Home / Romansa / Janda Kembang / Kepergianmu Menyisakan Duka

Share

Kepergianmu Menyisakan Duka

last update Last Updated: 2022-03-17 22:35:02

Saras meraih tangan mungil adiknya. "Sundari, Bayu, Permadi, jangan bersedih, jangan menangis, masih ada Mbak Saras di sini. Kita harus relakan Emak untuk istirahat dengan tenang," ucap Saras sembari memeluk adik-adiknya dengan kasih sayang. 

Neneknya cuman bisa menatap cucu-cucunya dengan hati yang hancur, tidak pernah terbayang dalam pikiran akan terjadi musibah seperti ini.  

"Oalah Menik, bagaimana nasib anak-anak kamu sekarang? Apa lagi bapaknya pergi tanpa kabar entah ke mana," ucapnya lirih sambil mengusap derai air matanya dengan sudut jarik yang ia pakai.

Dalam kesedihan yang amat dalam, Saras berusaha tabah. Matanya menangis, tapi tubuh dan hatinya, ia kuat-kuatkan untuk tetap tegar di hadapan adik-adiknya. 

'Aku harus kuat, adik-adik butuh aku. Kuat, aku harus kuat!' kata-kata itu yang terus ia lantunkan dalam hatinya.

Hati Saras semakin hancur tatkala melihat neneknya yang bersimpuh di lantai dengan derai air mata mengalir di pipinya yang keriput. 

"Ya Allah, kenapa harus anakku yang lebih dulu Engkau, diambil, ya Allah! Kenapa bukan aku saja yang Engkau ambil! Menik, anakku!" suara isak tangis neneknya semakin membuat suasana dicekam kesedihan yang mendalam.

Bulek Nuning mendekat dan merangkul neneknya Saras, ia menghapus air matanya dengan selendang yang tersampir di pundaknya. 

"Simbok, relakan Yu Menik pergi, Mbok!"

"Bagaimana, Simbok bisa rela, kalau Menik pergi meninggalkanku mendadak tanpa pamit padaku!" ucapnya di sela isak tangisnya.

"Simbok yang sabar, ya!"

"Bagaimana bisa Menik tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil? Bagaimana nasib mereka tanpa ibunya? Aku juga sudah tua, bagaimana bisa aku menjaga mereka, ya Allah ...." 

Hati neneknya Saras hancur lebur melihat anak perempuannya meninggal lebih dulu di hadapannya. Mata wanita yang sudah tua renta itu, semakin sayu dan sembab. Air matanya tak henti-hentinya mengalir di pipinya yang keriput, tubuhnya yang kurus terguncang oleh tangisan yang tersedu-sedan.

"Mbak, Ibu sudah tiada, siapa yang akan mencari uang untuk hidup kita?" tiba-tiba saja Bayu bertanya pada Saras.

Pandangan matanya hampa, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana, Ibunya yang setiap hari bekerja membanting tulang untuk menghidupi mereka semua. 

Mereka hidup dan bertahan karena kasih sayang ibunya, Bapak mereka tidak pernah memberikan kasih sayang selayaknya seorang Bapak. Bapaknya tenggelam dalam minuman keras dan juga perempuan nakal.

Pondasi keluarga Saras adalah ibunya, tapi kini pondasi itu telah runtuh. Saras sebagai anak perempuan pertama harus siap menjadi penerus untuk melindungi dan menjaga adik-adiknya.

"Emak, aku harus bagaimana?" lirih Saras berbisik. 

Saat mereka duduk diam di ruang tengah, tiba-tiba salah seorang keluarga mereka ada yang menyuruh mereka untuk minggir, "Awas, minggir. Tolong beri jalan jenazah mau di baringkan di sini."

Ibu-ibu anggota rukun kematian yang ada di desa Saras dengan cekatan membopong jenazah ibunya Saras untuk di kafani. 

Tidak butuh waktu lama, jenazah sudah siap untuk di berangkatkan. Saras dan adik-adiknya menatap jenazah ibunya yang terbujur kaku yang ada dalam keranda mayat yang di tutup kain warna hijau dengan tulisan ayat-ayat suci Al-quran di atasnya. 

Salah satu pengurus rukun kematian bertanya pada keluarga, jenazah mau langsung berangkat atau menunggu keluarga yang belum datang melayat.

