"Apa yang terjadi? Emakku di mana?" tanya Saras.
"Saras, ini Emakmu!" jawab Bulek Nuning, sambil memandang ke arah Saras dengan derai air mata.
"Di mana Emak Bulek?"
"Yang terbaring di tengah ruangan itu adalah Emak kamu."
Mendengar ucapan Bulek Nuning, Saras memandang ke tengah ruangan yang terbujur kaku seseorang yang di turupi oleh kain jarik.
"Bulek, bagaimana mungkin? Bulek pasti salah! Aku barusan saja keluar dari rumah, aku tidak percaya!"
"Saras, kamu sabar ya!" Bulek Nuning menggenggam tangan Saras.
"Tidak mungkin itu Emak! Barusan saja, Mak bicara denganku, bagaimana mungkin, itu Emak? Tidak mungkin, Bulek!" Saras menyangkal semua ucapan Bulek Nuning.
"Saras, tenangkan hatimu, coba tenangkan hatimu dulu." Bulek Nuning mencoba menenangkan hati Saras.
"Tidak, mungkin. Itu tidak mungkin!" gumam Saras terus menerus sambil terduduk di lantai.
"Saras, kamu yang sabar ya, Nak! Ini sudah takdir. Kamu harus tabah!" ucap Bulek Nuning sambil memeluk Saras. Tapi, Saras memberontak melepaskan pelukan Bulek Nuning.
"Tidak!! Itu tidak mungkin! Aku baru saja ke luar dari rumah, aku melihat Emak istirahat di kamar, Emak tidak mungkin meninggal, Bulek!"
Bude Sumiati mendekati Saras, dia memeluk Saras sembari menangis. "Ya Allah, Saras! Tenanglah!" kata Bude Sumiati di sela isak tangisnya.
"Bude, katakan bahwa semua ini adalah bohong, katakan! Hiks ....!" suara tangisan Saras pun meledak tanpa ia bisa menahannya.
"Ada apa ini?" kata Permadi adik Saraswati yang baru pulang Sekolah. Pandangan matanya tertuju pada tubuh yang terbujur kaku berselubung kain batik, orang-orang memandangnya dengan pandangan penuh rasa iba.
"Ada apa?" Permadi bingung, ia masih belum mengerti betul tentang kejadian yang menimpa ibunya.
"Itu Emak kamu!" jawab Bude Sumiati.
"Tidak mungkin! Itu tidak mungkin Emak!" bantah Permadi.
"Itu Mak kamu!" tegas Bude Sumiati.
Permadi seperti orang kebingungan seperti halnya Saras yang tidak bisa menerima bahwa ibunya telah meninggal.
"Mbak Saras ..." panggil Bayu, adiknya yang dari tadi duduk diam sambil berlinang air mata.
"Bayu, yang di tutup kain itu bukan Emak, kan?" tanya Saras yang suaranya bergetar menahan kesedihan.
"Mbak! Emak udah meninggal, Mbak!" jawab Bayu.
Permadi mendekati Saras, ia duduk di samping Saras. "Mbak, semua ini tidak nyata, kan?"
Saras, Bayu dan Permadi saling berpelukan mereka bertiga menangis sedih, mereka seakan tidak percaya dengan semua yang ada di hadapan mereka.
Saras lalu melepaskan pelukannya, ia lalu ingin memastikan bila yang terbaring di sana adalah ibunya. Dengan tangan yang gemetar Saras membuka kain yang menutup tubuh itu. Jantungnya berdebar sangat kencang. Tangan Saras dengan hati-hati membuka kain itu, wajah pucat almarhum ibunya nampak seperti orang yang tertidur pulas.
Air mata Saras tidak bisa di bendung lagi, saat tahu tubuh yang terbaring kaku itu adalah ibunya. Saras tertegun tidak bisa teriak ataupun menangis, dalam pikirannya Saras menyangkal kalau itu ibunya.
"Tidak mungkin Emak meninggal, tidak mungkin itu terjadi. Semua ini salah! Semua hanya mimpi, aku pasti sedang bermimpi buruk! Ayo, bangun! Bangunlah, ini hanya mimpi burukku!"
Plaakkk! Plaakkk!
Saras memukul pipinya sendiri dan berharap ia bangun dari mimpi buruk. Pipinya merah dan terasa panas, Saras lalu memandang sekeliling ruangan.
