MasukWah, gadis ini benar-benar ingin cari masalah ternyata!
Sofia menghela napas dalam hati. Ia tak tahu siapa wanita ini sebenarnya, tapi dari gaya bicara dan ekspresinya, dia sudah cukup yakin:
Tingkat menyebalkannya 9,5/10.
Namun, alih-alih membalas dengan emosi, Sofia hanya diam sambil membaca situasi.
‘Sabar, Sofia. Jangan bikin adegan. Nanti dikira sinetron beneran,’ batinnya.
Tapi dalam hati, dia sudah siap dengan satu dua kalimat sarkas yang bisa dia keluarkan kapan saja kalau situasinya memanas.
“Aku curiga… jangan-jangan kamu dijebak sama dia!” tuduh Lusi sambil menunjuk Sofia seolah-olah sedang menuding tersangka pencurian.
Sofia mendesah panjang. Sumpah, leher perempuan ini kayaknya cocok buat dicekik pelan-pelan pake ikat pinggang.
“Hey!” Lusi mendekat lebih agresif. “Kamu pasti jebak Mas Bima, kan?! Makanya dia sampai nikah sama gembel nggak jelas kayak kamu! Asal-usul nggak ada, gaya juga pas-pasan!”
Sofia berdiri tegak. Mukanya tenang, tapi tangan sudah mulai gatal ingin nyari sandal buat dilempar.
Sementara itu, Bima hanya menarik napas, menahan sabar. Lalu, tanpa banyak bicara, dia langsung menggapai tangan Sofia dan menariknya menjauh.
“Jangan ganggu aku lagi,” ucap Bima datar ke arah Lusi sebelum berbalik pergi sambil membawa Sofia menuju dapur.
Sofia sempat menoleh ke belakang, memastikan Lusi tidak mengejar.
Saat mereka sudah di dapur, Sofia pun bertanya dengan nada setengah bergumam, “Dia itu… siapa sih sebenarnya?”
Bima hanya menjawab singkat. “Nggak penting.”
“Nggak penting gimana? Barusan dia kayak singa betina kelaparan. Aku kira dia mau ngunyah aku hidup-hidup,” gerutu Sofia sambil membuka lemari dapur, sibuk mencari camilan padahal hatinya masih panas.
“Bikin emosi aja,” tambahnya lagi. “Aku tuh belum makan loh, bisa gawat kalau lapar dan emosi datang barengan. Bisa-bisa aku kerasukan sinetron dan jambak rambut dia.”
Bima hanya melirik dan menggeleng pelan.
Sofia menatap Bima sebentar lalu nyengir. “Eh tapi thanks ya. Udah narik aku pergi sebelum aku berubah jadi versi liar.”
“Apa tidak ada sisi anggun dari dirimu?" tanya Bima.
Sofia mendengus. "Aku ini anggun, baik dan janda cantik… Kamu beruntung bisa menikah dengan aku.”
Bima tidak menjawab, hanya mengambil air minum dari kulkas dan meneguknya.
“Ini dia makanannya!” seru Sofia dengan semangat begitu menemukan tumpukan lauk di dapur.
Tapi setelah melirik ke arah Bima yang masih berdiri seperti patung penjaga dapur, ia bertanya dengan nada sok sopan, “Eh… tapi aku nggak papa, kan? Ngambil sendiri gini?”
Bima diam saja. Bahkan bulu matanya pun sepertinya tidak bergerak.
“Oh, iya nggak papa. Anggap aja rumah sendiri, Sofia,” jawab Sofia dengan suara dibuat-buat, menirukan nada dingin Bima. “Santai aja. Ambil makanan, tidur, mau ambil celana dalam di lemari juga silakan.”
Dia tertawa sendiri, lalu mulai mengisi piring dengan penuh semangat. Tapi tiba-tiba langkah seseorang terdengar dari arah pintu dapur.
Sofia mengintip sebentar. “Eh, ada yang dateng,” bisiknya pelan, tapi Bima langsung bergerak mendekat dan berbisik.
“Bersikaplah seperti suami-istri... di depan semua orang. Termasuk... wanita itu.”
Sofia melotot sebentar, lalu tersenyum paham. “Oke, Mas,” bisiknya balik sambil membalik badan ke arah piring.
Dan saat Lusi melangkah mendekat dengan wajah masam seperti baru gagal rebut diskon di e-commerce, Sofia langsung pasang senyum manja.
“Mas…” ucap Sofia genit, suaranya naik dua oktaf. “Mau disuapin nggak?”
Bima menoleh dengan ekspresi 'tolong Tuhan, ambil aku sekarang juga’ tapi Sofia sudah mengangkat sendok, berisi nasi dan lauk, mengarah ke mulutnya.
“Mas, buka mulut ya. Aaaa,” ucapnya centil sambil mengedipkan sebelah mata.
