BAGIAN 3
“Nanti kita bahas lagi deh, Res. Eh, iya. Udah dulu, ya. Mumpung libur dinas, aku mau beres-beres kamar dulu. Habis itu baru nanti ke rumahmu. Bye, Resa!”
“Assalamualaikum, bukan bye!” Aku agak kesal menanggapi kata-kata Mas Cipta. Lelaki itu tak sama sekali merevisi kalimatnya. Malah segera mematikan sambungan telepon.
Sesaat aku tercenung. Perasaanku tak enak. Rasanya ada yang mengganjal. Apa ada yang salah dalam diriku, ya? Namun, apa?!
Pusing, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Mamak. Kukendarai sepeda motor matikku dengan kecepatan sedang. Awalnya, aku sudah mulai ingin membuat pola. Namun, kuurungkan sebab hatiku makin tak enak saja.
Sampai rumah, pemandangan yang begitu syahdu langsung membuat hatiku tentram. Naya tengah didulang oleh Mbah Utinya. Anak itu makan dengan lahap di ruang tengah sambil menonton televisi.
“Lho, sudah pulang?” tanya Mamak yang telah berusia 55 tahun tersebut. Mamak juga janda sepertiku. Bercerai dengan Bapak sejak aku berusia 10 tahun. Bapak menikah lagi dan membangun keluarga di Jakarta sana, sedang Mamak bertahan sendiri sampai detik ini. Pekerjaannya hanya buruh cuci saat aku kecil dulu. Wajar bila dia hanya menyekolahkanku sampai ke jenjang SMA.
“Sudah, Mak.” Aku duduk di karpet ‘cendol’ warna marun yang juga diduduki oleh Mamak dan Naya. Anakku yang tengah mengunyah itu langsung nemplok ke paha. Wajahnya yang menggemaskan terlihat mengulas senyum manis.
“Bunda, mau es krim!” katanya sambil menarik-narik pasminaku.
“Iya, nanti ya, Nay. Bunda belikan yang banyak. Tapi harus makan dulu.” Aku memeluknya sesaat. Merasakan betapa berharganya gadis kecil ini dalam kehidupanku.
“Ada apa, Res? Sepertinya kamu lagi memendam sesuatu.” Ucapan Mama membuatku terhenyak. Kulepaskan tubuh Naya. Kududukkan kembali dia di karpet.
“Mak, tahu tidak, siapa yang tadi mengukur baju?”
“Siapa?” Muka Mamak langsung berubah. Matanya bahkan sampai membelalak. Sepertinya beliau paham betul dengan apa yang kurasa.
“Calon istrinya Angga.”
“Tolak! Jangan mau!”
Aku terhenyak mendengarkan ucapan Mamak. Tolak?
“Mengapa ditolak, Mak? Dia sudah bayar cash. Lima juta.”
“Kalau Mamak bilang tolak, ya, tolak!” Mamakku yang rambutnya masih hitam mengkilap itu tampak marah dan tak terima. Bahkan, beliau sampai menghentikan suapannya kepada Naya.
“Jadi, aku pulangkan saja uangnya, begitu?” Aku ragu. Padahal, aku baru saja ingin meminjamkan satu juta dari uang tersebut untuk keperluan Mas Cipta.
“Iyalah! Buat apa kamu repot-repot membuang tenagamu hanya untuk membuatkan calon istri dari lelaki set*n seperti Angga! Mamak nggak sudi!” Wanita bertubuh tinggi dan cenderung gemuk itu tampak begitu sangat emosional. Anakku sampai tampak takut.
“Uti, set*n itu apa?” tanya Naya dengan polosnya.
“Set*n itu makhluk jahat! Tugasnya menggoda manusia.”
“Kenapa jahat?” Naya malah tambah membuat kepalaku pening.
“Aduh, Naya diam sebentar, ya? Bunda lagi ngomong sama Uti.” Aku buru-buru memberikan air minum dari gelas yang sudah Mamak siapkan di dekat piring makan bocah itu. Setelah meminumkannya, Naya cepat-cepat kugendong untuk dititipkan ke tetangga sebelah, Arin, yang juga masih sepupuku.
“Rin, ajakin Naya main sama Nanda dulu. Aku mau rapat sama Mamak,” kataku kepada sepupuku yang juga memiliki balita lelaki bernama Nanda.
“Oke, Res. Sini Nay,” kata Arin yang memang sangat suka kepada Naya. Langsung digendongnya bocah itu dan dibawa masuk ke rumahnya. Aku pun tak buang waktu lagi, segera melangkah masuk ke rumah sederhana milik Mamak.
Kulihat Mamak masih duduk di karpet dengan muka cemberut. Kali ini televisi yang tadinya memutar film kartun, sudah dimatikan oleh beliau. Aku agak takut jika Mamak sudah bersikap sedingin ini.
