Suasana malam nampak tentram, hanya suara dari layar televisi yang menyala dengan volume kecil. Ibra tengah asik menonton tayangan kartun domba kesukaannya. Sementara Layla sedang duduk di sampingnya ditemani Usman. Fatma sendiri sudah memasuki kamarnya karena mau istirahat lebih awal setelah seharian berkutat di dapur.
Dan Ibrahim? Ia masih terjaga karena siang tadi tidur lama hingga hari menjelang malam. Tak lama kemudian suara Usman mengalihkan perhatian Layla. "Layl, bapak mau jual tanah lagi yang di legok." Layla terkejut mendengar pernyataan sang bapak, "Loh, kenapa pak?" tanyanya penasaran. "Bapak sudah capek nyawah. "Kan bisa disewakan, pak?" "Tanahnya sudah ditawar harga tinggi. Lumayan buat modal usaha. Nanti uangnya kamu pakai kalau mau buka usaha." Bukan ingin menyuruh anaknya sengaja mencari nafkah, hanya saja ia ingin mengabulkan keinginan Layla yang belum tercapai. Layla menggeleng menolak usulan itu, "Gak ah, bapak kasih aja ke Mas Pram buat usaha biar gak ngerantau terus." jawabnya mengingat sang kakak yang masih bertahan di rantauan. Layla tahu ibu dan bapaknya selalu mengeluh kepada anak sulungnya itu agar cepat kembali ke kampung dan bekerja di kampung saja. "Pram sudah menolak." jawab Usman singkat. "Bapak simpan saja uangnya untuk biaya kuliah Ardi. Atau buat modal kalau Ardi mau buka usaha." lanjut Layla mengingat adik bungsunya itu sebentar lagi akan lulus dari SMK. "Ardi gak mau kuliah katanya, dia mau kerja di PT." "Kamu saja yang pakai, ibu juga sudah setuju. Kamu buka usaha kue yang kamu mau dulu." lanjut Usman. "Itu pun kalau kamu mau, bapak cuma mau ngabulin keinginan kamu dulu sebelum menikah." Layla terdiam membisu. "Kalau dirasa-rasa, bapak rasanya nyesel sudah ngasih kamu ke Raihan. Bukan karena Raihan gak baik, cuma bapak gak terima keluarganya selalu mandang sebelah mata sama kamu." kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Usman sambil mengingat-ingat kejadian di masa lalu. Ia tahu keluarga suami dari anaknya itu kurang menyukai anaknya. Meskipun Layla tidak pernah bercerita, sebagai bapaknya ia mempunyai firasat demikian. Terlihat dari sikap tak acuh kepadanya dalam beberapa pertemuan keluarga mereka. Sedangkan Layla, ia sendiri tak menyangka bapaknya akan berkata demikian. Meskipun semua sangkaan bapaknya mengarah tepat, namun Layla kurang menyukainya, "Hush bapak, gak boleh ngomong begitu." "Bapak bukan orang berilmu, kaya juga enggak, apalagi punya yayasan. Tapi bapak gak terima anak bapak diperlakukan seperti ini. Kalau bisa dikatakan, bapak memang senang kamu bisa lepas dari keluarga yang sudah ketahuan busuk itu." ucap Usman dengan nada bergetar. Maniknya berkaca-kaca membuat dada Layla terasa di pukul oleh sesuatu yang berat hingga terasa sesak. "Sudah pak, jangan dibicarakan lagi. Semuanya sudah berlalu. Bapak jangan nyimpan dendam sama mereka, cukup do'akan yang baik-baik. Apalagi untuk mas Raihan." Usman mengangguk meskipun sebagian hatinya belum rela. Semua prilaku mereka masih teringat jelas dalam ingatannya. "Layl, kamu gak ada rencana mau nikah lagi?" tanya Usman tiba-tiba, mengejutkan Layla. "Apa sih bapak.. baru 40 hari mas Raihan meninggal, bapak sudah ngomong yang enggak-enggak." "Bapak cuma kepikiran aja." ucap Usman terkekeh, berharap menghibur suasana yang sebelumnya terasa sedih. "Gak usah dipikirin pak, Layl juga gak mikir ke arah sana." "Tapi Raffa cocok loh." celetuk Usman tiba-tiba. "Cocok apanya, pak?" "Jadi