Share

Bab 4. Melamar Kerja

Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).

“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”

“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.

“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.

“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”

“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.

“Emang kenapa kalau udah punya kerjaan ngelamar di tempat lain? Nggak boleh?” Pemuda tadi menantang.

Sandra mendengkus. “Loh, masih nanya. Ya nggak boleh, lah. Resign dulu dari kerjaanmu sebelumnya. Itu namanya selingkuh.”

Pemuda tadi mendekati Sandra. “Mbak itu lahir dari jaman purba ya? Pakai bilang selingkuh. Kuno. Ini tuh namanya upgrade. Kalau nggak gitu, kapan kita maju. Kita kan juga butuh batu loncatan. Kalau resign dulu baru melamar kerja, iya kalau diterima, kalau enggak. Nganggur kita! Bah! Pikir dong, Mbak.”

Beberapa orang mengangguk, membenarkan ucapan pemuda itu.

Sandra menunduk. Pipinya merah. Benar juga, batinnya. Empat tahun tidak berhubungan dengan dunia kerja membuatnya ketinggalan istilah-istilah baru. Dulu, jika ia berani melamar kerjadi tempat lain sebelum mengundurkan diri dari perusahaannya, ia akan merasa bersalah. Tidak beretika, istilahnya. Namun sekarang rupanya hal itu sudah menjadi wajar.

“Sudah, sudah. Mbak ini juga benar.” Gadis yang berdiri di sebelahnya tadi membela. “Setidaknya kasihlah kesempatan pada para pengangguran dulu.”

“Lah,” pemuda nyolot tadi tertawa meremehkan. Ia melontarkan ejekan yang kemudian ditelan oleh bunyi interkom.

Si seketaris kemudian menjawab panggilan dari sang CEO tersebut. Ia menekan tombol speaker sehingga semua orang dalam ruangan itu dapat mendengar perkataan sang CEO.

“Sore ini Miss. Evelyn mau mampir ke sini sebentar. Kamu tahu toko kue Sweet Bakery, kan? Aku sudah janji mau ngasih kue lemon dari toko itu kalau dia mau mampir ke sini.” Suara Barra terdengar dari interkom.

Sang seketaris mulai gugup. Ia menengok jam di tangannya dan menjawab, “Tapi, Pak, toko itu sudah tutup satu jam yang lalu.”

“Ya aku nggak peduli. Kalau perlu telepon kokinya.”

Seketaris itu mencoba bernegoisasi. “Gimana kalau saya belikan kue lemonnya di toko lain.”

“Aku janji bakal ngasih dia kue lemon dari toko itu. Denger nggak sih?”

“Tapi, Pak—“

“Dah, ah! Sejam lagi beliau datang. Aku harap kue itu udah ada di sini sebelum beliau datang.”

  Pemuda yang tadi berdebat dengan Sandra menyeletuk, “Pak, kapan wawancaranya? Kita sudah capek nunggu, nih!”

Dari interkom Barra bertanya, “Siapa itu yang bicara?”

“Anu ....” Sang seketaris tampak salah tingkah.

“Usir dia. Aku nggak mau punya karyawan yang nggak punya sopan santun.” Kemudian, sambungan telepon terputus.

Semua orang memandang pemuda itu dengan sorot permusuhan.

“Sialan!” Pemuda tadi memukulkan mapnya ke pintu kantor Barra. “Dasar sombong!” Ia lantas keluar.

Sementara itu sang seketaris sibuk menekan nomor telepon toko kue. Dia menggigiti kuku jari tangannya sembari menunggu telepon diangkat. Namun, setelah lama menunggu suara operator yang menginformasikan bahwa toko itu sudah tutup yang terdengar. Ia mulai panik.

“Wah, lokernya bakal bertambah nih,” kelakar salah seorang pelamar, yang langsung mendapat tawa daro pelamar lain.

Sandra sendiri ingat. Mantan mertuanya dulu juga menggemari kue itu. Setiap hari ia disuruhnya menyetok kue tersebut. Namun suatu hari, Sandra lupa membelikannya ketika berbelanja. Stoknya di kulkas juga sudah habis. Padahal saat itu Bu Utami ingin makan kue tersebut untuk desert. Panik, Sandra ke toko dan sialnya toko itu sudah tutup.

Untungnya si koki memberitahu apabila ada kue yang tidak terjual hari itu, mereka memberikannya ke warung di dekat perempatan toko untuk dijual murah agar tidak mubazir.

Teringat hal itu, Sandra segera kelar dari kantor Barra. Ia sempat mendengar salah satu pelamar berkata, “Berkurang satu lagi saingan kita.”

