Share

Janda Baik Milik Mafia Kejam
Janda Baik Milik Mafia Kejam
Penulis: Amy sikecil

1. Pengkhianatan

Di restoran, Grace sedang berbincang dan asik melempar canda dengan sahabatnya. Sesekali, bahkan sahabatnya itu menggoda Grace yang kini tengah mengandung lima bulan.  

"Lihatlah dia selalu berlari seperti itu," ucap Grace tiba-tiba begitu melihat Gustav, sang suami, sedang berlari menuju tempat mereka.

Grace akhirnya melambaikan tangannya ke arah sang suami.

Anehnya, Gustav yang melihatnya dari kejauhan justru terlihat panik. Pria itu tampak merogoh saku celananya, lalu meraih gawainya seperti hendak menghubungi seseorang.

Ponsel Grace yang ia letakkan di atas meja di hadapannya pun bergetar, Grace tersenyum lembut dan hendak meraihnya.

Sayangnya, tangan Clara--sang sahabat--rupanya lebih dulu meraihnya. 

Grace terkejut. Namun, itu tak lama. Dalam persahabatan mereka yang tanpa privasi itu, sudah biasa untuk saling memegang barang-barang penting mereka. 

Seketika, Grace pun tersenyum. Namun, Clara berbeda. Perempuan itu terlihat sangat serius. Tidak ada secuil pun senyuman yang terlihat. Manik matanya terlihat penuh kekhawatiran.

Clara kemudian menerima panggilan masuk dari Gustav.

"Aku akan mengatakan semuanya sekarang, aku sudah lelah dengan semua kebohongan ini," ucap Clara yang terlihat sendu, kemudian segera ia mengakhiri panggilan itu.

Gustav yang mendengar ucapan Clara dari sambungan telepon pun menjadi panik dan segera berlari masuk ke dalam restoran.

Tampak, Clara meletakkan ponsel milik Grace ke tempat semula.

Ia kemudian menarik napas panjang. "Grace, aku ingin mengatakan sebuah kejujuran." 

Grace pun tersenyum lembut. Dia masih berpikiran positif pada sahabatnya. 

"Ada apa? Katakan saja," ucapnya yang sangat lembut.

"Maafkan aku, diriku hamil. Dan anak ini adalah anaknya Gustav." 

Clara terlihat menunduk setelahnya. Sontak, Grace pun tersenyum mendengar pengakuan itu yang tampak seperti sebuah lelucon. Mana mungkin sahabatnya setega itu? Ia mendongakkan kepalanya menatap ke atas sembari menertawakan ucapan Clara yang ia anggap lucu.

"Tidak ada yang lucu di sini, aku serius dengan ucapanku," ucap Clara mempertegas bicaranya.

Seketika tawa Grace tak lagi terdengar. Ia kemudian menatap Clara lekat.

"Grace, ayo kita pulang!" Gustav yang telah sampai--tampak panik, seolah gagal mencegah Clara berbicara. 

Dia hendak menarik tangan istrinya, namun Grace menepisnya.

"Sayang, dia mengatakan hal aneh dan tidak masuk akal," ucapnya yang tetap menatap Clara tak percaya.

"Sudah jangan dengarkan dia, ayo kita pulang." Gustav terus membujuk Grace untuk pulang, tetapi Grace masih enggan dan penasaran akan kebenaran ucapan Clara.

Matanya menatap nanar dua orang penting di hidupnya ini.

"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya? Aku sudah memberikanmu waktu untuk mengatakannya, tapi kenapa kau tidak melakukannya?" ucap Clara yang mulai jengah akan Gustav.

Gustav memijat kepalanya pening. Pria itu mendadak kesal mendengar ucapan perempuan itu.

"Diam kau!" amuk Gustav dengan nada meninggi.

Melihat itu semua, Grace justru menampar pipinya sendiri--seolah berharap ini hanyalah sebuah mimpi.

"Tidak sakit," ucapnya dengan deraian air mata. 

Ia kembali menampar pipi yang satunya lagi.

"Ini bukan mimpi, Gustav!" teriak Grace dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

Hal itu menyita perhatian seluruh pengunjung restoran.

Mereka menatap ke arah tiga orang yang sedang berdebat.

Sebagai pria berego tinggi, Gustav sontak malu karena seluruh pandangan mata tertuju padanya. Dengan cepat, ia menarik paksa Grace yang sedang menangis kecewa.

"Ayo kita pulang," ucap Gustav sembari menarik paksa istrinya, tak peduli dengan Clara yang seorang diri.

Grace terus menangis, seolah air matanya tak menginginkan untuk berhenti. Kecewa? Jangan ditanya lagi. Jelas, ia merasa kecewa dengan pengakuan menjijikkan itu.