"Mohon maaf, ini jenazah sudah siap diberangkatkan," kata Pak Modin.

"Kita tunggu sebentar kedatangan suami almarhumah Ibu Menik dulu ya, Pak!" kata Bude Sumiati.

"Ya Allah, Kang Jarwo mana, sih! Kenapa belum datang, juga?" gumam Bude Sumiati.

Sambil menunggu, Saras meminta adiknya untuk mengambil Al-Quran di dalam kamar tidurnya, "Le, tolong ambilkan Al-Quran di kamar Mbak Saras, ya!" ucapnya sambil memandang Permadi. 

"Baik, Mbak!" Permadi adik kecilnya itu langsung berdiri lalu berjalan pelan melewati orang-orang yang duduk berkumpul di sekitar jenazah ibunya. 

Tidak berapa lama, Permadi membawa Al-Quran dan juga sebuah buku bacaan surat Yasin di tangannya. Permadi duduk dan memberikan Al-Quran pada Saras, sedangkan dirinya dan Bayu membaca buku surat Yasin.

Sudah lama orang-orang menunggu, bahkan Saras pun sudah selesai membaca surat Yasin, tapi bapaknya belum juga datang. 

Pak Modin mulai gelisah, ia lalu berdiri dan berkata, "Mohon maaf, ini bagaimana? Suaminya kok belum datang? Apa langsung di berangkatkan saja? Kasian kalau nunggu lama-lama."

"Langsung berangkatkan saja, Pak!" teriak laki-laki dari balik kerumunan orang-orang yang datang melayat.

Ternyata Pakde Jarwo yang datang. Wajahnya terlihat merah padam. Mereka yang ada di sana merasa heran dan juga bingung.

"Ada apa ini?" salah seorang warga bertanya pada temannya. 

"Aku tidak tahu, Kang!" jawab orang itu.

Pakde Jarwo maju ke arah Pak Modin. "Pak, tolong berangkat saja, tidak usah nunggu suaminya!" suara Pakde Jarwo bergetar menahan kesedihan bercampur amarah.

"Baiklah, kalau begitu. Hmm, kasihan juga almarhumah kalau menunggu lama. Ayo kita berangkat! Bismillahirohmanirohim Allahu Akbar La ilaha illallah!"

Keranda jenazah ibunya Saras pun di gotong keluar pekarangan menuju jalan setapak yang menghubungkan jalan itu ke pemakaman umum. 

Saras wajahnya berubah memerah, amarah dan juga kesedihan bercampur aduk di dalam hatinya.

"Sungguh, aku tidak bisa memaafkan dirimu, Pak! Untuk yang terakhir kali, kenapa Bapak tidak mau mengantar kepergian Emak? Kenapa, Pak?" gumam Saras dengan derai air mata.

Orang-orang sudah mulai bergerak menuju ke pemakaman, Bayu berdiri di samping Saras dan menarik tangan kakaknya.

"Mbak, ayo ikut rombongan ke makam!" ajak Bayu.

"Ayok!" jawab Saras dengan langkah gontai berjalan mengikuti rombongan orang-orang yang mengiringi jenazah ibunya menuju ke pemakaman.

"Mbak Saras terlihat marah, Mbak marah sama Bapak?" tanya Bayu sambil berjalan di samping Saraswati.

"Iya, aku sangat marah!"

"Aku juga. Andai saja, Bapakku bukan dia, pasti hidup kita tidak akan jadi begini, Mbak!" kata Bayu sambil mengusap air matanya. 

"Mungkin." Saras menjawab tanpa semangat.

"Andai saja aku bisa memilih orang tua, aku akan memilih Bapak yang kaya biar Emak hidup bahagia dan tidak susah seperti ini," ucap Bayu.

"Apa yang terjadi pada kita, memang sudah menjadi takdir kita Bayu. Kamu jangan menyalahkan takdir Allah."

"Kenapa kita harus punya Bapak yang tidak punya malu seperti dia, aku sungguh benci dia, Mbak!"

"Sudahlah, jangan bicara seperti itu, kita doakan saja Bapak segera mendapatkan hidayah."

"Aku lebih suka dia mati," ucap Bayu penuh amarah.

