“Oh iya, Arya. Mama minta tolong ambilkan obat dan vitamin di apotik yang ada di dalam yaa. ini resepnya.. Mama dan Nadhira akan tunggu di mobil,” Mama Nur menyerahkan resep dari dokter dan sejumlah uang. Lalu Mama Nur segera masuk ke dalam mobil. “Baik ma,” jawab Arya. Ia pergi setelah memastikan mamanya duduk dengan nyaman. Ia menyalakan mobil agar udara dalam mobil bisa lebih dingin dan segar. Keheningan memenuhi udara di dalam mobil. Hanya suara kipas pendingin yang terdengar. Nadhira tidak berani mengatakan apa pun untuk memulai pembicaraan. Ia terlalu merasa bersalah pada kedua orang tuanya dan juga kakak laki-lakinya. Ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan keluarga padanya. Kini Nadhira tidak dapat mewujudkan impiannya menjadi seorang diplomat. Karena dia sendiri yang telah merusak jalan menuju impian besarnya itu. Nadhira memutuskan tidak akan lagi pergi ke sekolah. Dan seolah tahu apa yang dipikirkan oleh putrinya Mama Nur memulai pembicaraan. “Lahirkan anak it
Arya masih kesal dengan adiknya karena tidak mau memberitahu siapa ayah dari bayi yang sedang dikandungnya. Nadhira begitu rapat menyimpan nama laki-laki itu. Seandainya Arya bisa mengorek keterangan dari teman-teman Nadhira, ia akan dengan senang hati melakukannya. Namun hal itu tidak mungkin ia lakukan karena itu sama saja dengan membuka aib keluarganya. Kemarin malam sehari setelah terbongkarnya kehamilan Nadhira, Arya menyita handphone milik Nadhira. Ia berharap mendapatkan data tentang siapa sosok yang disembunyikan identitasnya oleh adiknya ini. Namun seolah tahu apa yang akan dilakukannya, tidak ada data apa pun yang didapatnya. Sepertinya Nadhira telah menghapus semua kontak dan foto-foto yang ada. Nadhira hanya bisa menangis saat semalam ia melihat kakaknya mengobrak abrik meja belajarnya dan mengeluarkan isi tas sekolahnya. Berharap menemukan sesuatu tentang Zaki. Malam setelah mama dan papanya mengetahui kebenaran yang amat pahit itu, Nadhira telah merelakan dan menghap
Pak Hamzah terlihat memasuki rumah dengan langkah pelan dan wajah lelah. Nadhira yang sedang duduk di sofa ruang tengah segera berdiri dan menyambut dan mencium punggung tangannya. Biasanya Pak Hamzah akan mengelus dan mencium puncak kepala putrinya. Namun kali ini beliau seolah tidak berkenan melakukannya. Mama Nur menghampiri suaminya dan mengulurkan segelas teh hangat. Pak Hamzah segera meminum teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Wajah Mama Nur penuh kekhawatiran melihat suaminya yang biasanya penuh senyum dan semangat, malam itu terlihat amat pucat dan lelah. Nadhira yang menyaksikan semua itu memilih diam. Ia tahu semua kesulitan yang papanya alami hari itu adalah akibat dari ulahnya. “Papa, mau mandi atau mau makan dulu?” tanya Mama Nur lembut pada suaminya. “Mama sempat masak?” tanya balik Pak Hamzah. “Mama ndak masak, tadi siang mama beli lauk padang kesukaan papa. Mau makan sekarang?” “Nanti saja. Mana Arya Ma?” tanya Pak Hamzah mencari anak sulungnya. “Ada di kamar.
