Share

Bercyanda

Janda Lugu Tetanggaku 2

Bab 2

Bercyanda

Mas Azka seketika melotot padaku. Ahaha akupun tertawa melihatnya.

“Bercyanda!” Kataku menirukan yang lagi viral saat ini dengan mulut yang terus menebarkan tawa.

“Nggak lucu!”

Mas Azka merebahkan tubuh di kasur dan memejamkan mata, salah satu tangannya diletakkan menutupi wajah. Kesal rupanya. Ah! Gitu aja marah, batinku. Lagian kalau mirip kenapa? Mas Azka ganteng, Lova juga cantik menggemaskan. Salahku di mana coba?

Tak lama suamiku terlelap, aku menatap dua tubuh yang tergeletak di kasur, baby Lova dan Mas Azka. Memang agak-agak mirip kok wajahnya. Tuh hidungnya sama-sama bangir, rambutnya hitam lebat dan kulitnya putih. Alhamdulillah, aku juga nggak marah kok kalau misal ada yang bilang baby Lova mirip suamiku. Cuma mirip, itu hanya kebetulan saja. Ye, kan?

Pelan, aku ikut merebahkan diri di samping baby Lova. Tanganku memeluk bayi mungil itu. Bahagia rasanya, sudah seperti keluarga lengkap. Mama, Papa dan anak.

Aku terjaga ketika mendengar bunyi bel pintu yang dipencet berkali-kali. Sigap aku berdiri, ada tamu rupanya. Berjalan ke depan dan membuka pintu dengan segera. Oh, Mbak Dian yang datang.

“Maaf, Mbak, aku ketiduran,” ucapku sambil membuka pintu. Mbak Dian hanya tersenyum.

“Lova masih bobok,” kataku lagi.

“Biar aku ambil, belum makan, kan?” Mbak Dian memasuki rumahku.

“Ada di kamar.” aku berjalan masuk diikuti Mbak Dian. Membuka pintu kamar, aku mengajak Mbak Dian masuk pelan-pelan. Terlihat suamiku sedang tidur memeluk Lova. Mas Azka bertelanjang dada, tidur siang suka gerah, apa lagi AC-nya dimatikan.

“Itu, Mbak, Lova masih bobok.” berbicara dengan nada rendah, aku menunjuk kasur. Mbak Dian perlahan naik ke kasur untuk mengambil Lova.

Mendengar suara berisik membuat suamiku terbangun. Mas Azka kaget saat membuka mata ada Mbak Dian di dekatnya.

“Eits!” Ucapnya sambil bangun. Mbak Dian mematung menatap mas Azka. Lelakiku itu segera berdiri, menyambar kaos oblong di dekatnya dan langsung memakainya.

“Mbak Dian mau ngambil Lova,” bisikku pada Mas Azka. Terlihat wajah suamiku kesal, dia berjalan cepat masuk ke kamar mandi.

“Makasih, ya, Ras,” kata Mbak Dian sekalian berpamitan. Mata Mbak Dian bergerak liar melihat dalam rumahku. Mungkin mencari Mas Azka untuk berpamitan.

“Ya, Mbak, sama-sama,” sahutku sambil melambai pada Lova. Anak itu sudah bangun.

“Laras, kenapa kau ajak Dian masuk ke kamar? Kau tahu kan, aku sedang tidur?” Mas Azka menegur dengan nada marah.

“Mbak Dian kan mau ambil Lova,” keningku mengerut. Suamiku ini kenapa kok tiba-tiba kesal.

“Kamar itu privasi, jangan membawa orang lain masuk ke dalamnya!” Mas Azka gusar, dia menjatuhkan bobot di sofa ruang tamu dengan kasar. Wajahnya cemberut.

“Emangnya kenapa, Mas? Mbak Dian nggak ngapa ngapain, cuma mau ambil anaknya doang.” Heran aku kenapa suamiku uring-uringan.

Mas Azka berdiri dengan satu tangannya membawa bantal kursi, dia menatapku tak senang.

“Terserah kamu, Ras! Aku minta jangan diulangi lagi.” Mas Azka berkelebat pergi setelah sebelumnya membanting bantalan kursi ke lantai. Dih! Segitunya.

Huh! Aku membuang nafas kasar. Mengambil bantalan kursi dari lantai dan mengembalikan lagi ke tempatnya. Akupun duduk di sofa sembari memeluk bantalan kursi di perut.

Nggak mungkin lah kalau mbak Dian mau menggoda suamiku. Perasaan Mas Azka saja yang berlebihan. Atau jangan-jangan suamiku aja yang kegeeran? Mbak Dian itu baik, lugu, aku yakin dia bukanlah Janda ga-tel. Dari cara berpakaiannya yang sopan, dandanannya tidak mencolok, tutur katanya halus terpelajar. Mana mungkin dia menganggu suami orang? Kalau toh, Mbak Dian berniat menganggu suami orang, aku yakin pasti bukan suamiku mangsanya.

Aku kan baik sama dia, sering main ke tempatnya, bawain oleh-oleh, masak iya dia tega menggoda suamiku? Heh, aku tersenyum kecil. Astaghfirullah! Kenapa aku suudzon dengan Mbak Dian? Dosa ‘kali.

**

Mas Azka kekuar dari kamar dengan segar. Ia menyugar rambutnya yang basah. Suamiku habis mandi junub hehehe. Kebetulan ini hari Minggu jadi bangunnya santai.

“Mas, sini.” aku memanggil dengan melambaikan tangan. Mas Azka berjalan menghampiri aku yang duduk di ruang tamu.

“Ngeteh dulu,” kataku sambil menunjuk dua gelas teh manis dan sepiring pisang goreng wangi yang masih panas di meja. Mas Azka tersenyum lalu duduk di sofa seberangku. Dia mencomot satu pisang yang digoreng berbentuk kipas. Aku sudah duluan memegang pisang goreng.

Terlihat suamiku menikmati setiap gigitan pisang goreng. Mas Azka ini nggak begitu suka gorengan kecuali pisang goreng. Itupun pilih-pilih, harus pisang kepok jenis pipit yang digoreng. Pisang kepok pipit itu bentuknya pipih, pendek dan padat, paling enak kalau dibikin pisang goreng. Apa lagi dengan tepung instant yang wangi seperti ini, hm, doyan banget suamiku. Sayangnya cari pisang jenis kepok pipit susah, jarang ada di supermarket. Lebih sering dijumpai di pasar-pasar tradisional.

Mas Azka mencomot satu lagi pisang di piring, aku mengawasi.

“Enak, Mas?” Tanyaku menatap. Mas Azka mengangguk dengan mulut masih mengunyah.

“Tumben pagi-pagi dah goreng pisang, dapat dari mana pisangnya?”

“Aku nggak goreng, kok,” jawabku santai. Mas Azka berhenti mengunyah, dia menatapku dengan pandangan aneh.

“Itu tadi dikasih sama Mbak Dian, Mas. Hebat ya, dia bisa tahu kesukaan kamu, padahal aku nggak pernah cerita, lho.”

Huwekk

Huwekk

Eh! Lho, kenapa suamiku tiba-tiba muntah? Masuk angin?

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status