Share

7 | Misi Pertama

Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu.

Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja.

Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari.

"Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda."

Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu ketika menampar Bian di depan umum. Sungguh, Sani baru pertama kali menemukan wanita seberani dia.

"Oh waw. Ternyata dia istri Aldevaro Bramantha, bro," lanjutnya terkejut. "Yang dulu pernah menolak kerja sama dengan perusahaan lo."

Bian menghela napas pelan lalu mengangguk. Mengingat kejadian itu membuatnya jengkel. Bian berdehem singkat. "Enggak usah dibahas."

"Enggak bisa ini mah. Dia terlalu menarik buat gue."

Bian terkekeh pelan. Tangannya terangkat mengambil jas hitam dari dalam lemari. "Lo nggak ada kerjaan, mending siapin semua berkas gue di atas meja."

"Keenakan di elo. Kita masih di apartemen. Nanti aja pas udah nyampe kantor lo boleh bebas nyuruh-nyuruh gue," tolak Sani. Dia memang biasa berbicara menggunakan sapaan 'lo-gue' pada Bian, tapi hanya di luar jam kantor saja. Sisanya mereka kembali bersikap profesional ketika berada di lingkup pekerjaan.

"Sialan!"

Sani tertawa lagi namun kali lebih kencang. Ia terus menggulir layar gawainya. Mencari lebih detail profil mengenai Anjani. Entah kenapa Sani tertarik mengetahui tentang wanita itu.

Sampai jarinya berhenti menggulir, fokus matanya tertuju pada seorang gadis kecil nan imut. Wajahnya manis dan tidak bosan dipandang. Sejenak Sani membandingkan rupa Anjani dan Clara.

"Kayaknya Anjani nikah muda deh. Umur segini anaknya udah lima tahun," kata Sani terheran setelah dua menit terdiam, kemudian menatap Bian. "Masih tua lo setahun, Yan. Hahaha," ledeknya.

Bian hanya menggidikan bahu. Sumpah, moodnya pagi ini semakin menurun sebab Sani terus mengagumi Anjani di depan dirinya. Sambil memilah berkas di atas meja kerja lalu memasukkannya ke map Bian mendengus.

"Tapi kenapa kakinya bisa lumpuh?" tanya Sani.

"Kecelakaan," jawab Bian malas.

"Sayang banget padahal cantik. Kalau nggak lumpuh dari lama gue gebet."

"Dasar tolol!" Kali ini Bian menimpuk wajah sahabatnya itu dengan map. "Lo belum tau aja sikap aslinya seperti apa."

Sani menyengir lebar, lalu menaruh map kuning itu di nakas. Ia selalu tau bagaimana bersabar untuk menghadapi Bian. "Gimana-gimana dah?"

"Cengeng dan sombong. Di depan gue dia selalu berusaha terlihat benar," sahut Bian sembari mengingat sikap Anjani malam tadi. Terutama tamparan yang bukan cuma membuat pipi Bian panas, tapi seluruh tubuhnya serasa mendidih. Bian tidak akan pernah melupakan tamparan itu.

"Kebalik kali ah! Lo-nya yang begono. Hahaha."

"Bangs*t!"

***

"Bunda kita mau kemana? Kenapa aku enggak sekolah?" tanya Clara memasuki kamar Anjani ketika melihat ibunya itu sepagian sudah rapi. Padahal biasanya Anjani lebih dulu membantunya berkemas keperluan sekolah.

"Kamu hari ini nggak sekolah ya." Anjani mengusap lembut rambut Clara. Gadis itu duduk di bibir kasur sepertinya.

Clara menautkan alis, "Kenapa nggak? Bunda ga bisa nganter?"

"Bunda kamu ada ada urusan sebentar, Non," sahut bi Ratih yang melipat beberapa pakaian di lemari Anjani.

"Clara ikut kok sayang. Tapi nanti sama bi Ratih." Anjani menangkup pipi Clara. Ia memberikan setengah senyum, "Surat izin sekolah kamu juga sudah diantar sama pak supir. Jangan khawatir."

"Terus bunda sama siapa? Cala nggak mau pisah sama bunda," ujar Clara cemberut.

"Rahasia dong." Namun Anjani berhasil mencairkan suasana dan meyakinkan gadis itu. Hingga akhirnya Clara setuju ikut bersama dia.

"Kamu cepat siap-siap gih. Tadi bunda udah setrika baju favorit kamu."

"Oh ya?" Mata Clara berbinar. Ia lalu melompat girang, "Yeayy! Cala mandi dulu ya."

Anjani dibuat terkikik. Ia bahagia jika melihat Clara bahagia. Kemudian Anjani menatap bi Ratih.

"Bantu dia, Bi."

Bi Ratih mengangguk pasti. Usai merapikan isi lemari Anjani ia pun menghampiri Clara. Menggandeng tangan mungil anak itu menuju kamar mandi. Sekarang tugas bi Ratih membantu Clara bersiap-siap.

Anjani turun dari kamarnya setelah meraih tongkat. Ia pelan-pelan menuruni tangga hingga tiba di lantai dasar, Anjani berpapasan dengan Pak Romi, supirnya.

Pak Romi tampak canggung saat bertanya, "Ibu yakin mau ke sana?"

Anjani terdiam sebentar lalu sudut bibirnya sedikit terangkat, "Iya, Pak."

"Tempatnya sangat ramai, Bu. Ibu bisa kenapa-kenapa."

"Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan saya, Pak. Saya bisa jaga diri. Bapak dan bi Ratih lindungi saja Clara ketika kita sudah tiba di sana yaa. Jangan sampai dia lengah dari pengawasan bapak."

"Baik, Bu."

***

"Itu Om yang kemarin." Clara menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari mobil mewah berwarna putih. Lantas senyum Clara memudar. Terlebih Bian dengan wajah datar serta kacamata hitam berjalan menghampiri.

Pupil Anjani membesar sesaat. Namun sedetik kemudian ia menatap Bian tanpa minat. Bian melepas kacamatanya lalu menatap mereka bergantian.

"Om ngapain ke sini lagi?" tanya Clara judes, bersedekap.

Sudut bibir Bian terangkat. Ia menatap remeh Clara. "Kamu bocah, tidak akan mengerti. Saya ada urusan sama ibu kamu."

"Penting? Awas ya Om ngata-ngatain bunda lagi!" sahut Clara marah.

Bian memutar bola matanya jengah. Malas meladeni Clara, ia berjalan melewati anak itu dan menghadap Anjani.

"Cepat masuk ke mobil saya!"

Anjani mendongak, menatap Bian lalu terdiam sejenak. Pria itu menyebalkan, selalu saja suka memerintah.

Bian berbalik dan memasuki mobilnya kembali. Sementara Anjani memberi nasihat pada Clara.

"Clara sama bi Ratih dan Pak supir, kalian mengikuti di belakang. Oke?"

Mereka bertiga mengangguk. Sebelum memasuki mobil Bian Anjani mengecup penuh sayang kepala putrinya. Ini yang Anjani cemaskan, ia takut Clara akan menghadapi bahaya.

Setelah mereka bertiga; Clara, bi Ratih, dan pak Romi memasuki mobil barulah Anjani menggerakan tongkatnya menuju mobil Bian.

Di dalam mobil, Bian memijat pangkal hidungnya melihat jalan Anjani yang sangat lambat.

"Dasar lumpuh. Jalan saja lamban sekali!" gumamnya tanpa suara.

Hingga Anjani tiba di samping mobil Bian, ia hendak membuka pintu belakang tapi Bian berkata, "Di depan, bukan di belakang."

Anjani termangu.

"Kamu dengar tidak?" kesal Bian.

Anjani menghela pasrah. Ia pun mengitari depan mobil menuju kursi samping kemudi, tetapi usai membuka pintu ia malah kesusahan untuk naik. Wajar, Anjani tidak terbiasa duduk di sebelah kemudi, yang saat naik harus menggunakan kaki kanan. Toh, kalian tau sendiri kalau kaki kanan Anjani mengalami kelumpuhan.

"Ambil tangan saya dan jangan banyak berpikir," ucap Bian menawarkan bantuan. Anjani mendapati tangan pria itu mengambang.

"Cepat Anjani." Bian kesal Anjani lemot.

Cepat-cepat Anjani menyambut tangan Bian dan ia pun berhasil mendaratkan pantat dengan aman. Bian langsung mengambil alih tongkat Anjani lalu melemparnya ke belakang.

"Pak, itu satu-satunya tongkat saya." Anjani marah tongkatnya diperlakukan sembarang.

"Kamu itu ribet banget sih?! Tinggal beli apa susahnya?"

Anjani mendengus keras. Ia membuang pandangan ke samping lalu bersedekap kesal.

"Nanti saya belikan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status