BAGIAN 4
“Iya, Mak. Aku akan putuskan Mas Cipta.” Aku memang sayang kepada cowok itu. Namun, rasa sayangku tentu lebih besar lagi kepada Mamak. Ucapannya adalah titah. Mana mungkin aku bisa melawan.
“Bagus! Awas saja kalau dia datang ke sini kamu malah berubah pikiran!” Hardikan Mamak benar-benar membuatku mati kutu.
“Tapi, kalau seandainya Mas Cipta tidak terbukti memanfaatkanku, Mak?”
Mata Mamak terlihat makin membeliak. Alisnya sampai bertaut.
“Kamu masih kurang bukti apalagi, Resa?” Tampak Mamak gregetan sendiri. Aku menarik napas dalam. Kenapa Mamak terlalu galak, sih?
“Memangnya, kamu sudah dibawa ke rumah orangtuanya? Sudah dikenalin ke mereka? Sudah ngomongin tanggal baik hari baik?” Cecar pertanyaan Mamak kini sempurna meremas jantung. Iya, sih. Benar juga. Mas Cipta selalu saja mengelak.
Aku menggeleng lemah. “B-belum, Mak.”
“Bukan belum, tapi tidak akan!”
Siapa pun pasti bakal tersentak bila mendengar kalimat barusan. Betulkah Mas Cipta tak akan membawaku berkenalan dengan orangtuanya?
“Resa, jangan muluk-muluk kamu. Coba kita sadar diri dulu. Kamu itu janda, sudah punya anak satu. Dari keluarga tidak punya. Cowok berpendidikan dan ganteng seperti Cipta, apalagi gelagatnya hanya minta uang melulu, apa kamu yakin kalau dia itu serius? Astaga, Resa! Sepertinya kamu harus ambil kuliah kalau sudah punya banyak uang. Wawasanmu benar-benar sempit!” Mamak mencengkeram keras lenganku. Sakit, hatiku sakit dikata-katai Mamak seperti itu.
“Cukup, Mak. Jangan diteruskan lagi hinaannya.”
“Mamak bukan menghinamu, tapi mencoba untuk membuka pikiranmu, Res! Penyakitmu ini cuma satu, mudah dibodohi laki-laki! Coba kamu lihat mamakmu ini, Res. Apa pernah mikirin laki-laki?”
Aku menggeleng. Sebab itulah aku tak mau seperti Mamak. Aku tahu bagaimana menderitanya dia membesarkan anak seorang diri. Aku tahu betapa sakitnya tak memiliki sosok ayah. Aku hanya ingin Naya tidak sepertiku, kekurangan figur laki-laki di rumah sehingga gampang sekali untuk jatuh cinta dan terbuai. Aku sadar betul mengapa aku bisa sebodoh ini sebab apa.
“Mungkin … aku seperti ini karena aku tidak punya bapak sejak kecil, Mak.” Aku menunduk lesu. Meneteskan air mata kembali. Terkenang masa lalu saat aku diolok-olok oleh kawan sekolah sebab tak punya bapak. Mamakku dikatai janda, aku dibilang anak haram. Ya Allah itu betul-betul membuatku trauma sampai sebesar ini.
Mamak bungkam. Tak lagi menjawab. Kami berdua pun saling terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
***
Sore harinya, aku tak juga kembali ke studio. Hari ini aku benar-benar tak berselera untuk kerja. Biar besok hari Senin saja kumulai segala PR yang masih menumpuk. Lebih enak juga bekerja dengan dua karyawanku, Arfan dan Nisa. Mereka berdua selalu bisa mencairkan suasana dan membuat semangat bekerja lebih hidup.
Pukul empat sore, aku, Naya, dan Mamak nongkrong duduk di lantai teras beralaskan karpet plastik. Aku berusaha untuk membaiki Mamak, agar beliau tak lagi marah dan membahas masalah tadi pagi. Tak lama, sepupuku Arin datang membawa anaknya yang seumuran dengan Naya. Kami berlima pun asyik bercengkerama sambil menikmati rujak buah keliling yang tadi sempat distop oleh Mamak.
Saat kami asyik menikmati aneka potongan buah segar, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di bahu jalan tepat di depan tembok pagar yang baru kubeton bulan lalu.
“Siapa itu, Res?” tanya Arin kepadaku.
Aku mengendikkan bahu kepada perempuan 26 tahun berambut ikal sebahu itu. “Nggak tahu, Rin. Siapa, ya?”