Berlari, Sandra keluar dari kantor Aksara Group. Ia lalu mencegat taksi dan menuju ke warung, tempatnya biasa membeli kue tersebut ketika toko tutup. Ia berharap kue yang dimaksud ada di sana.

Sementara itu, di kantor Barra jam berjalan cepat sekali bagi Wuri, sang seketaris. Tahu-tahu sudah hampir satu jam berlalu. Ia bingung harus mendapatkan kue pesanan bosnya dari mana. Pasalnya semua cabang toko kue tersebut sudah diteleponnya. Tak ada yang masih buka. Ia mulai frustrasi. Apalagi ketika Miss. Evelyn datang.

Barra menyambut kedatangan mantan duta besar untuk Irlandia itu.

“Aku nggak bisa lama-lama,” kata wanita itu.

“Tentu, tentu. Mengetahui Anda sudi mampir saja merupakan berkah bagi kami. Mari masuk.” Barra menuntunnya masuk. Mereka bercakap sebentar.

Lima menit kemudian interkom Wuri kembali berdering.

“Kau sudah siapkan kue kesukaan Miss. Evelyn, kan?” tanyanya.

Wuri tak tahu mesti menjawab apa. Rasanya ia ingin menangis.

Mendadak pintu terbuka. Dengan napas tersengal, penampilan awut-awutan, dia menaruh sebungkus kue tart rasa lemon berbungkus Sweet Bakery ke meja sang seketaris.

“Su-sudah, Pak,” Wuri menjawab dengan ternata-bata.

“Bawa masuk,” perintah Barra.

Wuri memandang Sandra penuh haru. Ia mengucap terima kasih sebelum masuk.

Tatapan permusuhan segera Sandra dapatkan dari para pelamar yang ada di sana.

“Ih, penjilat!” cetus salah seorang pelamar sinis.

“Sok baik!” Cetus yang lain.

“Nyuap tuh namanya.”

Dan banyak lagi celetukan yang tak enak di dengar. Sandra menjadi ciut. Tapi, ia mencoba tegar. Toh, niatnya hanya ingin membantu.

Tak lama, Barra keluar kantor. Ia mengantar Miss. Evelyn yang tersenyum gembira karena mendapat kue favoritnya pergi, meninggalkan kantornya. Setelah kembali ia bertanya kepada sang seketaris yang sudah kembali ke balik mejanya.

Wuri menunjuk Sandra. “Wanita itu, Pak.”

Sandra sedikit tersentak karena mendadak ditunjuk. Barra lantas menyuruhnya masuk.

“Pak, kami gimana?” Seorang pelamar bertanya.

Barra tersenyum. “Maaf, lowongan kerja sebagai asisten seketaris sudah terisi.”

“Yah, kok gitu, sih?”

Namun Barra menanggapinya dengan menutup pintu.

Kantor Barra terlihat klasik tetapi nyaman. Selain meja kerja, ada rak berisi buku-buku yang disusun dengan estetik. Jendelanya menghadap tengah kota. Lampunya tidak terlalu terang, sehingga terkesan adem. Bau parfum maskulin memenuhi ruangan itu. Ketika Sandra menghirupnya, ia merasa nyaman dan santai.

“Kamu?” Barra mengacungkan telunjuk ke wajah Sandra. Tangannya yang sati di pinggang. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut, tampak seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

Sandra membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia salah tingkah dipandang seperti itu oleh sang CEO yang setelah diperhatikan lebih dekat, tampak tampan sekali. Kulitnya tampak bersih dan mulus. Bulu matanya lebih panjang dari lelaki kebanyakan. Irisnya berwarna cokelat, mendekati hasel. Dan ketika Barra mendekatkan kepalanya untuk melihat Sandra lebih dekat, jantung wanita itu rasanya mau copot.

“Sepertinya aku pernah lihat kamu,” lanjut sang CEO yang membuat Sandra menunduk. “Kamu kan yang ....”

Sandra segera menangkupkan tangannya ke depan. Dia langsung mencerocos. “Maaf, maaf, maaf, waktu itu aku lagi kacau banget. Aku nggak bisa berpikir jernih. Jadi, aku mencegat mobil pertama yang lewat untuk kutumpangi. Soalnya aku ....”

Namun, Barra malah tertawa. Ia senang bertemu dengan Sandra, apalagi menjadi atasannya. Ia yakin hari-harinya di kantor akan lebih asik nantinya. Dan tentunya definisi asik menurut Barra berbeda dengan definisi asik menurut Sandra.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status