"Wah jadi anda telah menikah Dokter Rein," sahut pasien Dokter Rain yang telah siap di kursi periksa gigi.
Seorang wanita berusia 55 tahun. Berambut panjang tergerai.Suster, asisten Dokter Rein memakaikannya sarung tangan karet warna putih. Dokter Rein tersenyum.Dokter Rein mengenakan jas dokternya dengan kemeja warna merah muda tua di dalamnya dan juga kacamata minusnya."Iya, saya udah nggak muda lagi, saya butuh teman untuk menemani masa tua saya," jawabnya terdengar diplomasi."Anda masih muda Dokter Rein. Saya yakin banyak ibu-ibu dan para gadis di kota ini patah hati mendengar anda sudah menikah...hehehe..." gurau ibu itu terkekeh."Anda bisa saja. Kita mulai tindakannya," izin Dokter Rein memulai pemeriksaan gigi pasien.****************"Anda pulang cepat hari ini Dokter?" tanya seorang suster. Dokter menanggapinya hanya dengan senyum seraya membuka jas dokternya."Pasti anda rindu istri anda jadi ingin segera pulang,""Tentu." Dokter tersenyum. "Dokter Chris akan menggantikan saya. Saya pulang dulu,""Baik Dok,""Eu...permisi Dok!" Seorang wanita muda berseragam polisi datang."Oh... Nona Yuna, ada yang bisa saya bantu?" sapa Dokter Reinhard tersenyum ramah."Gigi saya sakit sekali Dok, apa bisa di obati?" tanya polisi itu."Tapi jadwal Dokter sudah selesai. Anda bisa menunggu jadwal Dokter Chris," sahut seorang suster."Nggak apa Sus. Mari ke ruangan saya!" ajak Dokter Reinhard berjalan mendahului ke ruangannya."Kasihan Dokter, padahal dia sudah tidak sabar bertemu istrinya. Maklum pengantin baru," gosip suster di meja informasi."Betul. Tetapi dia Dokter Reinhard, orangnya terlalu baik," sahut suster lain.Beberapa saat kemudian . .Setelah selesai dengan pemeriksaan dan pengobatan mereka keluar dari ruangan Dokter Reinhard."Anda harus kembali dua hari lagi," pesan Dokter Reinhard."Baiklah Dokter. Terimakasih!"****************Sementara itu Arika berbelanja di sebuah pasar modern di dekat rumah Dokter Reinhard."Wah...ini istri Dokter Reinhard!" seru seorang bibi penjual sayuran.Arika tersenyum sambil menunduk memilih sayuran yang akan dia beli."Iya," jawab Arika lembut."Dokter Rein beruntung, istrinya cantik," puji bibi penjual sayur."Terimakasih. Tetapi saya rasa saya yang beruntung bisa menikah dengan Dokter Rein," jawab Arika tersipu."Kalian sama-sama beruntung. Dokter Rein memang orang yang baik. Dia sudah lama tinggal di sini jadi kami sudah sangat mengenalnya." jelas Bibi penjual sayuran memuji."Bahkan dia suka memberikan pengobatan gratis bagi kami kalau sedang nggak punya uang," tambah bibi penjual sayur."Oh iya, panggil saja Bibi Vio, ya!" bibi penjual sayur memperkenalkan diri."Salam kenal Bibi Vio. Nama saya Arika," sahut Arika."Salam kenal Arika!"Setelah berbelanja Arika berjalan pulang kembali ke rumah Dokter Reinhard. Di pasar dia banyak mendengar sanjungan untuk Dokter Reinhard hingga dia merasa ikut bahagia dan beruntung mendapatkan suami sebaik Dokter Reinhard.Arika berjalan dengan senyuman di wajahnya. Dia tidak bisa menutupi rasa bahagianya. Saat dia hampir dekat dengan rumahnya, dia melihat seorang wanita berambut pendek, mengenakan midi dress bercorak abstrak berwarna biru memandangi rumah Dokter Reinhard. Wajahnya terlihat pilu menahan airmatanya."Siapa wanita itu?" tanya Arika memandangi wanita berkulit coklat itu.Tiin...Suara klakson membuyarkan lamunan Arika. Arika menoleh dan melihat mobil berwarna silver itu berjalan perlahan di sisinya.Kaca jendelanya terbuka, terlihat Dokter Reinhard menyetir di belakang kemudi."Naiklah!" ajak Dokter Reinhard tersenyum dan memberhentikan mobilnya.Arika mengangguk malu lalu masuk ke dalam mobil."Harusnya aku bisa pulang lebih cepat untuk berbelanja denganmu. Tetapi tadi ada pasien mendadak," terang Dokter Reinhard."Oh...itu nggak masalah. Aku bisa berbelanja sendiri," jawab Arika mengangkat tas belanjanya."Kamu membeli banyak daging seperti pesanku, kan?" tanya Dokter Rein."Tentu," jawab Arika."Kamu sangat menyukai daging?" tanya Arika."Ya, daging itu lezat. Dengan bumbu marinasi yang kuat. Aku bahkan tahu daging-daging berkualitas bagus," jelas Dokter Rein. Matanya menyorot riang memandang Arika.Mobil terparkir di depan rumah Dokter Reinhard."Kamu diberkati dengan kelimpahan rezeki jadi bisa mudah membeli daging," sahut Arika."Aku bahkan bisa mendapatkan daging gratis," ucapnya santai sambil menarik rem tangan.Arika menoleh skeptis, menuntut penjelasan."Iya, kalau aku ke pasar, bibi penjual daging bisa memberikan aku daging gratis bila aku memintanya," kata Dokter Rein tersenyum misterius.Arika ikut tersenyum."Oh iya, tadi aku melihat seorang wanita sedang memandangi rumahmu dengan wajah sedih. Apa kamu mengenalnya?" tanya Arika.Dokter Reinhard mengangkat bahu."Aku nggak melihat orangnya jadi aku nggak tahu," jawabnya simple."Ayo, kita masuk ke dalam!" ajaknya.Setelah masuk ke dalam, Arika pergi ke dapur untuk merapihkan belanjaannya ke dalam kulkas.Saat tengah merapihkan sayuran, samar-samar Arika mendengar suara sesuatu yang bergerak dan mengenai sesuatu di suatu tempat.Tek...teeek..."Suara apa itu?" tanya Arika mencari asal suaranya.Dia berjalan berkeliling di dapur memastikan arah pasti suara tersebut. Ketika sampai di pintu dapur suara itu terdengar jauh lebih nyaring.Arika membuka pintu dapur, sebuah halaman luas terlihat ketika ia baru membuka pintu. "Apa suaranya dari luar?" gumamnya menolehkan kepalanya keluar.Tembok-tembok tinggi yang menyatu dengan atap rumah utama hanya berada di sisi kiri dan kanan rumah dan menyisakan sedikit celah di tengah sebagai pintu untuk pergi ke halaman belakang. Tembok-tembok yang menjadi pemisah dengan halaman itu, berjarak satu setengah meter dari dinding luar dapur. Di sisi kiri rumah, di lorong antara dinding dapur dan tembok pemisah, Arika melihat ada sebuah tangga menuju ke bawah tanah.Perhatian Arika tertarik ke sana. Rasa penasaran menggelayut di hatinya. Dengan perlahan Arika melangkah. Tangga menurun tampak sangat gelap. Arika memfokuskan diri melihat lebih jauh ke dalam.Meeeeoooonggg.....Tiba-tiba Dua ekor kucing jantan berlari, bekejaran naik dan hampir menabrak Arika. Membuatnya melonjak kaget. Jantungnya bergemuruh. Napasnya tersengal-sengal karena kaget dan takut."Kucing!" Arika mengurut dada.Kretaak...Suaranya terdengar kembali. Membuat Arika jadi semakin penasaran. Arika bisa melihat pintu besi menutupi jalan tangga, di anak tangga ke sepuluh. Arika masih bisa merasakan detak jantungnya yang belum normal.Arika semakin turun menuju pintu itu. Dia menarik tuas pintu besi ke bawah dan ternyata pintunya terkunci."Arika...!" panggilan Dokter Rein di atasnya membuatnya terperanjat kaget. Jantungnya semakin cepat berdetak."Sedang apa?" tanyanya memiringkan wajah, seolah menyelidik."Aku mendengar suara dari bawah," jawab Arika dengan suara tercekat oleh rasa takut."Itu gudang. Pasti hanya tikus." jawab Dokter Rein mendekati Arika."Oh begitu," sahut Arika melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.Arika terus naik meninggalkan Dokter Reinhard di belakangnya. Sebelum sampai di atas Arika kembali menoleh ke arah bawah masih dengan wajah penasaran dan penuh tanda tanya.Dokter Reinhard menyentuh pinggang belakang Arika dan sedikit mendorong untuk membuatnya kembali berjalan. Mereka berdua memasuki dapur lagi."Benarkah itu hanya gudang?" tanya hati Arika penasaran menatap pintu dapur yang perlahan tertutup.****************Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali
Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana
Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah
Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu