“Oke!”
Aku masih tetap siaga, kalau-kalau Ibu melayangkan tangannya kembali.“Mantu kurang ajar! Gak punya sopan santun!” Aku tersenyum sinis.
“Aku kayak gini karena sikap Ibu. Mertua matre, gak tau diri, kasar!”
Gigi Ibu bergemelutuk. Kedua tangannya mengepal.
“Benar kan?” tanyaku.
“Awas kamu! Ibu aduin ke Haris. Udah berani ngelawan!”
“Sana aduin. Laila gak takut.” Jawabku enteng.
Ibu keluar kamar. Langkah kakinya terhenti saat melihat Bi Inah sedang berdiri di sisi pintu.
“Oooh ... Ibu tau ... Pasti Pembantu ini kan yang ngadu sama kamu?”
Astaghfirullah ... Masih saja ngeselin. Aku menoleh.
“Eh, jangan pernah ikut campur urusan kami. Ngerti? Dasar Babu!!” Maki Ibu pada Bi Inah. Bi Inah hanya merunduk dalam.
“Masih mending Bi Inah jadi Babu, dari pada Ibu, jadi benalu,” Ucapku keras dari dalam kamar.
Ibu melotot. Bibirnya maju beberapa senti. Ibu tak menimpali, langsung pergi dengan wajah merengut
Aku duduk di tepian ranjang. Bi Inah mengetuk pintu, ijin masuk. Membawa segelas air putih.
“Duduk sini, Bi,” Kataku menepuk kasur. Bi Inah duduk, menyodorkan gelas. Aku pun mengambil gelas lalu meneguknya.
“Bibi jangan takut. Kalau Ibu macam-macam, bilang sama Laila.”
Bi Inah mengangguk. “Iya, Non.”
Aku menarik napas. Meneguk air yang sisa setengah.“Non, itu uangnya Bibi beresin dulu ya?”
“Iya, Bi.”
Ponselku berdering. Siska.
“Buset dah, lu lagi di mana sih?” Siska ngomel. Aku naik ke tempat tidur, menyandarkan pungggung sambil selonjoran.“Di rumah.”
“Ngapain? Ada masalah lagi?”
“Non, ini uangnya. Bibi balik ke dapur dulu,” ucap Bi Inah pamit.
“Iya, Bi. Makasih.”
“Woy! Jawab napa kalo ditanya!”
Aku mengembuskan napas.“Iya. Bawel ih! Tadi gue dapet telepon dari Bi Inah. Katanya Ibu masuk kamar. Pas gue balik, tuh mertua ngambil duit di laci meja rias gue.”
“Ebuseeet ... Makin berani tuh Nenek sihir! Lagian duit lu taro di laci?”
“Udah biasa gue taro situ. Biasanya dikunci, Cuma hari ini lupa. Dikunci sih, tapi kuncinya gak dicabut. Hahaha ....”
“Hm ... sama aja bohong!”
“Ada apa?” Aku bertanya.
“Itu si pelamar kenapa balik? Gak cocok?”
Bayangan Damar melintas. “Bukan gak cocok. Gue tadi lagi badmood. Suruh si Rano telepon dia, besok udah mulai kerja.”
“Lu yakin terima dia?”
“Yakin. Tadi pas gue test hasilnya bagus. Dah ya, gue mau istirahat. Cape nih mulut, dari tadi ngomong mulu! Bye!” Kumatikan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapan Siska.
***
Waktu dzuhur aku bangun. Ke kamar mandi, wudhu, lalu salat.Usai salat, terdengar suara klakson mobil. Mungkin mobil Bang Haris. Aku bergegas keluar kamar.“Bi coba lihat ke depan. Mobil siapa?”
“Baik, Non.”
Bi Inah lari tergopoh-gopoh ke arahku.“Bukan Tuan Haris, Non. Nyonya besar pergi naik taksi.”
“Kemana dia?”
“Gak tau. Kayaknya buru-buru.”
“Bagus. Ini kesempatan kita cari surat itu.” Aku bergegas ke pintu kamar Ibu.“Sial! Dikunci!”
“Kan ada kunci cadangannya, Non.”“Oh iya, ya. Cepet, Bi bawa ke sini!” Titahku. Bi Inah setengah berlari mengambil cadangan kunci. Tak lama wanita yang sudah kuanggap saudara sendiri itu datang membawa beberapa kunci.“Coba, Non yang ini dulu.” Aku mengambil kunci yang disodorkan Bi Inah.
“Bukan. Yang lain.”