“Kamu pulangkan uang itu! Sekarang juga, Res!” seru Mamak dengan wajah yang kesal.
“I-iya, Mak. Rencananya, uang itu mau kupakai.”
“Untuk apa? Kamu kekurangan uang apa gimana?” Mamak malah makin bertambah emosi. Sejak aku bercerai, Mamak memang semakin protektif kepadaku. Beliau lebih terlihat makin emosional ketimbang dulu. Namun, aku bisa memahami beban apa yang menggelayut di kepala beliau.
“Mas Cipta … dia butuh sejuta untuk perpanjang STR.” Aku menunduk. Benar-benar takut bila Mamak semakin marah.
“Apa? Cipta minta uang kepadamu sejuta? Tidak! Mamak tidak sudi! Apalagi dengan uang dari si Angga!”
Dadaku langsung mencelos. Bisa kubayangkan, seperti apa kekecewaan di wajah Mas Cipta bila mendengar kabar ini.
“Resa, kamu sudah gagal satu kali! Masa kamu tidak juga belajar dari pengalaman? Laki-laki kalau sudah minta uang kerjaannya, itu artinya hanya modus! Kamu tahu modus, tidak?” Mamak memarahiku dengan suara yang kencang. Membuatku sangat malu. Bagaimana kalau Arin mendengar? Atau tetangga lainnya? Ya Allah, mau ditaruh di mana wajahku?
“Mak, pelan-pelan saja. Jangan keras-keras,” bisikku membujuk Mamak.
“Tidak bisa! Kamu itu harus kukerasi! Lihat, apa hasil dari selama ini aku memanjakanmu! Kamu hamil di luar nikah dan dicampakkan oleh laki-laki sampai harus hidup menjanda begini!”
Hatiku sangat sakit. Tercabik-cabik. Memang, kenyataan itu pahit. Air mataku bahkan mau terjun akibat kata-kata ketus Mamak barusan.
“Mamak selalu dengar kalau si Cipta bolak balik pinjam uang kepadamu. Mamak diam selama ini, sebab Mamak ingin tahu seberapa pintarnya kamu membaca situasi. Nyatanya, kamu tidak bertambah pintar, Resa! Malah kamu mau menerima job dari mantan suamimu yang seperti ibl*s itu dan memberikan uangnya kepada Cipta. Enak sekali si Cipta itu. Tunggu dia ke sini, akan kutempeleng sekalian!”
“Mamak!” Aku yang sudah tak sanggup lagi, buru-buru memeluk tubuh gempal Mamak. Tubuh berkeringat itu bukannya membalas dekapanku, tapi malah melepaskan cengkeraman tanganku dengan gerakan setengah kasar.
“Jangan cengeng kamu, Resa! Jangan jadi perempuan lemah! Kembalikan uang Angga, putuskan si Cipta. Hari ini juga!”
Mamak menatapku tajam. Membuat ulu hatiku langsung nyeri bagai tertusuk sembilu. Memutuskan Mas Cipta? Mampukah aku? Ah, hati. Mengapa aku terlalu lemah setelah berkali-kali jatuh tersakiti? Kapan aku bisa kuat dan setegar Mamak yang tak lagi memikirkan keberadaan laki-laki di hatinya?
BAGIAN 4 “Iya, Mak. Aku akan putuskan Mas Cipta.” Aku memang sayang kepada cowok itu. Namun, rasa sayangku tentu lebih besar lagi kepada Mamak. Ucapannya adalah titah. Mana mungkin aku bisa melawan. “Bagus! Awas saja kalau dia datang ke sini kamu malah berubah pikiran!” Hardikan Mamak benar-benar membuatku mati kutu. “Tapi, kalau seandainya Mas Cipta tidak terbukti memanfaatkanku, Mak?” Mata Mamak terlihat makin membeliak. Alisnya sampai bertaut. “Kamu masih kurang bukti apalagi, Resa?” Tampak Mamak gregetan sendi
BAGIAN 5 “Sore semuanya,” sapa Mas Cipta sambil tersenyum lebar. Dia menoleh ke arah Angga, kemudian kepada kami pemilik rumah. Feelingku sudah tak enak. Hari ini siap-siap saja perang dunia ketiga, benakku. “Pergi kamu Angga! Apalagi yang kau tunggu!” hardik Mamak sambil masih menggendong Naya. Anakku sudah mau menangis. Melihat itu, cepat-cepat kuambil alih Naya, lalu berlari ke dalam. Kuberikan Naya pada Arin, agar dia tak perlu melihat keributan di depan. “Mamak masih marah-marah, Res?” tanya Arin dengan muka yang khawatir. “Masih, Rin. Bentar, ya. Jagain Naya dulu. Aku ke depan.”