********

Selama di dalam mobil, Grace hanya diam tanpa sepatah kata.

Pengakuan sahabatnya telah menghancurkan hidupnya. Bukan hanya persahabatannya yang hancur, tetapi pernikahannya juga!

Gustav yang memandang sekilas ke arah istrinya--benar-benar menyesal atas apa yang terjadi.

Di sisi lain, ia tak ingin kehilangan istrinya yang selama ini ia cintai dan kasihi setulus hati. Namun, kebodohannya sendirilah yang membuatnya harus menanggung semua ini.

Ia hanya bisa melirik istrinya tanpa berani mengatakan sesuatu.

Sesampainya di rumah, Grace masih saja diam. Perempuan itu tampak melihat sekeliling rumah yang awalnya hangat, bagaikan ruang kosong.

"Kumohon maafkan aku," ucap Gustav menghentikan kehinangan di antara keduanya. Dengan mata yang berkaca-kaca, dia memohon dengan tulus.

Sungguh, ia menyesal dengan apa yang telah terjadi.

Hanya saja, Grace masih diam dengan hati yang berkecamuk. Tanpa minat untuk sekedar menatap suaminya, ia pun menghela napas panjang.

"Gustav," lirih Grace, "lebih baik, pergilah. Jangan pernah temui aku maupun anak ini. Lagi pula, kau juga tidak terlalu menginginkan anak ini, kan?"

"Pergilah, ini adalah wujud dari hukumanku untukmu," putus Grace. 

"Tapi sayang…." Rasanya berat dan sakit, Gustav tak menyangka jika harus seperti ini.

"Kumohon Gustav. Atau, kalau tidak, aku akan bunuh diri. Dan itu artinya, dua nyawa ada di tanganmu.”

Sayangnya, Grace tetap pada pendiriannya. Perempuan itu bahkan mengancam bunuh diri untuk menunjukkan kekecewaannya yang teramat dalam. Dia tidak lagi menyembunyikan rasa sakit hati yang sedari tadi dirasakan.

Gustav menahan rasa sakit di dadanya. "Baiklah, tapi maafkan aku. Aku khilaf, dan asal kau tahu hatiku tetap untukmu. Tak ada yang berubah dengan hatiku, sampai kapan pun," ungkapnya dengan mata yang sudah tak lagi bisa menahan air matanya.

Grace pun kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Dulu, mungkin ia sempat terperdaya oleh sejuta kata-kata manisnya, namun kini jangan harap. Grace berjanji tidak akan pernah mau melihatnya lagi.

****

Sementara Gustav yang tak ada pilihan lain, melangkah pergi meninggalkan rumah yang ia bangun bersama wanita yang selama ini ia cintai.

Dengan berat hati, ia terpaksa meninggalkan rumah yang memiliki segudang kenangan indah. 

Dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, diam-diam pria itu meneteskan air mata--memikirkan hidupnya tanpa Grace.

Bahkan, ketika tiba depan rumahnya, Gustav mengetuk pintu dengan lemas.  

"Gustav, mana istrimu? Kenapa kau hanya sendiri? Kenapa dengan wajahmu? Apa ada masalah?" Sang ibu yang ternyata membuka pintunya--langsung memberondong pertanyaan pada putra semata wayangnya.

Tanpa menjawab, Gustav langsung masuk ke dalam--membuat ibunya bertanya-tanya karena tidak biasanya putranya seperti itu.

Gustav langsung berjalan ke dalam, seketika ia mengambil gelas dan menuangkan air putih lalu ia minum sekali teguk.

Ia pun lalu duduk dan meletakkan gelas bekas minumnya secara kasar. Ayahnya yang baru saja pulang dari kantor pun melihat sikap putranya yang tidak biasa itu segera menghampirinya, sementara sang ibu hanya menyaksikannya.

"Ada apa? Tak biasanya kau menjadi seorang pemarah." Jack pun dibuat heran oleh putranya yang tiba-tiba menjadi kasar.

Sementara Gustav hanya diam, seperti malas untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Pikirannya yang sedang kalut membuatnya menjadi pemarah.

Melihat tidak ada Grace di samping putranya, mendadak Jack curiga bila Gustav tiba-tiba menjadi pemarah karena ada masalah dengan istrinya.

Namun, ia tak yakin karena selama ini hubungan mereka selalu tampak harmonis.

"Kenapa kau datang tidak bersama istrimu? Bukankah aku tidak menyukai itu? Kenapa kau melanggarnya?" Berbagai pertanyaan pun ia layangkan kepada putranya.

Gustav hanya diam menunduk, tak berani untuk menjawab. Membuat ayahnya marah karena Gustav hanya diam.

"Jawab!" bentak Jack yang tak lagi bisa menahan amarahnya.

"Semuanya sudah berakhir, Pa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status