"Astaghfirullah Bayu, jangan begitu Le! Istiqfar Ke!"

Bayu meneteskan air, ia menangis karena marah, sedih, dan kecewa yang bersatu padu dalam hati dan pikirannya. Saras menggandeng tangan Bayu dan Permadi, walau hatinya serasa tercabik-cabik, tapi tangannya memegang tangan adiknya dengan lembut dan penuh kasih.

"Kita harus kuat, jangan biarkan Emak melihat kita terus bersedih. Emak mungkin telah tiada, tapi Emak bisa melihat kita dari surga," ucap Saras.

Mendengar ucapan kakaknya, kedua adik Saras merangkul pinggang Saras dan berjalan beriringan. Walau air mata terus mengalir, tapi mereka berusaha untuk tabah.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Kembang   Hari Bahagia

    "Kenapa kamu bersama Saras?" "Kenapa, kamu tidak suka?" jawab Radytia seraya menatap Reyhan tajam. Seakan tidak mau kalah dengan Radytia, Reyhan berkacak pinggang sambil menatap balik Radytia dengan pandangan yang siap tanding, "Kalau berani, kita bisa berduel di luar." "Jangan Mas." Saras memegang tangan Radytia erat-erat. Reyhan semakin cemburu melihat Saras begitu dekat dengan Radytia, padahal dengannya Saras selalu menjauh, dia juga tidak tahu sejak kapan Radytia dan Saras bisa sedekat itu. "Apa kalian sudah tidur bersama?" "Dasar gila, kamu bicara terbuka seperti itu, apa tidak malu?" sahut Saras kesal. "Malu ... kalian yang seharusnya malu bergandengan tangan di depan umum padahal dia masih istriku." Plaaakk! Saras menampar Reyhan dengan keras hingga Radytia terkejut melihatnya, dia sungguh tidak menyangka bila Saras senekat itu di depan orang banyak. "Aku bukan istrimu lagi jadi jangan sebut lagi aku istrimu. Ngerti!" Zapp! suara pukulan bogem mentah yang langsung mend

  • Janda Kembang   Masih Ada Rasa Ragu

    "Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Saras sambil menengadah menatap Radytia."Kenapa, apa kamu tidak suka aku melihatmu?""Tidak juga sih.""Kamu cantik, pribadimu juga menarik, apa kamu mau jadi pacarku?"Saras menatap dalam-dalam Radytia, dia rasa Radytia sedang mabuk karena bicaranya ngaco, "Kamu baik-baik saja kan?""Tentu saja," jawab Radytia yang tanpa sungkan duduk di ranjang sambil menatap Saras penuh perhatian."Kenapa lihat-lihat hah! Jauh-jauh sana!""Biasanya kalau wanita bilang jauh-jauh itu tandanya suruh mendekat.""Dekat-dekat sana!" sahut Saras yang mengira Radytia bicara sungguh-sungguh, tetapi Saras tidak tahu kalau itu hanya modus Radytia untuk mendekatinya."Bagaimana, apa ini sudah dekat?"Saras terkejut dengan tindakan Radytia yang langsung mendekatinya dan bahkan wajahnya tepat di depannya hingga hidupnya bisa merasakan hidung Radytia. Saras tidak berani buka mulut karena dia baru bangun tidur dan belum gosok gigi, tapi wajah Radytia yang semakin mendekat mem

  • Janda Kembang   Menolak Bersatu

    Saras menahan gejolak rindu dalam hatinya karena Reyhan sekarang sudah punya istri, sedangkan dirinya hanya ibu dari anaknya, tidak seharusnya dia berduaan dengan suami orang."Aku mencintaimu, percayalah cintaku hanya untukmu," lirih Reyhan."Maafkan aku Mas, aku tidak bisa menerimamu. Tolong kembalilah ke kamarmu, kita sudah bukan lagi suami istri, Mas sudah memilih menikah dengan Bella dan meninggalkanku jadi sekarang waktunya kita untuk berpisah."'Apa maksud kamu Dik, kita sudah lama tidak bertemu dan duku kita berpisah karena salah paham, jadi kembalilah padaku, aku tahu dulu aku banyak salah padamu, tapi mohon mengertilah keadaanku.""Maafkan aku Mas," jawab Saras sambil menepis tangan Reyhan.Mendapat penolakan dari Saras Reyhan pun terduduk lemas sambil bersandar di sisi ranjang, matanya terpenjam dan dia duduk bersila, penyesalan yang begitu besar menyesakkan dadanya."Dik, andai saja dulu aku tidak melakukan kebodohan, mungkin saat ini kita sudah hidup bahagia.""Mungkin sa