“Temanmu kali,” kata Mamak sambil memangku Naya.
Aku kaget setengah mati saat tahu siapa yang keluar dari mobil mengkilap itu. Sesosok lelaki kurus tinggi yang mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak hitam, datang sambil menenteng dua bungkusan putih besar.
“Angga!” lirihku dengan perasaan syok luar biasa.
“Eh, mau ngapain itu anak set*n!” Mamak pun langsung bangkit dari duduknya. Naya langsung digendong olehnya dengan dekapan yang erat.
Gila si Angga! Mau ngapain lagi dia?
“Lho, itu kan mantanmu, Res? Mau ngapain dia?” Arin yang kebetulan tak mengenakan jilbab itu kaget melihat kedatangan Angga. Wajahnya seperti sebal.
“Nggak tahu. Kamu masuk, gih. Lagi pakai celana pendek begitu,” kataku kepada Arin yang langsung menggendong Nanda untuk masuk ke rumah kami. Untung akus selalu pakai gamis dan jilbab bergo kalau keluar rumah, meskipun hanya nongkrong di teras.
“Assalamualaikum, Mamak,” sapa Angga dengan senyum yang lebar.
Tak ada satu pun yang menjawab salam lelaki itu. Malahan terdengar dengus sebal dari mulut Mamak.
“Uti, ini siapa?” Naya menunjuk lelaki yang masih berdiri di tanah pekarangan rumah. Dia belum berani untuk naik ke teras.
“Ngapain kamu ke sini?!” bentak Mamak dengan suara yang keras. Jantungku sudah berdegup sangat kencang. Takut bila tetangga lain malah keluar rumah untuk menonton. Maklum, kami tinggal di komplek perumahan padat penduduk. Satu rumah dengan satu rumah lainnya saling berdempetan tanpa jeda.
“Mak, maaf. Aku datang untuk membawakan Naya makanan dan susu.”
“Terlambat! Kami sudah tidak butuh itu!” Mamak meneriaki Angga dengan suara yang keras. Membuat tetangga samping kiri rumah keluar dan melongo dari celah tembok. Astaga, Angga, apa masih kurang kurendahkan di studio?
“Pulang saja kamu, gih! Ngapain ke sini?” Aku mengusirnya dengan kibasan tangan. Merasa sangat jijik dengan kehadiran Angga yang sungguh tak kubutuhkan tersebut.
“Jangan pulang dulu! Resa, ambilkan uang lima juta tadi. Sekarang!” Mamak semakin berteriak kencang. Aku pun tak menunggu waktu lama lagi untuk beranjak dari sana.
Setengah berlari aku ke dalam, masuk ke kamar dan mengambil tas ransel kecil yang selalu kubawa pergi ke mana-mana. Di dalam sanalah aku menyimpang uang lima juta yang diberikan oleh Angga pagi tadi.
Arin yang duduk bersama sang anak di ruang televisi, sampai kaget melihat aku yang berlari lagi. “Ngapain, Res, lari-lari?”
“Nggak apa-apa, Rin!” jawabku sambil bergegas untuk menuju teras.
“Angga, nggak usah lagi kamu ke rumah ini! Aku udah nggak butuh uluran tanganmu. Kedatanganmu hanya membuatku malu saja!” gertakku sambil memegang satu gepok uang pecahan lima puluh ribuan tersebut.
Sosok Angga hanya diam sambil masih memegang kedua bungkusan tersebut. sedangkan Mamak, masih menatap lelaki itu dengan wajah yag sangat geram.
“Lemparkan uang itu ke mukanya, Res!” teriak Mamak dengan suara yang sangat nyaring.
Brak! Uang yang sudah diikat dengan karet tersebut kucampakkan tepat mengenai mukanya. Angga terlihat pasrah dan hanya diam seribu bahasa.
Sedetik kemudian, seseorang dengan motor matik keluar terbaru datang dan masuk ke pekarangan rumah kami. Parkir tepat di samping tubuh Angga. Saat tubuh yang memakai jaket denim dan celana jin warna biru itu membuka helm hitam full-face, maka tampaklah seraut wajah tampan tersebut. Ya, dia adalah Mas Cipta.
Lututku semakin lemas saja. Ya Allah, mimpi apa aku semalam? Mengapa hari ini begitu berat buat kujalani?
BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,
BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama
BAGIAN 22 “Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.” Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang. “Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga. &ldq
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene