Melihat Bayu yang terguncang hatinya, Bude Sumiati mendekati Bayu, lalu memegang pundaknya.
"Jangan kamu yang pergi, biar orang lain yang menjemput bapakmu," kata Bude Sumiati.
"Aku tahu tempat judi juragan Broto, aku yang jemput Bapak, ya!" sahut Permadi.
Tanpa mereka duga, Adik kecil Saras yang berumur 8 tahun itu bersuara lantang. Permadi memang tahu betul tempat bapaknya berjudi, karena Permadi yang sering di suruh ibunya untuk menyusul bapaknya bila tidak pulang ke rumah. Permadi itu anak yang pemberani. Walau masih kecil.
"Biar aku yang susul, Mbak!" sahutnya lagi,
"Jangan. Kita tidak pergi ke mana-mana, kita di sini jaga Ibu untuk yang terakhir kalinya." tegas Saras.
Bayu berdiri dari duduknya, Saras memperhatikan adiknya yang berdiri, Saras lalu bertanya, "Kamu mau ke mana?"
"Aku akan membuat perhitungan dengan Bapak, gara-gara Bapak yang suka judi dan main perempuan, ditambah punya hutang sama Broto edan itu, makanya sekarang Emak meninggal kena serangan jantung. Aku sudah muak dengan sikap Bapak, Mbak!"
"Duduklah! Jangan bertidak gegabah! Ayo duduklah!" perintah Saras dengan nada tegas.
Bayu menyeka air matanya yang mengalir deras, ia terlihat marah bercampur kecewa dan juga sedih. Jiwa muda dan masih labil itu seperti gunung berapi yang siap meletus.
"Bayu, biar orang lain yang menjemput Bapak, kita jaga jenazah Emak di sini, sekarang kita tidak usah memperdulikan Bapak lagi."
Bayu pun duduk kembali setelah mendengar ucapan Saras. Walau terlihat kecewa karena tidak bisa pergi, tapi yang di katakan kakaknya benar, jadi ia menuruti ucapan Saras.
"Kita harus mengurus jenazah Emak dengan baik agar Emak tenang di alam sana. Duduk diam dan baca doa untuk Emak!"
"Bayu, betul kata Saras, biar orang lain saja yang menjemput bapakmu," suara Bude Sumiati dari belakang Bayu.
Lalu datang suami Bude Sumiati yang bernama Pakde Jarwo. Pakde Jarwo kakak kandung dari ibunya Saraswati.
"Katakan padaku di mana bapakmu, biar aku saja yang seret dia kemari!" geram Pakde Jarwo.
"Bapak pasti lagi berjudi, di rumah juragan Broto, Pakde!" sahut Bayu.
"Dasar kurang ajar si Tukiman! Bapakmu memang tidak tahu diri, aku betul-betul pingin tak hajar aja bapakmu itu! Kamu duduk sini saja! Biar aku yang seret bapakmu pulang!" geram Pakde Jarwo.
Pakde Jarwo pergi meninggalkan tempat itu dengan wajah yang merah padam seperti di bakar api amarah yang membara.
"Kenapa Bapak selalu membuat kesalahan, aku jadi semakin benci melihatnya!" geram Bayu sambil mengepalkan tangan.
Saras memandang Bayu yang terlihat marah, ucapan Bayu membuat hati Saras semakin teriris, bagaimana bisa seorang anak bisa membenci bapaknya?
"Bayu, jangan begitu, jangan bicara kasar pada Bapak."
"Mbak Saras, aku sudah muak melihat sikap Bapak yang arogan," geram Bayu.
Melihat suasana yang kurang nyaman, Paklek Giman berinisiatif untuk menjemput bapaknya Saras dengan mengajak istrinya.
"Sudahlah, biar Paklek dan Bulek saja yang mengurus bapakmu. Kalian duduk aja di sini," ucap Paklek Giman seraya menggandeng Bulek Nuning, mereka berjalan ke arah halaman rumah dan melewati kerumunan para pelayat.
***
Suasana rumah Saras ramai orang yang membantu menyiapkan perlengkapan untuk memandikan jenazah ibunya Saras, tapi di tempat yang berbeda, di rumah kediaman Juragan Broto Pakde Jarwo mengamuk hingga membuat Lek Giman dan Bulek Nuning ketakutan. Mereka takut terjadi pertumpahan darah antara Pakde Jarwo dan bapaknya Saras.
"Pak, ayo kita cepat pulang, aku takut lihat mereka," pinta Bulek Nuning.