Dengan pasrah, Bima membuka mulut dan menerima suapan itu. Sekilas seperti sedang menjalani hukuman dari reality show berhadiah rumah tangga palsu.
Sebelum bisa menelan sepenuhnya, Lusi pun meledak, “Mas Bima! Kita harus bicara!!” serunya, suaranya setengah mengguncang rak piring.
Sofia menoleh pelan, lalu berkata lembut, “Maaf ya... kami lagi makan. Suamiku ini juga lagi kelelahan… karena tadi kami… yah, kamu tahu sendirilah.” Ucapannya sengaja digantung di ujung dengan ekspresi sok polos yang menyebalkan.
Dan Sofia pun akhirnya makan satu piring yang sama dengan Bima.
Lusi mendelik. “Harusnya aku yang nikah sama Mas Bima! Semua keluarga juga udah setuju!!”
Sofia melirik Bima—yang hanya menggeleng pelan, dan sebenarnya Sofia ingin melempar sambal ke mukanya.
Langsung saja Sofia menyalakan mode sarkas-nakalnya. “Oh ya? Wah, kasihan banget ya kamu…”
“Kasihan?” Lusi mengernyit.
“Iya, kasihan. Sudah nggak dapet cowok, eh dapet malu pula,” kata Sofia dengan senyum manis level toxic.
“Kamu tuh janda yang tiba-tiba muncul! Jangan gatal! Perusak semuanya!!” seru Lusi lagi.
Sofia pun mendekat ke Bima, lalu melingkarkan lengannya ke tengkuk Bima dengan gaya istri posesif yang menang undian.
“Mas… kita ke kamar yuk, kamu sukakan gaya janda nakal aku,” bisiknya dengan nada nakal yang dibuat-buat. “Pasti Mas pengen lagi yang kayak tadi, yaa?”
Bima meneguk ludah. Mungkin karena kaget. Mungkin juga karena nasi masih nyangkut di tenggorokan.
Dia pun mengangguk pelan, menurut tanpa ekspresi.
Sofia menoleh ke arah Lusi yang wajahnya sudah seperti ingin memanggil tim pengusir setan.
“Permisi ya... kita mau lanjut,” kata Sofia sebelum menarik Bima pelan menuju kamar, dengan langkah penuh kemenangan.
Mengabaikan Lusi yang menahan emosi di tempatnya.
* Sofia berdiri diambang pintu, matanya menatap ke dalam sana, pikiran pun seketika melayang jauh saat itu dia harus keluar dari rumah ini. Rumah yang pernah menjadi tempatnya pulang, dan tak menyangka akan kembali tinggal disana. Bima yang awalnya mengantarkannya pulang kini kembali pula membawanya pulang. Ini rumit, tak ada yang bisa memahami. Semuanya berjalan begitu cepat dan kehamilannya yang membawanya kembali. "Ayo, masuk," kata Bima yang berdiri disampingnya, "kamu nggak kuat jalan?" tanya Bima. Tapi belum juga menjawab Bima sudah mengangkatnya. "Mas!" pekik Sofia reflek karena keterkejutan. "Ehemm... ehem..." ejek Lala yang ternyata berdiri diujung anak tangga. Wajah Sofia seketika merona, "Mas, turunin," pinta Sofia. "Nggak papa, Kakak ipar lanjut aja. Aku baik-baik aja kok," kata Lala sambil tersenyum mengejek, tapi dia sangat bahagia melihat hubungan sahabatnya dan Kakaknya mulai membaik. "Mas, aku bisa jalan," kata Sofia. Tapi Bima tetap saja mengang
Keesokan harinya... Dokter bersama dengan dua orang perawat masuk ke ruang rawat Sofia. Memeriksa keadaan Sofia. "Dok, saya udah bisa pulang nggak ya? Saya udah pengen pulang," kata Sofia. "Sebaiknya jangan dulu, Bu. Karena kami masih harus melihat perkembangan anda secara berkala," kata Dokter. "Dok, saya merasa udah lebih baik. Saya pengen pulang," pinta Sofia lagi terdengar memaksa. "Baiklah, tapi anda harus rutin melakukan pemeriksaan dan tolong untuk mengelola stess," kata Dokter. "Baik, Dok," jawab Sofia dengan perasaan bahagia. "Saya permisi," dokter keluar dan Bima pun bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu mau pulang? Keadaan kamu belum pulih betul," ucap Bima. "Aku cape disini, aku pengen menghirup udara segar," jawab Sofia. "Perlu Mas berikan udara segar?" "Apasih?" kesal Sofia karena bingung kenapa Bima sekarang aneh. "Kalau gitu kamu pulang sama aku," kata Bima lagi. "Nggak, aku mau pulang ke rumah aku," tolak Sofia. "Kalau gitu, rumah aku buat
