Janda Lugu Tetanggaku 1
Bab 1Mirip Suamiku“Mas!” Aku melambai pada suamiku yang baru turun dari mobil di halaman depan rumah. Suamiku menoleh dan melihat padaku yang berjalan pulang dari rumah tetangga depan rumah.“Ngapain?” Tanya Mas Azka sambil berjalan ke teras. Aku mengejar cepat dan berhasil mengalit lengannya.“Main,” jawabku tersenyum lebar. Mas Azka tak berkomentar, dia mengambil kunci rumah di bawah vas bunga lalu membuka pintu.Aku dan suamiku baru beberapa bulan menikah dan tinggal di perumahan berdua saja. Kebetulan, aku dan Mas Azka dua duanya bekerja, pergi pagi dan pulang sore, kadang suamiku pulang malam.Depan rumah ada tetangga, namanya Mbak Dian. Janda anak satu. Penampilannya sederhana bahkan lugu menurutku. Bajunya nggak modis, wajahnya pun sering polosan dari pada ber-make up. Aku sering main ke situ sepulang kerja sambil nunggu suamiku pulang. Ya, kan dari pada bengong sendirian di rumah. Mbak Dian baik, anaknya juga lucu dan nggemesin.“Tahu, nggak, Mas, Mbak Dian tuh kasihan, lho,” kataku saat duduk berdua di ruang makan.“Kenapa?” Mas Azka menjawab tanpa menoleh, asyik dengan ponselnya.“Dia itu dicerai sama suaminya nggak dikasih apa-apa, lho.” Mataku melihat Mas Azka.“Maksudnya gimana?” Mas Azka bertanya basa-basi karena menurutku dia sudah tahu maksudku.“Nggak dikasih gono-gini, gitu.” Bibirku manyun, ada ya, lelaki raja tega begitu“Dia nggak minta ‘kali,” jawab Mas Azka sambil melihatku sekilas.“Lho, nggak bisa begitu, dong. Gono-gini itu haknya Mantan Istri, harus dibagi dua!” Bibirku mencebik. Kesenangan laki kalau nggak mau berbagi gono-gini. Serakah.“Mungkin dia yang salah?”“Salah gimana, orang Mbak Dian itu baik, pendiam, lugu, nggak neko-neko. Lakinya aja yang banyak maunya.” aku jadi sewot. Apa-apa kok yang disalahkan seringnya pihak perempuan.“Ya paling nggak dapat nafkah, dong, kan ada anak?” Mas Azka menaruh ponsel di meja, dia menuang air putih dari teko plastik ke gelas.“Enggak, Mas. Uang nafkah juga nggak dikasih katanya. Kasihan Mbak Dian itu!”Mas Azka menatapku dengan kening sedikit mengerut,”emang kenapa bisa bercerai?”Bibirku mendekat ke telinga Mas Azka,”dituduh selingkuh,” kataku.Hahaha, terdengar tawa Mas Azka. Gantian keningku yang mengerut,”kok tertawa?”“Pantesan nggak dapat gono-gini, nggak dapat nafkah, orang selingkuh. Jangan-jangan itu juga bukan anak Mantan suaminya?” Mata Mas Azka melebar.“Kok tahu?” Sorot mataku penuh selidik.“Nebak aja.” Mas Aka kembali meraih ponsel dan tangannya mulai sibuk lagi.“Emang sih, suaminya nggak mau ngaku in itu anaknya ….” Suaraku pelan, kasihan Mbak Dian.“Tes DNA aja,” celetuk Mas Azka. Aku menoleh.“Lakinya udah minta tapi, Mbak Dian menolak.”“Nah, kan, pasti dia takut.”“Bukan, bukan!” Aku langsung membantah. “Mbak Dian pilih terima nasib, dia tak mau memperpanjang masalah karena aslinya si lakinya itu hanya ingin menikah lagi. Mbak Dian yang baik hati memilih pergi,” ujarku menjelaskan.“Ya kalau udah terima nasib ya jalani saja,” sahut Mas Azka sambil berdiri. Suamiku lalu masuk ke kamar. Aku masih termenung, kasihan Mbak Dian, harus cari nafkah sendiri. Dia nggak kerja, sementara punya anak bayi.**Ting TongSuara bel rumah. Aku yang sedang bersantai dengan Suami saling berpandangan. Siapa yang datang? Jujur kami jarang menerima tamu kecuali Ibu Mertua yang terkadang dayang tanpa diundang.“Biar aku yang buka.” Mas Arka bangkit dan berjalan ke depan.“Laras ada, Mas?”Suara perempuan? Gegas aku berjalan ke depan. Ternyata Mbak Dian dan Lova, anaknya.“Ada apa, Mbak?” Aku menyapa ramah.“Ini, Ras, mau ngerepotin,” katanya. Aku melihat penampilan Mbak Dian yang berbeda, dia berdandan, pakai lipstik dan mengenakan pakaian kek mau berangkat kerja. Hm, cantik juga.“Apa, Mbak?” Tanyaku. Mas Azka berdiri tak bersuara.