Share

Bab 4. Melamar Kerja

Author: IyoniAe
last update Last Updated: 2023-10-26 19:38:12

Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).

“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”

“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.

“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.

“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”

“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.

“Emang kenapa kalau udah punya kerjaan ngelamar di tempat lain? Nggak boleh?” Pemuda tadi menantang.

Sandra mendengkus. “Loh, masih nanya. Ya nggak boleh, lah. Resign dulu dari kerjaanmu sebelumnya. Itu namanya selingkuh.”

Pemuda tadi mendekati Sandra. “Mbak itu lahir dari jaman purba ya? Pakai bilang selingkuh. Kuno. Ini tuh namanya upgrade. Kalau nggak gitu, kapan kita maju. Kita kan juga butuh batu loncatan. Kalau resign dulu baru melamar kerja, iya kalau diterima, kalau enggak. Nganggur kita! Bah! Pikir dong, Mbak.”

Beberapa orang mengangguk, membenarkan ucapan pemuda itu.

Sandra menunduk. Pipinya merah. Benar juga, batinnya. Empat tahun tidak berhubungan dengan dunia kerja membuatnya ketinggalan istilah-istilah baru. Dulu, jika ia berani melamar kerjadi tempat lain sebelum mengundurkan diri dari perusahaannya, ia akan merasa bersalah. Tidak beretika, istilahnya. Namun sekarang rupanya hal itu sudah menjadi wajar.

“Sudah, sudah. Mbak ini juga benar.” Gadis yang berdiri di sebelahnya tadi membela. “Setidaknya kasihlah kesempatan pada para pengangguran dulu.”

“Lah,” pemuda nyolot tadi tertawa meremehkan. Ia melontarkan ejekan yang kemudian ditelan oleh bunyi interkom.

Si seketaris kemudian menjawab panggilan dari sang CEO tersebut. Ia menekan tombol speaker sehingga semua orang dalam ruangan itu dapat mendengar perkataan sang CEO.

“Sore ini Miss. Evelyn mau mampir ke sini sebentar. Kamu tahu toko kue Sweet Bakery, kan? Aku sudah janji mau ngasih kue lemon dari toko itu kalau dia mau mampir ke sini.” Suara Barra terdengar dari interkom.

Sang seketaris mulai gugup. Ia menengok jam di tangannya dan menjawab, “Tapi, Pak, toko itu sudah tutup satu jam yang lalu.”

“Ya aku nggak peduli. Kalau perlu telepon kokinya.”

Seketaris itu mencoba bernegoisasi. “Gimana kalau saya belikan kue lemonnya di toko lain.”

“Aku janji bakal ngasih dia kue lemon dari toko itu. Denger nggak sih?”

“Tapi, Pak—“

“Dah, ah! Sejam lagi beliau datang. Aku harap kue itu udah ada di sini sebelum beliau datang.”

  Pemuda yang tadi berdebat dengan Sandra menyeletuk, “Pak, kapan wawancaranya? Kita sudah capek nunggu, nih!”

Dari interkom Barra bertanya, “Siapa itu yang bicara?”

“Anu ....” Sang seketaris tampak salah tingkah.

“Usir dia. Aku nggak mau punya karyawan yang nggak punya sopan santun.” Kemudian, sambungan telepon terputus.

Semua orang memandang pemuda itu dengan sorot permusuhan.

“Sialan!” Pemuda tadi memukulkan mapnya ke pintu kantor Barra. “Dasar sombong!” Ia lantas keluar.

Sementara itu sang seketaris sibuk menekan nomor telepon toko kue. Dia menggigiti kuku jari tangannya sembari menunggu telepon diangkat. Namun, setelah lama menunggu suara operator yang menginformasikan bahwa toko itu sudah tutup yang terdengar. Ia mulai panik.

“Wah, lokernya bakal bertambah nih,” kelakar salah seorang pelamar, yang langsung mendapat tawa daro pelamar lain.

Sandra sendiri ingat. Mantan mertuanya dulu juga menggemari kue itu. Setiap hari ia disuruhnya menyetok kue tersebut. Namun suatu hari, Sandra lupa membelikannya ketika berbelanja. Stoknya di kulkas juga sudah habis. Padahal saat itu Bu Utami ingin makan kue tersebut untuk desert. Panik, Sandra ke toko dan sialnya toko itu sudah tutup.