ayah sambung Ibra." jawab Usman spontan. Mata Layla membulat mendengar jawaban Usman yang tak disangka-sangka. "Ih bapak, kenapa jadi ngomongin mas Raffa sih?" "Kamu gak nyadar tadi dia curi-curi pandang terus sama kamu? Kayaknya dia suka kamu, layl. Dia itu dosen di Jogja, dia masih bujang juga." ucap Usman seolah mempromosikan pria matang itu untuk anak perempuannya. "Astagfirulloh bapak, kayaknya udah terlalu ngantuk deh, sudah, bapak tidur saja." gerutu Layla sembari mengusir halus bapaknya. "Tapi bapak beneran, Layl." ungkap Usman mengingat kejadian sore tadi dimana pria matang tersebut selalu mencuri-curi pandang ke arah anak perempuan satu-satunya itu. **** Jam 9 malam, Layl berbaring menyamping menepuk-nepuk bokong Ibra yang baru saja tertidur. Ia terus melakukannya sampai dirasa tidur Ibra nyenyak. Setelah dirasa nyenyak, Layl bangun dari tidurannya dan mengambil ponsel yang belum sempat ia pegang seharian ini. Sebuah notifikasi pesan muncul dari nomor asing. Layla membuka pesan yang ternyata dari Raffa. Layla lantas menyimpan nomor tersebut karena sang bapak tadi berpesan untuk menyimpannya untuk kepentingan perihal jual beli tanahnya. Kemudian, muncul lagi pesan dari Raffa beberapa detik kemudian. 'Sudah tidur?' 'Belum mas, maaf baru balas pesan yang tadi.' 'Gak papa, Layl.' Layla hanya membalasnya dengan mengirim stiker bergambar karakter beruang lucu yang sedang mengacungkan jari jempolnya. Lalu, tak ada lagi pesan yang dikirim Raffa kepadanya. Layla pun menyimpan ponselnya di atas nakas dan kembali berbaring di samping Ibra. Matanya memandang Ibrahim yang terbaring lelap. Dadanya terasa sesak mengingat anaknya yang masih kecil harus kehilangan sosok ayahnya. Apalagi mengingat kedekatan Ibra bersama ayahnya yang begitu dekat. Layla tak bisa menahan isak tangisnya lalu berusaha meredamnya dengan telapak tangan. Rayhan adalah sosok yang hangat dan begitu menyayangi dirinya, apalagi semenjak kehadiran Ibrahim dalam hidup mereka. Rayhan selalu mengerti semua keadaan dirinya dan membelanya ketika ada orang yang menyudutkannya. Hidup di lingkungan keluarga Rayhan tak membuat hidup Layla merasa tenang dan aman. Tapi Rayhan selalu ada dan melindunginya. Tak terasa waktu terus bergulir, Layla yang merasa lelah akan kesedihannya terlelap dengan sisa air mata di wajah. **** Di pagi hari, Layla bangun dengan mata sembabnya. Kepalanya terasa berdenyut kala tubuhnya bangkit dari kasur. Ia menatap Ibrahim yang masih terlelap, lalu turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Di luar, Usman baru saja datang dari mesjid mengenakan setelan baju koko dan sarungnya. "Kamu bangun kesiangan?" tanya Usman di dapur melihat penampilan Layla yang masih berantakan ciri orang yang baru bangun tidur. Layla hanya mengangguk seraya menuangkan air putih ke dalam gelasnya, lalu ia meneguknya. "Kamu masih libur?" tanya sang bapak mengingat kemarin Layla berkata sedang datang bulan. Layla mengangguk seraya menyimpan gelas bekasnya ke atas meja. "Tolong bangunin Ardi, dia kayaknya belum bangun. Bapak mau siap-siap ke ladang." titah Usman. "Gak mempan pak, mending sama bapak aja." saran Layla mengingat sifat Ardi yang sulit dibangunkan selain dengan gertakan sang bapak yang mengacungkan sapu lidi dan segayung air. "Anak itu memang susah disiplin! Bapak masukin pesantren kerjaannya malah tidur dan kabur-kaburan terus! Di rumah, malah makin parah!" keluh Usman seraya berjalan menghampiri kamar milik anak bungsunya. Ia kerap kali mengeluh pusing melihat tingkah anak bungsunya yang bebal dan suka berontak. Sedangkan Layla tak acuh dan memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai, ia membereskan rumah sembari menunggu Ibra bangun. Fatma sendiri sedang pergi ke pasar yang tak jauh dari rumah. Ardi muncul dari dalam kamarnya saat Layla selesai menyapu rumah. Remaja itu masuk ke kamar mandi dengan kesadaran yang belum penuh. Suara gemericik air menandakan bahwa Ardi sedang mandi pagi. Usman kembali ke dapur dengan kaos dan celana panjangnya bersiap untuk pergi ke ladang. "Si Ardi belum selesai di kamar mandi?" tanya Usman kala terdengar suara guyuran air. Layla yang sedang mencuci piring kotor menggeleng menjawab. "Cepetan kamu subuh terus berangkat sekolah, Di." Teriak Usman kencang kepada Ardi yang masih asik bermain air. Setelah selesai berberes, Layla menanak nasi sembari menunggu ibunya pulang dari pasar membawa bahan masakan. Usman sendiri sudah pergi membawa cangkul ke ladang yang tak terlalu jauh dari belakang rumahnya. Tak lama kemudian, terdengar tangisan nyaring Ibra dari arah kamar. Layla segera beranjak menghampiri anaknya yang menangis mencari ibunya. "Duh anak ibu sudah bangun ya... Sudah jangan nangis lagi." ucap Layla menenangkan seraya membawa Ibra ke pangkuannya. Lengannya mengelus-elus punggung Ibra yang masih terisak. "Mbuu.. ayah..." isak Ibra seraya memeluk leher sang ibu. "Kenapa sayang? Ibu ada disini. Sudah ya jangan nangis lagi." ucap Layla sedikit mengabaikan ucapan Ibra seraya membawa anaknya keluar dari kamar. Menahan rasa sesak kala anaknya terus menggumamkan sang ayah dari bibirnya. Bersamaan itu terdengar suara salam dari luar depan. Layla pun membuka pintu dan mendapati sosok Raffa yang tengah berdiri menunggu di samping motornya. "Ada apa, mas?" tanya Layla setelah menjawab salam. Ibra yang berada di pangkuannya masih terisak meski tak sekeras tadi. "Saya mau ketemu bapak, ada?" tanya lelaki yang membawa ransel di punggungnya. "Kebetulan bapak sudah berangkat ke ladang." kata Layla. Raffa mendesah pelan, lalu kembali berkata, "Oh, bisa dipanggil sebentar? Saya ada kepentingan, agak mendesak. Soalnya nanti siang saya harus berangkat lagi ke Jogja." Layla menimang sejenak sebelum mengangguk, "Layl susul dulu ke landang kalau begitu. Silahkan mas tunggu di dalam." Raffa memandang ragu sejenak sebelum masuk dan duduk di kursi. "Ehm... Boleh minta waktu kamu sebentar?" tanya Raffa kemudian. "Kenapa mas?" tanya Layla yang ikut duduk di kursi seberang. Ibra sendiri masih nyaman berada di pangkuan ibunya. Ada jeda yang dilakukan Raffa sebelum kembali berkata, "Maaf kalau perkataan saya kurang sopan dan tidak tepat waktu, Layl. Apa kamu ada niatan untuk menikah lagi?" Layla terkejut dan memandang Raffa tak percaya, kenapa pria itu bertanya hal demikian? "Apa maksud mas? Mas tahu sendiri aku masih berduka kan? Aku bahkan gak ada pikiran yang mengarah kesana." ucap Layla dengan nada tertahan, menahan rasa amarah dan luka yang muncul dalam hatinya. "Saya tahu, saya minta maaf. Tapi, saya boleh minta tolong? Saya berniat serius terhadap kamu. Tidak untuk waktu dekat ini, tapi saya harap kamu tidak dulu membuka hati untuk lelaki lain. Tolong kamu jangan marah. Saya serius." ucap Raffa sedikit nada memelas membuat Layla membuang nafas kasar, menahan kekesalan yang menghampirinya. "Aku tidak tahu mas, saat ini aku tidak ingin memiliki