“Mau nitip Lova, soalnya aku ada undangan wawancara kerja,” katanya. Mataku seketika berbinar melihat baby Lova yang ada di gendongan Mbak Dian. Baby itu tertawa padaku.“Eh, mau dong. Sini, sini, Lova sama Tante.” aku mendekat dan mengambil baby Lova dari gendongan mamanya. Sempat kulihat bola mata Mbak Dian melirik suamiku.“Uluh … uluh … anak cantik!” Aku berseru senang.“Ini tas Lova, susu, dot, Pampers semua ada di dalam.” Mbak Dian menyodorkan tas bayi ke suamiku. Mas Azka menerima tetapi mulutnya tetap membisu.“Ih, lucunya, mmuaah.” aku mencium berkali-kali pipi Lova yang chabi dan putih bersih. Lova tertawa-tawa senang.“Ke kamar, yuk, sama Om Azka.” menggendong Lova, dan membawanya masuk ke kamar. Ada Mas Azka yang lagi rebahan.“Mas, foto dulu, dong,” kataku sambil memangku baby Lova. Mas Azka beringsut dan duduk di sampingku. Menyalakan kamera, aku mengambil gambar selfie bertiga beberapa kali.“Sekarang kamu sama Lova, Mas.” Kuberikan Lova pada Mas Azka. “Pangku, Mas,” kataku sambil menata gaya.“Sekarang cium pipinya.” kembali aku mengarahkan gaya suamiku dan baby Lova. Aku menjepret berkali-kali. Senang hatiku rasanya. Mas Azka juga senang sepertinya dia tertawa-tawa dan menciumi pipi baby Lova terus. Ah, jadi pingin punya anak sendiri.Siang saat baby Lova tertidur, aku membuka galeri foto di ponselku. Bibirku tertawa sendiri melihat foto-foto lucu dan penuh keakraban itu. Eh, ada foto lucu Mas azka yang pipinya nempel sama Lova. Senyumku mengembang dan melihatnya agak lama.“Mas, lihat nih.” aku bergeser mendekat suamiku. Menunjuk foto, aku berkata pada suamiku,“Ini, lihat, Lova kalau dilihat-lihat, mirip ya, sama kamu.”Waaa?BersambungKBM appJoyladaJanda Lugu Tetanggaku 38Bab 38Sudah Tak Marah“Tidak ada yang memaksa Anda, Dian. Jika tidak setuju, silakan menolak.” Pak Rudi menengahi. Mas Azka melihat padaku. Dari pertama, suamiku ini sudah sangsi dengan ideku. Mas Azka tak percaya Mbak Dian akan menyerahkan begitu saja anaknya. Aku meyakinkan Mas Azka, kalau uang dapat merubah pikiran Mbak Dian. Tunggu dulu … aku belum berbicara tentang uang. “Jadi Mbak Dian menolak?” Tanyaku setelah merasa lebih percaya diri. “Jelas lah, kau minta imbalan anakku, bikin sendiri, buktikan kalau kamu tidak mandul, Ras.” Mbak Dian tersenyum mengejek. Aku masih berusaha tersenyum, walau dalam hati, aku sangat ingin memaki mbak Dian. “Kalau tidak mau, ya sudah, aku tidak akan menolong Mbak Dian dan tidak akan mengurusi Lova. Kau tau, Mbak … tak ada yang gratis di dunia ini!” “Benar, Ras,” kata Mas Azka seraya melihat Mbak Dian, “tak ada yang memaksamu untuk setuju.” Mas Azka beranjak dan berdiri di belakang kursiku. Mbak Dian mengamati. “Sek
Janda Lugu Tetanggaku 37Bab 37Menolong dengan syarat“Angkat, Mas.” aku melihat suamiku, dia mengangguk lalu mengusap layar ponsel. Tak lupa, Mas Azka juga menyalakan loudspeaker agar percakapannya dengan Mbak Dian terdengar pula olehku. “Halo?” Sapa Mas Azka. “Azka, tolong gue, Ka.” terdengar suara panik Mbak Dian meminta pertolongan. Bola mata Mas Azka bergerak ke arahku. “Gue nggak mau urusan apapun sama elu,” sahut Mas Azka ketus.“Bodo amat, elu harus nolongin gue. Cariin pengacara, Ka. Lekas!” Ucap Mbak Dian main perintah aja. “Bawa sini.” bisikku sembari meminta ponsel Mas Azka. “Ada apa, Mbak?” Tanyaku sambil berjalan menjauh dari Lova. Mas Azka gantian menghibur gadis kecil itu sembari memasang antena telinga lebih tinggi. “Laras, elu kan baik hati dan tidak sombong. Elu harus tolongin gue!” Mbak Dian berteriak. Sok-sok an memujiku padahal Mbak Dian sering mengolokku o’on. Aku tau. “Tolongin apa?” Tanyaku datar. Sebenarnya aku tidak tertarik lagi dengan Mbak Dian. Ba