"Ini nyata? Ini benar-benar terjadi padaku! Emak, Emaaak ...!" Saras saat sadar itu bukan mimpi, ia lalu berteriak memanggil Ibunya dengan sekuat tenaga.
"Emaak ...! Jangan tinggalkan aku!" seru Saras diiringi dengan isak tangisnya.
Melihat Saraswati yang menolak kebenaran, orang-orang semakin merasa terharu. Mereka pun tidak percaya bahwa ibunya Saraswati meninggal dunia begitu cepat, banyak orang terkejut mendengar kabar atas kematiannya.
"Saras kamu harus tabah ya! Kamu harus tabah, Nduk. Lihatlah, ini memang Emak kamu, Nduk!" suara Bude Sumiati di sela isak tangisnya, air matanya mengalir deras hingga matanya bengkak.
Tangan Bulek Nuning mendekat dan menutup kembali wajah almarhum ibunya Saraswati dengan kain batik itu.
"Jangan membuat arwah Emak kamu bersedih dan menghambat perjalanan pulang ke akhirat Emak kamu, Nduk!" Bulek Sumiati mengelus punggung Saraswati.
"Tidak, Bude! Mak e tidak meninggal, dia tidak meninggal, Bude!"
Adiknya Saraswati yang bernama Bayu mendekatinya, dia merangkul kakaknya sambil menangis, "Mbak Saras, Emak sudah meninggal. Mbak Saras, jangan seperti ini, kasian E mak, Mbak!"
"Bayu, kamu salah! Emak tidak meninggal, dia cuman tidur, suruh Emak bangun, Bayu! Suruh dia, bangun! Hiks ..." Saraswati menangis tersedu dalam pelukan adiknya, dia menangis tersedu-sedan.
Kedua adiknya yang lain, ikut mendekat dan memeluk Saraswati. Permadi dan Sundari memeluk erat tubuh Saraswati.
Mereka berempat berpelukan dan menangis tersedu-sedu bersama, ruangan itu di penuhi tangisan yang menyayat hati.
Saraswati melepas rangkulannya, ia lalu menatap tubuh yang terbaring kaku di depannya memeluknya, "Emaaak ...!"
Saraswati tersadar bahwa ibunya telah tiada. Dia memeluk erat tubuh yang terbujur kaku itu, Saraswati menangis sejadi-jadinya, hatinya betul-betul hancur.
Hatinya hancur, belum terlepas dengan masalah dengan juragan Broto, sekarang di hadapkan dengan cobaan yang sangat besar. Ibu yang selama ini, menjaga dan merawatnya dengan penuh kasih sayang, kini telah meninggal dunia begitu cepat.
"Ya Allah, cobaan apa lagi ini?" batin Saraswati.
"Saras, kamu tahu bapakmu di mana?" bisik Bulek Nuning.
Saraswati langsung menatap wajah Bulek Nuning dengan rasa heran. "Bapak, memangnya, di mana?" tanyanya balik.
"Kami tidak tahu, Nduk!" jawab Bulek Nuning.
"Jadi, Bapak tidak tahu, kalau Ibu telah meninggal?" tanya Saraswati penuh rasa heran.
"Kami, sudah mencoba mencari, tapi, belum ada yang tau bapakmu ada di mana?" ucap Bulek Nuning di sela isak tangisnya.
"Bapak pasti main judi di rumah Broto! Biar aku yang cari, Mbak!" ucap Bayu penuh emosi, adiknya itu memang kurang suka dengan sikap bapaknya.
Bayu berumur 13 tahun, dia sudah paham mana yang baik juga mana yang buruk. Kelakuan buruk bapaknya membuat Bayu sangat membenci bapaknya, terlebih sikap kasar bapaknya pada ibu dan saudaranya yang membuat dirinya semakin benci dengan bapaknya.
"Aku yang akan cari Bapak!" tegas Bayu.
"Bayu, kamu sebaiknya di rumah saja," ucap Saras.
"Tapi Mbak, siapa yang akan cari Bapak?"
"Biar orang lain yang cari, kita di sini saja."
"Mbak, Bapak tak akan pulang bila tidak dipaksa," balas Bayu.
"Dengarkan kataku, kamu di sini saja, jangan ke mana-mana," ucap Saras.
Bayu terdiam, pandangan matanya menyusuri ruangan tempat jenazah Ibunya dibaringkan. Suasana haru penuh dengan kesedihan karena tak menyangka ibunya telah tiada.
