"Apa?" Adrian menatap Vania tak percaya.
Kini keduanya sudah berada di kamar mereka, di lantai bawah. Vania baru saja mengatakan semuanya, termasuk permintaan Vania pada Nayla sebelum gadis itu kabur.
Rahang Adrian mengeras. Tangannya mengepal erat, tapi ia masih berusaha menahan diri. Andai yang berdiri di depannya bukan istrinya sendiri, mungkin tembok di sampingnya sudah menjadi pelampiasan kemarahan.
Selama ini, Adrian selalu sabar. Ia jarang atau bahkan hampir tidak pernah menunjukkan amarahnya di depan Vania. Tapi kali ini, batas kesabarannya seolah runtuh. Vania telah melangkah terlalu jauh. Baginya, Vania sudah kehilangan akal.
"Tidak heran Nayla pergi. Kamu salah Vania. Dia saja paham bahwa permintaan kamu tidak masuk akal. Dia keponakan kamu, bisa-bisanya kamu merencanakan hal ini," ujar Adrian dingin.
"Nayla bukan keponakanku. Kami tidak sedarah—"
"Aku tahu." sela Adrian cepat. "Dia cuma anak dari saudara angkatmu. Iya, aku tahu. Aku tahu Vania. Tapi kamu tidak lupa, kan, bagaimana selama ini kita memperlakukannya? Anak atau keponakan tidak ada bedanya. Tapi kenapa kamu tiba-tiba meminta aku menikahi Nayla? Hanya demi anak? Katakan, apakah orang masih akan menganggap aku waras setelah melakukannya?" tanya Adrian tajam.
Vania menggeleng lemah, "Bukan begitu maksudku, Mas. Aku memang egois, aku sudah pernah mengatakannya padamu. Aku tidak bisa melihatmu dengan perempuan lain, tapi dengan Nayla, masih bisa aku toleransi. Karena dia bukan keponakan kandung, karena dia sudah aku anggap anakku, makanya aku bersedia. Aku rela jika dia yang kamu nikahi, Mas."
Adrian menatapnya speechless. "Kamu mungkin bisa, tapi bagaimana denganku? Aku tidak bisa. Wanita manapun, anak atau bukan, aku tidak akan menikahi siapapun. Kamu dengar itu, Vania? Siapapun itu, tidak ada istri kedua dalam kamus hidupku." ujarnya. Kemudian berniat pergi. Tapi Vania dengan cepat menahan tangannya dan menggenggamnya.
Vania berlutut dengan air mata yang berlinang dan tatapan memohon. "Tolong aku, Mas. Tolong. Sekali ini saja kamu kabulkan permintaanku. Hanya pernikahan kontrak, Mas. Hanya sampai Kayla melahirkan. Setelah itu kalian bercerai. Itu saja, Mas. Tolong. Aku sudah lelah mendengar ucapan Mama. Kata-katanya terlalu menyakitkan untuk aku dengar. Aku tidak sanggup lagi jika harus mendengarnya kembali. Kamu mungkin bisa mengabaikannya, karena kamu anak kandungnya. Tapi aku? Aku cuma orang luar bagi Mama, Mas. Bagi Mama, aku bisa di gantikan kapan saja, itulah yang menyakitkan. Jadi aku mohon, Mas. Tolong kabulkan permintaanku. Aku janji ini yang terakhir."
Adrian terdiam. Ekspresinya kaku, hatinya penuh pergolakan. Ia mencoba mencerna seluruh kata-kata Vania, antara rasa bersalah, logika, dan harga diri yang terus berbenturan.
"Apa kamu benar-benar meminta aku menikahi Nayla?" tanya Adrian sekali lagi, seolah belum bisa mempercayainya.
"Aku bersungguh-sungguh, Mas," jawab Vania dengan suara yang seperti bisikan.
Setelah beberapa saat terdiam, Adrian melepaskan tangannya dari genggaman Vania dengan perlahan.
"Sebaiknya kamu renungkan kembali kesalahanmu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menikah lagi. Entah siri, kontrak atau pun permainan konyol lainnya, aku tidak akan pernah melakukannya."
Setelah mengatakan itu, Adrian berbalik dan melangkah menuju pintu. Tangannya sudah menyentuh kenop saat suara Vania kembali memanggilnya.
