**
Kalau aku mendapat satu firasat yang buruk, biasanya itu selalu jitu. Apakah itu?
Setelah mendengar keterangan dari Pak Bisma itu Miss Widya seperti terpekur. Ia lantas melempar pandangannya ke sekeliling, kepada para bawahannya dan terakhir berhenti pada Pak Syailendra.
“Bagaimana pandangan Bapak?” Tanya Miss Widya.
Pak Syailendra langsung menjawab.
“Kita yang punya bangunan, kita yang punya gudang, tapi kalau pembangunannya terhambat oleh situasi yang tidak kondusif di lapangan, sepertinya kita juga mesti urun tenaga untuk membantu.”
“Jadi, anggaplah para preman itu sebagai force majeur, seperti halnya bencana alam, tentu kita juga yang rugi kalau dibiarkan terus begini. Yang pasti, kita rugi waktu.”
“Oh ya, tim legal kita bagaimana?” Tanya Miss Widya lagi.
Kali ini Pak Bisma yang menyahut.
“Tim legal kita tetap bekerja, Bu. Mereka sudah berkoordinasi deng
**“Kenapa?”“Sepertinya, ada yang membuntuti kita.”Masih tetap berjalan Widya kemudian menoleh ke belakang. Kedua matanya mengedar ke sekeliling.Ia memang melihat banyak orang di sekitar mereka. Akan tetapi, sosok yang kira-kira mencurigakan sebagai sebagai penguntit memang tidak ia dapati.“Mana? Tidak ada pun. Jangan bikin parno kamu ah!” Cetusnya.Sekarang berganti April yang menoleh ke belakang.“Entah ya, perasaan aku tadi ada yang membuntuti kita deh.”“Perasaan kamu saja kali?”“Hemm, entahlah, mungkin iya.”“Kalau pun memang ada orang yang mau niat jahat ke kita, tenang saja kamu. Bakal aku embat tuh orang. Aku bikin riwayatnya jadi wassalam.”“Ciuuus..?” Tanya April dengan senyum yang menggoda.“Ya serius dong. Jangan lihat aku yang sekarang cantik dan gemulai begini. Ingat du
**Di suatu mall yang cukup megah, di bilangan Jakarta Barat.“Autum!” Panggil seorang wanita pada Widya.Autum alias Widya yang dipanggil pun serentak menoleh pada asal suara.“April!” Pekiknya pula girang pada si pemanggil.Widya lantas berjalan cepat, setengah berlari, membawa wajahnya yang sumringah dan kedua tangannya yang terkembang lebar.Widya dan April bertemu pada satu titik, tepat di depan sebuah dinding kaca milik store terkenal. Kedua sahabat ini pun berpelukan.“Hei, lama tidak ketemu, kamu makin gendutan ya?”“Ah, masak sih??”Widya begitu gembira akhirnya bisa bertemu dengan April, sahabat karibnya semasa SMP dan SMA di Lokananta International School.“Iya, pipi kamu semakin chubby.” April mencubit gemas pada pipi Widya.“Aaah, kamu juga makin endut.” Balas Widya sembari mencolek perut April.“Hahaha..!&rdqu
**Keesokan harinya..,Berhubung Pak Murad akan membawa salah satu mobil di rumah Acropolis ini ke bengkel untuk diservis, maka dengan amat terpaksa Widya memerintah Gending untuk mengantarkannya ke sebuah mall di kawasan Jakarta Barat siang ini.Sebenarnya, Widya ingin menyuruh Pak Budi yang mengantar. Tetapi ibunya melarang. Sang ibu beralasan supaya Pak Budi, si juru taman serba bisa itu stay saja di rumah, untuk antisipasi kalau-kalau ada keperluan mendadak di rumah ini.Widya mengalah. Ia sekarang sudah bersiap di depan rumahnya. CEO muda nan cantik dan manis ini mengenakan busana kasual yang santai.Ia memakai kaus oblong berwarna putih, ditutup blazer warna abu-abu, lalu ia padukan dengan bawahan berupa celana jins ketat berwarna biru.Ia tidak memoles wajahnya dengan make up yang maksimal. Minimalis saja dengan dengan saputan bedak yang tipis dan lipgloss.Toh, keperluannya ke mall ini hanya mau bertemu dengan sahabat lama. Ka
**Oh ya, apakah aku melupakan sesuatu?Aku menoleh dan menatap meja plastik sandingan dudukku tadi. Ya, itu dia. Aku mundur lagi dua langkah, untuk mengambil sebungkus wafer yang ada di atas meja itu.Ini adalah wafer rasa keju yang tadi aku kudap sembari melamun. Isinya tinggal setengah.“Untuk Venus saja,” pikirku.Dalam waktu yang bersamaan aku pun mendapat satu ide yang baru dengan wafer ini. Aku kemudian berjalan tenang menuju Venus di sudut halaman.Suara langkah kakiku yang semakin dekat ternyata langsung direspon oleh Venus. Ia mengangkat kepalanya, tapi masih enggan bangkit dari posisinya berbaring.“Hei, boy..,” sapaku pada Venus.Setelah sampai aku pun berjongkok di depan Venus. Anjing yang malang ini melirik ke arahku dengan sikap yang cuek. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk.Menurut keterangan Mbak Ratih tempo hari, Venus ini pernah dikursuskan oleh almarhum P
**Malam harinya, aku duduk sendiri di depan kamarku. Tepat di teras paviliun yang menghadap ke halaman belakang rumah utama yang luas ini.Aku ingin menelepon Iroh. Tapi sayang, ia belum bisa aku hubungi.“Aku lembur, Mas.” Katanya tadi di dalam pesan chat.“Jangan kemalaman, lho.” Balasku.“Iya, nih, sebentar lagi selesai kok.”Ketika setengah jam kemudian aku menge-chatnya, ia sedang dalam perjalanan pulang, naik busway.“Hati-hati nanti pulangnya.”“Iya, Mas. Jjangan khawatir. Aku pulangnya bareng temen-temen kok.”Tidak terasa sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu dengan Iroh. Kangen!“Kamu ngapain, Gending?” Tiba-tiba Pak Murad muncul.Ia baru kembali dari arah garasi sana. Baru saja selesai mencuci mobil. Celana training panjang yang dikenakannya masih tergulung.“Saya lihat tadi dari jauh, kamu bengong saj
**Kalau aku mendapat satu firasat yang buruk, biasanya itu selalu jitu. Apakah itu?Setelah mendengar keterangan dari Pak Bisma itu Miss Widya seperti terpekur. Ia lantas melempar pandangannya ke sekeliling, kepada para bawahannya dan terakhir berhenti pada Pak Syailendra.“Bagaimana pandangan Bapak?” Tanya Miss Widya.Pak Syailendra langsung menjawab.“Kita yang punya bangunan, kita yang punya gudang, tapi kalau pembangunannya terhambat oleh situasi yang tidak kondusif di lapangan, sepertinya kita juga mesti urun tenaga untuk membantu.”“Jadi, anggaplah para preman itu sebagai force majeur, seperti halnya bencana alam, tentu kita juga yang rugi kalau dibiarkan terus begini. Yang pasti, kita rugi waktu.” “Oh ya, tim legal kita bagaimana?” Tanya Miss Widya lagi.Kali ini Pak Bisma yang menyahut.“Tim legal kita tetap bekerja, Bu. Mereka sudah berkoordinasi deng