"Iya Bune, aku juga takut!"
Mereka berdua segera mengendarai sepeda motornya balik ke rumah Saras untuk memberi kabar keluarga besar tentang kejadian tersebut. Raut wajah mereka begitu panik. Nada bicaranya gemeteran, dia berbicara dengan Bude Sumiati dengan suara bergetar.
"Yu, Kang Jarwo sama bapaknya Saras berkelahi di rumah juragan Broto!" kata Paklek Giman.
"Ayo cepat ke sana Yu! Ayo cepat! Kang Jarwo ngamuk!" sahut Bulek Nuning.
"Kok, ngamuk? Apa Tukiman menolak di bawa pulang?"
"Tidak, Yu! Kang Jarwo melihat bapaknya Saras mabuk dan main perempuan di rumah juragan Broto, makanya ngamuk, Yu!" jelas Paklek Giman.
"Tugiman, gimana?" tanya Bude Sumiati.
"Tadi masih berkelahi, makanya kami balik ke sini buat kasih tahu Yu Sumiati." Bulek Nuning memberikan penjelasan.
"Biarkan saja Tugiman dihajar suamiku," jawab Bude Sumiati dengan percaya diri.
"Tadi Kang Tugiman lari pontang-panting, Yu! Tapi terus ke tangkap sama Kang Jarwo dan dihajar sampai babak-belur."
Bude Sumiyati memandang ke arah Bulek Nuning, "Gimana, ceritanya? Aku kok, gak paham, Ning?"
"Kang Tugiman berusaha lari saat Kang Jarwo datang, tapi Kang Jarwo cepat main tangan dan mereka berkelahi, tapi tadi Kang Tugiman kelihatan kalah sama Kang Jarwo," jelas Paklek Giman.
"Oalah, sokor kuwi, rasakno ben kapok! Kalau bisa dihajar saja sampai remuk badannya, huh! Aku ikut emosi melihat tingkahnya itu!" geram Bude Sumiati.
"Sabar, Yu! Tapi kita harus misahkan mereka, Yu!" Bulek Nuning mencoba menenangkan hatinya.
"Gak usah, aku yakin suamiku yang akan menang, paling juga nanti Tugiman badannya remuk," jawab Bude Sumiati.
"Loh, kita gak misahin mereka?" tanya Bulek Nuning.
"Gak usah, wong suamiku ahli pencak silat kok di lawan," jawab Bude Sumiati lagi.
"Yu terus bagaimana mereka?"
"Ning, biarin aja, kamu bantu di sini saja, wes gak usah ngurus Tugiman, orang tidak tahu diri macam dia perlu dimusnahkan!"
Semua terdiam dengan ucapan Bude Sumiati. Mereka semua sebenarnya tidak suka dengan Tugiman yang suka judi dan mabuk-mabukkan setiap hari, padahal dia cuman tukang becak.
"Iya, Bude! Aku tidak butuh Bapak tukang mabuk dan tukang main perempuan. Aku muak dengannya, aku tidak sudi punya Bapak seperti dia!" geram Bayu.
Saras menepuk pundak adiknya pelan, "Bayu, tidak baik bicara seperti itu pada orang tua, bagaimanapun dia Bapak kita."
"Aku tidak sudi, punya Bapak seperti orang itu, Mbak! Aku benci Bapak!"
Saras juga tidak suka dengan Bapak yang seperti itu, tapi bagaimanapun Tugiman adalah bapaknya.
Bude Sumiati mendekati Saras, matanya berkaca-kaca menahan gejolak hatinya yang dilanda kesedihan ditinggal adik kandungnya yaitu ibunya Saraswati.
"Aku tidak menyangka ibumu telah tiada, Nduk!" ucapnya sembari mengusap air matanya.
Tiba-tiba adik kecil Saras menangis dan memeluk Saraswati, "Mbak Saras, aku ingin Emak bangun!"
Kata-kata Sundari bagai pedang tajam yang menyanyat hati Sarai. Air matanya tanpa permisi mengalir deras bagai air terjun grojokan sewu.
"Sundari, sini Nduk! Jangan bersedih," ucap Saras sambil memegang tangan adik kecilnya.
"Aku ingin Emak bangun. Tolong, suruh Emak bangun, Mbak!" Permadi adik Saras yang dari tadi diam, ikut angkat bicara sambil menangis.
Bayu merangkul Permadi, ia pun ikut menangis tersedu, "Kita harus kuat, ya! Biarkan, Emak tidur dengan tenang."