"Baik, kalau Mas ingin seperti itu," ucap Vania pelan, menahan gemetar di ujung jemari. Dia beranjak berdiri tanpa berbalik menghadap Adrian. Karena ia tahu, ia tidak akan sanggup mengatakannya jika harus menatap langsung ke mata Adrian. "Besok pagi, aku akan menyerahkan surat perceraian untuk Mas tandatangani."
"Vania?" Adrian menatapnya tak percaya. Terkejut.
"Pilihan Mas hanya satu, bercerai atau menikah dengan Nayla."
"Apa kamu serius mengatakan itu?" tanya Adrian pelan dengan suara serak. "Kita sudah melalui begitu banyak hal bersama. Bertahun-tahun menikah dan kamu memilih menyerah hanya karena tekanan Mama?"
Vania meremas jemarinya.
Adrian melangkah perlahan, mendekatinya. "Aku memilihmu. Setiap hari. Meski Mama menentang, meski dunia menertawakan, aku tetap memilih kamu. Tapi hari ini, kamu mengancamku dengan surat cerai hanya karena aku menolak menikahi gadis yang sudah seperti anak sendiri?"
Bahu Vania mulai bergetar.
Adrian memejamkan mata sejenak. Ia menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya yang bergemuruh hebat. Pilihan itu terlalu menyakitkan.
"Baik. Aku akan menikahi Nayla," putusnya pada akhirnya. "Aku akan jalani pernikahan kontrak itu asal kamu tetap jadi istriku. Tapi dengar baik-baik, Vania. Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai. Pernikahan ini hanya akan terjadi di atas kertas. Aku tidak akan memberikan apapun pada Nayla selain nama belakangku."
*********
"Kau pikir kau siapa hah? Hik.." racau gadis itu dengan marah, "Hanya karena kau.. hik.. orang kaya, seenaknya memintaku! Hik.." Ia memukul keras meja bar hingga seseorang berjengit kaget karena ulahnya. "Sampai kapanpun, aku.. hik.. tidak akan mau kembali! Hik.."
"Hei nona. Berhentilah minum. Kau sudah sejak tadi disini, sudah seharusnya kau kembali ke Apartemenmu dan tidur. Jika kau miskin, kau harus kembali besok buat cuci gelas." ucap si bartender yang baru berganti ship dengan temannya.
"Jangan.. hik.. jangan ambil! Kembalikan minumanku. Minuman ini enak.. hik.. aku merasa melayang.. hik.." gadis itu menarik motol yang akan di ambil si Bartender. Tapi gerakannya tidak seimbang, tubuhnya sempoyongan saat berdiri untuk meraih botol yang di tarik dari tangannya. Wajahnya sudah merah. Pandangannya tidak fokus.
"Ya ampun." Bartender itu tampak kesal. "Jangan sampai kau bilang kau tidak punya uang jika terus bertambah minuman. Bar ini bukan milikku apa lagi milik nenekmu, berhentilah. Kau masih muda tapi sudah seperti ini. Kamu itu siapa? Dimana rumahmu? Mana saudaramu atau setidaknya pacarmu? Telpon dia supaya minumanmu bisa di bayar. Dasar gadis aneh. Mana pakaianmu seperti itu. Kau sangat asing."
"Mama.. kangen mama.. hik.. mama kapan jemput aku? Hik.." gumam gadis itu tanpa mendengarkan kata-kata di Bartender. "Tidak ada yang peduli padaku disini.. hik.. Ayah.. jemput aku.. hik.. ayah.."
Si bartender hanya geleng-geleng kepala. Berpikir akan sampai kapan gadis itu pergi dari sana?
"Permisi, kamu kenal dia?"
"Tidak, aku tidak mengenalnya." sahut wanita muda yang baru saja datang. Dia duduk dan kemudian memesan minum seperti biasa.
Pemuda bartender itu tampak bingung.
Gadis yang sedang dipertanyakan itu tengah menyandarkan kepalanya di meja bar, meracau tak jelas. Jelas sudah, ia mabuk berat.