Clek. Pintu terbuka dan mata Lala langsung melebar sempurna melihat pemandangan yang cukup mengerikan sekaligus mengejutkan. Sofia dan Bima juga ikut tersadar, segera mendorong dada Bima agar menjauh. "Astaga, jantungku," katanya sambil memegang dadanya, ia benar-benar tak menyangka akan melihat adegan yang cukup membuatnya tegang. Sedangkan wajah Sofia terlihat memerah menahan malu. "Maaf Kakak ipar, aku tidak bermaksud mengganggu kalian berdua. Itu," Lala pun mengedarkan pandangannya sampai akhirnya menemukan benda yang tertinggal di kamar rawat Sofia, "ponsel aku ketinggalan," ucapnya dan langsung mengambil di sofa. Kemudian dia pun segera pergi, tapi setelah pintu tertutup dia kembali masuk. "Kak Bima, Kakak ipar. Lanjutkan yang tadi ya, bye!!!" serunya. Kali ini Lala benar-benar pergi. Sofia mengusap wajahnya menahan rasa malu, entah kenapa dia bisa seperti ini. Bahkan untuk menatap wajah Bima saja sekarang dia sangat malu. "Mau dilanjut lagi?" celetuk Bima
Setelah Oma dan Lala pergi, Bima kembali masuk ke ruangan Sofia. Ia melihat Sofia tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Dia tersenyum saat Sofia meliriknya, dan terus berjalan lebih dekat. Meskipun Sofia tak membalas senyumannya sama sekali. "Kenapa perceraiannya dibatalkan?" tanya Sofia tiba-tiba, dia juga baru diberitahu oleh Rayhan bahwa Bima menarik semua berkas perceraian mereka. "Kita tidak mungkin bercerai kan?" tanya Bima. "Kenapa tidak?" "Sofia, ayolah. Kamu sedang hamil, aku mau anak itu punya kedua orang tua yang lengkap dan mendapatkan kasih sayang penuh," terang Bima. Kali ini Sofia hanya diam, entah apa yang kini ada dalam pikirannya. "Sofia, kita besarkan anak ini sama-sama ya," mohon Bima. Sofia hanya menatapnya dalam diam, membuat Bima bingung. "Kita kembali ke rumah ya, rumah kita," kata Bima lagi, kali ini tangannya menggenggam tangan Sofia perlahan. Berharap Sofia setuju dengan keinginannya. Tapi sesaat kemudian Sofia pun melepaskan tang
"Sofia, aku hanya ingin minta maaf," ucap Bima lagi. Sofia masih berada di dunia lain setelah mendengar ucapan Bima. Entah itu benar atau tidak yang jelas kata-kata Bima terlalu mengejutkan. "Sofia, kamu jangan marah terus ya. Aku nggak kuat kalau jauhan terus sama kamu," katanya hati-hati sambil terus memperhatikan raut wajah Sofia, "Sofia, kita batalkan saja perceraian kita, ya," pinta Bima dengan memohon. Pintu kembali terbuka dan yang masuk adalah Oma dan Lala. "Hay," sapa Lala. Membuat Sofia pun segera tersadar lalu melihat Oma dan Lala yang masuk berjalan mendekatinya. "Kamu ngapain masih datang kesini?" sinis Oma. "Oma-" "Pergi sana!" usir Oma. "Tapi, Oma-" "Pergi!" Bima pun melirik Sofia, begitu juga sebaliknya. Sebenarnya Bima berharap Sofia menahannya, tapi Sofia hanya diam saja. Sebenarnya Sofia masih bingung setelah mendengar kata 'l love you' dari Bima yang tiba-tiba, ucapan itu tertuju padanya atau tidak? "Gimana keadaan kamu sekarang? Maaf
"Oma," seru Sofia karena kesal Bima malah memeluknya. "Sini kamu!" Oma menarik telinga Bima hingga akhirnya perlahan melepaskan Sofia. "Oma, apasih, aku malu tau," katanya. "Kamu itu memang dasar ya! Berbuat sesuatu sesukamu saja. Lagian siapa yang minta kamu ada disini?" tanya Oma sambil bertolak pinggang. "Ya, Oma aku pergi," katanya sambil berjalan keluar demi bisa menghindari Oma. Tapi sekarang dia harus mencari keberadaan Aran, bagaimanapun pun Aran harus bertanggungjawab. Ia menuju kantor dan segera menuju ruangannya, sudah pasti Aran ada disana. Benar saja Aran tengah duduk didepan laptop, ia tampak sangat fokus. "Bos," sapa Aran setelah menyadari kedatangan Bima. Bima pun berjalan mendekatinya dan langsung menarik kerah kemejanya. "Kenapa kau membuatku sial hari ini?!" geramnya. "Santai dulu, Bos." Aran pun melepaskan tangan Bima dari kerah kemejanya, "kenapa anda marah-marah?" tanya Aran lagi. "Karena saranmu hampir saja Sofia celaka!" "Lalu, kenapa







