“Jangan mimpi!!” Aku terkejut mendengar jawaban Laila. Aku pikir dia mau rujuk. Mantan istriku langsung pergi.
“Laila tunggu!” Laila tetap berjalan cepat. Tak menoleh apalagi menyahut.
Sudahlah, kalau memang Laila gak mau, ya gak apa-apa. Masih ada tante Susi. Walaupun dia sudah tua, tapi banyak harta. Apalagi dia bilang tak perlu aku capek-capek kerja.
Aku kembali melihat Ibu dari kaca jendela kamarnya. Keadaan ibu masih sama. Badannya terlihat lebih kurus. Setelah melihat kondisi ibu, aku segera pulang. Ke rumah tante Susi.
***
Keesokan harinya, aku dan tante Susi kembali ke panti asuhan. Sesuai perintah Bunda Fatimah. Kami dipersilahkan masuk oleh wanita dua hari lalu yang menyambut kami.“Silahkan duduk, Bunda sudah menunggu Mas dan Mbak. Sebentar say
“Itu kucing lewat,” jawab Siska diiringi kekehan. Sial! Aku dikerjain.“Habisnya lo ngelamun mulu. Jangan mikirin si Damar ama Meyla, mereka gak bakal ngapa-ngapain.”“Apaan sih lo?” Gengsi kalau aku mengakui cemburu di depan Siska. Sepanjang jalan kuputuskan untuk tidak berbicara dengan Siska. Malas!!Tiba di rumah aku membanting pintu mobil. Siska hari ini benar-benar menyebalkan.“Woi, besok jam berapa ke rumah sakitnya?” teriak Siska dari dalam mobil.“Serah!” Sebal banget punya sahabat kayak Siska. Kerjaannya ngeledekin, sok tau, kepo.Aku langsung melangkahkan kaki ke kamar. Menghempaskan tubuh di atas kasur, menatal langit-langit kamar.Bayangan Damar dan Meyla melintas kembali. Aku bangkit, duduk bersila. Mataku tertuju pada tiga koper milik Nafisa. Kuhampiri koper tersebut dan aku buka satu persatu.Pertama aku buka koper yang isinya oleh-ole
PoV Haris“Sejak kapan tanda ini ada?” Tunjuk Nafisa pada tanda bulat berwarna coklat di telapak tanganku.“Sejak kecil. Emang kenapa?” Nafisa kembali duduk. Kedua matanya nampak berembun.Kenapa Nafisa bertanya tentang tanda lahir ini? Apa mungkin dialah saudara kandungku?“Kamu hari ini sibuk?” tanya wanita berambut sebahu. Aku menggeleng.“Kita ke rumah sakit untuk tes DNA. Kemungkinan besar kamu adik aku.” Perkataan Nafisa menyentakku. Bahagia sekali jika Nafisa adalah saudara kandungku. Sepertinya dia orang kaya, aku pasti dari keluarga yang kaya raya.“Ya sudah, kalau gitu kita ke rumah sakit sekarang.” Cetus tante Susi berbinar.“Oke, aku mau dites DNA sekarang.” Aku menimpali. Rasanya sudah tidak sabar melihat kenyataannya.“Alhamdulillah kalau kalian sudah menemukan keluarga yang sebenarnya. Semoga saja, keluarga k
POV Laila“Kayaknya bukan Haris kamu. Masa sih Ummi Abi ngijinin kamu nikah sama laki-laki yang gak jelas asal usulnya,” ucap Nafisa di ujung telepon.“Iya. Adik kamu pasti orang baik. Ya sudah, aku mau mandi dulu nih. Baru pulang. Nanti kabari aja kalau udah ketemu sama adik kamu.”“Siap. Sekalian aku kenalin. Kali aja kalian berjodoh!” Kelakar Nafisa, aku tanggapi ketawa.“Ngaco! Enggak! Aku gak mau nikah dulu. Masih trauma!”“Iya, iya.”Klik.“Nafisa?” tanya Siska. Aku mengangguk.“Dia mau ketemu adik kandungnya.”“Oh syukurlah. Tadi gue denger lo nyebut nama Haris. Apa hubungannya ama dia?” Aku meletakkan tas di jok belakang.“Itu, kata Nafisa. Nama adik dia juga Haris.”“Wah, jangan-jangan adiknya itu si Haris parasit.” Siska mulai menaruh curiga.“Emang nama Haris dia
Plakk!!Kutampar pipi Haris dengan keras. Kurang ajar! Beraninya dia bilang aku selingkuh. Laki-laki itu memegang pipi, meringis kesakitan.“Haris, kamu baik-baik aja?” Wanita di sampingnya cemas. Pipi mantan suamiku itu dielus-elus.“Sekarang kamu berani tampar aku, heuh???” Kedua mata Haris nyalak menatapku.“Jelas aku berani. Mulut kamu itu kayak comberan. Seenak jidat ngatain orang selingkuh. Jelas-jelas kamu yang selingkuh!!” Aku benar-benar geram dan muak melihat si Haris. Kadang aku heran, kenapa ketemu manusia bermuka Badak terus sih?“Terus ngapain kamu ke sini, pilih gaun pengantin segala, kalau bukan mau nikah lagi??”“Eh, Parasit! Makanya jadi orang tuh tanya dulu sebelum menjudge!” Siska menyela.“Haris, jadi ini mantan istri kamu?” Wanita di sebelah Haris bertanya menatapku dan Siska bergantian.“Iya. Dia yang namanya Lai