hubungan dengan lelaki manapun. Dan untuk niat baik mas, aku tidak bisa memastikan bagaimana kedepannya." Raffa memandang lekat Layla yang berusaha tegar, hingga sebuah suara menginterupsi keduanya. "Mbak, Ardi berangkat sekolah dulu." Suara Ardi menyela ragu-ragu sebelum keluar dari persembunyiannya. Pemuda berseragam putih abu itu berjalan menghampiri Layla dan menyalaminya. Lalu Ardi berjalan melewati Raffa dan mengangguk sopan sebelum keluar rumah. Layla terdiam beberapa saat, adiknya pasti mendengar pembicaraan Raffa dengannya. Entah apa yang nanti akan ia dapatkan jika sampai Ardi memberitahukannya kepada ibu dan bapaknya. Setelah Ardi pergi menjauh dari pekarangan rumah, Raffa kembali melanjutkan pembicaraannya yang sempat terpotong. "Ya, saya mengerti. Saya hanya, tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. Saya juga tidak terburu-buru, kamu tidak perlu terlalu memikirkannya untuk saat ini." Layla terdiam tak menjawab, dirinya tak tahu harus berkata apa lagi. Situasi ini terlalu mengejutkan dan tiba-tiba membuat suanana begitu canggung dan Layla enggan mau berbasa basi lagi dengan pria itu.Satu bulan kemudian. Di pagi hari yang cerah, Layla sudah disibukkan dengan kegiatan membuat kue. Di samping itu, hari ini ia yang mengurus semua keperluan dapur dikarenakan sang ibu tengah sakit. Dan kini, Layla keluar dari rumahnya menuju gerobak sayur yang berhenti di depan rumahnya. Terlihat sayuran hijau yang masih segar berkilauan terkena sinar matahari pagi membuat Layla tergiur untuk memasak semua sayuran segar itu. Tak lama kemudian, segerombolan ibu-ibu ikut menghampiri gerobak sayur dan mulai memilih-milih belanjaan mereka. Seperti biasa, mereka memilih sambil berbincang-bincang dan bercanda, namun Layla hanya diam dan sesekali mendengarkan. "Seger banget ya terongnya, mana gede-gede." Sahut seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tebal akan riasan make up. Bibirnya yang merah menyala terkikik geli seraya memperlihatkan terong ungu yang berukuran besar dan panjang itu ke arah ibu-ibu di samp
Raffa Adi Wijaya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas ternama di Jogja. Ia tumbuh dan besar di lingkungan pondok pesantren hingga memasuki bangku kuliah. Setelah lulus dan menjadi sarjana, Raffa menerima beasiswa untuk melanjutkan studi ke Mesir selama 4 tahun. Raffa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.Raffa remaja memang seorang pemuda yang penuh prestasi, sifatnya pendiam dan lebih senang menyibukkan diri dengan membaca buku. Namun dengan sikapnya itu, ia mampu bergabung dengan sebuah organisasi kemahasiswaan yang membuatnya semakin dikenal berbagai kalangan.Raffa remaja penuh dengan ambisi untuk menyelesaikan pendidikannya. Tidak ada kisah percintaan yang mewarnai sebagian perjalanan hidupnya. Ia terlalu serius belajar dan menata masa depannya sendiri hingga sampai diusiannya yang ke 35, ia masih melajang dan tengah menyelesaikan pendidikan doktornya.Keseriusannya dalam belajar membuatnya menjadi kaku dalam menghadapi persoalan asmara. Raf