Di meja makan Pak Hamzah ditemani oleh istrinya sedang menyantap nasi dan gulai tunjang favoritnya. Arya sudah lebih dulu kembali ke kamarnya. Malam itu tidak seperti biasanya Pak Hamzah tidak menikmati hidangan yang disajikan. Ia hanya mengambil sedikit nasi dan kuah saja. Mama Nur yang melihat itu merasa sangat khawatir dengan suaminya. “Pa, lauknya kok nggak dimakan?” Mama Nur menyodorkan mangkuk lauk ke depan suaminya. “Iya ma, ini Papa makan kok,” Pak Hamzah mengambil sedikit lauk dan menambahkan ke dalam piringnya. “Anak-anak sudah pada makan, Ma?” tanya Pak Hamzah lagi. “Sudah tadi Arya juga makan nasi padang. Nadhira hanya makan sedikit karena sudah minum juz alpukat,” jawab Mama Nur. “Jus Alpukat?! Tumben. Bukannya Nadhira nggak suka alpukat,” Pak Hamzah heran.“Bawaan bayi mungkin pa,” jawab Mama Nur getir. “Ah, iya bisa jadi. Coba besok aku carikan alpukat saat ke rumah ibu,” Pak Hamzah menanggapi perkataan istrinya dengan sedikit senyum. “Papa mau sampaikan berita
Pagi itu Arya memastikan mobil sudah bersih dan siap digunakan perjalanan jauh. Di bagasi sudah terangkut satu sak besar beras, empat kardus minyak, lima kardus mi, dua plastik besar gula dan satu keranjang besar parsel buah beraneka macam. Serta tak lupa satu kardus besar makanan khas dari kotanya. Setelah menyiapkan mobil, Arya kembali ke dalam untuk bersiap. Dilihatnya Pak Hamzah baru keluar kamar diiringi Mama Nur yang membawa tas. “Pa, Arya mandi dulu. Papa bisa sarapan dulu sambil nunggu Arya,” kata Arya pada Pak Hamzah “Iya, tidak usah buru-buru,” jawab Pak Hamzah sambil berjalan menuju meja makan. Arya bergegas mandi dan mempersiapkan diri. Memakai celana jeans dan kaos putih dengan kemeja kotak sebagai luaran. Tak lupa ia juga menyambar jaket bombernya sebelum keluar kamar. Ia melewati kamar Nadhira dan membuka pintunya. Dilihatnya adiknya masih tidur dengan mata sembab. Ia tahu Nadhira menangis semalaman. Dielusnya kepala Nadhira kemudian ia pergi keluar dan turun menemu
Sekitar pukul setengah sebelas mobil mulai memasuki gerbang desa. Pak Hamzah terbangun merasakan hentakan mobil di jalan yang tidak rata. Jalan desanya masih berupa tatanan batu kali yang kecil-kecil. Kebanyakan penduduknya adalah petani dan peternak. Deretan sawah dan ladang masih berjajar rapi di pinggir jalan. Sapi dan kambing dibiarkan berkeliaran di ladang luas memakan rerumputan.Tidak lama mereka sampai di rumah paling ujung desa. Bangunan bergaya lama yang nampak sederhana namun bersih terawat. Rumah yang cukup besar itu bercat putih dengan jendela besar, dindingnya terbuat dari bata merah. Ada buk atau tempat duduk yang menjadi batas teras rumah dan halaman. Ada Dua tiang dari besi yang menyangga plafon teras di masing-masing ujungnya.Pakde Agus tergopoh-gopoh keluar menyambut mereka.“Buuu, ini Hamzah datang!” Pakde Agus berteriak memanggil ibunya.Dari dalam seorang wanita tua berkulit putih keluar dengan seuntai senyum teduhnya. Bu Murti yang masih mengenakan mukena berja
Pak Hamzah berlutut dan bersimpuh di hadapan ibunya. Keningnya menyentuh lutut wanita tua itu. Dan tangannya merangkul kaki ibunya. Bu Murti terkejut dengan apa yang dilakukan anaknya. Pak Hamzah menangis tergugu di depan ibunya sambil terus meminta maaf.“Hamzah, ini ada apa tho, Le?”Bu Murti tak kuasa mengangkat anaknya Hamzah agar kembali duduk di sampingnya. Namun apalah daya wanita tua hanya bisa mengelus-elus kepala anaknya Hamzah.“Iya Hamzah. Ibu memaafkan semua kesalahan anak-anak ibu bahkan sebelum kalian meminta maaf,” kata Bu Murti sambil terus mengusap kepala anaknya.Pak Hamzah masih menangis seolah belum lega mengeluarkan beban perasaannya.“Maafkan Hamzah Bu, Maafkan Nur, Maafkan Arya juga Nadhira yaa, Bu. Mohon maafkan keluarga kami, Bu,” tangis Pak Hamzah kembali pecah.Bu Murti merasakan kepiluan yang dalam dari suara tangis anaknya. Tak pernah sekalipun Pak Hamzah menangis seperti ini. Bahkan saat Bapaknya meninggal, Hamzah yang paling tegar di antara semua anakny
Siang itu Pak Hamzah berbaring di kamar miliknya dulu. Dulu kamar ini ia tinggali bersama dengan adiknya, Amin. Kini kamar ini hanya dibiarkan kosong, tapi tetap dirawat baik oleh ibunya. Saat keluarga Pak Hamzah datang berkunjung kamar inilah yang akan dipakai istirahat istri dan anaknya.Pak Hamzah belum sempat meminta izin pada ibunya agar Nadhira dibolehkan untuk tinggal di sini sampai melahirkan nanti. Mungkin dengan berada di desa ini Nadhira bisa banyak merenung akan kesalahan yang sudah ia perbuat.Untuk anak Nadhira ia belum tahu akan diapakan nantinya. Mama Nur sudah menyanggupi untuk memasukkan anak tesebut ke dalam kartu keluarga sebagai anak Pak Hamzah dan istrinya. Karena bagaimana pun juga anak itu adalah cucunya.Mama NUr sendiri tidak tega jika harus meninggalkan anak itu pada orang lain, atau diserahkan ke panti asuhan. Pak Hamzah sendiri lebih ingin mencarikan suami untuk Nadhira. Ia tida