Untungnya si koki memberitahu apabila ada kue yang tidak terjual hari itu, mereka memberikannya ke warung di dekat perempatan toko untuk dijual murah agar tidak mubazir.

Teringat hal itu, Sandra segera kelar dari kantor Barra. Ia sempat mendengar salah satu pelamar berkata, “Berkurang satu lagi saingan kita.”

Berlari, Sandra keluar dari kantor Aksara Group. Ia lalu mencegat taksi dan menuju ke warung, tempatnya biasa membeli kue tersebut ketika toko tutup. Ia berharap kue yang dimaksud ada di sana.

Sementara itu, di kantor Barra jam berjalan cepat sekali bagi Wuri, sang seketaris. Tahu-tahu sudah hampir satu jam berlalu. Ia bingung harus mendapatkan kue pesanan bosnya dari mana. Pasalnya semua cabang toko kue tersebut sudah diteleponnya. Tak ada yang masih buka. Ia mulai frustrasi. Apalagi ketika Miss. Evelyn datang.

Barra menyambut kedatangan mantan duta besar untuk Irlandia itu.

“Aku nggak bisa lama-lama,” kata wanita itu.

“Tentu, tentu. Mengetahui Anda sudi mampir saja merupakan berkah bagi kami. Mari masuk.” Barra menuntunnya masuk. Mereka bercakap sebentar.

Lima menit kemudian interkom Wuri kembali berdering.

“Kau sudah siapkan kue kesukaan Miss. Evelyn, kan?” tanyanya.

Wuri tak tahu mesti menjawab apa. Rasanya ia ingin menangis.

Mendadak pintu terbuka. Dengan napas tersengal, penampilan awut-awutan, dia menaruh sebungkus kue tart rasa lemon berbungkus Sweet Bakery ke meja sang seketaris.

“Su-sudah, Pak,” Wuri menjawab dengan ternata-bata.

“Bawa masuk,” perintah Barra.

Wuri memandang Sandra penuh haru. Ia mengucap terima kasih sebelum masuk.

Tatapan permusuhan segera Sandra dapatkan dari para pelamar yang ada di sana.

“Ih, penjilat!” cetus salah seorang pelamar sinis.

“Sok baik!” Cetus yang lain.

“Nyuap tuh namanya.”

Dan banyak lagi celetukan yang tak enak di dengar. Sandra menjadi ciut. Tapi, ia mencoba tegar. Toh, niatnya hanya ingin membantu.

Tak lama, Barra keluar kantor. Ia mengantar Miss. Evelyn yang tersenyum gembira karena mendapat kue favoritnya pergi, meninggalkan kantornya. Setelah kembali ia bertanya kepada sang seketaris yang sudah kembali ke balik mejanya.

Wuri menunjuk Sandra. “Wanita itu, Pak.”

Sandra sedikit tersentak karena mendadak ditunjuk. Barra lantas menyuruhnya masuk.

“Pak, kami gimana?” Seorang pelamar bertanya.

Barra tersenyum. “Maaf, lowongan kerja sebagai asisten seketaris sudah terisi.”

“Yah, kok gitu, sih?”

Namun Barra menanggapinya dengan menutup pintu.

Kantor Barra terlihat klasik tetapi nyaman. Selain meja kerja, ada rak berisi buku-buku yang disusun dengan estetik. Jendelanya menghadap tengah kota. Lampunya tidak terlalu terang, sehingga terkesan adem. Bau parfum maskulin memenuhi ruangan itu. Ketika Sandra menghirupnya, ia merasa nyaman dan santai.

“Kamu?” Barra mengacungkan telunjuk ke wajah Sandra. Tangannya yang sati di pinggang. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut, tampak seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

Sandra membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia salah tingkah dipandang seperti itu oleh sang CEO yang setelah diperhatikan lebih dekat, tampak tampan sekali. Kulitnya tampak bersih dan mulus. Bulu matanya lebih panjang dari lelaki kebanyakan. Irisnya berwarna cokelat, mendekati hasel. Dan ketika Barra mendekatkan kepalanya untuk melihat Sandra lebih dekat, jantung wanita itu rasanya mau copot.

“Sepertinya aku pernah lihat kamu,” lanjut sang CEO yang membuat Sandra menunduk. “Kamu kan yang ....”