PoV HarisTak kusangka, Laila berani menamparku di depan Siska dan Susi. Bagaimana bisa, wanita yang dulunya sangat lemah lembut berubah jadi kasar?? Ini pasti karena hasutan sahabatnya! Siska, si tomboy!Bukan hanya Laila yang kena hasutan Siska, Susi juga. Sikap Susi berubah 180 derajat setelah bertemu Laila dan Siska.Sialan!“Yangsus, tunggu! Tungu dulu!” kutarik lengan Susi.“Lepasin! Lepasin tangan aku!!” Tak kudengar ucapannya, tetap menggenggam dengan kuat.“Diam! Dengerin aku dulu!” Susi mulai melemah, tidak meronta-ronta lagi.“Jangan dengerin omongan Siska. Dia bilang kayak gitu karena sakit hati. Dulu, Siska pernah suka sama aku juga, tapi aku lebih memilih Laila.” Tentu saja, penjelasanku penuh kebohongan.“Laila gak tau, kalau sahabatnya itu suka sama aku. Padahal, Siska suka diam-diam menggoda.” Kalau bicara ngarang, aku emang j
Langkah kaki kuayunkan menuju kantin Perusahaan. Di kantin, aku termangu. Mengingat kembali perjalanan hidup. Terutama tentang persoalan cinta. Mungkin, memang seharusnya aku menyendiri dulu. Tidak membuka hati pada laki-laki siapapun. Setidaknya untuk saat ini atau beberapa tahun kemudian.Perjumpaan dengan Haris dan Sadewa seolah menguak luka lama. Luka lama yang terkadang masih kurasa.Menarik napas panjang, memejamkan mata. Tenang, saat ini yang kurasakan. Jauh dari para pria.Melihat kopi yang sudah mulai dingin. Lalu menyesapnya hingga tetes terakhir.“Sadewa udah pulang. Gue batalin kerja sama kita.” Mendongak, tanpa kusadari, Siska sudah duduk di bangku yang bersebarangan.“Kenapa?”“Muak gue. Ucapannya tinggi banget. Males dah ngadepin manusia congkak kek dia.”Tak lama secangkir kopi yang masih mengepul diantar pelayan. Entah kapan Siska memesan kopi tersebut.
Setelah menerima telepon Nafisa, aku segera memesan ojek online. Lagi ngirit, gak perlulah pesan grab mobil atau taksi. Keluar apartemen, menunggu di depan lobby. Butuh sepuluh menit hingga akhirnya ojek itu datang.Menepuk pundak tukang ojek, memberitahukan alamat yang akan dituju, motor itu pun mulai melaju.Perjalanan kali ini lumayan macet, mungkin karena bersamaan dengan jam keluar karyawan. Debu asap dari knalpot membuat mataku sedikit perih. Meski mengenakan masker dan helm, tetap saja debu jalanan membuat aliran napas agak tersengal.“Bang, gak ada jalan tikus? Biar cepet nyampenya.” Bosan sekali berlama-lama di tengah jalan raya. Entah sudah berapa kali kulirik arloji di pergelangan, hampir dua puluh lima menit terjebak macet. Sialan! Segini naik motor, bagaimana kalau naik taksi?“Gak bisa, Mas. Jalan tikus adanya dua ratus meteran lagi. Masuk gang.” Aku mendesah frustasi. Hanpdhone berdering. Kuambil dari saku
Handphone berdering, aku mengerutkan kening melihat nama si penelepon. Siska.“Napa, Sis?”“Cepetan ke sini! Di sini ada Nafisa!” seru Siska. Suaranya terdengar panik.Nafisa? Kenapa dia ada di sini? Aku berdiri, melongok ke luar jendela.Ya Allah, jangan-jangan yang kecelakaan Nafisa?Secepat kilat kusambar tas di atas meja, setengah berlari menghampiri tempat kejadian kecelakaan tersebut.Aku berjalan cepat, Membelah kerumunan, kulihat Nafisa berjongkok sambil menangisi si korban, sementara Siska mengelus punggung Nafisa, menenangkannya.“Naf?”“Lailaaaa ....” Nafisa menghambur dalam pelukanku.Menelisik wajah korban, sepertinya aku mengenal orang itu. Aku berjongkok, di samping korban tersebut. Kedua mataku membulat, saat menyadari kalau korban tersebut adalah Haris, mantan suamiku.Tapi kenapa Nafisa menangis?Sirine ambulance terdengar.