Share

Bab 3

Akhirnya, Nindya lulus, ia diterima di sebuah universitas ternama di Kota Denpasar, Universitas Mahadewa. Universitas elite yang memiliki beberapa ragam jurusan di dalamnya. Nindya berhasil masuk pada bidang keguruan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pertama kali menjadi mahasiswa, Nindya dan teman-teman seangkatannya diwajibkan mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau biasa disebut dengan OSPEK.

"Anak jalang juga kuliah ya? Aku fikir, kamu cuma memiliki keahlian menggoda kekasih orang. Jadi, kamu juga bisa belajar?" sindir Raya, ia tidak menyangka jika Nindya berhasil masuk ke kampus elite tempatnya menempuh pendidikan.

"Siapa yang jalang? Tante ya? Astaga, Tante, aku kaget lo. Aku fikir Tante itu cewek baik-baik, kasihan Om Andy, aku harus menyadarkannya." Nindya tak mau kalah, ia malah balik menuding Raya.

"Kamu itu benar-benar ga punya ahklak ya, cih!" Raya mendorong Nindya sedikit keras, membuat gadis itu terhuyung dan hampir terjatuh, namun masih bisa menyeimbangkan dirinya kembali.

"Siapa dia, Nindya? Kamu kenal? Hati-hati lo, dia senior kita." Bella yang 1 jurusan dengan Nindya menegurnya, sedari tadi gadis itu memperhatikan perdebatan keduanya yang terlihat jelas tak ada persahabatan sedikitpun.

"Dia pacar dari calon suamiku," jawab Nindya datar. Ia masih menatap Raya yang melenggang pergi memperlihatkan bokong seksinya, meninggalkan dirinya yang masih terdiam.

"Apa? Calon suami? Kamu sudah mau nikah?" Bella yang baru saja mengenal Nindya tersentak kaget mendengar pengakuan teman barunya.

"Lupakan, aku cuma bercanda, hahaha ... Haha...." Nindya terkekeh geli seraya menepuk pundak Bella sekali.

Kedua gadis itu memilih duduk di salah satu kursi depan ruang kelas. Banyak hal yang mereka bicarakan termasuk urusan kuliah.

"Kamu sudah catst semua, mata kuliah yang akan kita dapat?" tanya Nindya pada teman di sebelahnya.

"Aman, bos," jawab Wina seraya menaikkan jempol tangan kanannya.

Dari kejauhan tampak Wina, teman semasa SMA Nindya berlari kencang menuju ke arah Nindya. Beberapa kali ia terdiam mencoba mengatur napasnya sebelum mulai bicara. Ia memegangi dadanya kemudian mulai menenangkan diri. Menghela napas sejenak lalu menghembuskannya pelan.

"Kenapa, Wina? Om Andy?" Nindya seakan-akan bisa menerka apa yang akan disampaikan Wina padanya.

Sahabat setianya itu selalu tahu hal-hal penting yang harus disampaikan tepat waktu pada dirinya, khususnya tentang Andy.

"Ada di luar gerbang kampus, dia di sana, huh ... Iya, itu Om Andymu, di depan kampus," jawab Wina masih ngos-ngosan mengatur napasnya setelah berlari tadi.

"Siapa sih?" Bella menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, gadis itu bingung dengan tingkah kedua teman kuliahnya. Ia tak paham, siapa yang tengah di bicarakan.

Nindya sudah mulai melangkah, perlahan tapi pasti. Dengan wajah datar dan biasa-biasa saja, ia menuju depan kampus, seperti yang disampaikan Wina. 2 temannya mengekor dari belakang, mengatur jarak agak sedikit jauh.

Benar saja. Andy sudah berada di depan, bukan cuma Andy, Raya juga disana. Sepertinya gadis itu baru menyelesaikan mata kuliah terakhirnya dan hendak pulang.

"Eh ... Om Andy, jemput lagi?" ucap Nindya seraya mengulum senyumnya.

"Bocah tengik ini lagi," sindir Raya seraya mendelik ke arah Nindya.

"Iya, Nindya mau pulang? Ayok, sekalian biar Om anterin," ucap Andy ramah.

"Tidak usah, Om ... Om itu kan, calon suami Nindya, bukan sopir Nindya lho ... Kalau sekedar antar jemput, tukang ojek juga bisa kok," jawab Nindya.

"Apa maksud kamu, sialan?" Raya kembali tersulut emosi. Ia memasang ekspresi amarahnya ke arah Nindya. Matanya mulai melotot seperti hendak menerkam Nindya hidup-hidup.

"Om, aku pergi duluan, ya. Takut, ada nenek lampir yang mau marah," ucap Nindya.