'Baru tadi pagi aku melihat Emak yang masih duduk sambil tersenyum mengantarku ke sekolah, tapi kenapa sekarang telah tiada? Kenapa, ya Allah? Kenapa Engkau ambil Emak begitu cepat?," gumam Bayu dengan derai air mata.
Bayu tertunduk tanpa tenaga, tubuhnya lemas seakan tak bisa menopang tulang dan dagingnya, derai air matanya mengalir membasahi pipinya, rasa sedih yang begitu dalam membuat hatinya bergejolak penuh amarah pada bapaknya dan juga marah pada nasib buruknya.
..
Bersambung...
Melihat Bayu yang terguncang hatinya, Bude Sumiati mendekati Bayu, lalu memegang pundaknya."Jangan kamu yang pergi, biar orang lain yang menjemput bapakmu," kata Bude Sumiati."Aku tahu tempat judi juragan Broto, aku yang jemput Bapak, ya!" sahut Permadi.Tanpa mereka duga, Adik kecil Saras yang berumur 8 tahun itu bersuara lantang. Permadi memang tahu betul tempat bapaknya berjudi, karena Permadi yang sering di suruh ibunya untuk menyusul bapaknya bila tidak pulang ke rumah. Permadi itu anak yang pemberani. Walau masih kecil."Biar aku yang susul, Mbak!" sahutnya lagi,"Jangan. Kita tidak pergi ke mana-mana, kita di sini jaga Ibu untuk yang terakhir kalinya." tegas Saras.Bayu berdiri dari duduknya, Saras memperhatikan adiknya yang berdiri, Saras lalu bertanya, "Kamu mau ke mana?""Aku akan membuat perhitungan dengan B
Saras meraih tangan mungil adiknya. "Sundari, Bayu, Permadi, jangan bersedih, jangan menangis, masih ada Mbak Saras di sini. Kita harus relakan Emak untuk istirahat dengan tenang," ucap Saras sembari memeluk adik-adiknya dengan kasih sayang.Neneknya cuman bisa menatap cucu-cucunya dengan hati yang hancur, tidak pernah terbayang dalam pikiran akan terjadi musibah seperti ini."Oalah Menik, bagaimana nasib anak-anak kamu sekarang? Apa lagi bapaknya pergi tanpa kabar entah ke mana," ucapnya lirih sambil mengusap derai air matanya dengan sudut jarik yang ia pakai.Dalam kesedihan yang amat dalam, Saras berusaha tabah. Matanya menangis, tapi tubuh dan hatinya, ia kuat-kuatkan untuk tetap tegar di hadapan adik-adiknya.'Aku harus kuat, adik-adik butuh aku. Kuat, aku harus kuat!' kata-kata itu yang terus ia lantunkan dalam hatinya.Hati Saras semakin hancur tatk
"Mbak Saras jangan khawatir, aku akan bekerja agar dapat uang untuk membantu Mbak Saras membayar hutang bapak," sahut Bayu sembari memegang tangan kakak perempuannya itu."Tidak, Bayu! Kamu harus tetap sekolah, bagaimanapun caranya, kamu harus tetap sekolah dan menjadi orang sukses. Tolong bantu Mbak mewujudkan cita-cita Mbak.""Tapi Mbak! Bagaimana cara Mbak Saras membayar hutang Bapak?" tanya Bayu."Kita pikirkan nanti saja.""Bagaimana kalau Broto ke sini dan nagih utang?""Bayu, biarkan Mbak istirahat sejenak, pikirannya Mbak masih kacau.""Mbak, biarkan aku bekerja saja."Saras memandang ke arah adiknya dengan tatapan tajam, ia terlihat kesal tapi juga sedih. Saras lalu menyandarkan kepalanya di dinding rumahnya yang terbuat dari bambu."Bayu, Mbak ingin kalian semua, adik-adikku yang Mbak sayangi menjadi orang h
"Ya Allah, belum juga 40 hari almarhumah ibuku, namun Broto gemblung itu minta aku menikah dengan dia. Dasar manusia tak ada udelnya, harusnya nunggu sampai 40 harinya ibuku.""Tapi kalau aku tak menikah dengannya, para pengawalnya pasti akan menyakiti keluargaku.""Ya Allah, andai saja aku bisa mati, matikan saja aku saat ini, aku takut membayangkan nasibku.""Tapi kalau aku mati, bagaimana dengan adik-adikku? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menikah dengannya?"Malam itu Saras tak bisa tidur, pikirannya kalut memikirkan nasibnya yang malang. Air matanya mengalir membasahi pipinya, bahkan kain selendang yang tersampir di pundaknya sudah basah oleh air mata.Saras merebahkan tubuhnya di atas tikar pandan yang ada di ruang tengah itu, ia bersama ketiga adiknya memang tidur di ruangan tengah, sedangkan neneknya tidur di dipan di sebelah ruang tamu.
Setelah beberapa saat, ia di kamar mandi, lalu masuklah seorang wanita paruh baya yang terlihat baik hati, ia menolong Saras mandi dan menuntun Saras ke tempat tidur."Ibu siapa?" tanya Saras lirih."Saya pengurus rumah ini, Non.""Nama Ibu siapa?""Non, jangan panggil aku Ibu, tapi panggil saja Mbok Tarni.""Mbok Tarni terima kasih ya!""Iya sama-sama, ini sudah tugas saya Non.""Sepreinya sudah Mbok ganti.""Iya Non, saat Non di kamar mandi, Mbok ganti sprei yang kotor dengan yang baru.""Mbok, badanku sakit semua dan bisakah Mbok bantu aku?""Bantu apa Non?"Saras melihat sekali lagi ke mata Mbok Tarni yang terlihat baik hati, Saras ingin minta tolong belikan pil KB agar dirinya tidak hamil dengan Broto."Mbok, belikan aku obat agar
Satu minggu kemudian...Daminah istri pertama almarhum Juragan Broto datang ke rumah Saras, dia di dampingi oleh pengawalnya yang bernama Jatmiko. Mereka datang berdua dengan wajah yang sinis, Saras yang sedang menerima mereka di ruang tamu rumahnya yang sederhana hanya tersenyum tipis.'Dua manusia tak tahu diri ini kenapa datang ke rumahku? Bikin pandangan mataku ternoda oleh penampilan Daminah yang menor, menyebalkan!' batin Saras.Daminah adalah wanita yang sombong dan suka pamer, penampilannya menor dan juga banyak perhiasan emas yang dia pakai. Daminah dijuluki toko emas berjalan."Hei, Saras! Kamu harus dengarkan aku baik-baik, ya!" Daminah membuka suara."Iya Bu.""Aku bukan ibumu, jangan panggil aku Bu!""Maaf," jawab Saras sambil menunduk, tapi dalam hati dia menahan tawa."Ada apa? Kenapa kamu senyum?"
Seorang pria tampan datang mendekat, setelah Daminah pergi bersama pengawalnya. Pria itu terlihat kebingungan. Permadi adik dari Saras baru pulang dari beli minyak goreng, ia lalu bicara dengan pria tampan itu."Maaf Mas, cari siapa ya?" tanya Permadi."Anu Dik, apa kamu tahu rumahnya Pak Sujarwo?""Ada apa cari Pakde Jarwo?""Orang itu katanya mau jual tanah jadi saya cari dia, tapi aku tak tahu pasti rumahnya di mana, karena ponselku mati gak bisa telpon dia.""Pakde Jarwo kan?""Iya Sujarwo.""Sujarwo atau Jarwo?" tanya Permadi. Bocah kecil itu memastikan siapa yang di cari orang itu."Aku tahunya dia namanya Sujarwo pedagang beras di pasar.""Oh, kalau itu betul namanya Pakde Jarwo.""Dia Pakde kamu?"Permadi mengangguk perlahan, ia lalu menunjuk sebua
Saras melamun hingga dia berjalan melewati rumah Pakde Jarwo, dan kebetulan Pakde Jarwo sedang ada di depan teras rumahnya dan melihat Saras berjalan bersama pria tidak dikenal."Saras, kamu mau ke mana?" tanya Pakde Jarwo.Sontak Saras berhenti dan membalikkan badan, ia lalu memandang sekelilingnya, ia tersipu malu karena melamun, ia tak sadar bila telah melewati rumah Pakde nya."Kamu mau ke mana, Nduk!" tanya Pakde Jarwo lagi.Saras tak menjawab tapi langsung berlari kecil menghampiri pamannya itu, ia tersipu malu seraya menunduk setelah sampai di di teras rumah Pakde Jarwo."A-anu Pakde, aku antar tamunya Pakde," jawab Saras."Orang itu ta?""Iya Pakde.""Oalah, lalu orang itu siapa, Nduk?""Ya, gak tahu Pakde, wong aku baru saja ketemu."Pakde Jarwo tersenyum mendengar uc