Bi Inah menyodorkan kunci lain. Gak bisa juga. Sampai kunci kelima tetap gak bisa. Aku hampir saja putus asa.“Sabar, Non. Kunci masih banyak. Coba yang ini.”
Menarik napas. Mengucap basmallah, kuputar kunci. “Alhamdulillah ....” Pintu terbuka. Aku dan Bi Inah tersenyum. Lalu bergegas masuk mencari surat-surat tersebut.Bi Inah mencari di area tempat tidur. Aku membuka lemari pakaian Ibu yang untungnya tidak dikunci. Mencari di tumpukan baju, tidak ada. Di laci lemari pakaian juga tak ada. Beralih ke meja rias Ibu. Di sana ada tiga laci. Ternyata semuanya tidak dikunci. Kubuka laci pertama, nihil. Saat membuka laci kedua, Bi Inah berteriak.
“Dapat, Non!” Wah hebat juga Bi Inah langsung menemukan surat itu. Padahal Bi Inah baru memeriksa area kasur.
“Bibi kok kayak yang tau surat ini di taro di situ?” Tanyaku penasaran seraya mengambil surat itu dari tangan Bi Inah. Bi Inah tersenyum.
“Biasanya ... orang kampung kalau nyimpen yang berharga di bawah kasur. Bibi kan orang kampung. Nyonya besar juga tadinya orang kampung. Maaf Non, bukan ngerendahin.” Pantas saja sewaktu beli tempat tidur, Ibu inginnya yang kasur dan ranjangnya terpisah. Jadi maksudnya untuk ini toh?
“Ooh gitu ... hebat nih Bibi. Bukan ngerendahin itu, Bi. Emang faktanya Ibu dari kampung.”
Kataku melihat-lihat surat tersebut. Bi Inah mengulum senyum.“Bener gak itu suratnya, Non?”
Aku mengangguk. “Iya, Bi bener. Ini surat waktu Laila tanda tangan. Tapi sertifikat atas nama Harisnya di mana ya?” Aku mengedarkan pandangan.“ Non tangan Bibi tadi kayak yang megang surat lain di bawahnya. Kita angkat aja kasurnya.”
“Bener, Bi?”
“Iya, Non.”
“Ya udah ayok! Kita angkat. Tapi ini berat. Tolong Bibi panggilin Mang Karman. Biar bisa bantu.” Mang Karman adalah suami Bi Inah. Ia adalah tukang kebun di rumah ini.
Bi Inah mengangguk, bergegas ke luar memanggil suaminya.“Ayok, Pak. Bantu angkat kasur Nyonya.” Titah Bi Inah.
“Ada apa emangnya?”
“Aduh Bapak ini. Jangan banyak tanya. Ayo bantuin!” Aku tersenyum melihat tingkah pasangan lansia itu.
“Sudah, biar Bapak saja yang angkat.”
“Emangnya Mang Karman kuat?” tanyaku keceplosan.
“Eh, maaf, Mang. Hehe ....”
“Meskipun Amang sudah tua, tapi tenaga masih kayak anak muda, Non.”“Si Bapak malah ngawur ngomongnya. Sudah cepetan angkat.”
“Iya, Bu, iya.”
Benar saja, Mang Karman bisa mengangkat kasur ukuran king size itu sendirian. Aku sampai menggelengkan kepala. Takjub.
“Tuh sudah. Lho itu apaan, Non?” Tanya Mang Karman membelalak. Aku dan Bi Inah pun terkejut melihat isi di bawah kasur Ibu.
#POV_Ibu_Mertua Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam. Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan. Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan. Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.