Tangan Saras menggapai kedua adik laki-lakinya itu, sedangkan tangan satunya memeluk Sundari yang ada di pangkuannya.
Suasana haru menyelimuti rumah Saras. Orang-orang yang mempersiapkan pemakaman almarhum ibunya sudah pada tahap mau memandikan jenazah Ibunya..
Jenazah ibunya Saras diangkat menuju pelataran, Isak tangis adik-adik Saras tak terbendung lagi, mereka menangis melihat kejadian itu.
Saras memeluk ketiga adiknya itu deng penuh kasih sayang, walau hatinya hancur, tapi dia mencoba tegar untuk menjaga adik-adiknya.
Bersambung...
Saras meraih tangan mungil adiknya. "Sundari, Bayu, Permadi, jangan bersedih, jangan menangis, masih ada Mbak Saras di sini. Kita harus relakan Emak untuk istirahat dengan tenang," ucap Saras sembari memeluk adik-adiknya dengan kasih sayang.Neneknya cuman bisa menatap cucu-cucunya dengan hati yang hancur, tidak pernah terbayang dalam pikiran akan terjadi musibah seperti ini."Oalah Menik, bagaimana nasib anak-anak kamu sekarang? Apa lagi bapaknya pergi tanpa kabar entah ke mana," ucapnya lirih sambil mengusap derai air matanya dengan sudut jarik yang ia pakai.Dalam kesedihan yang amat dalam, Saras berusaha tabah. Matanya menangis, tapi tubuh dan hatinya, ia kuat-kuatkan untuk tetap tegar di hadapan adik-adiknya.'Aku harus kuat, adik-adik butuh aku. Kuat, aku harus kuat!' kata-kata itu yang terus ia lantunkan dalam hatinya.Hati Saras semakin hancur tatk
"Mbak Saras jangan khawatir, aku akan bekerja agar dapat uang untuk membantu Mbak Saras membayar hutang bapak," sahut Bayu sembari memegang tangan kakak perempuannya itu."Tidak, Bayu! Kamu harus tetap sekolah, bagaimanapun caranya, kamu harus tetap sekolah dan menjadi orang sukses. Tolong bantu Mbak mewujudkan cita-cita Mbak.""Tapi Mbak! Bagaimana cara Mbak Saras membayar hutang Bapak?" tanya Bayu."Kita pikirkan nanti saja.""Bagaimana kalau Broto ke sini dan nagih utang?""Bayu, biarkan Mbak istirahat sejenak, pikirannya Mbak masih kacau.""Mbak, biarkan aku bekerja saja."Saras memandang ke arah adiknya dengan tatapan tajam, ia terlihat kesal tapi juga sedih. Saras lalu menyandarkan kepalanya di dinding rumahnya yang terbuat dari bambu."Bayu, Mbak ingin kalian semua, adik-adikku yang Mbak sayangi menjadi orang h
"Ya Allah, belum juga 40 hari almarhumah ibuku, namun Broto gemblung itu minta aku menikah dengan dia. Dasar manusia tak ada udelnya, harusnya nunggu sampai 40 harinya ibuku.""Tapi kalau aku tak menikah dengannya, para pengawalnya pasti akan menyakiti keluargaku.""Ya Allah, andai saja aku bisa mati, matikan saja aku saat ini, aku takut membayangkan nasibku.""Tapi kalau aku mati, bagaimana dengan adik-adikku? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menikah dengannya?"Malam itu Saras tak bisa tidur, pikirannya kalut memikirkan nasibnya yang malang. Air matanya mengalir membasahi pipinya, bahkan kain selendang yang tersampir di pundaknya sudah basah oleh air mata.Saras merebahkan tubuhnya di atas tikar pandan yang ada di ruang tengah itu, ia bersama ketiga adiknya memang tidur di ruangan tengah, sedangkan neneknya tidur di dipan di sebelah ruang tamu.
Setelah beberapa saat, ia di kamar mandi, lalu masuklah seorang wanita paruh baya yang terlihat baik hati, ia menolong Saras mandi dan menuntun Saras ke tempat tidur."Ibu siapa?" tanya Saras lirih."Saya pengurus rumah ini, Non.""Nama Ibu siapa?""Non, jangan panggil aku Ibu, tapi panggil saja Mbok Tarni.""Mbok Tarni terima kasih ya!""Iya sama-sama, ini sudah tugas saya Non.""Sepreinya sudah Mbok ganti.""Iya Non, saat Non di kamar mandi, Mbok ganti sprei yang kotor dengan yang baru.""Mbok, badanku sakit semua dan bisakah Mbok bantu aku?""Bantu apa Non?"Saras melihat sekali lagi ke mata Mbok Tarni yang terlihat baik hati, Saras ingin minta tolong belikan pil KB agar dirinya tidak hamil dengan Broto."Mbok, belikan aku obat agar
Satu minggu kemudian...Daminah istri pertama almarhum Juragan Broto datang ke rumah Saras, dia di dampingi oleh pengawalnya yang bernama Jatmiko. Mereka datang berdua dengan wajah yang sinis, Saras yang sedang menerima mereka di ruang tamu rumahnya yang sederhana hanya tersenyum tipis.'Dua manusia tak tahu diri ini kenapa datang ke rumahku? Bikin pandangan mataku ternoda oleh penampilan Daminah yang menor, menyebalkan!' batin Saras.Daminah adalah wanita yang sombong dan suka pamer, penampilannya menor dan juga banyak perhiasan emas yang dia pakai. Daminah dijuluki toko emas berjalan."Hei, Saras! Kamu harus dengarkan aku baik-baik, ya!" Daminah membuka suara."Iya Bu.""Aku bukan ibumu, jangan panggil aku Bu!""Maaf," jawab Saras sambil menunduk, tapi dalam hati dia menahan tawa."Ada apa? Kenapa kamu senyum?"
Seorang pria tampan datang mendekat, setelah Daminah pergi bersama pengawalnya. Pria itu terlihat kebingungan. Permadi adik dari Saras baru pulang dari beli minyak goreng, ia lalu bicara dengan pria tampan itu."Maaf Mas, cari siapa ya?" tanya Permadi."Anu Dik, apa kamu tahu rumahnya Pak Sujarwo?""Ada apa cari Pakde Jarwo?""Orang itu katanya mau jual tanah jadi saya cari dia, tapi aku tak tahu pasti rumahnya di mana, karena ponselku mati gak bisa telpon dia.""Pakde Jarwo kan?""Iya Sujarwo.""Sujarwo atau Jarwo?" tanya Permadi. Bocah kecil itu memastikan siapa yang di cari orang itu."Aku tahunya dia namanya Sujarwo pedagang beras di pasar.""Oh, kalau itu betul namanya Pakde Jarwo.""Dia Pakde kamu?"Permadi mengangguk perlahan, ia lalu menunjuk sebua
Saras melamun hingga dia berjalan melewati rumah Pakde Jarwo, dan kebetulan Pakde Jarwo sedang ada di depan teras rumahnya dan melihat Saras berjalan bersama pria tidak dikenal."Saras, kamu mau ke mana?" tanya Pakde Jarwo.Sontak Saras berhenti dan membalikkan badan, ia lalu memandang sekelilingnya, ia tersipu malu karena melamun, ia tak sadar bila telah melewati rumah Pakde nya."Kamu mau ke mana, Nduk!" tanya Pakde Jarwo lagi.Saras tak menjawab tapi langsung berlari kecil menghampiri pamannya itu, ia tersipu malu seraya menunduk setelah sampai di di teras rumah Pakde Jarwo."A-anu Pakde, aku antar tamunya Pakde," jawab Saras."Orang itu ta?""Iya Pakde.""Oalah, lalu orang itu siapa, Nduk?""Ya, gak tahu Pakde, wong aku baru saja ketemu."Pakde Jarwo tersenyum mendengar uc
"Betul sekali, nasib Saras tak seberuntung anak gadis seusia dia, aku kalau ingat gitu suka nangis," ucap Pakde Jarwo sambil berkaca-kaca matanya menahan kesedihan."Lalu sekarang Saras tinggal dengan siapa?'"Saras tinggal dengan ketiga adiknya, ia sekarang menjadi kepala keluarga, ibu serta kakak buat adik-adiknya.""Bapaknya ke mana?""Kabur entah ke mana, Mas! Orang jahat itu semoga kena adzab Allah.""Oh, gitu."Reyhan manggut-manggut kepalanya, ia mencoba mencerna cerita dari Pakde Jarwo, tapi semakin ia memikirkan, ia semakin penasaran dengan kisah hidup Saras."Mas Reyhan orang kota, jadi tidak ada cerita kayak gitu ya?""Aku dengar yang seperti ini, ceritanya kayak di sinetron aja, hehehe!""Yaah, begitu nasib orang mah, tidak ada yang tahu, kadang di bawah kadang juga di atas, kita