Ia datang sejak bar baru saja dibuka. Sebelum masuk, ia sempat diusir. Namun, saat menunjukkan kartu identitasnya, para penjaga langsung mundur ketakutan dan tak berani mengusirnya lagi.
"Memang siapa dia sebenarnya?"
Si wanita muda tadi menyesap minumannya, lalu melirik sekilas ke arah gadis mabuk itu.
"Lebih baik kamu tidak tahu."
Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.Vania kembali meraih jem
Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian tera
"Mama.. aku mau ayam goreng." Gumam gadis itu dengan mata terpejam dan kepala tersandar di atas meja. "Tolong satu lagi ayam cihua hua."Bartender yang merupakan seorang pria awal tiga puluhan itu mengenyit bingung melihat tangan gadis itu itu terangkat. Tapi kata-katanya lebih membuat dia frustasi. Gadis itu sudah mabuk berat. Tiga botol alcohol sudah ditenggaknya sampai habis seorang diri. Entah sudah berapa banyak kalimat aneh yang di ucapkan, tak ada satupun yang bisa dimengerti."Hei, nona. Sebaiknya kamu cepat pulang. Ini sudah malam. Aku khawatir kamu diculik pria hidung belang." Dia menyenggol bahu gadis itu dan menggoyangkannya. Tapi gadis itu malah tertawa dan mengeluh pusing."Kenapa aku terbang.""Hei, nona. Cepatlah bangun. Kamu belum membayar sepeserpun. Keluarkan uangmu dan segera pergi."Gadis itu tak menggubrisnya. Masih terkekeh-kekeh sendiri.Akhirnya, pria itu mencari saku dipakaian gadis itu yang memungkin dia bisa menemukan kartu identitas, alamat rumah maupun po
"Apa?" Adrian menatap Vania tak percaya.Kini keduanya sudah berada di kamar mereka, di lantai bawah. Vania baru saja mengatakan semuanya, termasuk permintaan Vania pada Nayla sebelum gadis itu kabur.Rahang Adrian mengeras. Tangannya mengepal erat, tapi ia masih berusaha menahan diri. Andai yang berdiri di depannya bukan istrinya sendiri, mungkin tembok di sampingnya sudah menjadi pelampiasan kemarahan.Selama ini, Adrian selalu sabar. Ia jarang atau bahkan hampir tidak pernah menunjukkan amarahnya di depan Vania. Tapi kali ini, batas kesabarannya seolah runtuh. Vania telah melangkah terlalu jauh. Baginya, Vania sudah kehilangan akal."Tidak heran Nayla pergi. Kamu salah Vania. Dia saja paham bahwa permintaan kamu tidak masuk akal. Dia keponakan kamu, bisa-bisanya kamu merencanakan hal ini," ujar Adrian dingin."Nayla bukan keponakanku. Kami tidak sedarah—""Aku tahu." sela Adrian cepat. "Dia cuma anak dari saudara angkatmu. Iya, aku tahu. Aku tahu Vania. Tapi kamu tidak lupa, kan, b
“Menikahlah dengan suamiku.”Hening. Waktu seolah berhenti."Tunggu sebentar," Nayla tiba-tiba berdiri, "Sepertinya nyawaku masih belum terkumpul sehingga aku menjadi salah dengar. Aku masih belum bisa mendengar dengan jelas suara Tante. Izinkan aku ke kamar mandi sebentar." Pamit Nayla buru-buru, berniat beranjak dari sana.Tapi baru selangkah, Vania segera menghentikannya. "Nayla. Apa yang kamu dengar sudah benar. Duduklah. Aku belum menyelesaikan ucapanku."Nayla berhenti, ia akhirnya kembali duduk meski meragu. Jemarinya meremas satu sama lain, bergerak gelisah di pangkuannya. pikirannya kalut.Vania menatap Nayla lamat-lamat. “Kamu tahu kan, Tante tidak bisa punya anak? Tante mandul, Nay. Tidak bisa memberikan Adrian keturunan. Satu-satunya cara Adrian bisa punya penerus adalah menikah dengan perempuan yang subur. Mertuaku menolak anak asuh atau adopsi. Mereka hanya menginginkan darah daging Adrian sendiri. Tapi Tante, Tante tidak sanggup melihat Adrian bersama perempuan lain. K