**
“Kamu kenapa, Mas?” Tanya Iroh, sembari meletakkan segelas teh manis di meja, lalu mengambil duduk di sampingku.
“Tidak ada apa-apa,” jawabku sedikit malas.
Semua kejadian menjengkelkan yang aku alami tadi siang di kantor Arung Bahari Corp masih saja berkelebatan di dalam kepalaku.
Seumpama slide video yang tertampil bergantian tak terputus hingga membuat pikiranku kisruh. Bagaimana aku direndahkan, bahkan dihina oleh Ibu Widya, semua hal itu membuat aku kehilangan mood malam ini.
Meski sekarang aku sedang berdua dengan Iroh, pacarku, tetapi wajah kuntilanak bernama Widya itu terus saja membayangi.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah kiri. Dari dalam rumah kediaman Iroh ini, langit kelam kota Jakarta tampak berlapis debu dengan aneka kilau dan cercah lampu-lampu dari gedung nun tinggi di sana.
“Kalau tidak ada apa-apa kenapa wajah kamu masam saja sedari tadi?” Tanya Iroh lagi dengan penuh p
**Malam harinya aku menelepon Iroh. Aku ingin membicarakan isi pesan yang aku terima tadi siang dari sekretaris Ibu Widya itu.“Menurut kamu, aku mesti datang atau tidak, Roh?”“Kalau menurut aku sih, baiknya kamu datang saja.”“Tapi, aku malas, Roh.”“Kenapa?”“Eneg banget aku waktu dibully si Widya kuntilanak itu.”“Itu kan waktu pertama kali kamu ketemu. Dia jutek begitu mungkin karena gara-gara abis baca surat dari Abah Anom itu.”Di sini, aku memindahkan posisi ponsel dari telinga kanan ke telinga kiri. Di pojok rumah ada Galih yang juga sedang menelepon sambil berbisik-bisik.Aku sudah hafal dengan gelagatnya, berarti dia sedang bermesraan dengan pacarnya di Jawa sana.“Kira-kira apa ya isi surat itu?” Sahutku kemudian, seakan bertanya pada diri sendiri.“Lha, kamu yang bawa, kamu yang nyimpan. Gila aja sampai d
**Selama beberapa hari kemudian, aku menjalani kehidupanku seperti semula. Dalam ritme yang sama, seperti sebelum dan setelah keluar dari penjara.Yaitu, menjadi badut lampu merah.Dari beberapa jenis pekerjaan yang pernah aku lakoni di Jakarta ini, sepertinya badut menjadi pilihan yang paling aku suka.Alasannya simpel. Yaitu karena waktunya yang fleksibel. Dulu, aku selalu meminjam kostum milik Galih. Tapi sekarang aku sudah punya kostum milikku sendiri.Akan tetapi, sepertinya, hari ini aku akan mendapat apes.“Itu! Itu! Tangkap yang pakai kostum badut itu..!!”“Wooi..! Jangan lari kamu..!!”“Heii..! Badut sialaann..!”Suara teriakan para petugas itu bagaikan petir dari langit, melecut langkah kakiku untuk berlari lebih kencang lagi.Apesnya, kostum badut Hello kitty yang aku kenakan ini—bulat besar, berwarna putih mencolok, dengan garis senyum di bagian depan&md
**Akhirnya, aku dan Iroh jadian. Kami berpacaran, dan saling menguatkan janji di antara kami berdua.Romansa kami ini tragis sebenarnya. Cinta kami tumbuh dan berkembang dari penjara.Bagaimana lagi? Keadaanlah yang menempatkan kami pada posisi sulit ini. Paling tidak, aku mendapatkan dua hal dari hubungan ini.Pertama, aku bisa mengetahui bagaimana setia dan sabarnya Iroh menerima keadaanku.Kedua, dengan hadirnya Iroh aku mempunyai pelipur lara dari kekecewaan besar akibat ditinggal kawin oleh Ceu Lena.Oh ya, satu lagi. Yaitu, cita-cita, atau mimpi. Sepertinya lebih keren jika aku sebut dengan kata; visi. Semakin jelas saja visiku dalam menyongsong masa depan.“Tangan kamu kenapa, Mas?” Tanya Iroh suatu ketika, melihat pada tanganku, lalu memegangnya sambil memperhatikan sebuah luka yang ada di tanganku ini.“Tidak apa-apa,” jawabku. “Cuma luka sedikit.”“Kok bisa luka begini
**Ketika itu, aku sedang duduk meringkuk memeluk lutut di pojok ruang tahanan. Beberapa napi yang lain tampak sibuk dengan lamunan mereka masing-masing.“Hei, kamu, Mojo!” Panggil seorang sipir yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu berteralis besi. Aku yang terkejut sontak mengangkat wajah.“Ada apa, Pak?” Tanyaku sedikit cemas.“Ke sini kamu!”Aku bangkit dengan enggan, lalu melangkah ragu menuju pintu.“Ada apa, Pak?” ulangku lagi bertanya.“Keluar kamu. Ada yang membesuk.”Aku tercekat. Seakan tak yakin dengan pendengaranku sendiri. Keningku pun menyusul berkerut.“Ada yang membesuk saya? Ss.., ssiapa, Pak?”“Munawaroh,” jawab sang sipir pendek, sembari membuka gembok dan gerendel pintu. Satu orang sipir yang lain bersiaga dengan senjata api di tangan.“Mu.., Munawaroh?”Siapakah dia
**“Oke, ajaib, tapi letak ajaibnya di mana?” Tanyaku.“Kamu dan aku berasal dari dunia yang berbeda. Aku orang sini, orang Jakarta..,”“Kamu orang Sumatera,” potongku.“Yaaa, walaupun orang tuaku berasal dari Sumatera tapi aku kan lahir dan besar di Jakarta ini.”“Sementara kamu Mas, berasal dari satu kampung di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah sana, yang bahkan namanya mungkin tidak ada di dalam peta.”“Ada,” potongku lagi.“Gayatri? Emang ada di peta?”“Ada dong. Walaupun Gayatri itu nama desa, tapi juga tidak terlalu udik banget. Lebay kamu ih.”Kemudian, tiba-tiba saja kami berdua terlempar ke masa lalu. Kami asyik membahas satu momen sekitar satu tahun silam ketika kami bertemu untuk pertama kalinya.Ketika itu.., aku sedang mengamen di suatu lampu merah. Masih tak jauh dari pi
**“Kamu kenapa, Mas?” Tanya Iroh, sembari meletakkan segelas teh manis di meja, lalu mengambil duduk di sampingku.“Tidak ada apa-apa,” jawabku sedikit malas.Semua kejadian menjengkelkan yang aku alami tadi siang di kantor Arung Bahari Corp masih saja berkelebatan di dalam kepalaku.Seumpama slide video yang tertampil bergantian tak terputus hingga membuat pikiranku kisruh. Bagaimana aku direndahkan, bahkan dihina oleh Ibu Widya, semua hal itu membuat aku kehilangan mood malam ini.Meski sekarang aku sedang berdua dengan Iroh, pacarku, tetapi wajah kuntilanak bernama Widya itu terus saja membayangi.Aku mengalihkan pandanganku ke arah kiri. Dari dalam rumah kediaman Iroh ini, langit kelam kota Jakarta tampak berlapis debu dengan aneka kilau dan cercah lampu-lampu dari gedung nun tinggi di sana.“Kalau tidak ada apa-apa kenapa wajah kamu masam saja sedari tadi?” Tanya Iroh lagi dengan penuh p