Janda Lugu Tetanggaku 36Bab 36LalaiGaris polisi berwarna kuning bertuliskan dilarang melintas masih terpasang di depan pintu tempat tinggal Mbak Dian. Ada dua unit rumah yang terbakar, yaitu rumah Mbak Dian dan sebelahnya. Sayangnya, rumah Mbak Dian yang lebih parah. “Kita nggak boleh masuk, Ras,” kata Mas Azka yang terus merangkul pundakku. Aku menarik nafas yang tersendat. Tidak tau apa yang terjadi sebab aku tak mendapatkan informasi yang akurat. Dari bawah tadi, aku sempat melihat area luar jendela rumah Mbak Dian yang menghitam karena terbakar. Semalam aku tak dapat ke sini jadi pagi ini aku datang untuk melihat lokasi kejadian. “Mas, kita harus bertanya pada seseorang,” kataku sambil melihat situasi. Siapa tau ada yang melintas dan bisa kutanya. Para penghuni di sini pada cuek, mungkin karena hanya insiden kebakaran kecil yang tak merugikan mereka. Tapi buatku, ini sangat penting. Sampai sekarang, aku tak tau kabar mbak Dian maupun Lova. Ponsel Mbak Dian tidak aktif. “Seb
Janda Lugu Tetanggaku 35Bab 35KebakaranAku terdiam menatap onggokan goodie bag dan paperbag di sudut ruangan. Menghela nafas panjang dan berusaha menepis rindu yang membuncah. Semua itu adalah baju-baju dan mainan milik Lova yang aku beli tempo hari. Semuanya masih baru dan belum terjamah. Kemaren aku tak sempat menyerahkan pada Mbak Dian saat ia mengambil Lova di jalan. “Sudahlah, biar aku masukkan gudang saja,” kata Mas Azka seraya mengangkat barang-barang itu. Suamiku tak suka melihatku bersedih. Beberapa hari yang lalu, Mas Azka sudah memperingatkan aku untuk tak terlalu larut dalam kesedihan memikirkan Lova. “Lova sudah bersama ibunya,” ucap Mas Azka saat itu. Aku mengangguk tapi, entah kenapa rindu ini tak juga lenyap. Senyum dan tawa Lova seakan menghantui benakku. “Mas, jangan diberesin, nanti kapan-kapan biar aku kirim ke rumah Mbak Dian,” kataku menahan Mas Azka yang sedang memberesi barang-barang Lova. Mas Azka menoleh padaku, “kau tau rumahnya?” Aku mengangguk, “ta
Janda Lugu Tetanggaku 34Bab 34Diminta di JalanSeminggu sudah berlalu semenjak Mbak Dian kabur meninggalkan rumahku karena misinya yang gagal. Anehnya, selama itu pula dia tidak meneleponku atau Mama untuk memberitahu keberadaannya. Minimal menanyakan Lova lah, kan bocah itu anaknya. Atau mungkin ia ibu durhaka yang melupakan anaknya?Aku tidak peduli. Hidupku kembali normal, adem dan bahagia bersama Mas Azka. Mbok Wati juga bergembira sebab mendapatkan pekerjaannya kembali. Ada yang berbeda, sekarang di rumahku bertambah ramai dan seru karena adanya Lova. Ya! Bocah itu sekarang tinggal bersamaku. Kalau pagi sampai sore, Lova di rumah bersama Mbok Wati karena kutinggal bekerja bersama suamiku. Malamnya aku dan Mas Azka yang mengasuh Lova. Anak itu cerdas dan lucu. Dia bahkan sekarang sudah pandai berceloteh lancar. Suasana rumah menjadi semakin hidup, ceria dan bersemangat dengan adanya Lova.Aku membelikan baby chair untuk Lova supaya dia dapat makan sendiri. Mas Azka membelikan
Janda Lugu Tetanggaku 33Bab 33Anaknya ditinggal Aku jadi bingung antara membukakan pintu kamar untuk membebaskan Mama atau mengejar Mbak Dian. Ah, sial! Mbak Dian sudah kabur dengan mobilnya. Aku hanya bisa melihat ke jendela saat mendengar raungan mobilnya. Tanpa buang waktu, akupun mencari kunci cadangan untuk membuka pintu kamar. “Kurang ajar, Dian!” Begitu yang diteriakkan Mama setelah pintu berhasil aku buka. “Ke mana dia?” Mama setengah berlari menuju pintu keluar. “Mbak Dian melarikan diri, Ma. Tadi Laras melihat dia lari lewat pintu belakang dan kabur dengan mobilnya.” Ujarku dengan wajah kesal. “Mama didorong sampai terjungkal di kasur, habis itu dia berlari keluar dan menutup serta mengunci pintunya!” Omel Mama marah-marah. Astaga! Aku jadi teringat Mas Azka yang aku rendam di kamar mandi. Berlari aku memasuki kamar dan langsung membuka pintu kamar mandi. Tampak lelakiku sedang berdiri di depan cermin. Mas Azka sudah selesai mandi rupanya. Ah, lega rasanya, kupikir