  • Janda Kembang   Kejamnya Cinta Segitiga

    Saras sudah muak dengan perilaku Bella, terlebih mereka saat itu di kamar hotel. Langkah kakinya menuju pintu kamar lalu membuka pintu."Keluar dari sini!"Semua yang di dalam kamar memandang ke arah Saras, mereka terkejut dengan ucapan Saras yang tajam."Lama tidak bertemu, aku tidak menyangka kau sekarang lebih berani padaku," balas Bella. "Cukup sudah kau hina aku, jadi sebaiknya kau pergi."Mendengar ucapan Saras, Bella berjalan menuju tempat Saras berdiri, terlihat senyuman sinis dari sudut bibirnya. "Kau menantangku …?""Selama ini aku sudah menghindar dan pergi dari kehidupan kalian, tapi kau masih saja mengangguku, jadi untuk apa aku mengalah?""Saras, kau sudah berubah," balas Bella. "Bukan urusanmu aku berubah atau tidak, tapi kalau kau usik aku, maka aku tak akan tinggal diam!""Baiklah, aku akan pergi, tapi ingat, kalau kamu main-main dengan suamiku, maka rasakan akibatnya!"Tatapan serta ucapan Bella begitu tajam pada Saras, namun Saras bukan wanita yang gampang takluk

  • Janda Kembang   Bimbang

    Saras setuju menginap di hotel, karena dirinya juga butuh istirahat setelah kemarin melakukan perjalanan dari kota Solo. Melihat perhatian Radytia, saudara-saudara Saras beranggapan bila Radytia punya perasaan khusus pada Saras. "Mbak, sepertinya Mas Radyt itu orang baik," ucap Sundari yang sedang bermain dengan Elena di atas kasur. "Baik dari mananya, bukankah kau baru kenal dia?" "Iya sih, tapi terlihat dari tatapan matanya yang syahdu saat melihat Mbak Saras." "Mbak rasa setiap laki-laki begitu adanya, mereka akan menatap dengan penuh cinta saat belum mendapatkan apa yang dia incar." "Menurut Mbak Saras seperti itu?" "Iya," jawab Saras sambil tersenyum. Saras masih ingat bagaimana perhatian Reyhan padanya saat dirinya belum menikah dengannya, namun setelah dirinya hamil, malah Reyhan memintanya untuk menggugurkan kandungan. Perasaan benci pada Reyhan waktu itu masih sangat terasa sampai saat ini. Rasa benci, rindu dan cinta bercampur aduk dalam hatinya saat ini. "Mbak, kenap

  • Janda Kembang   Bukan Sebuah Permainan

    "Radyt, tolong bicara dengan Bella kalau kita cari makan hanya berdua saja," ucap Reyhan sambil memandang Radytia. "Apa maksudmu? Kenapa aku harus berbohong padanya?" "Ayolah bantu aku kali ini saja." "Hahaha!" tiba-tiba saja Saras tertawa melihat wajah Reyhan, "dasar pengecut!" lanjutnya. "Aku tidak pengecut, tapi saat ini ada Mama di rumah sakit dan Papa juga masih kritis di ICU, jadi aku tidak bisa jujur dengan mereka," jawab Reyhan. "Tetap saja kau seorang pengecut bagiku," sahut Saras dengan pandangan tajam ke arah Reyhan. "Sudah su-" belum sempat Radytia selesai bicara, ponsel yang dipegang Reyhan berdering kembali. "Radyt, tolong bicara dengan Bella," pinta Reyhan. "Aku tidak mau," jawab Radytia. "Radyt aku mohon." Radytia terlihat cuek dan asik dengan makanan yang dia kunyah, sedangkan Reyhan terlihat gelisah sambil memandang ponselnya yang berdering. "Radyt kalau Mama tahu aku makan bersama Saras, Mama bisa kena serangan jantung." Saras yang tadinya merasa kesal de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status