Aku menunggu Damar yang sedang serius di depan laptop selama lima belas menit.
Menghela napas, beranjak menuju jendela kaca. Melihat panorama jalan raya di pagi hari.
Pikiranku tiba-tiba mengawang pada pertemuan pertama dengan Bang Haris.
Bugh!!
Saat itu, tanpa sengaja menabrak tubuh Bang Haris di koridor kampus. Tidak ada kemarahan dari wajahnya. Ia justru tersenyum dan membantuku berdiri serta mengambil buku-buku yang berserakan.
“Maaf,” ucapku membungkuk. Lagi, laki-laki berkulit putih yang berdiri di hadapanku tersenyum.
“Gak apa-apa,” sahutnya. Kemudian ia berlalu. Aku pun melanjutkan langkah menuju ke perpustakaan.
Tak disangka, di perpusatakaan bertemu kembali dengannya. Di sana, kami pun berkenalan.
Sejak kejadian itu, aku mengetahui siapa Bang Haris. Ternyata Bang Haris kakak tingkat. Dia juga mahasiswa yang cerdas.
“Abang bukan orang berada. Bisa kuliah di sini karena dapat beasiswa prestasi. Ibu Abang cuma tukang goreng keliling. Kadang kalau pulang kuliah, Abang juga bantuin Ibu jualan. Maklum, Ayah Abang udah meninggal sejak Abang masih SMP.” Ceritanya saat kami makan bakso di kantin kampus.
Singkat cerita aku dan Bang Haris menjalin hubungan. Meski Siska sempat tidak suka dengan hubungan kami. Tapi aku tak peduli.
“Gue gak suka karena dia kayak manfaatin lu, Laila,” ucap Siska kala itu. Aku tak habis pikir, kenapa Siska bisa buruk sangka pada Bang Haris.
“Manfaatin gimana sih?” tanyaku kala itu tak mengerti.
“Lah itu, udah sebulan ini kan lu ajak dia makan gratis terus. Bahkan nyokapnya juga hampir tiap hari minta duit.” Siska mengingatkanku akan kebiasaan Bang Haris.
“Cuma buat modal. Gak apa-apalah.” Kilahku. Masih membela Bang Haris dan Ibunya. Bagiku ketika itu, hal yang dilakukan Bang Haris dan Ibunya suatu yang wajar. Dan lagi, Ibu Bang Haris hanya minta seratus dua ratus ribu.
Sekarang tanpa kuduga setelah hampir tujuh tahun tinggal satu atap dengan mereka. Ibu mertua dan Bang Haris yang selama ini selalu kumanjakan, apa yang mereka mau selalu kuberikan, begitu tega memberikan pilihan yang membuatku sakit hati.
“Selesai!” Suara Damar membuyarkan lamunan. Aku menoleh, menghampiri Damar yang sedang memutar badan ke kiri ke kanan.
Aku melirik arloji. Damar mengerjakan iklan itu hanya dua puluh dua menit. Waktu yang cepat dari perkiraan.
“Coba sini aku lihat.” Aku langsung melihat hasil karya Damar. Membungkuk di sisinya. Aroma parfum yang dipakai tercium jelas. Aku berusaha memfokuskan pikiran, melihat hasil kerjaan lelaki yang usianya jauh lebih muda dariku. Dan hasilnya? lumayan. Sempat tersenyum ketika membaca tulisan iklan,
“Mahkota Anda ingin selamat dan aman? Pakai saja Arlai.” Aku menggumam pelan.
“Arlai itu apa?” tanyaku menatap wajah Damar. Jarak kami sangat dekat, aku menegakkan tubuh, menjaga jarak.
“Merk celana dalamnya.”
“Kenapa Arlai? Emang artinya apa?”
Damar menggaruk kepalanya yang kuyakin pasti tidak gatal. Dia cengengesan lalu menjawab.
“Damar Laila. Hehe ....”
Spontan aku melotot. Risih dengan kepanjangan itu. Damar tertawa memamerkan barisan giginya yang rapi. Aku mencebik kesal.
“Spontan itu, Bu ... habis dikasih waktunya dikit banget. Yang lewat dipikiranku Cuma nama itu.” Damar berkelit, menjelaskan. Aku tetap merengut.
“Ya sudah. Sekarang kamu boleh keluar. Tunggu saja telepon dari kami.”
“Ya elah ... Gak bisa sekarang Bu keputusannya? Bosen banget nih di rumah, rebahan mulu!” Rengeknya dengan tampang menyebalkan. Aku mendelik. Menatap tak suka.
“Bodo amat! Udah sono keluar!” usirku tegas.
Aduh, ngeselin banget lagi nih bocah! Bikin tambah mumet aja.
“Iya, iya ... Jadi, sekarang saya pulang aja nih?” pertanyaan yang membuatku menarik napas panjang.
“Iya, Damaaarrr ....”
“Oke. Saya permisi. Selamat siang.” Lelaki itu menarik kursi, berjalan keluar ruangan.
“Siang.”
Aku memerhatikan kembali hasil kreatifitas Damar. Hasilnya jauh dari kata lumayan. Apalagi diberi waktu Cuma dua puluh lima menit.
Ponsel yang kuletakkan di dalam tas berdering. Kulihat nama yang tertera di layar benda pipih itu. Bi Inah.
“Assalamualaikum, Bi?” sapaku.
“Waalaikum salam. Maaf Non Bibi ganggu.”
“Ada apa, Bi?”
“Itu Non, barusan Bibi lihat, Nyonya Besar masuk ke kamar Non Laila.” Mataku membeliak.
“Apa? Mau ngapain dia?”
“Bibi gak tau. Gak berani ngikutin, Non.”
“Ya sudah, sekarang Laila pulang. Makasih ya, Bi.” Kataku tergesa. Meraih tas lalu keluar dengan setengah berlari.
***
Tiba di rumah, bergegas menuju kamar. Aku harap bisa memergoki Ibu di sana. Bi Inah menghampiri.
“Dia masih di dalam?” tanyaku pelan. Bi Inah mengangguk.
Tanpa ragu kubuka pintu lebar-lebar. Ibu mertuaku terlonjak. Dia berdiri. Tangannya ia sembunyikan ke belakang. Penuh emosi aku menghampirinya.
“Ka-kamu sudah pu-pulang, Laila?” tanya Ibu terbata-bata. Ia terkejut, menyadari kehadiranku yang sudah berdiri di sampingnya.
“Ngapain Ibu di sini?” Wanita tua itu gelagapan. Berdehem berkali-kali. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada, menelisik penampilannya. Gelagatnya sangat mencurigakan!
Tanpa basa-basi, aku meraih tangannya yang ia sembunyikan di belakang tubuh.
“Apa yang Ibu sembunyikan? Sini Laila mau lihat!”
Ibu mertua berkelit. “Bukan apa-apa, Laila. Ibu ke sini Cuma bersihin kamar kamu.”
“BOHONG!!” Tandasku dengan suara tinggi.
Aku terus memaksa menarik tangan Ibu ke depan. Dan ternyata .... Beberapa lembar uang berserakan saat kutarik paksa tangan Ibu.
“Astaghfirullah ....” Pekikku, melihat lembaran-lembaran uang. Aku memunguti dua lembar uang nominal seratus ribu. “Ini apa, Bu? Berani sekali Ibu ngambil uang di kamar, Laila?” Aku semakin geram melihat sikap Ibu yang semakin berani dan melunjak.
Ibu memungut kipas yang sempat terjatuh, lalu mengibaskannya.
“Memangnya kenapa kalau Ibu ngambil uang kamu? Ibu melakukan ini karena kamu gak ngasih uang proyek!!” sahutnya dengan intonasi tinggi.
Aku memejamkan mata. Kedua tangan mengepal.
Ya Allah Ya Kariim ... Apa Ibu mertuaku ini sudah tidak takut dosa? Sudah kepergok mencuri, bukannya minta maaf malah menyalahkan.
“Kalau Ibu masih ingin uang itu, tarik permintaan gila Ibu dan Bang Haris!”
“Kalau Ibu gak mau?” tantangnya.
Aku mendekati Ibu. Jarak kami kini hanya beberapa senti.
“Jangan harap mendapat uang dariku walaupun satu peser!” Desisku dengan tegas!
“Kamu gak takut kalau Ibu dan Haris pergi?” tantang Ibu mertua. Astaghfirullah ....
“Gak sama sekali! Ada Ibu dan Bang Haris atau tidak, gak ngaruh buat kehidupanku.” Aku bersidekap. “Toh selama ini, kalian cuma numpang hidup. Jadi ... Aku bisa kapan saja depak kalian dari rumahku!!” ucapku penuh penekanan.
“Lancang!!!”
Tangan kanan Ibu mertua terangkat hendak menampar, dengan gesit aku pegang pergelangan tangannya.
“Jangan coba-coba menamparku, lebih baik sekarang Ibu keluar dari kamar ini sebelum besok atau lusa keluar dari rumahku!!”
Ibu menatapku dengan bengis. Kedua matanya memerah, menahan amarah.“Lepasin tangan, Ibu! Lepasin!”“Oke!”Aku masih tetap siaga, kalau-kalau Ibu melayangkan tangannya kembali.“Mantu kurang ajar! Gak punya sopan santun!” Aku tersenyum sinis.“Aku kayak gini karena sikap Ibu. Mertua matre, gak tau diri, kasar!”Gigi Ibu bergemelutuk. Kedua tangannya mengepal.“Benar kan?” tanyaku.“Awas kamu! Ibu aduin ke Haris. Udah berani ngelawan!”“Sana aduin. Laila gak takut.” Jawabku enteng.Ibu keluar kamar. Langkah kakinya terhenti saat melihat Bi Inah sedang berdiri di sisi pintu.“Oooh ... Ibu tau ... Pasti Pembantu ini kan yang ngadu sama kamu?”Astaghfirullah ... Masih saja ngeselin. Aku menoleh.“Eh, jangan pernah ikut campur urusan kami. Ngerti? Dasar Babu!!” Maki
#POV_Ibu_Mertua Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam. Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan. Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan. Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.
