"Ibu Anggun, Ibu Nia. Untuk apa kalian memperebutkan Pak Andy? Jelas-jelas ia sudah memiliki kekasih. Bukankah masih ada saya yang jelas-jelas seorang single yang bertalenta? Saya seorang Kepala Sekolah. Apakah kalian tidak tertarik dengan saya?"Ibu Anggun dan Ibu Nia saling bertatap, keduanya beradu pandang setelah mendengar ucapan Kepala Sekolah. Keduanya berusaha menahan tawa, namun akhirnya lepas juga."Hahahah ... hahahah ... hahha ...." "Kenapa kalian tertawa? Ada yang lucu?" Kini kepala sekolah memandang kedua wanita itu dengan tatapan kebencian penuh amarah."Bukan begitu, Pak. Bapak ini kan Kepala Sekolah, jadi rasanya lucu kalau kita berharap terlalu tinggi menyukai Bapak." jawab ibu Anggun yang jelas-jelas itu adalah jawaban kebohongan."Benar kata Ibu Anggun, Pak. Kami tidak sepantasnya memilih Bapak yang notabene adalah seorang Kepala Sekolah, sungguh tidak pantas untuk kami." Ibu Nia turut memberikan komentarnya, dan jelas-jelas, ia pun sama. Mengeluarkan kebohongan de
Perpisahan Termanis"Ya, Om, Tante, ijin sebentar ngajak Nindya jalan-jalan." Dio mencium punggung tangan Rendy dan Raya bergantian."Hati-hati ya, Nak Dio? Jangan sampai larut," tutur Rendy kepada kekasih putrinya."Siap, Om.""Nindya jalan dulu ya, Pa, Ma?""Hati-hati ya, Sayang?" Kiara menyentuh lembut pucuk kepala Nindya."Lebay sekali, cuma perpisahan begitu saja pakai acara." Raya menggerutu, masih dengan gaya angkuhnya."Itu hak mereka, berhentilah iri dengan Nindya. Kamu sudah punya aku, tapi masih saja suka iri sama orang lain." Lama-lama Andy merasa jenuh dengan kelakuan Raya.Sementara Nindya dan Dio berangkat, Rendy dan Kiara masuk ke dalam rumah. Tinggalah Andy dan Raya yang masih duduk di teras depan rumah keluarga itu."Kamu senang banget kayaknya belain dia. Dari dulu selalu aja begitu. Pernah nggak sih, kamu mikir perasaanku? Di dalam sini itu ya rasanya sakit banget, kayak ditusuk, kok bisa-bisanya pacar sendiri malah ngebelain cewek lain.""Aku nggak ada yang ngebel
"Nin, Nindya ... " Suara seseorang yang memecah keheningan. Nindya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya seketika memalingkan wajah ke arah suara."Kamu kenapa? Kok buru-buru gitu?" tanya Nindya kepada teman perempuannya, Wina."Itu ... anu ... ka– ka–kamu, itu kamu ga nganterin Dio ke Bandara?""Ke Bandara? Kok ke Bandara? Dio cuma pindah ke luar kota saja kok, Win. Kamu jangan aneh-aneh deh." Nindya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia merasa Wina sedang berusaha membohongi dirinya."Lo, dia mau pergi ke luar negeri, Nindya. Kamu gimana sih?""Ya ampun, Wina ... please deh, kemarin aku bareng sama Dio. Dia bilang cuma mau pergi ke luar kota kok. Pindah ke luar kota. Pendengaranku masih baik-baik saja, aku tidak mungkin salah dengar." Nindya masih ngotot dengan keyakinannya."Nin, Nindya ...." Kali ini suara Bayu yang terdengar berteriak dari kejauhan memanggil Nindya, pria itu bergegas menghampirinya.Nindya sedikit mendongakkan kepalanya ke samping, pandangannya sedikit terhalang o
24 jam berlalu sejak Dio berangkat diam-diam tanpa memberi tahu Nindya. Tak sekali pun pria itu memberikan kabar kepada kekasihnya. Rindu yang dulu tak pernah ia rasakan, kini seakan-akan rasa itu telah mengguncang sebongkah daging berwarna merah maron di dalam tubuhnya.Butiran-butiran bening mulai memenuhi sudut mata Nindya. Diraihnya benda pipih yang sering ia gunakan untuk berkomunikasi dengan sang kekasih, berharap, pagi ini ada kabar baik yang mampu membuatnya tersenyum tenang. Sungguh sangat disayangkan, harapan itu tinggallah harapan. Tak ada satu pun notifikasi dari semua aplikasi yang Nindya gunakan."Kamu ke mana sih? Kamu kenapa sih? Dio, berikan aku kabarmu. Jangan diamkan aku seperti ini." Nindya bermonolog."Nin, sudah pagi. Bangun gih, kamu kuliah kan?" terdengar suara Kiara di depan pintu kamar Nindya."Iya, Ma." Dengan lesu, Nindya melepas selimut, beranjak dari tempat tidurnya lalu bergegas menuju kamar mandi.Semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersam
Cafe Lanila"Bukankah itu Dio? Iya kan? Itu Dio kan?" pekik Nindya, gadis itu bersorak girang melihat lelaki tampan yang tengah bernyanyi di atas panggung."Dio ... Dio ... aku datang, aku datang ...." teriak Nindya penuh histeris. Gadis itu melambaikan tangannya berkali-kali ke arah panggung. Memberi isyarat pada pria yang tengah menghibur pengunjung dengan suaranya.Wina, Bella dan Bayu terpaku. Mereka bertiga meragukan jika yang ada di atas itu adalah Dio. Wajahnya iya, itu wajah Dio, tapi tidak dengan suara itu. Itu bukan suara Dio."Nin, itu bukan Dio." Wina menepuk pundak Nindya."Kamu ngomong apa sih? Itu Dio, Win. Kamu ga bisa lihat wajahnya? Itu jelas Dio." Nindya sedikit ngotot dan ia tak suka dengan ucapan Wina.Bayu menggeleng ke arah Wina dan Bella, ia memberi kode untuk membiarkan Nindya dengan khayalannya sendiri.Beberapa menit kemudian, lelaki putih bersih itu menatap ke arah Nindya. Ia menuruni panggung setelah mengucapkan terima kasih kepada penonton. "Nindya?""Di
"Nindya ... siapa tuh yang cari kamu pagi-pagi di depan? Kayaknya Dio," ucapan Raya."Itu bukan Dio, itu Gio," jawab Nindya ketus."Siapa dia, Sayang?" tanya Rendy."Gio adik Dio, mereka saudara kembar. Sudah ya, aku berangkat kuliah," pamit Nindya selepas ia menggunakan sepatunya. Gadis itu kemudian mencium punggung tangan Rendy juga Kiara."Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Kiara kepada Nindya."Enggak, Ma ... nanti aja sarapan di kampus, kebetulan aku belum lapar. Ya udah aku berangkat dulu," ucap Nindya malas."Kamu kok gonta-ganti cowok si? Dio hilang sekarang malah saudaranya yang diembat. Eh gimana sih? Aku bingung, pokoknya jadi cewek itu jangan terlalu murah. Jual mahal dikit deh, biar lebih berharga," ucap Raya menyindir Nindya."Raya! Berapa kali Mama sudah bilang, jaga etika kamu." Kiara mulai emosi melihat tingkah laku anaknya.Nindya yang disindir tak peduli, ia masa bodoh dan memilih pergi begitu saja, bergegas menghampiri Gio yang sudah menunggunya sedari tadi."Besok-be
"Kalau ketakutan-ketakutan itu terus membayangimu, kenapa kamu tidak menerima lamaran Andy? Menikahlah dengannya, maka kamu tidak akan khawatir lagi dengan hal yang selama ini menghantui pikiranmu!" ucap Rendy."Kenapa sih kalian maksa aku nikah? Aku enggak siap, Pa, Ma. Aku belum siap menikah!" Raya menekankan kata menikah pada akhir kalimat, berharap kedua orang tuanya paham jika dirinya memang benar-benar belum siap untuk menikah."Ya sudah kalau kamu memang tidak siap untuk menikah. Berhentilah curiga kepada Nindya, ia tidak salah sama sekali, yang salah itu hatimu, tanya sama hatimu sendiri, ada apa dengan hatimu? Kenapa hatimu bersikeras menunjukkan emosi kepada orang yang sama sekali tidak bersalah?" Kiara berusaha mencari tahu alasan apa yang sebenarnya membuat putrinya begitu membenci Nindya."Sekarang papa harap kamu minta maaf kepada Nindya, kamu sudah dewasa jadi belajarlah bersikap dewasa,""Aku? Minta maaf padanya? Aku salah apa? Aku merasa tidak ada salah apa pun padany
"Tidak, Om. Baru saja aku mau mengajaknya keluar untuk makan malam.""Kamu tidak hubungi dia?" "Tidak, aku pikir dia di rumah, apalagi, rumah dekat, jadi aku tidak menghubunginya." "Udah dulu ngobrolnya, kamu makan di sini saja ya, Andy," ucap Kiara. Kekasih putrinya itu pun duduk di sebalah Nindya. Kiara menyadari sesuatu, ia melirik ke arah putri tirinya lalu mengulum senyum. Naluri keibuannya muncul, ia tahu, Nindya gugup, itu artinya putri tirinya memang memiliki perasaan khusus terhadap Andy."Ada acara apa ini? Kok kalian makan malam bersama?" tanya Raya yang tiba-tiba muncul, ia mendelik ke arah Nindya."Kamu ke mana saja? Ini sudah waktunya makan malam, jelas dong kita makan malam bersama. Ayo duduk, kamu juga harus makan." Kiara menarik tangan putrinya, menggiringnya untuk turut duduk di salah satu kursi di sana. Namun, gadis itu menepis tangan Kiara, sang mama."Minggir, enak saja kamu duduk di sebelah pacar orang, jangan mencuri kesempatan di tengah kesempitan ya! Cuma a