Sandra segera menangkupkan tangannya ke depan. Dia langsung mencerocos. “Maaf, maaf, maaf, waktu itu aku lagi kacau banget. Aku nggak bisa berpikir jernih. Jadi, aku mencegat mobil pertama yang lewat untuk kutumpangi. Soalnya aku ....”

Namun, Barra malah tertawa. Ia senang bertemu dengan Sandra, apalagi menjadi atasannya. Ia yakin hari-harinya di kantor akan lebih asik nantinya. Dan tentunya definisi asik menurut Barra berbeda dengan definisi asik menurut Sandra.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 95. Rasanya Mau Pecah

    Wuri bilang pada Sandra untuk tidak usah khawatir. Namun, tetap saja, Sandra gelisah. Dia sudah menelepon Barra beberapa kali, namun panggilannya tak dijawab. Dia juga sudah mengirim pesan, memberi embel-embel kata penting. Namun, sampai jam kantor usai, Barra tak kunjung membalas. Notifikasinya terbaca pun tak ada. Terlihat hanya tanda centang dua pada pesannya.Saat masuk ke bus untuk pulang, Sandra tak tenang. Perasaannya tidak enak. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Kenapa Barra tidak menjawab telepon maupun pesannya? Apakah terjadi apa-apa dengannya? Mungkinkah dia tertimpa musibah, kecelakaan misalnya? Kapan? di mana? Apakah saat hendak menemui klien? Atau ketika rapat dadakan? Kenapa pula tadi dia tidak pamit keluar kantor? Apa yang terjadi?Sandra menjadi mual memikirkannya. Ia tak bisa membayangkan tubuh Barra terluka di dalam mobil yang jatuh ke jurang, menunggu bantuan yang tak kunjung datang hingga akhirnya .... Tidak. Sandra tak sanggup. Ia menelepon nomor Barra lagi, tet

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 94. Percaya diri

    Aku harus percaya diri, Sandra bertekad. Ia ingat percakapannya dengan Bu dina dulu. Sebagai kekasih Barra, banyak yang bakal menekannya. Dia tak boleh menyerah atau melempem. Mentalnya harus kuat. Bukankah dia sudh pernah diperlakuka dengan kejam oleh Bu Utami dulu? Seharusnya, Sandra sudah mampu menyesuaikan diri dengan hinaan yang menjtuhkan mentalnya. Dulu, ia sudah bisa menerima omongan kejam mantan mertua dan mantan suaminya. Jadi, seharusnya ia lebih kuat menerima hinaan dari orang lain. Toh, mereka tidak ada hubungannya dengan Sandra.Berbeda dengan Alex dan Bu Utami yang dulu adalah orang terdekatnya. Orang yang dipercayanya, orang yang mestinya melindungi Sandra. Jadi, penghinaan mereka pastinya lebih kejam dari penghinaan yang diterimanya oleh orang luar. Maka dari itu, Sandra bertekad akan menghadapinya dengan percaya diri.Toh, apa sih cacian yang mereka lontarkan padanya? Statusnya sebagai janda? Sandra memang seorang janda. Namun, dia tetaplah wanita terhormat. Dia tak

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 93. Penghilang Tekanan

    Dengan lesu, Sandra merebahkan dirinya ke kasur. Hari ini terasa panjang dan melelahkan. Orang-orang seolah menekannya. Ia tahu dirinya hanya orang biasa dan tak pentas mendaptkan Barra. Ia ingin menyerah dan mengakhiri saja. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk pergi ke tempat yang jauh, kembali memulai hidup baru. Namun, saat memikirkan berjauhan dengan Barra, dadanya terasa sesak. Sepertinya ia tak sanggup. Meski begitu, bertahan di sisisnya pun rasanya sulit sekali.Ponselnya bergetar sekejap, menandakan sebuah pesan masuk. Rupanya dari Barra. Ia membacanya dan tersenyum. Kemudian, ia menyadari bahwa hanya dengan membaca pesan dari lelaki itu saja mampu membuat hatinya menjadi ringan. Bagimana kalau ia tak lagi berhubungan dengannya? Pasti lebih sulit.Ia mengetik balasan. tetapi sebelum sempat mengirimnya, Barra sudah meneleponnya."Kangen ...," nada manja sang CEO terdengar begitu Sandra menempelkan ponsel ke telinganya. Bibirnya tak bisa menahan senyuman. "Udah makan, belum?

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 92. Munafik

    Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 91. Seorang Barra

    Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 90. Akibat Beruntun

    Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga teman sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status