Setelah Sofia pergi Aldi juga pergi, dia mengemudikan mobil dengan pikiran yang penuh dengan kekacauan. Ada rasa takut jika dia kalah dipersidangan dan semuanya harus kembali pada Sofia. Bukan hanya kelasnya yang turun, tapi harga dirinya juga hilang, ditambah lagi sangsi sosial yang akan diterima. Apa lagi ada wartawan yang pastinya berita ini akan tersebar luas dengan cepat. "Sial!" umpatnya. Tapi saat itu matanya melihat seseorang yang turun dari mobil kemudian bergandengan tangan dengan seseorang. "Diana?" katanya sambil menginjak pedal rem. Dengan penuh amarah Aldi pun turun dari mobil dan menghampirinya. Tapi Aldi melihat Diana masuk ke sebuah hotel bersama dengan seorang pria. "Apa yang dia lakukan di sini?" gumamnya semakin merasa terhina. Saat Diana masih berada di lobi Aldi langsung memanggilnya. "Diana!" Diana pun menoleh dan melihat wajah siapa yang memanggilnya. "Aldi..." katanya seakan tidak percaya. Diana menyimpan rasa paniknya, dia tak mau
Keluar dari ruang sidang, langkah Sofia terasa lebih ringan dibanding saat ia masuk tadi. Meski begitu, jantungnya masih berdebar cepat. Ada rasa lega yang menenangkan, tetapi di sudut hatinya, bayangan Aldi yang penuh tipu muslihat masih membayang. Meskipun demikian itu bukan menjadi masalah yang besar untuknya. Apa lagi udara panas siang itu menyambutnya, membuatnya sedikit menyipitkan mata. Bima berjalan di sisinya, membawa map berisi salinan putusan sidang sementara. "Ini baru awal," ujar Bima, suaranya datar namun menenangkan. "Kita sudah punya pegangan kuat, tapi proses eksekusi harta itu butuh waktu. Aldi pasti akan mencari celah untuk menghalangi." Sofia mengangguk pelan. Ia tahu benar, Aldi bukan tipe orang yang menerima kekalahan begitu saja. Namun, hari ini, setidaknya ada secercah cahaya yang menembus gelapnya perjuangan panjangnya. Langkahnya sempat terhenti sejenak. Ia menatap ke langit biru yang terpotong oleh atap gedung pengadilan, membiarkan sinar matahar
Ruang sidang modern, penuh awak media. Di kiri ruang, Aldi duduk dengan jas mahal dan senyum mengejek. Di kanan, Sofia duduk tenang, mengenakan setelan rapi, di sampingnya Bima. Tenang, tajam, dan siap bertarung. Terdengar suara Hakim "Kita buka sidang gugatan perdata antara pihak penggugat, Ny. Sofia Indah Lestari dan pihak tergugat, Tn. Aldi Prayoga…" Aldi berbisik pada pengacaranya sambil tersenyum. "Tenang saja. Dia nggak punya apa-apa. Dan aku nggak mau dipermalukan lagi oleh dia." Sementara itu, Bima membuka map berisi dokumen. Sofia menatap lurus ke depan. Tidak lagi takut, tidak lagi ragu. "Klien kami menerima seluruh aset atas dasar kepercayaan dan cinta. Tidak ada paksaan, tidak ada tipu muslihat. Semua dokumen sah secara hukum." Pengacara Aldi yang berbicara kali ini. Aldi tersenyum ke arah Sofia. "Kita dulu saling mencintai, bukan begitu, Sofia?" Sofia menatapnya tenang, lalu beralih pada hakim. Jika bukan karena hal penting dia tak akan mau bertem
Di dapur, Sofia menyalakan kompor dan mulai memanaskan wajan. Tangannya cekatan, tapi pikirannya entah ke mana. Sesekali ia terdiam, menatap kosong ke arah jendela, seolah ada sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Pisau di tangannya berhenti memotong sayuran ketika ia menghela napas panjang. "Aku harus kuat…" bisiknya nyaris tak terdengar. Bau tumisan mulai memenuhi ruangan, namun rasanya hambar di matanya. Sofia memaksa tersenyum ketika Bima tiba-tiba muncul di pintu dapur, bersandar sambil mengamati gerak-geriknya. "Kok bengong?" tanya Bima ringan, meski matanya tajam memperhatikan. Sofia tersentak kecil lalu buru-buru kembali menumis. "Nggak, cuma kepikiran menu aja." Bima tidak menjawab, tapi ekspresinya jelas menunjukkan ia tidak percaya. Tapi Bima bingung harus berbuat apa, akhirnya dia duduk di kursi meja makan sambil menunggu sarapan buatan Sofia. Sampai tak lama kemudian sepiring nasi goreng pun tersaji. "Silakan," kata Sofia. "Hmm..." Bima melihat
Pagi menyelinap lewat celah tirai, cahaya hangat menyapu wajah Sofia. Ia terbangun perlahan, menyadari ada lengan hangat yang meleluknyanya. Bima. Sofia terperanjat begitu menyadari lengan Bima melingkari tubuhnya. Dengan gerakan refleks, ia segera duduk tegak, matanya langsung meneliti pakaiannya sendiri sambil mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Kenapa Bima bisa tidur di ranjang ini? Bahkan… memeluknya. Dan apakah itu benar-benar hanya sekadar pelukan? Pikirannya berputar liar. Ada rasa malu, bingung, dan sedikit panik yang bercampur menjadi satu. Bima yang merasa gerakannya terusik, perlahan membuka mata. Pandangannya sedikit kabur, tapi begitu fokusnya kembali, ia baru sadar, mereka berdua terbaring di ranjang yang sama. Sofia menatapnya lekat-lekat, sorot matanya penuh tanya. "Kenapa kamu tidur di sini?" suaranya terdengar dingin, tapi samar-samar bergetar. Bima terdiam, menelan kebingungan yang sejak tadi mengganjal. Sebenarnya, ia hanya berniat
"Sofia, kamu tidak melupakan Mamimu, kan?" tanya Bima tiba-tiba. Sofia menoleh, menatapnya penuh tanda tanya. "Kamu harus tetap semangat. Aku dapat kabar dari dokter yang menanganinya. Katanya, keadaan Mamimu mulai ada kemajuan. Hari ini, jari-jarinya bergerak," terang Bima. Sofia benar-benar bahagia mendengarnya. Ini seperti secercah harapan di tengah keputusasaan. "Benarkah?" tanyanya tak percaya. "Iya," jawab Bima yakin. "Kita pulang, hari juga sudah sore," kata Bima lagi, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran. Sofia mengangguk, lalu kembali berbicara di depan makam ayahnya. "Pi, Sofia pamit dulu. Nanti Sofia pasti datang lagi." Ia berjalan menuju mobil, dan Bima menunggunya dengan tatapan sendu. Sepanjang perjalanan pulang, Bima beberapa kali melirik ke arah Sofia. Ada rasa bersalah dan iba yang mengendap di matanya, namun ia memilih diam, takut kata-katanya justru melukai lebih dalam. Sesampainya di rumah, Sofia membuka pintu mobil dan turun perlahan. Bima