BAGIAN 6 Semalaman itu aku benar-benar gelisah. Rasa sedih merasuk dan mencabik-cabik perasaan. Sebab tak konsentrasi, malam itu kubiarkan Naya tidur dengan Mamak. Padahal, biasanya aku tak bakalan mau pisah tidur dengan bocah kecil itu, kecuali kalau sedang lembur di studio. Makan tak selera, tidur pun tak nyenyak. Sepanjang malam, hanya WhatsApp dari Mas Cipta saja yang kutunggu. Permintaan maafnya yang kuharapkan betul. Namun, sia-sia. Lelaki itu memang tampaknya hanya memanfaatkanku saja selama ini. Pupus sudah harapan dan cita-cita untuk melepas masa janda akhir tahun. Semua hanya sekadar mimpi indah belaka. Aku sudah bersiap sejak pagi-pagi buta untuk mencari nafkah. Saking ingin membuang rasa galau, hari ini kubersihkan ru
BAGIAN 7 Gemetar benar tanganku. Namun, tiba-tiba saja rasa berani itu muncul. Terlebih, saat Dewi menatapku dengan senyuman yang mengejek. Sudah betul hidupnya, dia pikir? “Oh, kamu mau melaporkanku ke polisi? Bagaimana dengan tindakanmu barusan? Merekam tempat usaha orang lain dan mencemarkan nama baikku serta usaha yang kujalankan!” Aku berkacak pinggang. Marah besar kepadanya sambil melotot. Meskipun hatiku sedikit banyak takut pada ancamannya, aku tak peduli. “Mau lapor ke polisi? Berapa duitmu, emang? Buat beli susu aja, dulu kamu nyiumin kaki Angga, kok!” Perempuan itu tersenyum sinis. Aku sampai mengernyitkan dahi. Dewi ini sebenarnya tahu atau pura-pura bodoh tentang Angga? Sebentar dia belaga pil
BAGIAN 8 Dewi terlihat menatapku dengan mata yang penuh dendam. Wanita mana yang tak sakit hatinya bila disuruh mencium kaki perempuan lain segala. Apalagi, baginya yang salah itu adalah aku. “Angga! Tidak usah sampai segitunya. Aku tidak perlu dicium kaki segala. Aku bukan kamu!” Aku menuding wajah Angga. Menatapnya geram. Siapa yang tak geram? Apa dia mau membuat nama baikku semakin buruk di mata Dewi? “Ini kan, yang kamu suka, Resa?” sentak Dewi dengan suaranya yang nyaring. “Diam kamu, Dewi! Lancang kamu! Tidak sopan! Dia itu ibu dari anakku!”&n
BAGIAN 9 Agak oleng tubuhku bangun dari duduk. Kuseka sisa air mata di sudut mata. Kutekatkan, bahwa aku tak boleh tampak lemah di hadapan lelaki perusak kebahagiaan tersebut. “Mbak, sudahlah,” cegah Nisa sembari menahan lenganku pelan. “Lepas, Nis! Aku masih harus menyelesaikan urusan dengan lelaki itu!” ujarku sembari menepis tangan Nisa. Gadis itu akhirnya menyerah. Dibiarkannya aku berjalan mendatangi pintu untuk membukakan Angga yang ada di depan sana. Sementara Arfan masih diam membeku di dekat jendela. Wajah Angga terlihat lesu. K
BAGIAN 10 “Aku mohon, Res. Kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Dewi.” Angga terus mengemis. Lelaki itu bahkan hendak menyambar kakiku, kalau saja tak segera kutarik menjauh darinya. Aku pun bangkit. Berdiri di depan lelaki yang kini berlutut memohon bagai seorang pengemis dengan segala bujuk rayu paksaannya. Ya, Angga ini tipikal pengemis yang hanya bersandiwara. Akan rela menjilat kaki target, demi mendapat apa yang dia inginkan. Setelah semua didapatkan, maka dia akan pergi sambil menikmati hasil haramnya tersebut. “Kamu ingat, saat aku hamil dan meminta pertanggungjawabanmu? Apa yang kamu lakukan saat itu, Angga? Kamu mengusirku bagai seekor anjing!” Aku menghar
BAGIAN 11 “Arfan, mana videonya? Kirimkan cepat ke WhatsApp-ku. Aku mau bikin klarifikasi!” jeritku sembari membuka pintu studio. Kulihat Arfan langsung menghentikan mesin obrasnya. Sementara itu, Nisa langsung mendongak dan berhenti memotong kain satin warna hijau emerald. Keduanya tampak kaget dengan kedatanganku. Arfan pun buru-buru merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel berwarna gradasi biru dan putih, lalu mengetik-ngetik layarnya dengan gerakan cepat. “Nis, kamu siapkan tempat buat aku live. Bagusnya aku duduk di sini saja, dekat manekin,” ujarku sembari berjalan ke arah manekin-manekin yang memakai aneka bahan kain yang sudah kami bentuk selayaknya gaun dengan aneka model.&n