Di hari yang cerah, Layla tengah disibukkan dengan aktivitas barunya. Sudah sepekan ini Layla menerima orderan aneka kue bolu dan kue basah lainnya. Setelah pertimbangan yang matang, akhirnya Layla menyetujui permintaan bapaknya untuk membuka usaha. Hitung-hitung untuk menambah uang jajan Ibra yang mulai beranjak besar, tidak mungkin juga ia selalu bergantung kepada ibu dan bapaknya terus menerus. Sempat ia berpikir untuk bekerja di luar, namun ia tak tega meninggalkan Ibra dan melewatkan tumbuh kembang anaknya itu.Alhasil, dalam seminggu ini sudah ada beberapa pelanggan tetap yang setiap hari memesan. Layla bersyukur usahanya diberi kemudahan. Kesedihan serta kemuraman hatinya sedikit demi sedikit teralihkan oleh kegiatan barunya itu.Suara alarm panggangan berbunyi keras mengejutkan Layla yang tengah melamun. "Astagfirulloh, malah ngelamun!" Layla lantas membuka oven dan mengeluarkan hasil panggangannya.Layla tersenyum senang kala melihat bolu panggang
Pukul tujuh malam, seperti biasa setelah sholat maghrib ia duduk di ruang tv bersama Ibrahim yang asik menonton animasi favoritnya bersama Fatma. Tak lama kemudian, Usman datang disusul Ardi yang tak biasanya mau ikut bergabung berkumpul bersama.Layla memandang heran kepada Ardi yang kini duduk berselonjor di samping ibunya dan sesekali mengajak Ibra bercanda. Adik bungsunya itu memang jarang ikut bergabung duduk bersama seperti ini, ia lebih sering suka menyendiri di kamar atau jika mau ia akan pergi keluar bersama teman-temannya."Tumben banget keluar kamar." celetuk Layla kepada Ardi. Sang adik yang merasa terpanggil menatap kakaknya dengan cengiran lebarnya."Tau banget bapak habis pencairan. Mau minta duit ya?" tuduh Layla yang tak dijawab Ardi. Pemuda itu terus menampilkan cengiran lebarnya."Memangnya kamu mau apa, minta uang jajan tambahan ke bapak?" timpal Usman melihat gelagat anaknya yang seperti itu. Mendekat jika ada maunya.
Suasana malam nampak tentram, hanya suara dari layar televisi yang menyala dengan volume kecil. Ibra tengah asik menonton tayangan kartun domba kesukaannya. Sementara Layla sedang duduk di sampingnya ditemani Usman. Fatma sendiri sudah memasuki kamarnya karena mau istirahat lebih awal setelah seharian berkutat di dapur.Dan Ibrahim? Ia masih terjaga karena siang tadi tidur lama hingga hari menjelang malam. Tak lama kemudian suara Usman mengalihkan perhatian Layla."Layl, bapak mau jual tanah lagi yang di legok."Layla terkejut mendengar pernyataan sang bapak, "Loh, kenapa pak?" tanyanya penasaran."Bapak sudah capek nyawah."Kan bisa disewakan, pak?""Tanahnya sudah ditawar harga tinggi. Lumayan buat modal usaha. Nanti uangnya kamu pakai kalau mau buka usaha."Bukan ingin menyuruh anaknya sengaja mencari nafkah, hanya saja ia ingin mengabulkan keinginan Layla yang belum tercapai.Layla menggeleng menolak usulan
Layla Azhari merupakan seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya. Pernikahan yang baru dibangun selama 4 tahun dan baru dikaruniai seorang anak harus runtuh kala Farhan Hidayat, meninggal dunia karena kecelakaan motor.Layla begitu terpukul akan kejadian yang dialaminya. Kini ia kehilangan sosok pemimpin sekaligus pelindung bagi keluarganya.Duka yang dialami Layla ternyata bukan sekedar itu, mertua yang ia kira menghargainya dengan tega mengusirnya secara halus dari rumah yang telah susah payah ia bangun bersama mendiang suaminya setahun yang lalu dari tanah pemberian ayah mertuanya. Mereka beralasan untuk meminjamkan rumah tersebut untuk ditempati anak laki-laki ke tiganya yang baru saja menikah. Apalagi ibu mertuanya itu juga merasa mendapat hak waris dari anaknya yang bahkan belum pantas untuk dibahas mengingat suaminya meninggal belum lama ini.Dan dengan santai sang ibu mertua pun menyuruhnya untuk tinggal kembali bersamanya. Layla yang merasa haknya diabaikan, merasa saki