnya sendiri.
Ia menatap bayangannya di cermin. Ini bukan dirinya. Ini perempuan lain. Perempuan yang seolah disiapkan untuk diserahkan.
Di balik semua itu, ada satu perasaan yang paling ia benci, degup kecil yang hangat di dadanya saat memikirkan Adrian. Ia benci bahwa bagian dari dirinya justru menanti. Padahal seharusnya tidak. Ia telah melawan rasa itu selama bertahun-tahun. Menutupi dengan logika, menyangkal dengan doa.
Tapi malam ini, dalam balutan satin dan kesendirian, semua penyangkalan itu runtuh sedikit demi sedikit.
Mustahil. Ia tahu itu.
Tapi perasaannya tidak tahu caranya berhenti.
Nayla melangkah pelan kembali ke kamar. Ia berusaha sehalus mungkin agar tidak membangunkan Adrian, lalu cepat-cepat masuk ke bawah selimut. Ia tarik kain itu hingga ke dada, berusaha menutupi setiap bagian yang belum siap ia perlihatkan.
Napasnya masih tak teratur. Matanya terpejam, tapi pikirannya berkecamuk. Rasa malu, takut, canggung, semuanya bercampur. Ia menggigit bibir, mencoba memejamkan mata.
Waktu terus berjalan. Jarum jam menunjuk pukul satu dini hari saat akhirnya Nayla tertidur. Karena kelelahan. Lelah secara fisik dan hati.
Namun, yang tak pernah ia duga, adalah posisinya saat terbangun keesokan harinya.
Nayla merasa hangat di sekujur tubuhnya. Dan saat ia membuka mata, ia mendapati dirinya tengah memeluk Adrian begitu erat. Kepalanya bertumpu pada lengan pria itu, dan—oh, tidak—salah satu kakinya bertengger di atas paha Adrian, seolah ia sedang memeluk boneka beruang yang sering dia peluk setiap malam.
Yang membuat darahnya benar-benar mengalir
deras ke wajah adalah kenyataan bahwa... Adrian sudah terjaga. Dan pria itu, sedang menatapnya lekat-lekat.
Nayla berdiri tegak di dapur, menggenggam cangkir kopi itu erat-erat. Saat Adrian muncul di ambang pintu, tubuh Nayla langsung menegang.Pria itu tampak seperti biasa, dengan setelan kerja yang belum sempat ia lepas sempurna. Jasnya masih menempel di tubuh, dasi sedikit longgar. Tatapannya langsung tertuju pada Nayla, datar dan dingin."Kamu di sini?" gumam Adrian, seolah tak percaya. Lalu ia menoleh sebentar ke sekeliling, mencermati rumah itu.Nayla mengangguk gugup, lalu mengulurkan cangkir itu dengan kedua tangan. "Aku… buatkan kopi untuk Om."Adrian mengangkat satu alis. Pandangannya sempat singgah di wajah Nayla, menelusuri gerak-gerik kecil yang tak bisa disembunyikan perempuan itu. "Kamu tidak perlu repot," ucapnya, tapi tetap mengambil cangkir itu dari tangan Nayla.“Aku tidak repot,” jawab Nayla cepat.Adrian tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke ruang tengah dan menjatuhkan dirinya ke sofa. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara napas Nayla dan detak jantungnya yang m
"Kamu harus bersiap sekarang. Tante akan mengantarkanmu ke rumah itu. Adrian akan menyusul setelah pulang dari kantor," ucap Vania tegas.Setelah sarapan, Vania membantu mempersiapkan segalanya, termasuk membereskan barang-barang yang sekiranya dibutuhkan Nayla selama bulan madu di rumah itu.Nayla hanya diam di ujung kamar, menyaksikan semuanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa, lalu memilih membiarkan Vania melakukan sesuka hatinya. Nayla tahu, jika dia berinisiatif membantu, itu hanya akan berujung pada penolakan. Vania lebih suka Nayla melakukan apa yang sudah ditentukan daripada ikut campur dan merusak semuanya."Adrian suka gaun merah dan dalaman berenda. Tante sudah menyiapkannya untukmu di koper abu-abu. Ingat, Nayla, kamu harus buat Adrian terangsang dan menyentuhmu malam nanti. Jangan banyak menunda sebelum orang tua Adrian datang dan mencium pernikahan kontrak ini."Mendengar kata-kata Vania, dada Nayla terasa sesak. Campuran antara takut, malu, dan kebingungan memenuhi pik
Nayla tersentak. Seketika ia menjauh, refleks menyilangkan tangan ke dada yang nyaris terbuka, lalu cepat-cepat menarik selimut menutupi tubuhnya.“Maaf.” bisiknya gugup, nyaris tak terdengar.Adrian terduduk, lalu menggerakkan lengannya yang kaku. Wajahnya datar, tapi jelas terlihat ia menahan pegal di tangannya.Nayla membeku, panik.Jangan bilang… ia tidur di atas lengannya semalaman? Selama itu?Adrian masih menatapnya, dingin seperti biasa. “Kau tidur terlalu pulas.”Nayla membeku. Darahnya seolah berhenti mengalir. Wajahnya memanas, tubuhnya makin tenggelam ke dalam selimut.“Aku– aku tidak sengaja. Aku tidak sadar,” ucapnya terbata, masih memeluk selimut erat-erat.Adrian hanya mengangkat alisnya sedikit, lalu berdiri dari ranjang tanpa berkata apa-apa lagi. Sosoknya menjauh, tapi suara dinginnya masih menggantung di udara, menampar pelan rasa malu yang meletup dari dada Nayla.Nayla memberanikan diri duduk, selimut masih membungkus tubuhnya. Ia menatap punggung Adrian yang he
Tapi...Adrian membelokkan bibirnya ke telinga Nayla dan berbisik pelan, “Ingat, ini cuma kontrak.”Mata Nayla terbuka seketika. Tatapan mereka bertemu. Adrian segera menjauhkan wajahnya. Mata pria itu dingin. Terlalu nyata bahwa Adrian menerima pernikahan ini bukan karena cinta. Tapi karena terpaksa.Dada Nayla terasa sesak. Serba salah.Dia juga tidak ingin semua ini terjadi. Tapi entah mengapa, kenapa rasanya seperti dia yang bersalah di sini? Padahal... ini bukan keinginannya.Keinginan?Faktanya, pernah terbesit dalam pikirannya. Ia penasaran, seperti apa rasanya menjadi istri Adrian. Ta–tapi itu hanya sekilas. Nayla tak benar-benar menginginkannya. Lagi pula saat itu... hanya karena ia merasa butuh sosok yang nyaman. Seperti Adrian. Pria matang dengan pemikiran dewasa, yang selalu memberi perhatian lebih. Sosok yang entah kenapa, mengingatkannya pada mendiang Ayah.Tapi sekarang? Setelah pernikahan ini? Semuanya berubah. Yang tersisa hanya rasa canggung... dan kaku.“Istirahatla
Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.Vania kembali meraih jem
Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian tera