Benda apa itu? Kok seperti gulungan rambut? Kayaknya benar rambut. Kucoba menelisik benda persegi empat yang dibalut oleh helaian-helaian rambut yang sangat tebal.“Bi, coba ambil yang itu.” Perintahku, Bi Inah mengangguk. Mengambil benda persegi panjang tersebut.Bi Inah dan Mang Karman meneliti. Mengorek benda apa sebenarnya di balik balutan rambut.“Ini gepokan uang, Non!” seru Mang Karman. Gulungan rambut disingkirkan. Terpampang jelas setumpuk uang seratus ribu. Aku heran, kenapa uang sebanyak itu dililit dengan rambut sangat tebal?“Kok dililit sama rambut? Buat apa?” tanyaku heran. Menatap suami istri yang berdiri di depanku bergantian. Sejenak kami diam.“Bibi tau, Non.” Celetuk Bi Inah. Memecah keheningan. Aku dan Mang Karman menatap Bi inah seksama. Menunggu kelanjutan ucapannya.“Katanya, kalau uang kita dililit dengan rambut. Tuyul, babi ngepet, atau
“Jangan ngomong sembarangan, Laila!” Gertak Bang Haris. Ibu memegang lengan anaknya. Menenangkan. Aku sendiri bersikap tak peduli. Acuh tak acuh. Kenapa mesti takut dengan mereka? Wong ini rumahku sendiri.“Aku serius!” jawabku menatap mereka nyalang. Enak saja, mereka memberiku pilihan. Pilihan yang jsutru sangat merugikanku. Benar kata Siska, mereka berdua memang parasit!“Ya sudah kalau itu emang maumu. Tapi kamu yang harus biayai perceraiannya!” Ibu menyela. Sudah kuduga, pasti Ibu tidak mau rugi.“Gak masalah. Yang penting sekarang kalian keluar dari rumah ini!” ucapku tegas. Jari telunjuk menjuntai ke pintu luar. Mereka pikir aku akan mengemis untuk tidak ditinggalkan? Ah, no!! Meskipun sekarang kedua orang tuaku telah tiada, tapi aku masih punya orang-orang yang peduli. Orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.“Oh gak bisa. Sebelum ketuk palu, kami masih berhak tinggal di sini.
“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.“Makasih,” jawabku singkat.“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan
POV Haris (1)Aku adalah laki-laki yang amat sangat beruntung. Memiliki istri yang cantik, cerdas, royal, pengusaha sukses, dan yang paling penting, sangat kaya raya.Dia bernama Laila Hussein. Perempuan keturunan Arab yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Anak tunggal dari pengusaha perkebunan teh di Bogor.Setelah orang tuanya meninggal, otomatis aset kekayaan Abi dan Uminya jatuh di tangan Laila.Memiliki harta yang melimpah tidak lantas membuat Laila berpangku tangan. Dia dan sahabatnya membangun perusahaan yang bergerak di bidang periklanan.Bisa dibayangkan, berapa banyak uang dan aset yang Laila miliki. Tapi, itu semua tidak akan berlangsung lama, karena sebentar lagi, harta Laila akan berpindah ke tangan padaku.Diam-diam aku dan Ibu mengambil sertifikat rumah dan membuat surat kuasa pengalihan perkebunan serta mobil pribadi Laila menjadi milikku.Laila memang istri yang baik. Dia ju
PoV HarisAku tak menyangka si Meyla berani bicara seperti itu. Kenapa juga wanita ini bisa tau kalau kami ingin hartanya? Padahal kalau jalan bersamaku, dia yang aku yang traktir.“Hahaha ... Mana mungkin kami ingin harta kamu, Mey. Harta Haris juga sudah melimpah. Bukannya kamu udah tau kalau Haris punya perkebunan teh yang luas di Bogor? Buktinya lagi ya, kalau kamu jalan sama Haris gak pernah ngeluarin uang kan?” Ibu menyangkal dugaan Meyla. Pintar juga Ibu. Aku bahkan tidak sempat berpikir. Terlalu syok dengan pertanyaan Meyla.Meyla tersenyum tipis. Kepalanya manggut-manggut.“Tapi, maaf. Aku gak ingin menikah sekarang-sekarang. Kalau Mas Haris ingin menikah, silakan saja dengan wanita lain.” Aku sudah menduga Meyla akan bicara seperti itu. Wanita seperti dia, mana mau punya suami. Meyla Inginnya kebebasan. Bagi wanita macam Meyla, punya suami Cuma jadi penghalang untuk kariernya. Ibu saja yang ngeyel, maksa terus