Bukan Nindya namanya jika tidak membuat perkara lebih, disempatkannya menarik tangan kanan Andy, lalu mencium punggung tangan pria itu dan ia bergegas melarikan diri dari hadapan mereka.

"Jalang! Jangan lari kamu, sialan!" teriak Raya penuh emosi, sementara Nindya sudah tertawa terpingkal-pingkal menjauh lalu menghampiri 2 temannya yang nampak tertawa renyah melihat kelakuan konyolnya.

****

"Aku pulang," ucap Nindya sesampainya di depan pintu rumah.

"Non Nindya, sudah pulang? Maaf ya, tadi bibi di belakang, jadi tidak dengar," ucap Bi Isah, yang terlihat sedang mengeringkan tangannya yang basah dengan cara menggosokkannya pada celemek yang ia pakai.

"Papa?" Nindya menatap sekelilingny, mencari-cari keberadaan sang papa.

"Pak Rendy belum pulang, Non. Non Nindya sudah makan siang?" tanya Bi Isah.

"Sebentar lagi, Bi. Aku masuk dulu, ganti pakaian. Bi Isah lanjut aja sama pekerjaannya, nanti aku ambil sendiri kalau mau makan." Nindya bergegas masuk ke dalam kamarnya setelah melemparkan seulas senyuman pada Bi Isah.

Nindya mengganti pakaiannya, merebahkan tubuhnya kemudian menatap sendu foto kecil yang terpajang di atas meja belajarnya, ada dirinya, papa dan mamanya disana. Foto terakhir yang diambil sebelum sang mama meninggal.

"Nindya rindu mama," lirihnya, bulir-bulir bening mulai berkumpul di sudut matanya, diambilnya bingkai itu dan dipeluknya hangat.

Dulu, kalau ia pulang sekolah, mama Almira yang selalu menyambutnya. Kini sosok itu hanya menjadi kenangan bagi Nindya, kenangan yang akan selalu hidup di dalam lubuk hatiya.

Tumpah sudah, isak tangis Nindya tak tertahan lagi, ditambah lagu-lagu sendu ia dengarkan, menambah sesak dadanya.

Menangis dalam tidur, akhirnya Nindya terlelap setelah lelah menangis. Masih memeluk bingkai foto dirinya dan kedua orang tuanya. Dibalik cerianya, Nindya menyimpan banyak luka. Gadis itu kini sudah beranjak dewasa, namun kesibukan sang ayah membuatnya merasa kurang kasih sayang dan perhatian. Ditambah tak ada sosok ibu di sisi-Nya.

"Nindya, bangun, sayang ...." Jemari kekar itu membelai lembut rambut Nindya.

Jarum jam sudah menunjuk angka 07.00 malam. Rendy yang baru saja selesai membersihkan diri setelah bekerja bergegas menghampiri putrinya yang masih tertidur.

"Papa," lenguhnya, Nindya sedikit mencoba meregangkan anggota tubuhnya. Bingkai yang sedari tadi dipeluknya telah lepas.

"Mandi ya, bersiap. Ayo kita makan malam di luar," ucap Rendy.

"Kok tumben, pa? Ada apa?" tanya Nindya, gadis itu sudah mengubah posisi duduknya, sedikit mengucek matanya kemudian menatap sang ayah.

"Nanti juga kamu tahu, dandan yang cantik." Rendy mengelus pucuk kepala Nindya kemudian meninggalkannya.

Nindya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, seperti titah papanya, ia bersiap juga berdandan yang cantik. Entah kejutan apa yang akan diberikan Rendy padanya, semua masih menjadi tanda tanya.

Gadis manis berkacamata itu, bergegas keluar menghampiri Rendy. Mereka pergi ke sebuah restoran mewah yang terletak di Kota Denpasar.

"Pa, ada acara apa? Kenapa kita makan disini? Tidak biasanya papa mengajak Nindya makan di luar ke tempat spesial seperti ini?" tanya Nindya bingung.

"Duduk saja dulu, Nin. Sebentar lagi, kamu akan tahu," jawab Rendy.

Beberapa kali Rendy melihat jarum jam pada arloji yang dikenakanya, kemudian sesekali tangannya disatukan dan saling mengusap. Ia tak memesankan apapun untuk dirinya juga putrinya. Pandangannya fokus menatap ke arah luar restoran.

"Maaf, sudah menunggu lama?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul di hadapan Nindya dan Rendy.

"Raya?" Nindya yang sedari tadi fokus menatap ponselnya tersentak, menyadari siapa gadis yang kini berdiri di hadapannya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status