Benda apa itu? Kok seperti gulungan rambut? Kayaknya benar rambut. Kucoba menelisik benda persegi empat yang dibalut oleh helaian-helaian rambut yang sangat tebal.“Bi, coba ambil yang itu.” Perintahku, Bi Inah mengangguk. Mengambil benda persegi panjang tersebut.Bi Inah dan Mang Karman meneliti. Mengorek benda apa sebenarnya di balik balutan rambut.“Ini gepokan uang, Non!” seru Mang Karman. Gulungan rambut disingkirkan. Terpampang jelas setumpuk uang seratus ribu. Aku heran, kenapa uang sebanyak itu dililit dengan rambut sangat tebal?“Kok dililit sama rambut? Buat apa?” tanyaku heran. Menatap suami istri yang berdiri di depanku bergantian. Sejenak kami diam.“Bibi tau, Non.” Celetuk Bi Inah. Memecah keheningan. Aku dan Mang Karman menatap Bi inah seksama. Menunggu kelanjutan ucapannya.“Katanya, kalau uang kita dililit dengan rambut. Tuyul, babi ngepet, atau
“Jangan ngomong sembarangan, Laila!” Gertak Bang Haris. Ibu memegang lengan anaknya. Menenangkan. Aku sendiri bersikap tak peduli. Acuh tak acuh. Kenapa mesti takut dengan mereka? Wong ini rumahku sendiri.“Aku serius!” jawabku menatap mereka nyalang. Enak saja, mereka memberiku pilihan. Pilihan yang jsutru sangat merugikanku. Benar kata Siska, mereka berdua memang parasit!“Ya sudah kalau itu emang maumu. Tapi kamu yang harus biayai perceraiannya!” Ibu menyela. Sudah kuduga, pasti Ibu tidak mau rugi.“Gak masalah. Yang penting sekarang kalian keluar dari rumah ini!” ucapku tegas. Jari telunjuk menjuntai ke pintu luar. Mereka pikir aku akan mengemis untuk tidak ditinggalkan? Ah, no!! Meskipun sekarang kedua orang tuaku telah tiada, tapi aku masih punya orang-orang yang peduli. Orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.“Oh gak bisa. Sebelum ketuk palu, kami masih berhak tinggal di sini.
“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.“Makasih,” jawabku singkat.“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan
POV Haris (1)Aku adalah laki-laki yang amat sangat beruntung. Memiliki istri yang cantik, cerdas, royal, pengusaha sukses, dan yang paling penting, sangat kaya raya.Dia bernama Laila Hussein. Perempuan keturunan Arab yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Anak tunggal dari pengusaha perkebunan teh di Bogor.Setelah orang tuanya meninggal, otomatis aset kekayaan Abi dan Uminya jatuh di tangan Laila.Memiliki harta yang melimpah tidak lantas membuat Laila berpangku tangan. Dia dan sahabatnya membangun perusahaan yang bergerak di bidang periklanan.Bisa dibayangkan, berapa banyak uang dan aset yang Laila miliki. Tapi, itu semua tidak akan berlangsung lama, karena sebentar lagi, harta Laila akan berpindah ke tangan padaku.Diam-diam aku dan Ibu mengambil sertifikat rumah dan membuat surat kuasa pengalihan perkebunan serta mobil pribadi Laila menjadi milikku.Laila memang istri yang baik. Dia ju
PoV HarisAku tak menyangka si Meyla berani bicara seperti itu. Kenapa juga wanita ini bisa tau kalau kami ingin hartanya? Padahal kalau jalan bersamaku, dia yang aku yang traktir.“Hahaha ... Mana mungkin kami ingin harta kamu, Mey. Harta Haris juga sudah melimpah. Bukannya kamu udah tau kalau Haris punya perkebunan teh yang luas di Bogor? Buktinya lagi ya, kalau kamu jalan sama Haris gak pernah ngeluarin uang kan?” Ibu menyangkal dugaan Meyla. Pintar juga Ibu. Aku bahkan tidak sempat berpikir. Terlalu syok dengan pertanyaan Meyla.Meyla tersenyum tipis. Kepalanya manggut-manggut.“Tapi, maaf. Aku gak ingin menikah sekarang-sekarang. Kalau Mas Haris ingin menikah, silakan saja dengan wanita lain.” Aku sudah menduga Meyla akan bicara seperti itu. Wanita seperti dia, mana mau punya suami. Meyla Inginnya kebebasan. Bagi wanita macam Meyla, punya suami Cuma jadi penghalang untuk kariernya. Ibu saja yang ngeyel, maksa terus
Sayup adzan subuh terdengar. Aku menggeliat, menguap, menyibakkan selimut menuju kamar mandi.Dalam sujud kupanjatkan rasa syukur tiada henti atas nikmat sehat dan kemudahan rejeki yang Allah berikan. Tak lupa memohon perlindungan dari orang-orang yang hendak berbuat buruk padaku.Selesai munajat, keluar kamar menemui Bi Inah. Menanyakan Ibu dan Haris pergi jam berapa?Kedua mataku menangkap sosok Ibu yang sedang menata meja makan. Mempersiapkan sarapan seperti biasa. Aku mengucek mata. Memastikan apakah yang aku lihat beneran Ibu atau hanya halusinasi.“Ayo, Laila, sarapan! Ibu udah bikin roti bakar. Rotinya juga udah Ibu kasih mayonese kesukaan kamu.” Ternyata benar itu Ibu. Kenapa dia belum juga pergi?“Kok masih berdiri di situ? Sini sarapan dulu?”Aku berjalan pelan. Menarik kursi lalu duduk.Ibu meletakkan roti bakar di atas piring yang berada di